Latest Post
Tampilkan postingan dengan label ahkam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ahkam. Tampilkan semua postingan

Hukum Mengusahakan Berziarah ke Kuburan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Written By Rachmat.M.Flimban on 27 April 2017 | 4/27/2017 05:46:00 AM

Hukum Mengusahakan Berziarah ke

Kuburan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Oleh

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin


Pertanyaan:

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Ada sebagian orang yang pergi ke Madinah dengan maksud berziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana hukum perbuatan ini?

Jawaban:

Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, yang boleh itu adalah pergi ke Madinah dengan maksud shalat di Masjid Nabawi, yaitu salah satu dari ketiga masjid yang dibolehkan mengusahakan perjalanan untuk mengunjunginya. Shalat di Masjid Nabawi sama dengan seribu shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.

Telah disebutkan larangan tentang mengusahakan perjalanan kecuali untuk mengunjungi ketiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Jadi, dalam larangan ini tercakup semua tempat dan semua kuburan, sehingga tidak boleh pula untuk tujuan shalat, memohon berkah atau beribadah.

Adapun perintah ziarah kubur, di antara hikmahnya adalah untuk mengingatkan kepada akhirat, dan ini bisa di kuburan dan di negara mana saja, dan hampir tidak ada suatu wilayah pun yang tidak ada kuburannya. Menziarahi kuburan-kuburan itu bisa mengingatkan kepada akhirat, dan orang-orang yang telah mati pun bisa mendapatkan manfaat dengan doa yang dipanjatkan bagi mereka.

Sedangkan mengenai kuburan Nabi, telah disebutkan larangan menjadikannya sebagai ‘id, yaitu dikunjungi berulang-ulang dan rutin, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.telah bersabda,

“Artinya : Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan janganlah kalian menajdikan kuburanku sebagai sesuatu (yang dikujungi berulang-ulang secara) rutin. Bershalawatlah kalian kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian disampaikan kepadaku di mana pun kalian berada.” [1]

Dalam hadits lain beliau bersabda,

“Artinya : Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salamnya.” [2]

Ini berarti mencakup setiap orang yang mengucapkan salam kepada beliau, baik yang dekat maupun yang jauh.

Kemudian mengenai hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya lemah atau palsu, seperti:

“(Barangsiapa yang menziarahiku setelah aku mati, maka seolah-olah ia menziarahi ketika aku masih hidup) [3], atau (Barangsiapa menziarahi kuburanku…), (Barangsiapa yang menziarahiku, maka aku menjadi pemberi syafa’at atau menjadi saksi baginya),[4] (Barangsiapa yang menziarahi kuburanku, maka wajiblah syafa’atku baginya)[5], (Barangsiapa yang menunaikan haji tapi tidak menziarahiku, berarti ia telah menjauhiku) [6]”.

Semua hadits-hadits ini batil, tidak ada asalnya, para ulama telah menjelaskan kebatilannya, diantaranya sebagaimana disebutkan dalam buku bantahan terhadap Al-Akhna’i karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bantahan terhadap As-Sabaki karya Ibnu Abdil Hadi dan bantahan terhadap An-Nabhani karya Al-Alusiy. Hendaknya kita tidak terpedaya oleh orang yang berdalih dengan hadits-hadits tersebut.

Lain dari itu, bahwa tidak mengunjungi kuburan beliau bukan berarti tidak mengagungkannya, karena mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. telah terpatri di dalam hati para pengikutnya, dan hal itu tidak berkurang hanya karena jauhnya mereka dari kuburan beliau. Wallahu a ‘lam.

[Fatawa fit Tauhid, Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 23-25]

[Disalin dari kitabAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini Lc, Penerbit Darul Haq]



Foote Note

[1]. HR. Abu Dawud dalam Al-Manasik (2042), Ahmad (2/367).

[2]. HR. Abu Dawud dalam Al-Manasik (2041), Ahmad (2/527).

[3]. Ad-Daru Quthni (2/278), Al-Baihaqi (5/246), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/382). lihat As-Silsilah Adh-Dha’ifah (47,102l).

[4]. Ath-Thayalusi (65), Al-Baihaqi (5/245). lihat Irwa’ul Ghalil (1127).

[5]. Ad-Daru Quthni (2/278).

[6]. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (7/14). Adh-Dha’ifah(45).



Sumber: Almanhaj.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hukum Menghidupkan Peninggalan Islam Bersejarah

Hukum Menghidupkan Peninggalan-Peninggalan Islam Bersejarah

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


 

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum Islam tentang menghidupkan peninggalan-peninggalan Islam bersejarah untuk mengambil pelajaran, seperti; Gua Tsur, Gua Hira, perbukitan Ummu Ma’bad, dan membuat jalan untuk mencapai tempat-tempat tersebut sehingga diketahui jihadnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberikan kesan tersendiri?

Jawaban.

Memelihara peninggalan-peniggalan dalam bentuk menghormati dan memuliakan bisa menyebabkan syirik (mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena jiwa manusia itu lemah dan cenderung menggantungkan diri kepada yang diduganya berguna, sementara mempersekutukan Allah itu banyak macamnya, dan mayoritas orang tidak mengetahuinya. Orang yang berdiri di hadapan peninggalan-peninggalan tersebut akan melihat orang jahil yang mengusap-usapnya untuk meraih debunya dan shalat di sana serta berdoa kepada orang yang meninggal di sana, karena ia mengira bahwa hal itu bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan bisa menjadi perantara kesembuhannya. Kemudian hal ini ditambah pula dengan banyaknya para penyeru kesesatan, akibatnya mereka semakin menambah volume kunjungannya, sehingga dengan begitu bisa dijadikan pencaharian. Dan biasanya, di sana tidak ada orang yang memberi tahu si pengunjung bahwa maksudnya adalah hanya untuk mengambil pelajaran, tapi malah sebaliknya.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dengan isnad shahih dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, saat itu kami baru keluar dari kekufuran. Saat itu, kaum musyrikin mempunyai tempat pohon khusus yang biasa dikunjungi dan menggantungkan senjatanya di sana, tempat itu disebut Dzatu Anwath. Saat itu kami melewatinya, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahasuci Allah, ini seperti yang diucapkan oleh kaumnya Musa, ‘Buatkan tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan. Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, (jika demikian) niscaya kalian menempuh cara orang-orang yang sebelum kalian.”[1] Ucapan para sahabat: (buatkan bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki) adalah serupa dengan ucapan Bani Israil: (Buatkan tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan). Hal ini menunjukkan, bahwa ungkapan itu bisa dengan makna dan maksud, tidak hanya dengan lafazh.

Jika menghidupkan peninggalan-peninggalan tersebut dan mengunjunginya termasuk yang disyari’atkan, tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau memerintahkannya atau telah dilakukan oleh para sahabat atau telah ditunjukkan oleh mereka, karena mereka adalah manusia yang paling mengetahui syari’at Allah dan paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi pada kenyataannya tidak ada riwayat yang menunjukkan hal itu dari beliau dan tidak pula dari para sahabat beliau, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat mengunjungi Gua Hira’ atau Gua Tsur atau mendaki perbukitan Ummu Ma’bad atau pohon tempat diselenggarakannya bai’ah, bahkan ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu, melihat sebagian orang pergi ke pohon tersebut, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibai’at di bawahnya, ia memerintahkan untuk menebangnya karena khawatir orang-orang akan berlebihan terhadap tempat tersebut dan melakukan syirik. Dengan begitu diketahui, bahwa mengunjungi peninggalan-peninggalan tersebut dan membuatkan jalan menuju ke sana adalah bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at Allah. Hendaknya para ulama kaum muslimin dan para penguasanya mencegah terjadinya faktor-faktor yang bisa mengarah kepada syirik ini demi melindungi tauhid. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.


[Disalin dari kitabAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini Lc, Penerbit Darul Haq]



Footnote

[1]. HR. At-Thirmidzi dalam Al-Fitan (2180). Ahmad (2139).

Sumber: Almanhaj.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ahkam, Pengertian Ummu Walad

Ahkam, Pengertian Ummu Walad

Oleh

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri


Pengertian Ummu Walad

Ummu Walad ialah budak wanita yang digauli pemiliknya dan melahirkan anak darinya, baik laki-laki atau perempuan.

Hukum Menggauli Ummu Walad

Pemilik budak wanita boleh menggauli budak wanitanya, dan jika budak wanitanya tersebut melahirkan anak, maka ia menjadi ibu dari anaknya tersebut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” [Al-Ma’arij : 29-30]

Juga dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menggauli Mariyah Al-Qibthiyah, kemudian ia melahirkan Ibrahim, searaya beliau bersabda, “Mariyah dimerdekakan oleh anaknya” [1]. Juga Nabi Ibrahim Alaihissallam menggauli Hajar, kemudian ia melahirkan Nabi Ismail Alaihissallam.

Hikmah Menggauli Budak Wanita

Di antara hikmah menggauli budak wanita adalah sebagai berikut:

  1. Ungkapan kasih sayang terhadap budak wanita dengan memenuhi kebutuhan syahwatnya.
  2. Menjadikannya sebagai Ummu Walad yang akan merdeka dengan kematian pemiliknya.
  3. Dengan digauli oleh pemiliknya, maka pemilik budak wanita tersebut akan semakin peduli kepada budak wanitanya itu dengan memperhatikan kebersihannya, pakaiannya, kamar tidurnya, makanannya dan lain-lain.
  4. Memberi kemudahan kepada orang Islam, karena bisa jadi ia tidak mampu menikahi wanita merdeka, maka diberi kemudahan dengan dibolehkannya menggauli budak wanitanya untuk meringankannya dan sebagai ungkapan kasih sayang terhadapnya.

Beberapa Ketentuan Hukum Tentang Ummu Walad

Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan Ummu Walad adalah sebagai berikut.

  1. Ummu Walad sama seperti budak wanita lainnya dalam hal pelayanannya, hubungan seksualnya, kemerdekaan dirinya, batasan auratnya dan pernikahannya. Akan tetapi Ummu Walad tidak boleh dijual, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penjualan Ummu Walad (HR Imam Malik). Hal itu dikarenakan, bahwa penjualan Ummu Walad bertentangan dengan kemerdekaan dirinya kelak sepeninggal pemiliknya.
  2. Ummu Walad dimerdekakan dengan kematian pemiliknya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. أَيُّمَا أَمَةٍ وَلَدَتْ مِنْ سَيِّدِ هَا فَهِيَ حُرَّ ةٌ عَنْ دُبُرٍ مِنْهُ

    “Budak wanita manapun yang melahirkan anak dari pemiliknya (tuannya), maka ia dimerdekakan setelah kematian pemiliknya (tuannya)’ [HR Ibnu Majah no. 2516]

  4. Budak wanita tetap dihukumi Ummu Walad, meskipun ia mengalami keguguran, jika hal itu terjadi setelah janinnya sempurna penciptaannya dan bentuknya bisa dibedakan, karena Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Jika budak wanita melahirkan anak dari pemiliknya maka ia dimerdekakan meski mengalami keguguran. [Diriwayatkan oleh pengarang Al-Mughni]
  5. Tidak ada perbedaan dalam memerdekakan Ummu Walad, apakah ia muslimah atau kafir. Sebagian ulama berpendapat, bahwa seorang budak wanita yang kafir tidak dimerdekakan, tetapi keumuman dalil menghendaki kemerdekaan budak wanita baik ia muslimah atau kafir. Inilah pendapat jumhur ulama.
  6. Jika Ummu Walad itu dimerdekakan setelah kematian pemiliknya, maka harta milik Ummu Walad menjadi milik ahli waris pemiliknya, karena Ummu Walad adalah budak sebelum kematian pemiliknya dan seperti diketahui bahwa pendapatan budak itu menjadi milik pemiliknya.
  7. Jika pemilik Ummu Walad meninggal dunia, maka Ummu Walad harus menunggu satu kali haid, karena ia keluar dari kepemilikan pemiliknya dan berubah menjadi wanita merdeka.

[Disalin kitab Minhajul Muslim edisi Indonesia Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Penerjemah Musthofa ‘Aini, Amir Hamzah Fachrudin, Penerbit Darul Haq-Jakarta]


BookMark/Tanda Buku

[1]. HR Ibnu Majah (2516) dan Ad-Daruquthni (4/131), Hadits ini cacat, akan tetapi jumhul ulama mengamalkannya.

Sumber: Almanhaj.or.id

 


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Fiqh; Ahkam,adab Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Walimatul Urus (Pesta Pernikahan)

Ahkam, Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


3. Walimah.

Walimatul ‘urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ ويُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ، فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ. يَعْنِى اَلدُّعَاءَ

Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:


Pertama:

Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak
orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]


Kedua:

Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ، وَارْحَمْهُمْ، وَبَاِرِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُم،ْ وَارْحَمْهُمْ

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.

Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.

2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

أَتَيْنَاكُـمْ أَتَـيْنَاكُـمْ فَحَـيُّوْنَا نُحَيِّيْكُـمْ لَوْ لاَ الذَّهَبُ اْلأَحْـمَرُ مَا حَلَّتْ بِوَادِيْكُـمْ لَوْ لاَ الْحِنْطَةُ السَّمْـرَاءُ مَا سَمِنَتْ عَذَارِيْكُمْ

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian Hormatilah kami, maka kami hormati kalian Seandainya bukan karena emas merah Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona Seandainya bukan gandum berwarna coklat Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَعْلِنُوا النِّكَاحَ

“Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]


BookMark

[1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa’i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.

[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.

[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.

[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).

[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul Baari IX/247).

[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).

[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.

[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.

[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.

[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus Salam, th. 1423 H.

[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).

[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.

[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.

Sumber: Almanhaj.or.id-walimatul-urus-pesta-pernikahan

 


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hukum Puasa, Kesempatan Untuk Membakar Dosa-Dosa

Written By Rachmat.M.Flimban on 15 April 2017 | 4/15/2017 01:23:00 PM

Kesempatan Untuk Membakar Dosa-Dosa
Hukum Puasa Ramadhan
By Fuad Hamzah Baraba, Lc.

Allah Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al-Baqarah: 185).
Bulan tersebut dinamai dengan Rramadhan dikarenakan membakar dosa-dosa, yaitu membakar dosa-dosa itu dengan amal-amal shaleh (Tafsir ar-Razi).
Saudaraku…
Setelah Allah mempertemukan kita dengan bulan ramadhan yang mulia ini, yang penuh berkah, maka kesempatan emas bagi kita untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Memanfaatkan bulan Ramadhan dengan memperbanyak amal shaleh yang kita harapkan dapat membakar dosa-dosa kita, semoga Allah berkenan tuk mengampuninya.
Dan tentunya dengan memperbanyak taubat kepada Allah Ta’ala, karena taubat merupakan salah satu sebab meraih keberuntungan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur: 31).
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam beramal shaleh, dan taubat kepadanya, Dan Allah Ta’laa menerima amal ibadah kita semua.

Bahasan Utama, Fiqih Ramadhan
Hukum Puasa Ramadhan
Artikel Muslim.or.id
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hukum Antara BERHALA dan KUBURAN WALI

Written By Rachmat.M.Flimban on 18 Januari 2017 | 1/18/2017 01:10:00 PM

Antara BERHALA dan KUBURAN WALI

Oleh Ustadz Abdurrohman al-Buthoni حفظه الله


MUQODDIMAH

Zaman sekarang zaman yang penuh dengan syubhat (kerusakan ilmu) dan syahwat (nafsu menyelisihi kebenaran) melazimkan (mengharuskan) setiap pencari kebenaran harus disertai dengan dalil dari Kitab dan Sunah. Jika ternyata kebenaran datang dari golongan Ahlus Sunnah yang dimusuhi oleh banyak kalangan maka diterima dan sebaliknya jika kebatilan datang dari golongan kita maka ditolak sebab kita mencari rida Allah عزّوجلّ bukan rida manusia.

Perkara akidah yang benar sejak zaman dahulu hingga sekarang khususnya dalam barisan umat Islam yang terpecah menjadi 73 golongan perkara agama yang benar menjadi pertempuran sengit. Masing-masing mengklaim dirinya yang benar dan lainnya salah. Di sisi lain, ada yang meneriakkan untuk menghapus perselisihan dan mencari persamaan.
Harus dipahami bahwa sebelum kita saling toleran dalam perselisihan, terlebih dahulu kita menyamakan pokok-pokok akidah dan keyakinan karena ada perbedaan yang tidak boleh bertoleransi di dalamnya.

Apabila ada yang menegakkan tauhid dan ada yang menegakkan kesyirikan atau ada yang menunaikan shalat dan ada yang meninggalkannya maka perkara ini tidak boleh toleran padanya. Yang boleh adalah berbeda pada masalah ijtihad dalam memahami dalil bukan berbeda karena pemahaman yang menyelisihi dalil.

ANTARA BUDAYA DAN AGAMA

Budaya yang menyelisihi syariat semakin hari semakin baru dan bertambah, sedangkan orang jarang mengingkarinya, jarang ada yang menganggapnya sebagai ajaran baru. Sementara itu, dalam waktu yang sama, tatkala ajaran Rasulullah صلى الله عليه وسلم dihidupkan atau ada segolongan yang mengajak kembali kepada ajaran Rasulullah صلى الله عليه وسلم, mereka mengingkari dan berkata "ini ajaran baru". Subhanallah, adat istiadat dan budaya sesat yang datang setiap saat tidak dikatakan sebagai ajaran baru, tetapi agama Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang dihidupkan dikatakan agama baru.

Akhlak dan peradaban Barat dikatakan kemajuan, sedang kembali kepada agama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dianggap sebagai kemunduran. Berpegang teguh pada agama Allah sebagai sebuah kemunduran dan berpaling darinya sebagai kemajuan. Di manakah kemajuan Fir'aun dan bala tentaranya? Di manakah kemajuan Barat, negara adidaya, Uni Sovyet, Amerika, dan sekutunya? Namun, jika hawa nafsu yang berkuasa maka mata dan telinga menjadi buta dan tuli serta hati tertutup.

Setinggi apa pun budaya dan adat istiadat yang menyelisihi syariat tetaplah ia batil dan tidak mungkin menggantikan syariat. Sekalipun seluruh manusia sepakat dalam budaya dan adat istiadat, hal itu tidak akan membahagiakan dan menjamin keselamatan mereka.

Budaya syirik, bidah, maksiat, partai, demonstrasi, kerusakan moral dan akhlak, perlombaan pada kemegahan dunia dan lalai dari akhirat; semuanya akan semakin menambah kegelisahan, problematik, dan kesengsaraan hidup manusia.
Allah عزّوجلّ membuka mata dan hati manusia bahwa jabatan, harta, dan seluruh kenikmatan dunia tidak mampu memperbaiki manusia. Di antara manusia ada yang memiliki jabatan, harta banyak, sekolah tinggi, tetapi dia mengeluhkan kedurhakaan anak-anak mereka, mengeluhkan tidak bahagia. mengeluhkan semakin banyaknya permasalahan hidup yang harus dihadapi dan diselesaikan tetapi mustahil terselesaikan.

Ini adalah bukti bahwa agamalah satu-satunya yang membahagiakan manusia. Ini adalah seruan agar manusia kembali kepada Islam, mempelajari dan mengamalkannya untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki dunia dan akhirat. Adapun yang berpaling dan zalim, maka sesungguhnya Allah tidak lalai terhadap orang-orang zalim.

ASAL-USUL SYIRIK

Pada asalnya, Allah عزّوجلّ memakmurkan alam semesta dengan tauhid dan ibadah hanya kepada-Nya. Pada asalnya, tidak ada kesyirikan di permukaan bumi. Lalu setan memulai dan mengajak manusia kepada syirik.

Dengan demikian, dakwah kepada tauhid berarti mengembalikan manusia kepada asal fitrah mereka.
Asal-muasal kesyirikan adalah mengagungkan orang saleh secara tidak syar'i. Asal mula kesyirikan adalah mengeramatkan kuburan wali.

Asal syirik yang paling mendasar adalah kejahilan terhadap tauhid yang dibawa oleh para rasul, sedang penyebab kejahilan adalah berpaling dan tidak mau mempelajari ajaran para nabi.

Tatkala manusia-sejak dahulu hingga sekarang baik kafir maupun muslim tidak mempelajari warisan para nabi, jadilah mereka paling bodoh sekalipun mencapai gelar paling tinggi dalam dunia pendidikan.

Bangsa Arab ahli nasab dan ahli syair. Bangsa Romawi, Persia, Yunani, Yahudi, Nasrani ahli Taurat dan Injil, ahli filsafat, falak, mantik, sihir, perdukunan ahli nujum (perbintangan), ahli matematika, ahli kedokteran, ahli teknik dan segala peradaban mereka pada saat itu disebut jahiliah karena jauh dari ajaran para nabi.

Warisan Aristoteles dianggap sebagai jahiliah sebab berasal dari otak manusia jahil yang tidak paham agama Allah. Jika ini kedudukan ilmu orang dahulu, lalu bagaimana dengan kedudukan ilmu yang telah menyibukkan manusia pada hari ini?

Jika akhir dari tokoh dan sumber segala kejelekan (Iblis) adalah sesungguhnya dia takut kepada Allah Rabbulalamin, lalu bagaimana dengan ilmu para pengikutnya? Jika ilmu dan kekuasaan Fir'aun akhirnya mengaku beriman kepada Zat yang diimani oleh Bani Isra'il lalu bagaimana dengan ilmu Barat dan filsafat? Jika ilmu Qorun (Karun), Haman, kaum 'Ad dan Samud akhirnya adalah kebinasaan dunia akhirat, lalu bagaimana dengan ilmunya Darwin, Sokrates, dan para filsuf Yunani?

ANTARA SYIRIK ZAMAN DAHULU DAN ZAMAN SEKARANG

Kisah kaum Nuh عليه السلام yang menyembah kuburan para wali menunjukkan betapa eratnya hubungan antara patung berhala dan kuburan wali. Bahkan, patung berhala tidak lain kecuali berasal dari kuburan wali dan pelakunya umat Islam yang jahil terhadap tauhid.

Perhatikan firman Allah عزّوجلّ:

وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kalian tinggalkan tuhan-tuhan kalian dan jangan tinggalkan Wadd, Suwa', Yagus, Ya'uq, dan Nasr." (QS Nuh [71]: 23)

Dalam ayat ini terdapat pelajaran, di antaranya:

  1. Mereka menyebut kuburan wali sebagai tuhan yang disembah, oleh karenanya mereka menyeru untuk istiqamah di atasnya tidak meninggalkannya.

  2. Seruan mereka atas reaksi dan pengingkaran terhadap dakwah Nabi Nuh عليه السلام yang mengajak kepada tauhid dan ibadah hanya kepada Allah saja dan yang mengilhamkan seruan ini adalah setan terkutuk.

  3. Karena sebagai tuhan dan telah merasuk dalam jiwa maka mereka menegaskan dan mengkhususkan dengan terperinci satu per satu nama tuhan agar menyentuh hati mereka.

  4. Para penyeru dan ahli ibadah tersebut adalah kaum muslimin yang telah bodoh terhadap tauhid.

  5. Karena kebodohan mereka terhadap tauhid, mereka menganggap syirik sebagai ibadah dan dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Nuh عليه السلام sebagai kebatilan. Alangkah miripnya orang-orang sekarang dengan orang-orang dahulu.

Berkata Sahabat yang mulia Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما "Itu adalah nama orang-orang saleh pada zaman Nabi Nuh عليه السلام. Tatkala mereka meninggal dunia maka setan mewahyukan kepada pengikut mereka agar memberi tanda dan nama pada majelis-majelis mereka supaya dikenang, dan ketika generasi tersebut meninggal dunia dan ilmu hilang maka diibadahi."

Sejarah selalu terulang. Oleh karenanya, pada zaman sekarang, kita mendengar dan melihat bahwa seseorang yang dikultuskan sebagai wali tatkala meninggal dunia maka nama dan kuburannya diperlakukan oleh umat Islam bagaikan patung Lata, Manat, dan 'Uzza oleh Arab jahiliah, bagaikan kaum Nuh عليه السلام terhadap patung dan kuburan wali-wali tersebut di atas.

Memang perbuatan semacam ini menurut orang yang tidak paham tauhid bukan syirik bahkan dianggap sebagai ibadah mulia dan ajaran Islam paling utama. Buktinya, para tokoh tidak sedih bila pengikut mereka tidak menunaikan shalat lima waktu dan semangat para tokoh dalam mendakwahkan kebatilan ini tidak seperti semangat mereka dalam amar makruf nahi mungkar. Permusuhan ahlinya terhadap ahli tauhid yang menegakkan tauhid dan sunah dan mengingkari syirik dan bid’ah tidak seperti permusuhan mereka terhadap ahli kufur dan ahli maksiat. Waktu, tenaga, dan harta yang mereka korbankan untuknya tidak seperti waktu, harta, dan tenaga yang mereka korbankan untuk agama Allah.

Adakah yang mampu menolak setelah perbuatan ini disebut oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai kesyirikan? Masih adakah yang sanggup berkata bahwa itu bukan syirik? Lain patung berhala lain kuburan wali? "Kami tidak menyembah mereka tetapi memuliakan wali"? "Pelaku patung berhala orang kafir adapun kami orang Islam"?

SYIRIK TETAP SYIRIK SEKALIPUN PELAKUNYA PARA TOKOH

Sebaik-baik manusia adalah imam dalam kebaikan. Dan sebaliknya, manusia paling celaka adalah imam dalam kejelekan. Apabila kita mengetahui bahwa imam ada dua golongan maka tidak boleh seseorang tertipu dengan gelar imam atau tokoh. Akan tetapi, kita harus melihat imam tersebut mengajak ke mana. Terlebih lagi, yang paling ditakutkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم terhadap umatnya adalah para imam yang menyesatkan.

Seorang muslim yang pandai introspeksi (mawas diri) tidak boleh mengklaim sembarangan menganggap bahwa dai-dai sesat itu pasti dari kelompok lain dan bukan dari kelompoknya. Ketahuilah bahwa orang yang berbahagia dengan rahmat Allah adalah orang yang takut (dan menjaga diri) agar jangan sampai tidak mendapat rahmat-Nya dan berprasangka buruk terhadap diri dan kelompoknya, bukan merasa tenang dan berprasangka baik terhadap diri dan kelompoknya. Jika demikian maka dia mudah untuk memperbaiki dan meninggalkan kesalahan, tidak terus dalam kebatilan, apalagi menganggap kebatilannya baik.

IBRAH

Dalam kisah umat Nuh terdapat banyak pelajaran, di antaranya:

  1. Sebab kesesatan manusia karena kekaguman yang berlebihan terhadap tokoh.

  2. Amalan Islam secara lahir tidak memberikan manfaat duniawi, oleh karenanya banyak manusia yang tidak menyukainya; sedangkan budaya dan adat istiadat banyak mendatangkan manfaat duniawi, oleh karenanya banyak manusia yang menyukainya.

Tatkala Iblis mengetahui bahwa masjid dan rumah-rumah Allah tidak boleh dijadikan ladang untuk mencari keuntungan duniawi maka dia memalingkan manusia kepada kuburan wali, tempat keramat, budaya, dan adat istiadat atas nama agama agar tercapai ambisi manusia yang tamak dengan kebesaran, kehormatan, jabatan, harta. Maka yang memiliki ambisi kebesaran terpenuhilah hasratnya tatkala banyak pengikutnya dalam syirik dan bidah. Yang gemar mencari harta terpenuhi ambisinya tatkala manusia mengorbankan harta untuk kuburan keramat, mengadakan acara tujuh malam kematian, baca Al-Qur’an untuk orang mati dengan upah, tokoh panutan hidup dengan menadahkan tangan kepada para pencintanya dengan cara memperjualbelikan agama yaitu rukun Islam tidak diajarkan dan tidak dipelihara, sedang syirik, bidah, dan khurafat didakwahkan dan dipelihara karena mendatangkan keuntungan dunia. []

Publication: 1435 H_2014 M

Antara BERHALA dan

KUBURAN WALI

Ustadz Abdurrohman al-Buthoni حفظه الله

Disalin dari Majalah al-Furqon No.143, Ed.7 Th.ke-13_1435H

Disalin dari  eBook Islam ibnumajjah.com


Artikel  Duta Asri Palem 3

author; Rachmat. Flimban

Kunjungi -> Mushola Nurul Iman


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger