Latest Post
Tampilkan postingan dengan label imam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label imam. Tampilkan semua postingan

Aqidah Imam Empat, Muqaddimah

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 April 2017 | 4/25/2017 03:53:00 AM

Aqidah Imam Empat, Muqaddimah

Aqidah Imam Empat رحمهم الله

Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Muqaddimah


Segala puji bagi Allah. Kepada-Nya kita memuji, meminta pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ‏

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan jangan sekali-kali mati kecuali sebagai muslim.” (Ali Imran : 102)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Dia menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan keluarga. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (An-Nisa’: 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, maka Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh keberuntungan yang agung.” (Al-Ahzab: 70-71)

Saya telah melakukan penelitian yang cukup luas untuk meraih gelar Doktor tentang aqidah Imam Abu Hanifah. Dalam bagian pendahuluan dari penelitian itu tercakup ringkasan tentang aqidah tiga imam yang lain, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Sejumlah orang yang mulia telah meminta saya untuk membuat bahasan tersendiri tentang aqidah imam tiga, sebagai pelengkap dalam menyajikan bahasan aqidah empat imam.

Karenanya ringkasan tentang aqidah Imam Abu Hanifah dalam masalah tauhid, qadar, iman, sahabat, dan sikap beliau tentang ilmu kalam, saya gabungkan dalam pendahuluan penelitian saya tersebut.

Kepada Allah saya bermohon agar pekerjaan ini benar-benar ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya, dan semoga Allah menganugrahkan taufiq kepada kita semua, sehingga kita dapat memperoleh bimbingan sesuai dengan kitab-Nya, dan berjalan sesuai dengan sunnah Rasul-Nya. Karena Allah jualah yang mengetahui niat seseorang. Dia jualah yang mencukupkan kita, dan Dia sebaik-baik Dzat tempat kita berserah diri.

Dan akhir do’a kita adalah alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.


Dinukil dari eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Ahmad Tentang Ilmu Kalam dan Berdebat


Aqidah Imam Empat رحمهم الله

Pendapat Imam Ahmad Tentang Ilmu Kalam

Dan

Berdebat dalam Agama

Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais


  1. Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwazi, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله menyatakan: “Siapa yang mengkaji Ilmu Kalam, ia tidak akan beruntung, dan ia tidak akan terlepas dari mengikuti kelompok Jahmiyah.”1
  2. Dalam kitab Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata, “Tidak akan beruntung selamanya, orang yang mengkaji Ilmu Kalam, dan Anda hampir tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu kecuali di dalam hatinya ada ketidakberesan.”2

  3. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, Ayah saya pernah menulis surat kepada Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan. Dalam surat itu ayah saya berkata: “Kamu itu bukan termasuk ahli Kalam. Kalam yang benar adalah Kitabullah atau Hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Berbicara di luar itu tidak terpuji.”3
  4. Imam Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dari Musa bin Abdillah al-Turtusi, katanya, saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: “Jangan kamu duduk bersama ahli Kalam, meskipun dia itu kelihatannya membela sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم.”4
  5. Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu al-Harits ash-Shayigh, katanya, “Orang yang mencintai Ilmu Kalam, maka sebenarnya hal itu tidak keluar dari hatinya. Dan anda tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu beruntung.”5
  6. Imam Ibnu Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Hanbal, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Berpeganglah kamu dengan sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan hindarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang yang menyukai Ilmu Kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan dalam Kalam, ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena Ilmu Kalam tidak membawa kepada kebaikan. Saya tidak menyukai Ilmu Kalam, apalagi ikut perdebatan.
  7. Kamu harus berpegang teguh kepada sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, pendapat-pendapat para sahabat, Fiqih yang dapat kamu manfaatkan. Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok. Orang-orang yang saya temui, ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli Kalam, mereka juga menjauhi para ahli Kalam. Kalam itu pada akhirnya tidak baik. Semoga Allah menjaga kita semuanya dari fitnah (ujian hati), dan menyelamatkan kita dari kehancuran.”6

  8. Dalam kitab al-Ibanah, Ibnu Baththah meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Waspadalah terhadap orang yang menyukai Ilmu Kalam.”7

Inilah rangkuman pendapat Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله tentang masalah-masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam.


1 al-Ibanah, II/538

2 Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, II/95

3 Dzamm al-Kalam, lembar 216-B

4 Manaqib al-Imam Ahmad, hal.205

5 Ibn Baththah, al-Ibanah, II/539

6 Ibid

7 Ibid, II/540


Dinukil dari eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Ahmad Tentang Sahabat

Aqidah Imam Empat رحمهم الله

Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Pendapat ImamAhmad Tentang Sahabat

  1. Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله ada keterangan sebagai berikut:
  2. “Di antara ajaran as-Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan semua sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم dan menahan diri tidak menyebutkan ketidakbaikan dan pertentangan yang terjadi antara mereka.

    Orang yang mencaci para sahabat, atau salah seorang saja di antara mereka, maka ia telah berbuat bid’ah, berpaham Rafidhi (Syi’ah), dan berlaku buruk.

    Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.

    Mencintai Sabahat adalah ajaran as-Sunnah, mendo’akan mereka adalah termasuk ibadah, mengikuti mereka adalah cara yang benar, dan memakai pendapat-pendapat mereka adalah suatu kemuliaan. Kemudian, para sahabat itu, sesudah al-Khulafa’ ar-Rasyidin, adalah manusia-manusia terbaik. Tidak boleh ada orang yang menjelek-jelekan mereka dan sebagainya. Apabila ada yang melakukan hal itu, maka Sultan (Pemerintah) wajib memberinya “pelajaran” dan sanksi, dan tidak boleh membebaskannya.”1

  3. Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan sepucuk surat dari Imam Ahmad رحمه الله yang beliau kirimkan kepada Musaddad. Di dalam surat itu terdapat keterangan sebagai berikut, “Hendaknya Anda menjadi saksi bahwa sepuluh orang sahabat itu telah diberi tahu akan masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’ad, Sa’id, Abdurrahman bin Auf dan Ubaidah bin al-Jarrah. Orang yang telah disaksikan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم akan masuk surga, kita juga menjadi saksi.”2
  4. Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya tentang siapa imam-imam ummat ini. Beliau menjawab: “Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.”3
  5. Abdullah juga mengatakan, bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang “Orang-orang yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib itu bukan seorang Khalifah”. Beliau menjawab: “Itu pendapat yang buruk dan jelek.”4
  6. Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata, “Orang yang tidak mengakui, bahwa Ali bin Abi Thalib itu khalifah, maka ia lebih sesat daripada keledai piaraan yang hilang.”5
  7. Imam Ibn Abi Laila juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang tidak mau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, jangan kamu ajak bicara dan jangan kamu menikahi keluarganya.”6

Footnote;

1 as-Sunnah, karya Imam Ahmad, hal. 77-78

2 Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 170

3 as-Sunnah, hal. 235

4 Ibid

5 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 163

6 Thabaqat al-Hanabillah, I/45


Dinukil dari eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Ahmad Tentang Iman

Written By Rachmat.M.Flimban on 24 April 2017 | 4/24/2017 05:56:00 AM

Aqidah Imam Empat


Pendapat ImamAhmad Tentang Iman

  1. Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Di antara yang paling mulia dari masalah-masalah iman adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.”1
  2. Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang, seperti diterangkan dalam hadits : أَكْمَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

    “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling bagus akhlaknya.”2

  3. ,Imam al-Khallal meriwayatkan dari Sulaiman bin Asy’ats, katanya, bahwa Imam Ahmad رحمه الله mengatakan: “Shalat, zakat, haji dan berbuat kebajikan adalalah sebagian dari iman. Sedangkan menjalankan maksiat dapat mengurangi iman.”3
  4.  Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله, mengatakan, saya pernah bertanya ayah saya tentang “Seseorang yang berpendapat bahwa iman itu adalah ucapan dan pengamalan, bertambah dan berkurang tanpa menyebut insya Allah, apakah ia seorang Murji’ah?” Beliau menjawab: “Saya berharap mudah-mudahan orang tersebut bukan penganut paham Murji’ah.” Abdullah berkata lagi, saya mendengar ayah berkata: “Dalil yang melawan pendapat orang yang tidak menyebutkan insya Allah dalam menyatakan iman adalah sabda Nabiصلي الله عليه وسلم kepada penghuni kubur: وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَ حِقُوْنَ
  5. “Kami insya Allah menyusul kamu.”4

  6. Abdullah juga menuturkan, saya mendengar ayah saya, ketika ditanya tentang paham Murji’ah, beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang melakukan zina atau minum khamar, maka imannya berkurang.”5

Footnote;

1 Thabaqat al-Hanabilah, II/275

2 Musnad al-Imam Ahmad, II/250. Sunan Abi Daud, V/60 Sunan at-Tirmidzi, III/457. Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 153, 168,173

3 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 96

4 Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim, II/669. Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, I/307-308

5 Ibid


Menukil dari Sumber eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Ahmad Tentang Qadar

Aqidah Imam Empat

Pendapat Imam Ahmad Tentang Qadar

Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله karya Musaddad. Dalam kitab itu terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Kita mengimani taqdir, yang baik, yang buruk, yang manis, yang pahit, semuanya dari Allah.”1

Imam al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya: “Apakah kebaikan dan keburukan itu ditaqdirkan kepada hamba Allah, dan apakah Allah menciptakan kebaikan dan keburukan?” Beliau menjawab: “Ya, Allah telah mentetapkannya.”2

Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله beliau mengatakan: “Taqdir itu, yang baik dan yang buruk, yang sedikit dan yang banyak, yang lahir dan yang batin, yang manis dan yang pahit, yang disuka dan yang dibenci, yang elok dan yang jelek, yang awal dan yang akhir, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang dapat keluar dari kehendak dan ketetapan Allah. ”3

Imam al-Khallal juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Harun, dari al-Harits, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah سبحانه و تعالي telah mentaqdirkan ketaatan dan maksiat, kebaikan dan keburukan. Orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, maka ia berbahagia, dan orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang celaka, ia akan celaka.”4

Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله berkata, “Saya mendengar ayah saya, ketika beliau ditanya Ali bin Jahm tentang “Orang yang berbicara tentang qadar, apakah ia menjadi kafir?” Beliau menjawab: “Ya apabila ia mengingkari ilmu Allah. Apabila ia berpendapat bahwa Allah itu tidak mengetahui, sampai Allah menciptakan ilmu, dan barulah Allah mengetahui, maka ia mengingkari ilmu Allah, dan dengan demikian ia menjadi kafir.”5

Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله juga menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya sekali lagi tentang shalat menjadi makmum di belakang paham Qadariyah. Beliau menjawab: “Apabila penganut Qadariyah itu selalu berdebat dan menyebarkan paham tersebut, maka kamu jangan shalat di belakangnya.”6


Footnote;

1 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 169, 172

2 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85

3 as-Sunnah, hal. 68

4 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85

5 Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, hal. 119

6 as-Sunnah, I/384


Menukil dari Sumber eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid

Aqidah Imam Empat


Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid


  • Di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya tentang tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.”1


  • Di dalam kitab al-Mihnah terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman. Al-Qur’an adalah firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.”2


  • Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat Allah, Isra’, dan kisah ‘Arsy, yang ditolak oleh kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau, hadits-hadits tersebut shahih, dan beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.”3


  • Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.”4


  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad رحمه الله tentang ru’yah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban beliau: “Hadits-Hadits mengenai ru’yah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dari Nabiصلي الله عليه وسلم dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya dan menetapkan keshahihannya.”5


  • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri.”6


  • Di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad رحمه الله, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, maka orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).”7


  • Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Dar’u Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad رحمه الله: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.”8


  • Imam Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan mendustakan Al-Qur’an.”9


  • Imam Ibnu Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai apa adanya.”10


  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Kalamullah itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut makhluk.”11


Footnote;

1 Thabaqat al-Hanabilah, I/416

2 as-Sunnah, hal. 68

3 Thabaqat al-Hanabilah, I/56

4 as-Sunnah, hal. 71

5 Syarah I’tiqad Ahl as-Sunnah, II/507

6 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221

7 ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, hal. 104

8 Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30

9 Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145

10 Ibid, I/185

11 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/157


Menukil dari Sumber eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah,Larangan Imam Syafi’i Terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat dalam Agama

Written By Rachmat.M.Flimban on 06 April 2017 | 4/06/2017 03:41:00 AM

Aqidah Imam Empat رحمهم الله
Larangan Imam Syafi’i Terhadap Ilmu Kalam
dan
Berdebat dalam Agama
Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
Seandainya ada orang berwasiat kepada orang lain untuk mengambil kitab-kitabnya yang berisi ilmu-ilmu keislaman, sementara di antara kitab-kitab itu ada kitab-kitab Kalam, maka kitab-kitab Kalam ini tidak masuk di dalam wasiat, karena Kalam itu tidak termasuk ilmu-ilmu keislaman.” 1
Imam al-Harawi meriwayatkan dari al-Hasan az-Za’farani, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
“Saya tidak pernah berdiskusi dengan seorangpun dalam masalah Kalam kecuali hanya satu kali saja. Dan itu kemudian saya membaca istighfar, minta ampun kepada Allah عزّوجلّ.” 2
Imam al-Harawi meriwayatkan dari Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله pernah berkata:
“Seandainya saya mau, saya akan membawa kitab yang besar untuk berdiskusi dengan lawan pendapatku. Tetapi untuk berdiskusi tentang masalah Kalam, saya tidak suka dikait-kaitkan dengan Kalam.” 3
Imam Ibn Battah meriwayatkan dari Abu Tsaur katanya, Imam Syafi’i رحمه الله pernah berkata kepadaku:
“Saya tidak pernah melihat orang menyandang sedikitpun tentang Kalam kemudian ia menjadi orang yang beruntung.” 4
Imam Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله pernah berkata:
“Seandainya Allah عزّوجلّ memberikan cobaan (ujian) kepada seseorang, sehingga ia melakukan larangan-larangan Allah عزّوجلّ selain syirik, hal itu masih lebih bagus dari pada ia mendapati cobaan (ujian) dengan terperosok pada Ilmu Kalam.” 5
Itulah rangkuman pendapat-pendapat Imam Syafi’i رحمه الله tentang masalah Ushuluddin, dan sikap beliau tentang Ilmu Kalam.

Footnote;
1 Ibid, X/30. Dzamm al-Kalam, lembar 213
2 Ibid
3 Ibid. lembar 215
4 al-Ibanah al-Kubra, hal. 535-536
5 Ibn Abi Hatim, Manaqib asy-Syafi’i, hal. 182

Disalin dari eBook; Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim
Sumber ; Ibnumajjah.com
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Syafi’i Tentang Sahabat

Aqidah Imam Empat رحمهم الله
Pendapat Imam Syafi’i Tentang Sahabat
Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i رحمه الله, “Allah عزّوجلّ telah memuji para Sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم di dalam al-Qur’an, Taurat dan Injil. Dan Nabi صلي الله عليه وسلم sendiri telah memuji keluhuran mereka, sementara untuk yang lain tidak disebutkan. Maka semoga Allah عزّوجلّ merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang paling tinggi sebagai shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Mereka telah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم kepada kita. Mereka juga telah menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi صلي الله عليه وسلم. Karenanya, mereka mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah, baik yang bersifat umum maupun khusus, kewajiban maupun anjuran. Mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui tentang sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم. Mereka di atas kita di dalam segala hal, ilmu dan ijtihad, kehati-hatian dan pemikiran, dan hal-hal yang diambil hukumnya. Pendapat-pendapat mereka, menurut kita, juga lebih unggul daripada pendapat-pendapat kita sendiri.”1
Imam al-Baihaqi menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa ia mendengar Imam Syafi’i رحمه الله memandang Abu Bakar adalah yang paling utama di antara semua sahabat, kemudian Umar, Ustman dan kemudian Ali رضي الله عنهم.2
Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd al-Hakam, katanya, ia mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Manusia yang paling mulia sesudah Nabi صلي الله عليه وسلم adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali رضي الله عنهم.” 3
Imam al-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, katanya, saya bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله: “Apakah saya boleh shalat bermakmum di belakang orang Rafidhi (Syi’ah) ?” Beliau menjawab: “Jangan kamu shalat menjadi makmum orang Rafidhi, Qadari (penganut paham Qadariyah), dan penganut paham Murji’ah.” Saya bertanya lagi: “Apakah tanda-tanda mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang yang berpendapat bahwa iman itu hanyalah ucapan saja, maka ia penganut paham Murji’ah. Orang yang berpendapat bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan imam umat Islam adalah penganut paham Rafidhah. Dan orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak mutlak dan dapat menentukan nasibnya sendiri, ia adalah penganut paham Qadariyah.” 4

Footnote
11 Manaqib Imam asy-Syafi’i, I/442
2 2 Ibid
33 Ibid, I/433
44 Dzamm al-Kalam, lembar 215. adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, X/31

Disalin dari eBook Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim
Sumber Artikel; Ibnumajjah.com
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman

Written By Rachmat.M.Flimban on 05 April 2017 | 4/05/2017 03:46:00 AM

Aqidah Imam Empat رحمهم الله
Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman
Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
“Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Tahukah kamu firman Allah عزّوجلّ:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu.” (Al-Baqarah: 143)
Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah عزّوجلّ menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.”
1
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله, “Apakah amal yang paling utama?”
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i رحمه الله, “Yaitu iman kepada Allah عزّوجلّ di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”
Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?”
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah عزّوجلّ, dan ucapan itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”
Imam Syafi’i رحمه الله menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi.
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab, “Allah عزّوجلّ telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah عزّوجلّ membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ.
Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana terdapat wajahnya.
Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.
Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati adalah iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri, bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah عزّوجلّ, Maha Esa Allah عزّوجلّ tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah عزّوجلّ, serta mengaku semua yang datang dari Allah عزّوجلّ, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d :28)
مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ
“Di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.” (Al-Maidah: 41)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
“Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284)
Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada lisan, yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di dalam hati. Allah عزّوجلّ berfirman:
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ‏
“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,” (Al-Baqarah: 136)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
‏ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan katakanlah yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)
Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada lisan, yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan keimanan yang diwajibkan kepadanya.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada telinga (pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa’: 140)
Namun ada pengecualian, bila seseorang itu lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah عزّوجلّ berfirman :
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)
Dan Allah عزّوجلّ juga berfiman :
فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar :17-18)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu membersihkan dirinya.” (Al-Mu’minun: 1-4)
Allah عزّوجلّ berfirman pula :
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ
“Apabila mereka mendengar (perkataan) yang tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55)
Begitu pula firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)
Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram didengar.
Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu termasuk iman.
Allah عزّوجلّ juga meriwayatkan dua mata manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah عزّوجلّ berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ melarang orang mukmin untuk melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam al-Qur’an, maksudnya adalah berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah melihat.
Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kedua mata manusia, dan itu merupkan pekerjaan mata termasuk dalam iman.
Allah عزّوجلّ kemudian memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut ini:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’ : 36)
Maksud ayat ini adalah bahwa Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada farj (kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ
“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22)
Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kemaluan agar menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua tangan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam hal-hal yang diperintahkan Allah عزّوجلّ, seperti sadaqah, silaturahmi, jihad fi sabilillah, bersuci untuk shalat dan lain-lain. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ ...
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku …dst.” (Al-Maidah : 6)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4)
Memerangi orang-orang kafir, silaturrahmi, sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua kaki manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37)
Allah عزّوجلّ mewajibkan wajah untuk sujud kepada Allah عزّوجلّ siang dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.” (Al-Jin: 18)
Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada anggota badan.
Allah عزّوجلّ juga menyebutkan bersuci dan shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah عزّوجلّ memerintahkan kepada Nabi صلي الله عليه وسلم untuk memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih menghadap ke Ka’bah di Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi صلي الله عليه وسلم, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah diterima oleh Allah عزّوجلّ?”. Allah عزّوجلّ kemudian menurunkan ayat:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah عزّوجلّ, maka ia bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja meninggalkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka ia akan bertemu dengan Allah عزّوجلّ dalam keadaan imannya berkurang.”
Begitulah penjelasan Imam Syafi’i رحمه الله tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله tadi bertanya lagi, “Saya sudah paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman itu?” Imam Syafi’i رحمه الله menjawab dengan menyebutkan firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam kekafiran.” (At-Taubah : 124-125)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13)
Imam Syafi’i رحمه الله kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya kurang, mereka akan masuk ke neraka.
Kemudian Allah عزّوجلّ akan mendahulukan orang beriman lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu.”2

Footnote
1 al-Intiqa’ hal. 81
2 Manaqib asy-Syafi’i, I/387-393
~
Disalin dari eBook; Ibnu Majjah 4 Umat Muslim
Sumber Artikel ; Ibnumajjah.com
~
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger