Latest Post
Tampilkan postingan dengan label tazkiyatun-nufus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tazkiyatun-nufus. Tampilkan semua postingan

Masuk Surga Bersama Keluarga

Written By Rachmat.M.Flimban on 24 Februari 2018 | 2/24/2018 11:46:00 PM

Tazkiyatun Nufus

Masuk Surga Bersama Keluarga

dr. Raehanul Bahraen


Berkumpul bersama keluarga adalah salah satu dari kenikmatan dunia. Siapa
yang tidak bahagia dan gembira ketika berkumpul bersama keluarga. Momen bahagia yang tidak bisa digambarkan dan tidak bisa tergantikan dengan kawan atau pun sahabat.

Kita lihat contoh fenomena di Indonesia, ketika momen lebaran idul fitri,
kaum muslimin berusaha agar berkumpul bersama keluarga dengan segala upaya.
Misalnya menebus harga tiket yang mahal, perjalanan yang jauh, macet dan
melelahkan serta halangan dan rintangan lainnya ketika safar untuk pulang
kampung. Semuanya ini dilakukan untuk bisa berkumpul bersama keluarga dan
berbahagia bersama.

Perlu diketahui bahwa semua kenikmataan dan kebahagiaan yang diinginkan oleh
manusia di dunia, akan ada di surga kelak.

Allah berfirman,

ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺗَﺸْﺘَﻬِﻲ ﺃَﻧْﻔُﺴُﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺗَﺪَّﻋُﻮﻥ

“Di dalam surga kamu memperoleh apa (segala kenikmatan) yang kamu inginkan
dan memperoleh (pula) di dalamnya apa (segala kenikmatan) yang kamu minta.” (Q.S.
Fushshilat: 31)

Kesamaan tersebut hanya ada pada nama, akan tetapi kenikmatannya tentu
berbeda, jauh lebih nikmat di surga.

Tentunya kenikmatan berupa berkumpul dan masuk surga bersama keluarga, juga
telah disediakan oleh Allah.

Allah berfirman,

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ
وَذُرِّيَّاتِهِمْ

“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh
dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.” (QS. Ar-Ra‘du: 23)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini bahwa Allah akan
mengumpulkan seseorang bersama keluarganya, orang tua, istri dan anak-cucunya di
surga. Ini adalah dalil satu keluarga bisa masuk surga bersama. Beliau berkata,

يجمع بينهم وبين أحبابهم فيها من الآباء والأهلين والأبناء ، ممن هو صالح لدخول
الجنة من المؤمنين; لتقر أعينهم بهم ، حتى إنه ترفع درجة الأدنى إلى درجة الأعلى ،
من غير تنقيص لذلك الأعلى عن درجته

“Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam
surga yaitu orang tua, istri dan anak keturunan mereka yang mukmin dan layak
masuk surga. Sampai-sampai, Allah mengangkat derajat yang rendah menjadi tinggi
tanpa mengurangi derajat keluarga yang tinggi (agar berkumpul di dalam surga
yang sama derajatnya, pent).”[1]

Orang tua dan anak saling tarik-menarik ke surga dengan memberi syafaat

Fasilitas yang Allah sediakan agar keluarga bisa masuk surga bersama yaitu
mereka akan saling tarik-menarik agar bisa masuk surga dan berada di dalam surga
yang tingkatnya sama. Hal ini Allah anugrahkan agar mereka bisa berkumpul
bersama. Bisa jadi sang anak berada di surga tertinggi, sedangkan orang tua
berada di surga terendah, maka sang anak mengangkat derajat orang tuanya ke
surga yang lebih atas, demikian juga sebaliknya.

Anak bisa mengangkat derajat orang tua mereka, hal ini telah diketahui oleh
kaum muslimin dengan banyak dalil.

Misalnya anak sebagai amal jariyah yang terus mendoakan orang tuanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan doa anak yang
shalih”[2]

Demikian juga derajat orang tua naik karena istigfar anaknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: أَنَّى هَذَا؟
فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguhnya seseorang benar-benar diangkat derajatnya di surga lalu dia pun
bertanya, ‘Dari mana ini?’ Dijawab, ‘Karena istigfar anakmu untukmu.’[3]

Orang tua pun bisa menarik anaknya ke tingkatan surga yang lebih tinggi.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا
بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya.” (QS. Ath Thuur: 21)

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan,

{ألحقنا بهم ذرياتهم} المذكورين في الجنة فيكونون في درجتهم وإن لم يعملوا تكرمة
للآباء باجتماع الأولاد إليهم

“Maksud dari ‘Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka’ yaitu, anak-cucu
mereka kelak di surga, sehingga jadilah anak-cucu mereka sama derajatnya dengan
mereka walaupun anak-cucu mereka tidak beramal seperti mereka, sebagai
penghormatan terhadap bapak-bapak mereka agar bisa berkumpul dengan anak-cucu
mereka (di surga kelak).”[4]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy menafsirkan,

ذريتهم الذين اتبعوهم بإيمان أي: الذين لحقوهم بالإيمان الصادر من آبائهم، فصارت
الذرية تبعا لهم بالإيمان، ومن باب أولى إذا تبعتهم ذريتهم بإيمانهم الصادر منهم
أنفسهم، فهؤلاء المذكورون، يلحقهم الله بمنازل آبائهم في الجنة وإن لم يبلغوها،
جزاء لآبائهم، وزيادة في ثوابهم، ومع ذلك، لا ينقص الله الآباء من أعمالهم شيئا

“Keturunan yang mengikuti mereka dalam keimanan maksudnya adalah mereka
mengikuti keimanan yang muncul dari orang tua atau kakek-buyut mereka. Lebih
utama lagi jika keimanan muncul dari diri anak-keturunan itu sendiri. Allah akan
mengikutsertakan mereka dalam kedudukan orang tua atau kakek-buyut mereka di
surga walaupun mereka sebenarnya tidak mencapainya (kedudukan anak lebih rendah
dari orang tua –pent), sebagai balasan bagi orang tua mereka dan tambahan bagi
pahala mereka. Akan tetapi Allah tidak mengurangi pahala orang tua mereka
sedikitpun.”[5]

Semoga kita semua bisa masuk surga bersama keluarga yang kita cintai.

 

Artikel: Muslim.or.id


Catatan kaki:


[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir

[2] HR. Muslim no. 1631

[3] Sunan Ibnu Majah no. 3660, dinilai hasan oleh Al-Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad]

[4] Tafsir Jalalain hal. 535, Darus Salam, Riyadh, cet.II, 1422 H

[5] Taisir Karimir Rahman hal 780, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet.I, 1424 H


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ilmu Tidak Didapatkan dengan Tubuh yang Santai

Written By Rachmat.M.Flimban on 21 Februari 2018 | 2/21/2018 10:05:00 AM

TAZKIYATUN NUFUS

Ilmu Tidak Didapatkan dengan Tubuh yang Santai

dr. Raehanul Bahraen


Semua manusia sepakat bahwa ilmu sangat penting bagi manusia. Baik ilmu dunia maupun ilmu agama, karena ilmu bisa meningkatkan derajat manusia.

Allah berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [Al-Mujadilah : 11]

Karena ilmu ini yang bisa mengarahkan orang untuk beramal dengan amal yang benar. Jika tidak berilmu, bagaimana ia bisa beramal? Ath-habari rahimahullahu berkata,

ويرفع الله الذين أوتوا العلم من أهل الإيمان على المؤمنين، الذين لم يؤتوا العلم بفضل علمهم درجات، إذا عملوا بما أمروا به

“Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka, jika mereka mengamalkan ilmu tersebut.”[1]

Salah satu keutamaan ilmu juga sebagimana dalam ayat berikut.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allâh amat cepat hisab-Nya.” [Al-Maidah/5:4].

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa anjing yang “berilmu/terlatih” (kalbun mu’allam/anjing terlatih) dihalalkan buruannya padahal anjing berburu dengan gigitan mulut dan ada air liurnya. Beliau berkata,

ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺟﻌﻞ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﺠﺎﻫﻞ ﻣﻴﺘﺔ ﻳﺤﺮُﻡ ﺃﻛﻠﻬﺎ ، ﻭﺃﺑﺎﺡ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﻤﻌﻠّﻢ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻌﻠﻢ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan buruan anjing yang “bodoh/tidak dilatih” sebagai bangkai yang haram di makan dan Allah membolehkan buruan anjing terlatih. Hal ini menunjukkan kemuliaan ilmu.”[2]

Banyak orang yang sangat ingin berilmu dan menjadi orang yang memiliki ilmu, akan tetapi mereka tidak tahan dengan lelah dan letihnya menuntut ilmu. Ilmu tidak mungkin didapatkan, seseorang harus melawan nafsu bersantai-santainya.

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,

ولا يستطاع العلم براحة الجسد

“Ilmu tidak akan diperoleh dengantubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)”[3]

Semakin tinggi cita-cira kita, maka semakin sedikit juga waktu luang dan waktu untuk badan kita bersantai-ria.

Imam Syafi’i rahimahullah juga mengisyaratkan perjalanan dan perjuangan berat menuntut ilmu dengan hasil yang baik. Beliau berkata,

لا يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذلة النفس، وضيق العيش، وخدمة العلم، أفلح

“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas jiwanya kemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut ilmu dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat untuk ilmu, maka ia akan beruntung.”[4]

Abu ‘Amr bin Ash-Shalah menceritakan biografi Imam Muslim rahimahullah, beliau berkata,

وَكَانَ لمَوْته سَبَب غَرِيب نَشأ عَن غمرة فكرية علمية

“Tentang sebab wafatnya (imam muslim) adalah suatu yang aneh (bagiku), timbul karena kepedihan/kesusahan hidup dalam (menuntut) ilmu.”[5]

Menuntur ilmu selain meletihkan pikiran, juga terkadang meletihkan badan. Yahya Abu zakaria berkata,

وذكر لي عمي عبيد الله قال: قفلت من خراسان ومعي عشرون وقرا من الكتب، فنزلت عند هذا البئر -يعني: بئر مجنة- فنزلت عنده اقتداء بالوالد

“Pamanku Ubaidillah bercerita kepadaku, “aku kembali dari Khurasan dan bersamaku ada 20 beban berat yang berisikan buku-buku. Aku singgah di sebuah sumur –yaitu sumur Majannah- aku lakukan karena mencontoh ayahku.”[6]

Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menanggung letihnya menuntut ilmu adalah orang yang beruntung dengan ilmunya kelak. Beliau berkata,

ما أفلح فى العلم إلا من طلبه فى القلة، ولقد كنت أطلب القرطاس فيعسر علىَّ. وقال: لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح

“Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan aku dahulu mencari sehelai kertaspun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”[7]

Semoga ini menjadi motivasi kita terutama di zaman ini yang ilmu sangat mudah diperoleh melalui internet, youtube dan sosial media. Jangan sampai kita terlena dengan kemudahan ini dan tidak berniat menuntut ilmu dengan baik. Silahkan bandingkan bagaimana cara kita menuntut ilmu dengan ulama zaman dulu.


Dinukil dari Sumber Artikel: Muslim.or.id


Catatan kaki:


[1] Jami’ Bayan fii Ta’wilil Quran 23/246, Muassasah Risalah, Asy-Syamilah

[2] Miftah Daris Sa’adah 1/55, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah

[3] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/348 no.553, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah

[4] Tadribur Rawi 2/584, Darut Thayyibah, Syamilah

[5] Shiyanah Shahih Muslim hal. 62, darul Gharbil Islamiy, Beirut, cet.II, 1408 H, Syamilah

[6] Siyar A’lam An-nubala 12/503 Darul Hadits, koiro, 1427 H, syamilah

[7] Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat hal. 54, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Syamilah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 4)

TAZKIYATUN NUFUS

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 4)

Muhammad Saifudin Hakim


Baca pembahasan sebelumnya Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 3)

Letak Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Berkaitan dengan di manakah letak telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ulama berbeda menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama, letak telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah setelah shirath (jembatan di atas neraka jahannam). Pendapat ini adalah dzahir dari pendapat Imam Bukhari rahimahullahu Ta’ala, karena di dalam kitab Shahih-nya, beliau meletakkan bab al-haudh setelah bab shirath.

Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Penyebutan hadits-hadits al-haudh oleh Imam Bukhari setelah menyebutkan hadits-hadits tentang syafa’at dan setelah shirath, adalah isyarat dari beliau bahwa letak telaga Nabi adalah setelah melewati shirath.”[1]

Pendapat ke dua, telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terletak sebelum shirath, yaitu ketika di padang Mahsyar. Inilah yang dipilih oleh Al-Qurthubi, Ibnu Katsir rahimahumullah dan dikuatkan oleh banyak ulama lainnya.

Alasannya adalah terdapat hadits-hadits yang menyebutkan bahwa sebagian umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari telaga, sebagaimana yang telah kami jelaskan di seri sebelumnya. Mereka ini adalah orang-orang yang murtad, pelaku dosa besar yang jatuh ke neraka ketika tidak berhasil melewati shirath. Sehingga orang-orang yang melewati shirath adalah yang selamat dari neraka. Jika telaga itu terletak setelah shirath, bagaimana mungkin orang-orang yang sudah jatuh ke dalam neraka tersebut, mereka masih bisa mendatangi shirath, meskipun kemudian diusir?

Hal ini pun sesuai dengan kondisi ketika itu, yaitu manusia sangat butuh air minum ketika dibangkitkan dan dikumpulkan di Mahsyar. Ketika itu, mereka menunggu dalam waktu yang sangat lama sehingga mereka pun akhirnya kehausan. Sehingga tepatlah ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu umatnya di telaga sehingga meskipun masa penantian di Mahsyar sangat lama, mereka tidak pernah kehausan.

Berapakah Jumlah Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Pembahasan yang terkait dengan letak telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tentang jumlah telaga yang dimiliki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak ulama menyebutkan bahwa telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua. Telaga pertama terletak sebelum shirath (yaitu di padang Mahsyar), sedangkan telaga ke dua terletak setelah shirath yang disebut dengan telaga al-kautsar. Sehingga umat beliau minum dari telaga Nabi sebelum melintasi shirath, dan juga minum di telaga Nabi setelah melintasi shirath, yaitu ketika sudah di dekat surga atau ketika di surga.

Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa telaga Nabi hanya satu saja, yaitu yang ada sebelum shirath. Adapun setelah shirath, yaitu al-kautsar, adalah nama sungai yang terletak di surga, yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar [108]: 1-3)

Al-kautsar adalah nama sungai di surga adalah berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَمَا أَنَا أَسِيرُ فِي الجَنَّةِ، إِذَا أَنَا بِنَهَرٍ، حَافَتَاهُ قِبَابُ الدُّرِّ المُجَوَّفِ، قُلْتُ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا الكَوْثَرُ، الَّذِي أَعْطَاكَ رَبُّكَ، فَإِذَا طِينُهُ – أَوْ طِيبُهُ – مِسْكٌ أَذْفَرُ

“Ketika kami berjalan di surga, tiba-tiba ada sungai yang pinggirnya berupa kubah dari mutiara berongga. Aku bertanya, ‘Apa ini, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Inilah al-kautsar yang Allah Ta’ala berikan untukmu.’ Ternyata tanahnya atau bau wanginya terbuat dari minyak misk adzfar.” (HR. Bukhari no. 6581)

Wallahu Ta’ala a’lam, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, yang menyatakan bahwa telaga Nabi ada dua[2]. Hal ini karena dalam sebagian riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebut telaga beliau dengan sebutan al-kautsar. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa setelah turun surat Al-Kautsar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya,

أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ؟

“Apakah kalian tahu, apakah al-kautsar itu?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasu-Nya yang lebih mengetahui.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ، عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ، هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya al-kautsar adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabb-ku kepadaku. Padanya terdapat kebaikan yang banyak. Al-kautsar adalah telaga yang didatangi umatku pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 400)

Telaga Nabi disebut juga dengan al-kautsar berdasarkan tinjauan bahwa kedua telaga tersebut saling bersambung, yaitu antara yang terletak setelah shirath dan telaga yang terletak di Mahsyar. Oleh karena itu, terdapat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa terdapat dua saluran (pancuran) yang mensuplai air di telaga Nabi yang terdapat di Mahsyar. Suplai air tersebut berasal dari telaga al-kautsar yang ada di surga. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ، يَغُتُّ فِيهِ مِيزَابَانِ يَمُدَّانِهِ مِنَ الْجَنَّةِ، أَحَدُهُمَا مِنْ ذَهَبٍ، وَالْآخَرُ مِنْ وَرِقٍ

“Airnya lebih putih daripada susu, dan lebih manis daripada madu. Di dalamnya ada dua saluran yang memancarkan air (dengan kencang) dari surga. Satu saluran terbuat dari emas, dan yang satu lagi terbuat dari perak.” (HR. Muslim no. 2301)

Dikuatkan dengan hadits riwayat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَشْخَبُ فِيهِ مِيزَابَانِ مِنَ الْجَنَّةِ، مَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ

“Di telaga tersebut terdapat dua saluran air yang tersambung ke surga. Barangsiapa meminum airnya, maka dia tidak akan merasa haus. (HR. Muslim no. 2300)

Kesimpulan dalam masalah ini, telaga Nabi ada dua, satu terletak di Mahsyar (sebelum shirath) dan satu lagi terletak setelah shirath, yaitu di surga. Air telaga Nabi di Mahsyar disuplai dari telaga Nabi (al-kaustar) yang ada di surga. Sehingga jadilah air telaga Nabi yang ada di Mahsyar itu lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu dan lebih harum dari minyak misk [2].

Bersambung

Sumber Muslim.or.id


Catatan Kaki;

[1] Fathul Baari, 11/466.

[2] Faidah ini kami dapatkan dari penjelasan Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA dalam salah satu majelis beliau: https://www.youtube.com/watch?v=g603s6BUrag&t=1203s

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 3)

Written By Rachmat.M.Flimban on 20 Februari 2018 | 2/20/2018 11:57:00 PM

TAZKIYATUN NUFUS

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 3)

Muhammad Saifudin Hakim



Baca pembahasan sebelumnya Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 2)

Orang-Orang yang Diusir dari Telaga Nabi

Dalam situasi yang sangat kehausan dan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi telaga beliau untuk minum, sebagian di antara mereka justru diusir dari telaga beliau, tidak boleh minum dari air telaga beliau. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah kami sebutkan di seri sebelumnya,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَذُودَنَّ رِجَالًا عَنْ حَوْضِي، كَمَا تُذَادُ الغَرِيبَةُ مِنَ الإِبِلِ عَنِ الحَوْضِ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh akan banyak laki-laki yang ditolak (diusir) dari telagaku, sebagaimana diusirnya unta asing dari telaga (pemilik unta).” (HR. Bukhari no. 2367)

Lalu, siapakah orang-orang yang diusir dari telaga Nabi tersebut sehingga tidak bisa minum dari telaga beliau?

Pertama, orang-orang yang murtad (keluar dari Islam).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَرِدُ عَلَيَّ يَوْمَ القِيَامَةِ رَهْطٌ مِنْ أَصْحَابِي، فَيُحَلَّئُونَ عَنِ الحَوْضِ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أَصْحَابِي، فَيَقُولُ: إِنَّكَ لاَ عِلْمَ لَكَ بِمَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، إِنَّهُمُ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ القَهْقَرَى

“Pada hari kiamat, beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka diusir dari telaga. Aku pun berkata, ‘Wahai Rabb-ku, (mereka adalah) sahabatku.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad (keluar dari agama Islam, pen.) (dosa besar).” (HR. Bukhari no. 6585)

Al-Qurthubi rahimahullahu Ta’ala berkata,

قال علماؤنا رحمة الله عليهم أجمعين: فكل من ارتد عن دين الله أو أحدث فيه ما لا يرضاه الله ولم يأذن به الله، فهو من المطرودين عن الحوض المبعدين عنه

“Ulama-ulama kami rahimahullah berkata, ‘Semua orang yang murtad dari agama Allah atau membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diridai dan diijinkan oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang diusir dan dijauhkan dari telaga.” [1]

Kedua, orang-orang yang berbuat bid’ah dalam agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ، وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أَصْحَابِي، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لاَ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku menunggu kalian di telaga. Diperlihatkan bersamaku beberapa orang di antara kalian, kemudian dicabut dari pandanganku. Aku pun berteriak, ‘Wahai Rabb-ku, (mereka) sahabatku,’ maka ada suara, ‘Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu.’” (HR. Bukhari no. 6576)

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُمْ مِنِّي، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لاَ تَدْرِي مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ، فَأَقُولُ: سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي

“Sesungguhnya mereka itu umatku. Lalu disampaikan kepadaku, ‘Engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengubah (agamanya) setelah Engkau meninggal.’ Aku pun berkomentar, ‘Celaka, celaka, bagi orang yang mengganti agamannya setelah aku meninggal.” (HR. Bukhari 7050)

Lalu siapakah orang yang mengganti agama beliau itu?

Ibnu ‘Abdil Barr Al-Maliki rahimahullahu Ta’ala menjelaskan siapakah orang-orang yang “mengganti” agama itu. Beliau berkata,

وَكُلُّ مَنْ أَحْدَثَ فِي الدِّينِ مَا لَا يَرْضَاهُ اللَّهُ وَلَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ فَهُوَ مِنَ الْمَطْرُودِينَ عَنِ الْحَوْضِ الْمُبْعَدِينَ عَنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Setiap orang yang membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak Allah ridai dan tidak diijinkan oleh Allah Ta’ala, maka mereka termasuk orang-orang yang diusir dari telaga dan dijauhkan dari telaga. Wallahu a’lam.

وَأَشَدُّهُمْ طَرْدًا مَنْ خَالَفَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَفَارَقَ سَبِيلَهُمْ مِثْلُ الْخَوَارِجِ عَلَى اخْتِلَافِ فِرَقِهَا وَالرَّوَافِضِ عَلَى تَبَايُنِ ضَلَالِهَا وَالْمُعْتَزِلَةِ عَلَى أَصْنَافِ أَهْوَائِهَا فَهَؤُلَاءِ كُلُّهُمْ يُبَدِّلُونَ

Dan orang yang paling parah terusirnya dari telaga Nabi adalah orang-orang yang menyelisihi jamaah kaum muslimin, semacam orang-orang Khawarij dengan berbagai macam sektenya, orang-orang Syi’ah yang sangat jelas kesesatannya dan orang-orang Mu’tazilah dengan berbagai macam kelompoknya. Mereka semua adalah orang-orang yang mengganti (mengubah) agamanya.

وَكَذَلِكَ الظَّلَمَةُ الْمُسْرِفُونَ فِي الْجَوْرِ وَالظُّلْمِ وَتَطْمِيسِ الْحَقِّ وَقَتْلِ أَهْلِهِ وَإِذْلَالِهِمْ وَالْمُعْلِنُونَ بِالْكَبَائِرِ الْمُسْتَخِفُّونَ بِالْمَعَاصِي وَجَمِيعُ أَهْلِ الزَّيْغِ وَالْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ كُلُّ هَؤُلَاءِ يُخَافُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَكُونُوا عُنُوا بِهَذَا الْخَبَرِ

Demikian pula orang-orang yang melampaui batas dalam kezaliman dan kejahatan, membantai kebenaran, membunuh dan menghinakan pengikut kebenaran. Demikian pula orang-orang yang terang-terangan dalam berbuat dosa besar, meremehkan maksiat dan seluruh kelompok yang menyimpang, pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah. Mereka semua dikhawatirkan termasuk orang-orang yang dimaksud dalam hadits ini.” [2]

Dari penjelasan beliau di atas, jelaslah bahwa ahlu bid’ah, terutama bid’ah dalam masalah akidah semacam Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah, mereka adalah orang-orang yang akan terusir dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, di antara usaha agar kita termasuk dalam umat yang bisa minum dari telaga Nabi adalah senantiasa berpegang teguh dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak berbuat bid’ah dalam agama, baik bid’ah dalam amal perbuatan (ibadah), apalagi bid’ah dalam akidah (keyakinan).

[Bersambung]

Sumber Artikel: Muslim.or.id


Catatan kaki:

[1] At-Tadzkirah, 1/710.

[2] At-Tamhiid limaa fil Muwaththa’ fil Ma’aani wal Asaanid, 20/263

 


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 2)

TAZKIYATUN NUFUS

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 2)

Oleh; Muhammad Saifudin Hakim



Baca artikel sebelumnya Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 1)

Pembahasan tentang telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk dalam ilmu ghaib, sehingga ketika membahas karakteristik atau gambaran telaga Nabi, hanya boleh didasarkan atas riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh memakai dasar pendapat atau logika manusia semata. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini kami menyebutkan beberapa hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang gambaran telaga beliau.

Luas Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ

“(Ukuran) telagaku (sama dengan) perjalanan selama sebulan.” (HR. Bukhari no. 6579)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa telaga beliau sangat luas, yang harus ditempuh dengan perjalanan selama sebulan. Di sini beliau tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan perjalanan sebulan itu. Apakah perjalanan dengan kuda tercepat di dunia atau perjalanan sebulan penduduk akhirat di surga kelak. Wallahu Ta’ala a’alam. Akan tetapi, maksud beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah menggambarkan betapa luasnya telaga tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menggambarkan luasnya telaga beliau dalam beberapa hadits yang lain, di antaranya sabda beliau,

إِنَّ قَدْرَ حَوْضِي كَمَا بَيْنَ أَيْلَةَ وَصَنْعَاءَ مِنَ اليَمَنِ، وَإِنَّ فِيهِ مِنَ الأَبَارِيقِ كَعَدَدِ نُجُومِ السَّمَاءِ

“Sesungguhnya ukuran telagaku bagaikan (jarak) antara kota Eiliya (di negeri Syam, pen.) dan Shan’a di negeri Yaman, dan terdapat gelas-gelas yang jumlahnya bagaikan bintang di langit.” (HR. Bukhari no. 6580)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan,

كَمَا بَيْنَ المَدِينَةِ وَصَنْعَاءَ

“(Lebarnya) bagaikan jarak antara kota Madinah dan Shan’a.” (HR. Bukhari no. 6581)

مَا بَيْنَ عَمَّانَ إِلَى أَيْلَةَ

“(Lebarnya) bagaikan jarak antara kota ‘Amman dan Eiliya (keduanya di negeri Syam, pen.).” (HR. Muslim no. 2300)

Sebagian orang menganggap hadits-hadits di atas bertentangan (kontradiktif), karena jarak antara Eiliya ke Shan’a tidak sama dengan jarak antara Madinah ke Shan’a. Akan tetapi, para ulama -di antaranya Al-Qurthubi rahimahullah- membantah anggapan ini, karena dalam hadits-hadits tersebut, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berbicara sesuai dengan kadar pengetahuan orang yang diajak bicara. Ketika yang mereka kenal adalah kota yang ada di negeri Syam, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan kota Eiliya dan ‘Amman yang ada di negeri Syam. Ketika yang mereka kenal adalah kota yang ada di negeri Yaman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan kota Shan’a yang ada di negeri Yaman. Yang jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendeskripsikan luas telaga beliau sesuai dengan kadar pengetahuan sahabat yang sedang beliau ajak bicara [1]. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bentuk Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menggambarkan bagaimanakah bentuk telaga beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَرْضُهُ مِثْلُ طُولِهِ

“Lebarnya sama dengan panjangnya.” (HR. Muslim no. 2300)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ، وَزَوَايَاهُ سَوَاءٌ

“(Panjang) telagaku (sama dengan) perjalanan selama sebulan, dan sisi-sisinya (pojok-pojoknya) sama.” (HR. Muslim no. 2292)

Berdasarkan hadits di atas, para ulama rahimahullahu Ta’ala berbeda pendapat tentang bentuk telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berpendapat bahwa bentuk telaga Nabi itu persegi (bujur sangkar) karena panjang dan lebarnya sama, sedangkan sebagian ulama yang lain (di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah) memahami bahwa bentuk telaga Nabi adalah lingkaran karena memiliki ruas dan pojok yang sama dari berbagai sisi. Wallahu Ta’ala a’lam tentang bagaimana hakikatnya. [1]

Gambaran Air Minum dan Cangkir (Gelas) di Telaga Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan kepada kita bagaimanakah gambaran air minum yang ada di telaga beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ، وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ المِسْكِ، وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ، مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا

“Airnya lebih putih daripada susu, baunya lebih harum dari minyak misk dan cangkir-cangkirnya (sebanyak) bintang di langit. Barangsiapa yang minum dari telaga tersebut, dia tidak akan haus selamanya.” (HR. Bukhari no. 6579)

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,

أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ، يَغُتُّ فِيهِ مِيزَابَانِ يَمُدَّانِهِ مِنَ الْجَنَّةِ، أَحَدُهُمَا مِنْ ذَهَبٍ، وَالْآخَرُ مِنْ وَرِقٍ

“Airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Di dalamnya ada dua saluran yang memancarkan air dari surga. Satu saluran terbuat dari emas dan yang satu lagi terbuat dari perak.” (HR. Muslim no. 2301)

تُرَى فِيهِ أَبَارِيقُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ كَعَدَدِ نُجُومِ السَّمَاءِ

“Di dalamnya (telaga) diperlihatkan gelas-gelas yang terbuat dari emas dan perak yang jumlahnya bagaikan jumlah bintang di langit.” (HR. Muslim no. 2303)

Dari hadits-hadits di atas, kita mengetahui bahwa air di telaga Nabi sangatlah lezat dan nikmat, sehingga digambarkan lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, juga bau air tersebut lebih wangi dari minyak misk. Ketika umat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi telaga tersebut, tidak perlu antri dan berebut untuk minum air karena sangat luasnya telaga tersebut dan telah disediakan gelas-gelas yang terbuat dari emas dan perak yang jumlahnya bagaikan jumlah bintang di langit, setelah meminumnya, manusia tidak akan pernah meraskaan haus selama-lamanya.

[Bersambung]




Dinukil dari Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Faidah ini kami dapatkan dari penjelasan Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA dalam salah satu majelis beliau: https://www.youtube.com/watch?v=g603s6BUrag&t=1203s


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 1)

Tazkiyatun Nufus

Kutunggu Engkau di Telagaku (Bag. 1)

Oleh: Muhammad Saifudin Hakim

Narasumber: Muslim.or.id


Di antara pokok keimanan seorang muslim adalah beriman kepada “al-haudh” (الحوض). Dari sisi bahasa Arab, “al-haudh” adalah tempat berkumpulnya air [1], sehingga dalam bahasa kita (bahasa Indonesia) bisa dimaknai dengan danau, telaga, atau yang sejenis dengan itu. Al-haudh adalah telaga yang Allah Ta’ala siapkan untuk Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, sehingga umatnya dapat mendatangi dan meminum air telaga tersebut. Pada hari kiamat yang amat mengerikan kelak, manusia dibangkitkan dalam keadaan susah payah, matahari didekatkan dalam jarak satu mil, kondisi sangat terik, sehingga kita berada dalam kondisi kehausan dan sangat butuh air untuk minum.

Dan di antara kasih sayang dan rahmat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau telah menunggu umatnya di telaga beliau pada hari yang sangat mengerikan tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ

“Aku menunggu kalian di telaga” (HR. Bukhari no. 6576).

Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita untuk bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di telaga beliau dan minum dari telaga tersebut. Sehingga dalam tulisan serial kali ini, kami ingin memaparkan beberapa pembahasan penting terkait keimanan terhadap al-haudh [2].

Beriman kepada Al-Haudh termasuk dalam Pokok Keimanan

Beriman kepada telaga Nabi termasuk dalam pembahasan keimanan terhadap hari akhir, yang mencakup keimanan terhadap hal-hal yang terjadi setelah kematian, sebagaimana yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits-hadits tentang telaga Nabi mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh puluhan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak mungkin mereka semua bersepakat untuk berdusta. Hal ini berarti bahwa kita yakin dengan penuh keyakinan bahwa telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar adanya.

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah berkata, “Beriman kepada telaga Nabi termasuk dalam aqidah yang wajib diyakini oleh seorang hamba. Terdapat hadits-hadits tentang telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencapai derajat mutawatir.” [3]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي

“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat raudhah (taman) di antara taman-taman surga. Dan mimbarku berada di telagaku” (HR. Bukhari no. 1196).

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَذُودَنَّ رِجَالًا عَنْ حَوْضِي، كَمَا تُذَادُ الغَرِيبَةُ مِنَ الإِبِلِ عَنِ الحَوْضِ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh akan banyak laki-laki yang ditolak (diusir) dari telagaku, sebagaimana diusirnya unta asing dari telaga (pemilik unta)” (HR. Bukhari no. 2367).

Beriman kepada Al-Haudh adalah Ijma’ (Konsensus) Ahlus Sunnah

Oleh karena itu, beriman kepada haudh termasuk di antara ijma’ (konsensus) ahlus sunnah. Tidaklah seseorang mengingkari atau mendustakan al-haudh, kecuali dia telah menyimpang dari aqidah yang lurus.

Ibnu Abi Zamanin rahimahullahu Ta’ala berkata,

وأهل السنة يؤمنون بأن للنبي محمدا حوضا أعطاه الله إياه، من شرب منه شربة لم يظمأ بعدها أبدا

“Ahlus sunnah beriman bahwa Nabi memiliki al-haudh yang telah Allah Ta’ala siapkan untuk beliau. Barangsiapa yang minum dari telaga tersebut meskipun seteguk air, dia tidak akan haus selama-lamanya.” [4]

Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala berkata,

والإيمان بالحوض، وأن لرسول الله حوضا يوم القيامة ترد عليه أمته

“(Wajibnya) beriman kepada al-haudh, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki al-haudh pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya.” [5]

Al-Barbahari rahimahullahu Ta’ala berkata,

والإيمان بحوض رسول الله صلى الله عليه و سلم

“(Wajibnya) beriman kepada telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [6]

Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَالْأَخْبَارُ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فِي حَوْضِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوجِبُ الْعِلْمَ، أَنْ يَعْلَمَ كُنْهَ حَقِيقَتِهِ، أَنَّهَا كَذَلِكَ وَعَلَى مَا وَصَفَ بِهِ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ السَّلَامُ حَوْضَهُ، فَنَحْنُ بِهِ مُصَدِّقُونَ غَيْرُ مُرْتَابِينَ وَلَا جَاحِدِينَ، وَنَرْغَبُ إِلَى الَّذِي وَفَقَنَا لِلتَّصْدِيقِ بِهِ – وَخَذَلَ الْمُنْكِرِينَ لَهُ وَالْمُكَذِّبِينَ بِهِ عَنِ الْإِقْرَارِ بِهِ وَالتَّصْدِيقِ بِهِ، لِيَحْرِمَهُمْ لَذَّةَ شُرْبِهِ – أَنْ يُورِدَنَا فَيَسْقِينَا مِنْهُ شَرْبَةً نَعْدَمَ لَهَا ظَمَأَ الْأَبَدِ بِطُولِهِ، وَنَسْأَلُهُ ذَلِكَ بِتَفَضُّلِهِ

“Dan riwayat-riwayat (berita) yang telah kami sebutkan tentang telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkonsekuensi ilmu (yang wajib diyakini), sehingga kita mengetahui hakikat sebenarnya berdasarkan gambaran yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kami membenarkan hal itu, tidak meragukan dan tidak mengingkarinya.

Kami memohon agar orang-orang yang sama keyakinannya dengan kami, agar bisa mendatanginya dan agar kami bisa minum dari telaga tersebut sehingga menjadi hilanglah rasa haus selamanya. Kami memohon hal itu dengan keutamaan (yang dimiliki) telaga tersebut. Dan semoga Allah Ta’ala telantarkan orang-orang yang mengingkari dan mendustakannya serta menghalangi mereka dari kelezatan meminumnya. “ [7]

[Bersambung]




Catatan kaki:


[1] Tahdziib Al-Lughah, 1/258 karya Al-Azhari.

[2] Judul serial tulisan ini mengutip judul ceramah Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA hafidzahullahu Ta’ala di salah salah satu majelis beliau, yang terinspirasi dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Dan kami pun banyak mengambil faidah dari ceramah beliau dalam menyusun tulisan ini.

[3] Syarh Ushuul As-Sunnah lil Imam Ahmad, hal. 56.

[4] Ushuul As-Sunnah, hal. 158.

[5] Syarh Ushuul As-Sunnah lil Imam Ahmad, hal. 56.

[6] Syarh As-Sunnah, hal. 65.

[7] As-Sunnah, 1/521.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger