Latest Post
Tampilkan postingan dengan label ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu. Tampilkan semua postingan

Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 11-12

Written By Rachmat.M.Flimban on 18 April 2017 | 4/18/2017 12:03:00 AM

Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 11-12

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

11.Tatsabut (meneliti kebenaran) dan Tsabat (konsisten)


Diantara adab yang seorang penuntut ilmu wajib berhias dengannya adalah tatsabut dengan berita-berita yang akan dirujuk. Demikian pula dengan hukum hukum yang akan ditetapkan. Apabila mengambil sebuah berita maka engkau harus mengkonfirmasinya secara teliti lebih dahulu, apakah berita yang kau ambil itu shahih atau tidak. Jika berita itu shahih, jangan lantas engkau menetapkannya akan tetapi periksa dahulu hukumnya dengan teliti.

Boleh jadi berita yang engkau dengar dilandasi suatu kaidah ushul yang tidak engkau ketahui, lantas engkau menghukumi bahwa itu keliru, padahal pada kenyataannya hal itu bukan suatu kekeliruan. Lalu bagaimana solusi situasi semacam ini? Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang dinisbatkan sebagai nara sumber berita itu, lalu engkau katakan, "Dinukil dari anda (berita) ini dan itu, apakah ini benar?" Setelah itu engkau berdialog langsung dengannya. Boleh jadi pada awalnya engkau tidak menyukai karena engkau tidak mengetahui sebab penukilannya. Sehingga,

إذا علم السبب بطل العجب

"Jika diketahui sebab, hilanglah keheranan (kebingungan)."

Maka terlebih dahulu harus dilakukan tatsabut (terhadap sumber berita), baru kemudian menghubungi sumber berita itu. Engkau tanyakan kepadanya apakah berita itu benar atau tidak, setelah itu berdiskusi dengan orang itu. Bisa jadi dia yang benar maka engkau bisa merujuk kepadanya atau bisa jadi engkau yang benar sehingga dia bisa merujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan tatsabut. Secara lafadz dua kata ini memiliki kemiripan, namun berbeda dari segi makna.

Tsabat maknanya sabar dan tekun, tidak merasa jemu, tidak gelisah dan tidak mengambil sedikit-sedikit dari setiap kitab atau sepotong-potong dari setiap disiplin ilmu lalu meninggalkannya. Karena hal ini (justru) akan merugikan penuntut ilmu itu sendiri. la menghabiskan waktu tanpa mendapat satu manfaat. Contohnya, sebagian penuntut ilmu membaca pembahasan ilmu nahwu, kadang dia membaca Al-Jurumiyah, kadang membaca kitab Qatrunada, kadang membaca kitab Al-Alfiah. Demikian pula dengan pelajaran Al-Musthalah (ilmu istilah-istilah hadits), sesekali membaca An-Nukhbah, sesekali membaca Al-Alfiah Al-Iraqi.

Demikian pula dalam masalah fiqih, sesekali membaca Zaadul Mustaqni, sesekali membaca Umdatul Fiqih, sesekali membaca Al-Mughni dan sesekali membaca Syarah Al-Muhadzab. Demikian seterusnya pada seluruh kitab (padahal belum ada yang diselesaikan secara tuntas).

Orang tipe ini sering kali tidak akan memperoleh ilmu. Kalaupun memperolehnya, ilmu yang diperoleh adalah ilmu masa'il (yang berkaitan dengan pembahasan masalah/kasus) bukan dalam hal ushul (konsep dasar ilmu). Dan perolehan berbagai permasalahan bagaikan orang yang mengumpulkan belalang satu demi satu.

Jadi, ta'sil (pengambilan konsep dasar ilmu), keteguhan serta kemantapan pada suatu ilmu adalah sesuatu yang penting, lebih mantap dalam hubungannya dengan kitab yang dibaca dan di-muraja'ah. Demikian juga lebih mantap dalam hubungannya dengan para syaikh yang engkau ambil ilmunya.

Janganlah engkau menjadi pencicip ilmu (yang mengambil ilmu sepotong-potong) pada tiap pekan sekali atau sebulan sekali dari seorang syaikh. Tentukan terlebih dahulu syaikh (guru) yang akan engkau timba ilmunya. Setelah engkau mengambil keputusan maka sabar dan tekunilah. Janganlah engkau mengambil syaikh lain pada setiap bulan atau pekan. Sama saja apakah engkau ambil syaikh itu dalam pelajaran fiqih dan terus kontinyu belajar bersamanya dalam pelajaran fiqih, (engkau belajar) dengan syaikh yang lain dalam pelajaran nahwu dan terus bersamanya dalam pelajaran nahwu.

Atau dengan syaikh lainnya dalam pembahasan aqidah dan tauhid dan terus belajar bersamanya. Hal yang penting, hendaknya engkau terus belajar dan jangan hanya menjadi sekedar pencicip (berbagai macam ilmu), seperti halnya seorang lelaki yang hobi cerai. Setiap kali menikahi seorang wanita setelah hidup bersamanya 7 hari, kemudian dia mentalaknya dan pergi mencari wanita lain.

Tatsabut juga merupakan perkara yang penting, sebab terkadang orang yang menukil berita mempunyai kehendak yang tidak baik. Dia menukil suatu berita yang dapat mencemarkan nama baik orang yang diambil beritanya baik dengan sengaja atau dengan tendensi tertentu. Terkadang mereka tidak berniat jahat namun mereka memahaminya dengan sesuatu yang berbeda dengan makna yang diinginkan. Oleh karena itu wajib tatsabut.

Apabila sesuatu yang dinukil tersebut telah tsabit dengan penyebutan sanadnya maka sampailah giliran untuk berdiskusi dengan orang yang menukilkannya sebelum menghukumi pernyataan tersebut, apakah hal itu benar atau tidak. Sebab boleh jadi akan tampak kebenaran bagimu setelah dilakukan diskusi, bahwa kebenaran berada di pihak orang yang dinukil ucapannya.

الأمر الثاني عشر: الحرص على فهم مراد الله تعالى ومراد رسوله صلى الله عليه وسلم

12. Berantusias memahami makna yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.

Masalah pemahaman termasuk perkara penting dalam menuntut ilmu. Maksudnya pemahaman seperti yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Pasalnya banyak orang yang diberi ilmu namun mereka tidak diberi kepahaman.

Tidaklah cukup engkau menghafal Al-Qur'an dan menghafal beberapa hadits Rasulullah yang ringan (dalam menghafal) tanpa dibarengi dengan pemahaman. Maka mau tidak mau engkau harus memahami sesuai dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyak terjadi kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang. Mereka berdalil dengan nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidak dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya sehingga muncul kesesatan.

Di sini saya ingin menegaskan suatu poin penting, yaitu bahwa kesalahan dalam pemahaman boleh jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan kesalahan karena kejahilan (kebodohan). Sebab orang yang berbuat salah lantaran kebodohan dia akan sadar bahwa dia bodoh sehingga dia akan belajar.

Tetapi orang yang pemahamannya salah dia meyakini bahwa dirinya adalah orang pandai yang mencocoki kebenaran. Dia meyakini bahwa inilah yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Kami akan sajikan beberapa contoh agar jelas bagi kila tentang pentingnya pemahaman.

Contoh pertama:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Anbiya' ayat 78-79,

وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ. فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ

"Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya."

Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutamakan Sulaiman di atas Dawud dalam perkara ini karena pemahaman yang beliau miliki.

"Maka kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman." Tetapi tidak ditemukan kekurangan ilmu (yang dimiliki) Dawud.

"Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu."

Perhatikanlah ayat yang mulia ini tatkala Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Sulaiman yaitu berupa pemahaman. Allah juga menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Dawud dalam Firman-Nya, "Dan Kami telah tundukkan gunung-gunung, semua bertasbih kepada Dawud."

Penyebutan tersebut bermaksud agar terwujud keseimbangan (dari segi keistimewaan atau keutamaan) dari tiap Nabi tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hukum dan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya.

Kemudian Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki masing-masing dibanding yang lainnya. Perkara tersebut menunjukkan kepada kita betapa pemahaman memiliki kedudukan yang sangat urgen dan bahwa ilmu bukanlah segalanya.


Contoh kedua:

Apabila engkau memiliki dua bejana, salah satu berisi air hangat sedangkan bejana lain berisi air dingin membeku. Saat itu musim dingin. Lalu datanglah seorang lelaki yang ingin mandi janabat (mandi besar). Ada sebagian orang berkata, yang lebih utama adalah engkau memakai air dingin sebab memakai air dingin terdapat kesulitan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ، قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ

"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?" Mereka berkata, "Mau, ya Rasululluh." Beliau bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."18

Maksudnya adalah menyempurnakan wudhu pada musim dingin. Apabila engkau telah menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama daripada wudhu dengan air hangat, yang sesuai dengan keadaan cuaca.

Seseorang telah berfatwa bahwa menggunakan air dingin lebih utama. Dia berdalil dengan hadits di atas. Apakah kesalahan tersebut terletak pada ilmunya ataukah pada pemahamannya? Jawabannya, kesalahan itu terjadi pada pemahaman karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ

"Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit". Beliau tidak mengatakan, "Engkau pilih air dingin untuk berwudhu." Bedakan kedua ungkapan tersebut. Kalau saja yang diungkapkan dalam hadits tersebut adalah ungkapan kedua, tentunya kita katakan, "Ya, pilihlah air dingin." Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."

Maksudnya, dinginnya air tidak menghalangi seseorang untuk menyempurnakan wudhu. Selanjutnya kita katakan, "Apakah Allah menghendaki kemudahan atau kesulitan bagi hamba-Nya?" Jawabannya terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Al-Baqarah: 185)

Dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

"Sesungguhnya agama itu mudah."19

Saya katakan kepada penuntut ilmu, sesungguhnya perkara pemahaman ini sangat penting. Kita wajib memahami apa yang Allah kehendaki dari para hambanya. Apakah Allah hendak menyulitkan hamba-hamba-Nya dalam pelaksanaan ritual ibadah ataukah Allah menghendaki kemudahan bagi mereka?! Tidak disangsikan lagi bahwa Allah ‘Azza wa jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kita.

Inilah sebagian adab santun dalam menuntut ilmu. Adab-adab Ini seyogyanya bisa memberikan pengaruh bagi ilmu yang dimiliki seorang pelajar sehingga ia menjadi qudwah (teladan) yang baik dan menjadi da'i yang mengajak kepada kebaikan dan bisa menjadi contoh dalam agama Allah ‘Azza wa jalla. Dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan meraih keimaman (kepemimpinan) dalam agama ini. Sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24)



Footnote:

18 HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah Bab: Fadlu Isbaghil Wudhu ‘alal Makarih.

19 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Ad-Dinu Yusrun.

Di Nukil dari eBook Ibnumajjah.com



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 10

Written By Rachmat.M.Flimban on 17 April 2017 | 4/17/2017 03:24:00 PM

10. Memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

الأمر العاشر: التمسك بالكتاب والسنة

10. Memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah.


Para penuntut ilmu wajib untuk mencurahkan perhatian dalam menerima ilmu dan menimba dari sumber-sumbernya. Seorang penuntut ilmu tidak akan sukses jika tidak mengawali dengan sumber-sumber ilmu tersebut. Sumber-sumber tersebut adalah:

Al-Qur'an Al-Karim

Seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an baik dalam membaca, menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Al-Qur'an adalah tali Allah yang kokoh dan merupakan dasar ilmu. Kaum Salafus Shalih benar-benar mencurahkan perhatian yang maksimal kepada Al-Qur'an ini. Disebutkan perkara-perkara yang menakjubkan tentang antusias (mereka) pada Al-Qur'an.

Engkau dapati salah seorang dari mereka telah hafal Al-Qur'an padahal usia mereka masih tujuh tahun. Sebagian mereka hafal Al-Qur'an dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Contoh-contoh tersebut menunjukkan besarnya antusias mereka terhadap Al-Qur'an. Maka seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya pada Al-Qur'an, menghafalnya dengan dibimbing seorang pengajar, karena Al-Qur'an diambil dari jalan talaqqiy (mengambil ilmu langsung dari seorang guru).

Di antara hal-hal yang sangat disayangkan, terkadang kila menjumpai sebagian penuntut ilmu tidak menghafal Al-Qur'an. Bahkan sebagian mereka tidak baik (lancar) dalam membacanya. Fenomena ini merupakan kesaiahan fatal pada metode pembelajaran. Oleh karenanya saya kembali mengingatkan bahwa para penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur'an, mengamalkan, mendakwahkan dan memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.

Hadits Shahih

Hadits Shahih merupakan sumber kedua dalam syari'at Islam dan merupakan penjabar Al-Qur'an Al-Karim. Seorang penuntut ilmu wajib menghimpun kedua hal tersebut dan mencurahkan perhatian kepada keduanya. Ia wajib menghafal hadits baik teks-teksnya maupun mempelajari sanad, matan-matan, dan memilah (memisahkan) antara hadits shahih dan hadits dha'if (lemah).

Demikian pula memelihara hadits dilakukan dengan cara membela dan membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan para ahli bid'ah sekitar hadits Nabi. Penuntut ilmu wajib memegang leguh Al-Qur'an dan hadits shahih. Bagi penuntut ilmu keduanya bagaikan dua sayap burung, jika salah satu sayap patah maka burung tersebut tidak bisa terbang. Oleh karena itu janganlah engkau hanya mencurahkan perhatian pada hadits (semata) namun lalai terhadap Al-Qur'an atau sebaliknya engkau mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an tapi melalaikan hadits.

Banyak di kalangan penuntut ilmu yang mencurahkan perhatiannya pada hadits beserta syarh-syarh (penjelasan), para perawi (orang-orang yang meriwayatkan hadits), dan musthalah-musthalah-nya dengan perhatian yang sempurna.

Namun jika engkau tanyakan kepadanya tentang satu ayat Al-Qur'an maka engkau akan lihat penuntut ilmu itu tidak mengetahuinya. Ini merupakan kesalahan yang besar (fatal). Al-Qur'an dan Al-Hadits harus menjadi dua sayap bagimu, wahai penuntut ilmu.

Yang penting (juga) adalah ucapan ulama.

Engkau jangan meremehkan ucapan ulama serta mengabaikannya. Sebab kedalaman ilmu mereka jauh di atasmu. Mereka memiliki kaidah-kaidah syari'at, seluk-beluknya serta garis-garis ketentuan yang tidak engkau miliki.

Oleh karena itu ulama-ulama besar yang benar-benar ahli di bidangnya, apabila mereka mempunyai pendapat yang mereka anggap unggul (kuat) mereka mengatakan,

إن كان أحد قال به وإلا فلا نقول به

"Jika ada orang yang mengucapkannya (maka kami akan mengucapkan) dan jika tidak maka kami tidak akan mengucapkannya."

Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan kedalaman ilmu dan keluasan pentelaahan beliau, apabila mengucapkan suatu perkataan yang tidak beliau ketahui orang yang mengucapkannya maka beliau berkata,

أنا أقول به إن كان قد قيل به

"Saya mengucapkan itu jika ucapan itu sudah pemah ada yang mengucapkan."

Beliau tidak mengambil (pendapat) dengan ra'yu (akal)-nya. Oleh karena itu seorang penuntut ilmu wajib merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dengan dibimbing para ulama. Merujuk kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dilakukan dengan menghafal, mempelajari, dan mengamalkan isi kandungannya.

Allah ‘Azza wa jalla berfirman,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ

"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berfikir." (Shaad: 29)

"Supaya mereka memperhatikan ayat-ayat." Yaitu merenungi ayat-ayat tersebut yang mengantarkan pada pemahaman maknanya.

"Dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berpikir." Yaitu mendapatkan pelajaran (tadzakur) berupa beramal dengan Al-Qur'an tersebut. Dengan hikmah inilah Al-Qur'an turun.

Jika Al-Qur'an turun untuk hikmah tersebut maka kita hendaknya merujuk kepada Al-Qur'an agar bisa mempelajari kandungannya, mengetahui makna-maknanya setelah itu merealisasikan ajaran yang dibawa. Demi Allah, sungguh pada Al-Qur'an terdapat kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat kelak.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

"Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 123-124)

Oleh karena itu kita tidak mendapati satu orang pun yang lebih senang kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tentram hatinya dibandingkan seorang mukmin meskipun ia miskin. Orang mukmin adalah orang yang paling bahagia, tenang dan lapang dadanya. Bacalah jika kalian mau firman Allah subhanahu wa ta’ala,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)

Apakah kehidupan yang baik itu? Jawabannya: Kehidupan yang baik adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, meskipun keadaan seseorang sangat kekurangan. Dia merasakan ketenangan dalam jiwa dan lapang dadanya. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya baik, tidaklah hal itu didapati kecuali oleh seorang mukmin, jika tertimpa musibah ia bersabar, hal itu baik baginya dan jika ia merasakan kesenangan ia bersyukur, itupun baik baginya."16

Jika orang kafir tertimpa musibah apakah ia bersabar? Jawabannya: Tidak! Dia akan sedih dan dunia terasa sempit baginya. Bisa jadi ia akan bunuh diri. Orang mukmin akan bersabar dan menikmati lezatnya kesabaran, yaitu kelapangan dan ketenangan. Oleh karena itu ia merasakan kehidupan yang baik. Maka yang dimaksudkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

"Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (An-Nahl: 97); Yakni kehidupan yang baik dalam hati dan jiwa.

Sebagian ahli sejarah menceritakan kehidupan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau adalah seorang Qadhi Mesir pada zamannya. Apabila beliau berangkat ke tempat kerja, beliau mengendarai kereta yang ditarik beberapa ekor kuda atau bighal (peranakan kuda dengan keledai) dalam suatu iring-iringan. Suatu hari beliau melintasi seorang lelaki Yahudi penjual minyak di Mesir (seorang penjual minyak biasanya berbaju kotor). Datanglah lelaki Yahudi itu lalu menghentikan iring-iringan tersebut. Dia berkata kepada Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, "Sesungguhnya Nabi kalian bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir."17

Anda adalah Qadhi bagi para Qadhi di Mesir. Anda berada dalam iring-iringan, di dalam kesenangan, sedangkan saya - yaitu seorang Yahudi - dalam keadaan tersiksa dan sengsara seperti ini."

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Saya dengan kemewahan dan kesenangan yang saya rasakan sekarang ini tergolong penjara apabila dibandingkan dengan kesenangan surga. Sedangkan engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan sekarang ini tergolong surga bila dibandingkan adzab neraka."

Lantas orang Yahudi tersebut mengucapkan "Asyhadu an laa Ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq untuk diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), akhirnya ia masuk Islam.

Orang mukmin dalam kebaikan bagaimanapun keadaannya, dialah yang bisa meraup keuntungan di dunia dan akhirat kelak. Sedangkan orang kafir berada dalam keburukan dan dialah yang mendapat kerugian di dunia ini dan di akhirat kelak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ. إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (Al-'Ashr: 1-3)

Orang-orang kafir dan orang-orang yang mengabaikan agama Allah serta orang-orang yang binasa dalam kesenangan dan kemewahan, meskipun mereka membangun dan memancang istana dengan harta benda dunia yang berkilauan, pada hakikatnya mereka berada dalam neraka.

Sampai sebagian kaum Salaf berkata,

لو يعلم الملوك وأبناء الملوك ما نحن فيه لجالدونا عليه بالسيوف

"Andai saja para raja dan anak-anak raja mengetahui kesenangan yang kita rasakan, niscaya mereka akan menyerang kita dengan pedang mereka.

Adapun orang mukmin hidup senang dengan bermunajat kepada Allah dan mengingat-Nya. Mereka meyakini ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Jika mereka ditimpa musibah, mereka bersabar dan jika mereka memperoleh kesenangan mereka bersyukur Mereka berada dalam puncak kebahagiaan. Beda halnya dengan orang-orang yang tamak pada dunia, keadaan mereka seperti digambarkan Allah dalam firman Nya,

فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

"Jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya dengan serta merta mereka menjadi marah." (At-Taubah: 58)

Adapun merujuk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah tsabit di hadapan kita -Alhamdulillah- tetap terjaga. Para ulama memaparkan hadits beliau dengan menjelaskan pula hadits-hadits yang didustakan atas nama beliau. Alhamdulillah, Sunnah tetap terang dan terpelihara. Siapapun bisa mengakses hadits Nabi, seperti dengan muraja'ah jika itu memungkinkan. Jika tidak maka dengan bertanya kepada para ulama. Apabila ada orang bertanya,

"Bagaimana caranya anda bisa memadukan antara ucapan yang anda katakan tadi dengan merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam padahal kita temui sebagian orang mengikuti kitab-kitab yang disusun dalam berbagai madzhab seraya mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B, saya bermadzhab C!!!" Sampai anda berfatwa kepada seseorang lantas anda katakan kepadanya, "Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda demikian." Lalu dia berkata, "Saya bermadzhab Hanafi, saya Maliki, saya Hanbali……” Atau dengan ungkapan yang serupa."

Jawabannya, "Kita katakan kepada mereka: Kita semua mengucapkan "Asyhadu Anlaa ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Lalu apa makna syahadat "Muhammadan Rasulullah?" Para ulama menyatakan bahwa makna syahadat tersebut adalah mentaati apa yang beliau perintahkan, membenarkan apa yang beliau beritakan dan menjauhkan diri dari apa yang beliau cegah dan larang serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syari'atkan,"

Jika ada orang yang mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B, saya bermadzhab C," Maka kita katakan kepada orang tersebut, "Ini sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah engkau membantahnya dengan ucapan siapapun."

Para imam madzhab juga melarang taqlid murni kepada mereka. Mereka berkata, "Kapanpun kebenaran tampak maka wajib rujuk kepadanya."

Setelah itu kita katakan kepada orang yang membantah kita dengan madzhab A dan B, "Kami dan anda bersyahadat bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Konsekuensi syahadat ini agar kita mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja."

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan kita jelas dan terang tapi saya tidak bermaksud dengan ungkapan ini untuk meremehkan arti penting merujuk pada kitab-kitab ahli fiqih dan kitab-kitab ulama lainnya. Bahkan (sebaliknya), merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat dari mereka. Dan untuk mengenal metode mereka dalam ber-istinbat terhadap hukum-hukum syari'at dari dalil-dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin tercapai melainkan dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena kita dapati orang-orang yang tidak mendalami ilmu melalui didikan para ulama, mereka terjerumus ke dalam banyak ketergelinciran sehingga memandang suatu masalah dengan pandangan yang sempit dari apa yang selayaknya mereka telaah. Mereka mengkaji -sebagai contoh- Shahih Al-Bukhari lalu mereka berpendapat dengan hadits-hadits yang termaktub di dalamnya padahal dalam hadits-hadits tersebut terdapat hukum yang sifatnya umum dan khusus, mutlak (tidak terikat) dan muqayyad (terikat) dan apa yang telah di-mansukh (dicabut pemberlakuannya). Tapi mereka tidak mendapatkan petunjuk untuk mendapatkan hal tersebut. Maka terjadilah kesesatan yang besar.


Footnote:

16 HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud Bab: Al-mu’minu Amruhu kulluhu Khairun.

17 HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud.

Di Nukil dari eBook Ibnumajjah.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hadits, Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-2

Written By Rachmat.M.Flimban on 31 Maret 2017 | 3/31/2017 04:22:00 PM

Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-2
(Mana Yang Paling Shahih Antara Sunan Abi Daud Dan Sunan an-Nasa`iy)

TANYA: Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy?
JAWAB:
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi.
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia (Sunan an-Nasa`iy) yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ (palsu) dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy.
Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba (artinya, ringkasan, intisari-red.,) dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus (mengesankan) daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut (sehingga dinamai al-Mujtaba-red.,) atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah.
Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud.
Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy.
Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if (masih fity-fifty). Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya.
Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus (mengesankan) atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini.
SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, Juz.I, h.106-107)
Sumber Artikel; Alsofwah.or.id
Disalin dari; eBook - pakdenono.com
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hadits,Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-1

Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-1
Mukaddimah
Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kirannya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami.

(1)-TANYA: Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits?
JAWAB:
1. Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia
2. Karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka (selain Abu Hanifah) dikenal sebagai ahli hadits.
Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan.
Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.5)
(2)- TANYA: Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” ([Fulan] telah menceritakan kepada kami) dan “Akhbarana” ([Fulan] telah memberitahukan kepada kami)?
JAWAB: Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh). Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut.
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, ‘Akhbarana” ([Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, ‘telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.61-62)
Sumber Artikel; alsofwah.or.id, Situs Dakwah & Informasi Islam
Dikutip dari eBook, pakdenono.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama

Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Januari 2017 | 1/29/2017 03:49:00 AM

Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari agamanya, apapun profesinya. Karena Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)

By Muhammad Saifudin Hakim 8 November 2013

Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk meraihnya.

Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun mungkin tidak. Apalagi sampai mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk meraihnya. Tulisan ini kami maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan para pembaca bahwa menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas setiap diri kita, apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.

Kewajiban Menuntut Ilmu Agama

Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.

Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض

“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)

Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14)

Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita Pelajari?

Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib, maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama? Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang dalam ilmu agama, seperti ilmu jarh wa ta’dil sehingga kita mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu semacam itu wajib dipelajari sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah Ta’ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.

Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:

Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

ö قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)

Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.

Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)

Dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak hanya diwajibkan kepada ustadz atau ulama. Demikian pula kewajiban berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan, tidak hanya dikhususkan bagi para ustadz atau para da’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan tidak diragukan lagi, bahwa untuk berdakwah sangat membutuhkan dan harus disertai dengan ilmu. Bisa jadi, karena kondisi sebagian orang, mereka tidak terjangkau oleh dakwah para ustadz. Sebagai contoh, betapa banyak saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan mereka meninggalkan kewajiban shalat? Di sinilah peran penting tenaga kesehatan, baik itu dokter, perawat, atau ahli gizi yang merawat mereka, untuk menasihati dan mengajarkan cara bersuci dan shalat ketika sakit. Demikian pula seseorang yang berprofesi sebagai sopir, hendaknya mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap menunaikan shalat meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan bekal ilmu agama yang memadai.

Terahir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah Ta’ala,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Artikel Majalah Muslim.Or.Id

Dikutib dari Sumber: muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger