Latest Post
Tampilkan postingan dengan label tawasul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tawasul. Tampilkan semua postingan

Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu

Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Mei 2017 | 5/14/2017 06:00:00 AM

Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu
Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.

Hadits Pertama

“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).

Al’ Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 127).

Hadits Kedua

“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).

Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, “Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits:

“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur.”

Dan hadits,

“áæ ÃÍÓä ÃÍÏßã Ùäå ÈÍÌÑ äÝÚå”

“Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” (Ighatsatul Lahfaan (1/243)).

Hadits Ketiga

Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu ‘anhu wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:

“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang.”

Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).

Hadits Keempat

Dari Abu Sa’id Al Khudry secara marfu’:

Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo’a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya’ dan sum’ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000 malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha’ifkan Al Allamah Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal. 99).

Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perkataan, ‘Aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu’, diriwayatkan oleh Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo’a kepada Allah adalah Allah kabulkan do’a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada Allah adalah Allah memberikan pahala padanya. Hak ini Dia tetapkan atas diri-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186)

Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya, sehingga persis do’a berikut ini:

“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau.” (QS. Ali Imran: 194)

Dan seperti do’a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut.” (Majmu’ Fatawaa (1/369)).

Al ‘Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya, sesungguhnya hadits ini dha’if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat kedha’ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha’ifkan oleh Al Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu gampang dalam menilai hadits).” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah (1/38) nomor 24).

Hadits Kelima

Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu’:

Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan tetapi Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan hadits ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri tidak diketahui jati dirinya.”)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).

Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).


Hadits Keenam

Dari Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:

“Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan) orang-orang melarat dari kaum Muhajirin.” (Diriwayatkan Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/269 dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya 2/26; Dalam Al Isti’ab 1/38, Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurutku tidaklah benar kalau Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga hadits di atas adalah hadits yang mursal.” Al Hafizh dalam Al Ishobah 1/133 berkata, “Umayyah bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang kuat.” Al Albani dalam At Tawassul hal. 111 mengatakan, “Pokok permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah hadits mursal dha’if.”)

Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).

Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)

Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.


Hadits Ketujuh

Dari Abdullah ibn Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,

“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian.” (Diriwayatkan oleh An Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at 2/404).

Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at 2/404-406).

-bersambung insya Allah-

***

Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi

Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)

Murajaah: Ust. Aris Munandar

Smber Artikel ; Muslim.or.id

Aqidah, Hadits, Hadits Lemah dan Palsu, Syirik


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang

Ini Dalilnya (17): Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang Tawassul Para Sahabat

Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam pembahasan ini,

Novel kembali memakai cara lamanya dalam berdalil…

lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah …

By Sufyan Basweidan, 6 December 2011




Tawassul Para Sahabat Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam pembahasan ini, Novel kembali memakai cara lamanya dalam berdalil… lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah ke permasalahan. Hadits tersebut terkenal dengan istilah “hadietsul a’ma” (haditsnya Si orang buta). Novel mengatakan (hal 122-123): Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:

 اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.

Terjemahannya (versi Novel): “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Novel mengatakan (hal 123): “Saudaraku, dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya sejumlah sahabat menggunakan tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan ‘Utsman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. ‘Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di Masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina ‘Utsman”. Kemudian Novel menukil doa yang dimaksud.[1]

Jawabnya, cerita yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani di atas adalah dha’if [2], berikut ini penjelasan Syaikh Al Albani setelah mentahkhrij hadits tersebut, beliau mengatakan: “Kesimpulannya, kisah ini dhaif dan munkar karena tiga hal: pertama, lemahnya hafalan perawi yang sendirian meriwayatkan cerita ini[3]; Kedua, adanya kontroversi matan hadits dari jalur perawi tersebut[4] dan ketiga, perawi tersebut menyelisihi perawi lainnya yang lebih tsiqah, yang tidak meriwayatkan cerita tersebut. Satu saja dari tiga hal di atas sudah cukup menjadikan hadits ini dha’if, lantas bagaimana jika ketiga-tiganya ada semua??[5]

Sedangkan dalil lain yang disebutkan Novel adalah kisah orang Badui yang datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … dst[6]. Menggelikan memang cara Novel berdalil, dan sekaligus memprihatinkan, sejak kapan mimpi jadi dalil dalam agama? Ini hanya ada dalam kamus orang-orang Sufi, tak ada dalil, mimpi pun jadi!

Dengan demikian, kedua hadits yang disebutkan oleh Novel tidak ada yang sah dijadikan dalil.

Tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas

Kali ini, Novel menggunakan dalil tipe kedua yang pernah saya singgung sebelumnya. Yaitu hadits shahih yang tidak sharih, alias tidak berkaitan dengan topik yang dibahas. Ia mengatakan (hal 125-126):

“Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:

اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka semua.

Di atas disebutkan dengan jelas bahwa Sayidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayidina ‘Umar bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tunanetra di masa pemerintahan Sayidina ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu”.

Saya katakan, justru pendapatmu lah yang tidak benar hai Novel. Karena dalil-dalil yang kau gunakan dha’if semua, bahkan sangat dha’if dan palsu.

Kemudian Novel mengatakan (hal 126): “Lalu apa maksud tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan mencontohkan kepada semua sahabat, bahwa tawassul dengan selain Nabi adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah karena kedekatan beliau radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sayidina ‘Abbas merupakan paman Rasulullah, ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Saya katakan, ini bukti kacaunya pemahaman Novel tentang tawassul. Ia tidak bisa membedakan antara tawassul yang dibolehkan dengan tawassul yang dilarang. Sebelum menjawab syubhat ini, saya harus menjelaskan kriteria tawassul yang dibolehkan dengan yang dilarang secara ringkas sebagai berikut;

Pertama: 1 tawasssul yang dibolehkan

Tawassul ini berupa satu dari tiga hal:

Pertama: Tawassul dengan Asma’ul Husna, yakni kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya. Atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau nama-nama lainnya yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا… [الأعراف/180]

“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).

Kedua: Tawassul dengan amal shaleh kita, bukan dengan amalan orang lain. Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah.[7]

Ketiga: Tawassul dengan minta doa dari orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita. Dalilnya adalah kisah Si tunanetra yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma[8], demikian pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta agar Rasulullah berdoa kepada Allah supaya turun hujan, dst[9]. Demikian pula tawassul Umar dengan ‘Abbas di atas.

Anda mungkin bertanya: ‘mengapa disyaratkan bahwa orang tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang disebutkan oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul Umar dengan Abbas, haditsul a’ma dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir. Kalaulah kehadiran orang tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capai-capai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Demikian pula dengan Si Arab badui.

Kedua: 2 Tawassul yang dilarang

Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang tidak ada dalilnya[10]. Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah haram kecuali jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak ada perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang melarangnya. Inilah aturan baku yang hendak dibalik oleh Novel dalam bukunya.

Contohnya: tawassul dengan jaah (kehormatan) Nabi, dengan berkat Imam Syafi’i, dan sejenisnya. Demikian pula tawassul dengan orang yang sudah mati, atau yang tidak hadir.

Bila masalah ini telah kita fahami, maka ketahuilah bahwa tawassul-nya Sayidina ‘Umar dengan Sayidina ‘Abbas, sama sekali berbeda dengan apa yang difahami oleh Novel. Makna hadits di atas ialah bahwa Umar dan para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta agar beliau mendoakan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta doa darinya.

Cobalah Saudara renungkan, ketika paceklik melanda, kiranya apakah para sahabat duduk di rumah mereka masing-masing kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan Nabi-Mu Muhammad dan segala kehormatannya di sisi-Mu, berilah kami hujan…”, atau mereka mendatangi diri Rasulullah, lalu minta doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan? Kemudian setelah beliau wafat, Umar dan para sahabat tidak lagi minta atau mendatangi kuburan Rasulullah untuk minta doa. Mengapa? Karena mereka semua orang berakal yang paham terhadap makna tawassul. Mereka tahu bahwa Rasulullah yang dahulu merupakan manusia paling manjur doanya saat beliau hidup, kini sudah wafat dan tidak bisa lagi memberi manfaat apa pun kepada mereka. Kalaulah para sahabat memahami makna tawassul seperti yang dipahami oleh Novel, lantas mengapa mereka tidak mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta doa dari beliau? Bukankah beliau jauh lebih afdhal dari pada ‘Abbas?

Novel dan siapa pun yang mengikutinya tidak akan bisa mendatangkan satu dalil pun yang shahih dan sharih (gamblang), yang menjelaskan bahwa cara tawassul yang dipraktikkan Umar dan para sahabatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada Abbas ialah dengan sekedar menyebut nama mereka dalam berdoa. Sebaliknya, demikian banyak dalil-dalil yang menjelaskan bahwa tawassul yang mereka lakukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun Abbas ialah dengan mendatangi keduanya, lalu meminta keduanya untuk berdoa kepada Allah. Di antara dalilnya ialah kisah Arab badui yang telah disinggung di atas.

Apa yang kami jelaskan ini adalah makna tawassul yang terjadi dalam kehidupan orang sehari-hari. Sebab makna tawassul secara bahasa ialah menggunakan wasilah atau perantara untuk mencapai sesuatu[11]. Misalnya ketika seorang pegawai memiliki hajat tertentu dari bosnya, dia akan mencari orang yang dikenal baik oleh bosnya untuk menghadap bos tersebut dan menyampaikan keinginannya. Kemudian perantara ini menyampaikan keinginan si pegawai kepada bosnya, baru setelah itu si Bos mengabulkan hajat si pegawai. Bukan berarti si pegawai menyebut-nyebut nama kenalan baik si bos tadi di hadapan bosnya. Demikian pula yang terjadi ketika Sayidina Umar dan para sahabat ber-tawassul dengan Abbas, maknanya ialah mendatangi ‘Abbas lalu minta doa darinya.

-bersambung insya Allah-


[1] Berhubung pembahasannya cukup panjang, kami tidak menukilkannya di sini tapi kami scan halaman yang dimaksud dalam lampiran, yaitu hal 123-125 pada buku.

[2] Yaitu cerita laki-laki yang mengunjungi Utsman bin Affan, dst. Sedangkan cerita orang buta yang minta didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits shahih.

[3] Yaitu Syabib bin Sa’id Al Makky.

[4] Artinya, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits si orang buta tersebut dari jalur perawi ini, akan tetapi sebagiannya tidak menyebutkan kisah yang disebutkan oleh Ath Thabrani di atas.

[5] Lihat: At Tawassul hal 88, tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.

[6] Silakan saudara baca sendiri dalil yang menggelikan ini dalam Mana Dalilnya 1, hal 88-89.

[7] Lihat redaksi hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.

[8] HR. Tirmidzi no 3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.

[9] HR. Bukhari no 967 & 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu.

[10] Sekali lagi, yang dimaksud dalil di sini adalah dalil yang shahih dan sharih, alias sah dan jelas. Bukan hadits palsu, kisah-kisah, mimpi, dan qiyas yang kacau. Bukan pula hadits shahih yang dipelintar pelintir maknanya kesana kemari, atau diambil sepotong-sepotong.

[11] Lihat: lisaanul ‘Arab, pada kata: wa-sa-la (وسل).


Sumber Artikel: Muslim.or.id, Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

Kategori; Aqidah, Aqidah,mana dalilnya 1?,Syirik,tawassul,ustadz


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Tawasul Syar’i vs Tawasul Syirik

Written By Rachmat.M.Flimban on 08 April 2017 | 4/08/2017 12:55:00 AM

Tawasul Syar’i vs Tawasul Syirik
Tawasul yang Diperbolehkan
By dr. Adika Mianoki 13 January 2011

Tawasul artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk rasul-Nya, dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Atau dengan kata lain seseorang melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Namun, sebagian kaum muslimin salah dalam memahami tawasul. Mereka bertawasul dengan orang-orang shalih dan wali yang sudah mati. Inilah yang mereka anggap sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Padahal hal tersebut dapat menjerumuskan mereka ke lembah kesyirikan.
Tawasul yang Diperbolehkan
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu diketahui bahwa tawasul dibagi menjadi dua yaitu tawasul syar’i dan tawasul bid’i. Tawasul syar’i adalah tawasul yang ditetapkan oleh syariat, yakni yang memiliki dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi. Maksudnya mengambil wasilah (perantara) untuk terkabulnya doa, yakni seseorang yang berdoa mengambil sebab-sebab yang dapat menjadikan terkabulnya doa. Sedangkan tawasul bid’i adalah tawasul yang tidak terdapat dalil yang membolehkannya, bahkan di antaranya merupakan perbuatan kesyirikan. Jenis tawasul syar’i yaitu:
Pertama:
Bertawasul dengan zat Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. Al A’raf:180). Dalilnya juga adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “… Aku memohon dengan setiap nama-Mu, yang Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…” (H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199).
Kedua:
Bertawasul dengan amal shalih. Bertawasul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al Baqarah:127). Adapun dalil dari hadits yakni dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal sholih.
Ketiga:
Bertawasul dengan doa orang lain. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam (yang artinya), “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)“.(QS. Yusuf:97). Sedangkan dalil dari hadits adalah doa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Ukasyah bin Mihson radhiyallhu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menjadikan ‘Ukasyah termasuk tujuh puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.
Para Sahabat Bertawasul dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam
Semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, di antara para sahabat ada yang bertawasul dengan beliau. Seorang arab badui pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat beliau sedang berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau. Demikian pula yang dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawasul lewat perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang perlu diingat, yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, ketika di masa khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk meminta hujan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tiada. Namun ‘Umar meminta kepada ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami” (H.R Bukhori). Akhirnya, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui perantaraan do’a Abbas.
Bertawasul dengan Doa, Bukan Dengan Zat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun yang dimaksud tawasul dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bertawasul dengan doa dan syafaat Nabi”. Beliau melanjutkan lagi, “ Adapun tawasul dengan doa dan syafaat sebagaimana yang dilakukan ‘Umar adalah bertawasul dengan doa, bukan bertawasul dengan zat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu merupakan tawasul dengan zat beliau, maka tentu bertawasul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada dengan ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu. Ketika mereka berpaling dari bertawasul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka bertawasul dengan ‘Abbas, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawasul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berlaku ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya beliau.” Maka nyatalah kebatilan perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawasul dengan zat dan kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.
Tawasul Terlarang
Tawasul yang terlarang adalah tawasul yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Quran (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” (QS. Az Zumar:3). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS. Yunus:18). Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyembah selain Allah sebagai perantara, mendekatkan mereka kepada Allah dan memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.
Bertawasul dengan Kedudukan Orang Shalih
Sebagian orang melakukan tawasul dengan jah (kedudukan) orang shalih yang sudah meninggal. Mereka mengatakan, “Demi kehormatan Nabi-Mu atau demi kehormatan wali fulan…”. Tawasul yang demikian ini terlarang, ditinjau dari dua sisi. Pertama, berarti dia telah bersumpah dengan selain Allah, sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah haram, bahkan termasuk syirik yaitu syirik asghar (syirik kecil). Kedua, orang itu berarti mempunyai keyakinan bahwa seseorang memiliki hak atas diri Allah. Padahal seseorang itu tidaklah memiliki hak selain yang telah Allah anugerahkan kepadanya.
Pembaca yang dirahmati Allah, inilah beberapa fenomena tawasul yang tersebar di masyarakat. Sebagiannya salah dalam memahami dan mengamalkan tawasul sehingga terjerumus dalam keharaman, bahkan kesyirikan. Wallahul musta’an.
[Diringkas dengan sedikit perubahan dan tambahan dari Kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 215-222 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, cetakan pertama 1428/2007]
Sumber Artikel Muslim.or.id
Aqidah - Bid'ah - syar'i - Syirik - tawasul
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger