Jilbab Lebih Menjaga Dirimu
Written By Rachmat.M.Flimban on 16 Januari 2019 | 1/16/2019 11:31:00 AM
Jilbab Lebih Menjaga Dirimu Oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc |
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Jilbab, apa sih manfaatnya? Banyak wanita yang menanya-nanyakan hal ini karena ia belum mendapat hidayah untuk mengenakannya. Berikut ada sebuah ayat dalam Kitabullah yang disebut dengan “Ayat Hijab”. Ayat ini sangat bagus sekali untuk direnungkan. Moga kita bisa mendapatkan pelajaran dari ayat tersebut dari para ulama tafsir. Semoga dengan ini Allah membuka hati para wanita yang memang belum mengenakannya dengan sempurna. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59) Apa Itu Jilbab? Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’)[1] yang menutupi khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “mulhafah” (kain penutup).[2] Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar.[3] Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا “Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.”[4] Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”[5] Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata, “Hendaklah para wanita menutup kepala dan wajah mereka, supaya orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka (bukan budak).”[6] Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah mulhafah (kain penutup atas), khimar, rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan dadanya.[7] Kesimpulan mengenai maksud jilbab dan khimar, silakan lihat gambar www.muslimah.or.id [8] berikut ini. Mengenakan Jilbab, Ciri-Ciri Wanita Merdeka Dalam ayat yang kita kaji saat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memerintahkan para wanita mukminat—khususnya para istri dan anak perempuan Nabi karena kemuliaan mereka—yaitu supaya mereka mengulurkan jilbabnya. Tujuannya adalah untuk membedakan antara para wanita jahiliyah dan para budak wanita.[9] As Sudi rahimahullah mengatakan, “Dahulu orang-orang fasik di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika malam begitu gelap di jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para wanita. Dahulu orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami kesusahan. Jika malam tiba para wanita (yang susah tadi) keluar ke jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan sampai menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak berjilbab, mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita menghadangnya.” Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”[10] Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab, ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59) Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat (yang artinya), ” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka.”[11] Inilah yang membedakan manakah budak dan wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak. Hanya Allah yang beri taufik. Mengenakan Jilbab Lebih Menjaga Diri Mengenai ayat, ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59) Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab, maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita ‘afifaat (wanita yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya). Akhirnya orang yang punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”[12] Allah Maha Pengampun Di akhir ayat, Allah Ta’ala katakan, وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا “Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Maha Pengampun dan Penyayang terhadap apa yang telah lalu di masa-masa jahiliyah, di mana ketika itu mereka (para wanita) tidak memiliki ilmu akan hal ini.”[13] Artinya, bagi wanita yang belum mengenakan jilbab, Allah masih membuka pintu taubat selama nyawa masih dikandung badan, selama malaikat maut belum datang di hadapannya. Jangan Lupa untuk Dakwahi Keluarga Dakwahi keluarga untuk berjilbab dan menutup aurat, itu yang seharusnya jadi skala prioritas. Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diperintahkan untuk memulainya dari istri dan anak-anak perempuannya sebelum wanita mukminat lainnya sebagaimana perintah di awal ayat. يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6) Ya Allah, bukakanlah hati keluarga dan kerabat kami yang belum berjilbab untuk segera berjilbab dengan sempurna. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Riyadh, KSU, on 29th Dzulhijjah 1431 H (04/12/2010) Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id Catatan Kaki; [1] Rida’ dan Izar adalah pakaian seperti ketika berihrom. Rida’ untuk bagian atas, ihrom untuk bagian bawahnya. [2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 11/242. [3] Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 6/79. [4] HR. Muslim no. 890. [5] Fathul Qodir, 6/79. [6] Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Mawqi’ At Tafasir, 5/150. [7] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, hal. 671. [8] Dicopy dari http://muslimah.or.id/nasihat-untuk-muslimah/jilbabku-penutup-auratku.html [9] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/242. [10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/243. [11] Fathul Qodir, 6/79. [12] Taisir Al Karimir Rahman, hal. 671. [13] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/243. SUMBER ARTIKEL; Muslim.or.id" |
Saudariku, Apa yang Menghalangimu untuk Berjilbab? (2)
Written By Rachmat.M.Flimban on 15 Januari 2019 | 1/15/2019 12:14:00 PM
Belajarlah Mencintai Jilbabmu Saudariku, jadikanlah jilbab seperti bagian dari dirimu, yang jika tanpanya, engkau merasa tidak sempurna. Jadikanlah dia penutup auratmu yang lebih baik dari sekedar pakaianmu. Jadikanlah dia sebagai lambang rasa malumu yang akan memancarkan wibawamu. Jadikanlah dia sebagai simbol kehormatan dan kesucianmu yang harus engkau jaga sebaik-baiknya. Maka dengan begitu, engkau akan mencintainya tanpa engkau sadari bahwa engkau telah mencintainya. Yang Cantik yang Berjilbab Tak ada ajaran yang lebih memuliakan wanita daripada Islam. Dalam Islam, wanita ditempatkan sebagai makhluk yang sangat mulia. Dan Islam sangat menjaga kehormatan juga kesucian seorang wanita. Namun, di belantara fitnah saat ini, wanita yang berkomitmen untuk menjaga kesucian dirinya karena masih menjadi kaum minoritas, seringkali mendapat cemoohan, sindiran, dan cibiran dari kaum mayoritas yang awam. Bahkan, ada yang menyebut dirinya sebagai kaum feminis yang –dengan tidak disadari oleh akal sehatnya– telah menjerumuskan kaum wanita kepada lembah kehinaan yang bersampul keadilan. Wal’iyyadzubillah. Mereka berteriak-teriak di jalanan, di media-media massa dan elektronik mengenai kesetaraan gender, keadilan terhadap hak asasi manusia, dan harkat serta martabat kaum wanita. Mereka menginginkan para wanita mereka berpakaian seronok supaya diterima oleh masyarakat –yang rusak akalnya–, mereka mencoba mengafiliasi budaya barat dengan budaya timur agar mereka dinobatkan sebagai wanita modern, wanita masa kini, wanita fashionable. Ketahuilah olehmu wahai saudariku, mereka inilah setan berwujud manusia yang pernah disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia…” (Qs. Al-An’aam: 112) Allah Ta’ala memaksudkan perkataan yang indah dalam ayat di atas adalah perkataan yang sebenarnya bathil, tetapi pemiliknya menghiasi perkataan tersebut semampunya, kemudian melontarkannya kepada pendengaran orang-orang yang tertipu, sehingga akhirnya mereka terpedaya. (Terj. Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ hal. 225) Wanita shalihah yang kecantikannya ibarat mutiara yang terbenam dalam lumpur, masih menjadi kaum minor di kalangan masyarakat yang sudah mulai terpengaruh dengan eksistensi kaum liberal, permisif dan hedonis masa kini. Merekalah para wanita perindu Surga yang selalu nyaman tinggal di istananya. Merekalah para bidadari yang bersembunyi di balik tabir, kain longgar, dan lebarnya kerudung. Ketika orang mendatanginya, ia begitu khawatir jika keindahannya terlihat, dan dia tidak mungkin menjumpai tamunya dalam busana ala kadarnya yang bisa menampakkan ‘simpanan berharga’nya. Mereka masih dan akan selalu menjadi misteri bagi para lelaki asing di luar sana. Tetapi mereka berubah bagai bidadari jika bertemu dengan kekasih hati yang telah menjadi suaminya. Tahukah engkau siapa kekasih hati sang bidadari..? Hanyalah lelaki shalih yang berani mendamba dirinya dan hanya lelaki shalih yang memiliki nyali mempersuntingnya sekaligus meminangnya menjadi belahan hati. Sedangkan lelaki hidung belang, miskin agama, dan kurang bermoral hanya akan mendekati ‘daging-daging’ yang dijual bebas di pasaran. Para wanita yang menjajakan dirinya di pinggir-pinggir jalan, di mal-mal, di tempat-tempat dugem, dan yang sejenisnya. Sekalipun mereka tidak merasa atau tidak berniat ‘menjual diri’ mereka, akan tetapi pada hakikatnya –jika mereka mau menyadari–, merekalah ‘mangsa’ empuk para serigala manusia yang kelaparan. Maka saudariku, manakah yang lebih engkau sukai, si cantik yang diobral murah? Ataukah si shalihah yang penuh rahasia? Fenomena Jilbab Gaul, Berpakaian Tapi Telanjang Belakangan ini, merebak trend jilbab gaul atau kudung gaul. Anggotanya mulai dari anak-anak remaja hingga ibu-ibu yang aktif dalam berbagai kegiatan pengajian. Kalau mereka ditanya, “Jilbab apa ini namanya?” Mereka akan menjawab dengan dengan pede-nya, “Jilbab gaul..!” Jilbab gaul ini digandrungi karena alasan modisnya. Peminatnya adalah para wanita yang sudah terlanjur berjilbab tapi tetap ingin tampil modis dan trendi. Mereka ingin celana jeans, kaos-kaos ketat dan pakaian-pakaian minim mereka masih bisa terpakai, meskipun mereka sudah berjilbab. Walhasil, para desainer kawakan yang minim akan ilmu agama, mencoba mengotak-atik ketentuan jilbab syar’i dan mewarnainya sesuka hati dengan berkiblat kepada trend mode di wilayah barat. Mereka tidak segan-segan membawakan semboyan, “Jilbab modis dan syar’i” atau “Jilbab muslimah masa kini, modis dan trendi” atau semboyan-semboyan lain yang membuat kacau pikiran dan hati para gadis remaja. Sekarang, mari kita simak peringatan yang pernah disampaikan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Ada dua golongan penghuni Neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu (1, -ed) suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor-ekor sapi betina yang mereka pakai untuk mencambuk manusia; (2,-ed) wanita-wanita yang berpakaian (namun) telanjang, yang kalau berjalan berlenggak-lenggok menggoyang-goyangkan kepalanya lagi durhaka (tidak ta’at), kepalanya seperti punuk-punuk unta yang meliuk-liuk. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau wanginya, padahal bau wanginya itu sudah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2128) dan Ahmad (no. 8673). dari jalan Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Siapakah itu wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang? Mereka adalah para wanita yang pakaiannya tipis, transparan dan ketat, sehingga kemolekan tubuhnya terlihat. Mereka berpakaian secara zhahir (nyata), namun sebenarnya mereka bertelanjang. Karena tidak ada bedanya ketika mereka berpakaian maupun ketika mereka tidak berpakaian, sebab pakaian yang mereka kenakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yakni menutupi aurat. Dan mereka adalah wanita-wanita yang menyimpang dari keta’atan kepada Allah dalam hal menjaga kemaluan serta menutupi diri mereka dari para lelaki yang bukan mahramnya. (Terj. Al-Jannatu Na’iimuhaa wat Thariiqu Ilaiha Jahannamu Ahwaaluhaa wa Ahluhaa hal. 101-103) Nah saudariku… Tentu engkau tidak ingin menjadi salah satu wanita yang disebutkan dalam hadits di atas bukan? Tentu engkau ingin menjadi wanita penghuni Surga yang jumlahnya hanya sedikit itu bukan? Jadi jangan sampai kehabisan tempat. Persiapkanlah tempatmu di Surga nanti mulai dari sekarang! Akhirnya… Apabila Allah telah mengadakan suatu ketentuan, maka sudah pasti dalam ketentuan itu terkandung kebaikan yang amat besar. Maka dengan meragukan ketentuan dan perintah-Nya, engkau telah melewatkan banyak kebaikan yang seharusnya engkau dapatkan. Coba engkau simak firman Allah yang berbunyi, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menerapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36) Saudariku… Alasan apapun yang masih tersimpan dihatimu untuk tidak melaksanakan perintah berjilbab ini, janganlah engkau dengarkan dan engkau turuti. Semua itu hanyalah was-was setan yang dihembuskannya ke dalam hati-hati manusia, termasuk ke dalam hatimu. Bersegeralah menuju jalan ketakwaan, karena dengan begitu engkau akan melihat sosok lain yang jauh lebih baik dari dirimu pada hari ini. Engkau akan dengan segera mendapati rentetan kasih sayang Allah yang tidak pernah engkau sangka-sangka sebelumnya. Jadi, apa lagi yang kau tunggu? Bentangkanlah jilbabmu dan tutupilah cantikmu. Belajarlah menghargai dirimu sendiri dengan menjaga jilbabmu, maka dengan begitu orang lain pun akan ikut menghargai dirimu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya, “Barang siapa di antara kalian mampu membuat perlindungan diri dari api Neraka meskipun hanya dengan sebiji kurma, maka lakukanlah.” (Hadits shahih. Lihat Shahih Al-Jaami’ (no. 6017). Dari jalan ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu) Demikianlah saudariku… Ku susun risalah ini sebagai bentuk kasih sayang terhadapmu sembari terus berdo’a semoga Allah membuka hatimu untuk menerima ‘kado istimewa’ ini dengan ikhlas. Bukan karena apa maupun karena siapa, tapi karena semata-mata engkau mengharapkan keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla terhadap dirimu. Semoga risalah yang hanya mengharap Wajah Allah ini dapat mengetuk pintu yang tertutup dan membangunkan nurani yang lama tertidur lelap, sehingga membangkitkan semangat untuk bersegera menuju ketaatan kepada Allah. Semoga Allah memasukkan dirimu, diriku, dan seluruh kaum muslimin yang berpegang teguh dalam tali agama Allah ke dalam golongan orang-orang yang ditunjuki jalan yang lurus. Wallahul musta’an. Sumber Atikel ; Muslimah.or.id |
Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita
Written By Rachmat.M.Flimban on 04 Januari 2019 | 1/04/2019 10:24:00 PM
Bahasan Utama, Manhaj
Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita Oleh; Muhammad Saifudin Hakim |
Akhir-akhir ini, banyak kita jumpai saudara-saudara kita kaum muslimin yang tanpa sadar banyak menghujat dan mendoakan jelek para pemimpin di negeri ini. Ketika mereka melihat (menganggap) pemimpin atau pemerintah melakukan kesalahan atau kekeliruan (menurut prasangka mereka), begitu mudahnya kata-kata celaan, hujatan, bahkan doa jelek pun keluar dari ucapan mereka. Padahal sebagai seorang muslim, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimanakah sikap yang benar sebagai rakyat kepada para pemimpin dan pemerintah. Melalui tulisan singkat dan sederhana ini, kami bermaksud untuk mengingatkan diri kami sendiri dan juga saudara-saudara kami kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka, bukan menghujat dan mendoakan kejelekan bagi mereka. Ketaatan pada Pemimpin, Salah Satu Prinsip Penting Aqidah Ahlus Sunnah Ketika menjelaskan prinsip-prinsip pokok aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321H) berkata dalam kitab beliau, Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا “Dan kami (ahlus sunnah) tidak berpendapat (bolehnya) keluar (memberontak) dari pemimpin dan penguasa kami (yaitu kaum muslimin, pen.)”. Ini adalah salah satu prinsip aqidah ahlus sunnah, yaitu tidak boleh keluar (memberontak) dari penguasa dan pemerintah kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 59) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي “Dan barangsiapa yang menaati pemimpin, maka sungguh dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835) Oleh karena itu, tidak boleh durhaka (memberontak) kepada mereka, meskipun mereka adalah pemimpin yang jahat atau zalim sekalipun. Bersabar, Itu yang Utama Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah melanjutkan prinsip aqidah ahlus sunnah berikutnya, وإن جاروا “Meskipun mereka (pemimpin) itu (berbuat) zalim.” Maksudnya, meskipun pemimpin itu zalim dan melampaui batas, misalnya dengan mengambil harta atau membunuh kaum muslimin, maka ahlus sunnah tidaklah berpendapat bolehnya keluar dari ketaatan kepada mereka. Hal ini berdasarkan perintah tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ “Engkau mendengar dan Engkau menaati pemimpinmu. Meskipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul. Dengarlah dan taatilah (pemimpinmu)” (HR. Muslim no. 1847). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersabar, bukan memberontak mengangkat senjata atau melakukan demonstrasi. Karena dengan memberontak dan demonstrasi, akan menimbulkan (lebih) banyak kerusakan. Inilah aqidah ahlus sunnah, yaitu senantiasa menimbang dengan mengambil bahaya yang lebih ringan dibandingkan dua bahaya yang ada. Janganlah Mendokan Mereka dengan Kejelekan Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah melanjutkan lagi prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah, ولا ندعوا عَلَيْهِمْ “Dan tidak mendoakan kejelekan bagi mereka (pemimpin atau pemerintah).” Maka jelaslah bahwa aqidah ahlus sunnah menyatakan, tidak boleh mendoakan kejelekan bagi pemimpin atau pemerintah, tidak boleh menghujatnya, menjelek-jelekkannya di muka umum, dan sebagainya. Karena pada hakikatnya, hal ini sama halnya dengan durhaka dan memberontak secara fisik. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah mengatakan, “Tidak boleh mendoakan kejelekan bagi pemimpin. Karena ini adalah pemberontakan secara abstrak, semisal dengan memberontak kepada mereka dengan menggunakan senjata (pemberontakan secara fisik, pen.). Yang mendorongnya untuk mendoakan jelek bagi penguasa adalah karena dia tidak mengakui (menerima) kekuasaannya. Maka kewajiban kita (rakyat) adalah mendoakan pemimpin dalam kebaikan dan agar mereka mendapatkan petunjuk, bukan mendoakan jelek mereka. Maka ini adalah salah satu prinsip di antara prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Jika Engkau melihat seseorang yang mendoakan jelek untuk pemimpin, maka ketahuilah bahwa aqidahnya telah rusak, dan dia tidak di atas manhaj salaf. Sebagian orang menganggap hal ini sebagai bagian dari rasa marah dan kecemburuan karena Allah Ta’ala, akan tetapi hal ini adalah rasa marah dan cemburu yang tidak pada tempatnya. Karena jika mereka lengser, maka akan timbul kerusakan (yang lebih besar, pen.).” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 171) Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, لو أني أعلم أن لي دعوة مستجابة لصرفتها للسلطان “Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang dikabulkan), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.” Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata, “Maka orang-orang yang mendoakan jelek pemimpin kaum muslimin, maka dia tidaklah berada di atas madzhab ahlus sunnah wal jama’ah. Demikian pula, orang-orang yang tidak mendoakan kebaikan bagi pemimpinnya, maka ini adalah tanda bahwa mereka telah menyimpang dari aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 172). Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah juga berkata, “Maka kesemburuan bukanlah dengan mendoakan kejelekan atas pemerintah, meskipun Engkau menghendaki kebaikan. Maka doakanlah bagi mereka agar mendapatkan kebaikan. Allah Ta’ala Maha Kuasa untuk memberikan hidayah kepada mereka dan mengembalikan mereka kepada jalan yang benar. Maka Engkau, apakah Engkau berputus asa dari (turunnya) hidayah untuk mereka? Ini adalah berputus asa dari rahmat Allah.” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 173). Selain Berdoa, Apalagi yang Harus Kita Lakukan (sebagai Rakyat)? Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata ketika memberikan komentar terhadap kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, وفي هذا بيان لطريق الخلاص من ظلم الحكام الذين هم ” من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا ” وهو أن يتوب المسلمون إلى ربهم ويصححوا عقيدتهم ويربوا أنفسهم وأهليهم على الإسلام الصحيح تحقيقا لقوله تعالى: (إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم) [الرعد: ١١] وإلى ذلك أشار أحد الدعاة المعاصرين (اا) بقوله: ” أقيموا دولة الإسلام في قلوبكم تقم لكم على أرضكم “. وليس طريق الخلاص ما يتوهم بعض الناس وهو الثورة بالسلاح على الحكام. بواسطة الانقلابات العسكرية فإنها مع كونها من بدع العصر الحاضر فهي مخالفة لنصوص الشريعة التي منها الأمر بتغيير ما بالأنفس وكذلك فلا بد من إصلاح القاعدة لتأسيس البناء عليها (ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوي عزيز) [الحج: ٤٠] “Maka poin ini merupakan penjelasan (tentang) jalan keluar dari kedzaliman penguasa, yang mereka itu pada hakikatnya adalah berasal dari kulit-kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (maksudnya, pemimpin itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, pen.), yaitu hendaknya kaum muslimin bertaubat kepada Allah dan memperbaiki aqidahnya, dan mendidik dirinya sendiri dan keluarganya di atas agama Islam yang shahih. Hal ini untuk mewujudkan firman Allah Ta’ala yang artinya,”Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah suatu kaum, sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11) Atas dasar ini, salah seorang juru dakwah di zaman ini mengisyaratkan dalam sebuah perkataannya,”Tegakkanlah negara (daulah) Islam dalam diri (dada) kalian, niscaya akan tegak (daulah Islam) di negeri kalian.” Dan bukanlah jalan untuk keluar dari kedzaliamn penguasa adalah memberontak kepada penguasa, dengan jalan kudeta (militer). Maka hal ini di samping bid’ah pada zaman ini, juga merupakan tindakan yang menyelisihi dalil-dalil syari’at, yang di antaranya memerintahkan untuk memperbaiki (mengubah) diri sendiri (terlebih dahulu). Demikian pula, wajib untuk memperbaiki pondasi kaidah agar kuatlah bangunan di atasnya. (Allah Ta’ala berfirman yang artinya),”Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 40)” (Takhrij Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 69) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada pemimpin dan pemerintah kaum muslimin. Catatan Kaki;
Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah" Sumber Artikel; "Artikel Muslim.Or.Id" |