Para pembaca yang semoga
dirahmati Allah. Suatu hal yang patut disayangkan pada saat ini. Wahyu yang
sudah semestinya hamba tunduk untuk mengikutinya, malah ditolak begitu saja.
Padahal wahyu …
By Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc. 4 July 2008
Para pembaca yang semoga
dirahmati Allah. Suatu hal yang patut disayangkan pada saat ini. Wahyu yang
sudah semestinya hamba tunduk untuk mengikutinya, malah ditolak begitu saja.
Padahal wahyu adalah ruh, cahaya, dan penopang kehidupan alam semesta. Apa yang
terjadi jika wahyu ilahi ini ditolak ?!
Wahyu Adalah Ruh
Allah ta’ala menyebut
wahyu-Nya dengan ruh. Apabila ruh tersebut hilang, maka kehidupan juga akan
hilang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami wahyukan
kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan Al Qur’an itu nur (cahaya), yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang
kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Asy Syuro: 52). Dalam ayat ini
disebutkan kata ‘ruh dan nur’. Di mana ruh adalah kehidupan dan nur adalah
cahaya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Kebahagiaan Hanya Akan
Diraih Dengan Mengikuti Wahyu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Kebutuhan hamba terhadap risalah (wahyu)
lebih besar daripada kebutuhan pasien kepada dokter. Apabila suatu penyakit yang
tidak dapat disembuhkan kecuali dengan dokter tersebut ditangguhkan, tentu
seorang pasien bisa kehilangan jiwanya. Adapun jika seorang hamba tidak
memperoleh cahaya dan pelita wahyu, maka hatinya pasti akan mati dan
kehidupannya tidak akan kembali selamanya. Atau dia akan mendapatkan penderitaan
yang penuh dengan kesengsaraan dan tidak merasakan kebahagiaan selamanya. Maka
tidak ada keberuntungan kecuali dengan mengikuti Rasul (wahyu yang beliau bawa
dari Al Qur’an dan As Sunnah, pen). Allah menegaskan hanya orang yang mengikuti
Rasul -yaitu orang mu’min dan orang yang menolongnya- yang akan mendapatkan
keberuntungan, sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al A’raf: 157) (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Poligami, Wahyu Ilahi yang
Ditolak
Saat ini, poligami telah
menjadi perdebatan yang sangat sengit di tengah kaum muslimin dan sampai terjadi
penolakan terhadap hukum poligami itu sendiri. Dan yang menolaknya bukanlah
tokoh yang tidak mengerti agama, bahkan mereka adalah tokoh-tokoh yang dikatakan
sebagai cendekiawan muslim. Lalu bagaimana sebenarnya hukum poligami itu sendiri
[?!] Marilah kita kembalikan perselisihan ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala telah
menyebutkan hukum poligami ini melalui wahyu-Nya yang suci, yang patut setiap
orang yang mengaku muslim tunduk pada wahyu tersebut. Allah Ta’ala berfirman
yang artinya,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(QS. An Nisa’: 3)
Poligami juga tersirat dari
perkataan Anas bin Malik, beliau berkata,”Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau
memiliki sembilan isteri.” (HR. Bukhari). Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati
beliau- mengatakan, “Nikahilah wanita yang kalian suka selain wanita yang yatim
tersebut. Jika kalian ingin, maka nikahilah dua, atau tiga atau jika kalian
ingin lagi boleh menikahi empat wanita.” (Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh
Nashir As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Poligami ini
dibolehkan karena terkadang seorang pria kebutuhan biologisnya belum terpenuhi
bila dengan hanya satu istri (karena seringnya istri berhalangan melayani
suaminya seperti tatkala haidh, pen). Maka Allah membolehkan untuk memiliki
lebih dari satu istri dan dibatasi dengan empat istri. Dibatasi demikian karena
biasanya setiap orang sudah merasa cukup dengan empat istri, dan jarang sekali
yang belum merasa puas dengan yang demikian. Dan poligami ini diperbolehkan
baginya jika dia yakin tidak berbuat aniaya dan kezaliman (dalam hal pembagian
giliran dan nafkah, pen) serta yakin dapat menunaikan hak-hak istri. (Taisirul
Karimir Rohman).
Imam Syafi’i mengatakan bahwa
tidak boleh memperistri lebih dari empat wanita sekaligus merupakan ijma’ (konsensus)
para ulama dan yang menyelisihinya adalah sekelompok orang Syi’ah. Memiliki
istri lebih dari empat hanya merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i
ketika ditanya mengenai hukum berpoligami, apakah dianjurkan atau tidak? Beliau
menjawab: “Tidak disunnahkan, tetapi hanya dibolehkan.” (Lihat ‘Inilah hakmu
wahai muslimah’, hal 123, Media Hidayah). Maka dari penjelasan ini, jelaslah
bahwa poligami memiliki ketetapan hukum dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang
seharusnya setiap orang tunduk pada wahyu tersebut.
Tidak Mau Poligami,
Janganlah Menolak Wahyu Ilahi
Jadi sebenarnya poligami
sifatnya tidaklah memaksa. Kalau pun seorang wanita tidak mau di madu atau
seorang lelaki tidak mau berpoligami tidak ada masalah. Dan hal ini tidak perlu
diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami). Seakan-akan
ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak konsep
poligami. Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah sumber kesengsaraan
dan kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang keladi rumah tangga
yang berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di tengah masyarakat
saat ini sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di negeri ini
dilarang.
Hikmah Wahyu Ilahi
Setiap wahyu yang diturunkan
oleh pembuat syariat pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar. Begitu juga
dibolehkannya poligami oleh Allah, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar
baik bagi individu, masyarakat dan umat Islam. Di antaranya: (1) Dengan banyak
istri akan memperbanyak jumlah kaum muslimin. (2) Bagi laki-laki, manfaat yang
ada pada dirinya bisa dioptimalkan untuk memperbanyak umat ini, dan tidak
mungkin optimalisasi ini terlaksana jika hanya memiliki satu istri saja. (3)
Untuk kebaikan wanita, karena sebagian wanita terhalang untuk menikah dan jumlah
laki-laki itu lebih sedikit dibanding wanita, sehingga akan banyak wanita yang
tidak mendapatkan suami. (4) Dapat mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya
meninggal atau menceraikannya, dengan menikah lagi ada yang bertanggung jawab
terhadap kebutuhan dia dan anak-anaknya. (Lihat penjelasan ini di Majalah As
Sunnah, edisi 12/X/1428)
Menepis Kekeliruan
Pandangan Terhadap Poligami
Saat ini terdapat berbagai
macam penolakan terhadap hukum Allah yang satu ini, dikomandoi oleh tokoh-tokoh
Islam itu sendiri. Di antara pernyataan penolak wahyu tersebut adalah : “Tidak
mungkin para suami mampu berbuat adil di antara para isteri tatkala berpoligami,
dengan dalih firman Allah yang artinya,”Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisaa’: 3). Dan firman Allah yang
artinya,”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisaa’:
129).”
Sanggahan: Yang dimaksud
dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil” dalam ayat di atas
adalah kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta, kecondongan
hati dan berhubungan intim. Karena kaum muslimin telah sepakat, bahwa menyamakan
yang demikian kepada para istri sangatlah tidak mungkin dan ini di luar
kemampuan manusia, kecuali jika Allah menghendakinya. Dan telah diketahui
bersama bahwa Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih dicintai Rasulullah
daripada istri beliau yang lain, karena Aisyah masih muda, cantik dan cerdas.
Adapun hal-hal yang bersifat lahiriah seperti tempat tinggal, uang belanja dan
waktu bermalam, maka wajib bagi seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
satu untuk berbuat adil. Hal ini sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar.
Ada juga di antara tokoh
tersebut yang menyatakan bahwa poligami akan mengancam mahligai rumah tangga (sering
timbul percekcokan). Sanggahan: Perselisihan yang muncul di antara para istri
merupakan sesuatu yang wajar, karena rasa cemburu adalah tabiat mereka. Untuk
mengatasi hal ini, tergantung dari para suami untuk mengatur urusan rumah
tangganya, keadilan terhadap istri-istrinya, dan rasa tanggung jawabnya terhadap
keluarga, juga tawakkal kepada Allah. Dan kenyataannya dalam kehidupan rumah
tangga dengan satu istri (monogami) juga sering terjadi pertengkaran/percekcokan
dan bahkan lebih. Jadi, ini bukanlah alasan untuk menolak poligami. (Silakan
lihat Majalah As Sunnah edisi 12/X/1428)
Apa yang Terjadi Jika
Wahyu Ilahi Ditolak ?
Kaum muslimin –yang semoga
dirahmati Allah-. Renungkanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut
ini, apa yang terjadi jika wahyu ilahi yang suci itu ditentang.
Allah telah banyak
mengisahkan di dalam al-Qur’an kepada kita tentang umat-umat yang mendustakan
para rasul. Mereka ditimpa berbagai macam bencana dan masih nampak bekas-bekas
dari negeri-negeri mereka sebagai pelajaran bagi umat-umat sesudahnya. Mereka di
rubah bentuknya menjadi kera dan babi disebabkan menyelisihi rasul mereka. Ada
juga yang terbenam dalam tanah, dihujani batu dari langit, ditenggelamkan di
laut, ditimpa petir dan disiksa dengan berbagai siksaan lainnya. Semua ini
disebabkan karena mereka menyelisihi para rasul, menentang wahyu yang mereka
bawa, dan mengambil penolong-penolong selain Allah.
Allah menyebutkan seperti ini
dalam surat Asy Syu’ara mulai dari kisah Musa, Ibrahim, Nuh, kaum ‘Aad, Tsamud,
Luth, dan Syu’aib. Allah menyebut pada setiap Nabi tentang kebinasaan orang yang
menyelisihi mereka dan keselamatan bagi para rasul dan pengikut mereka. Kemudian
Allah menutup kisah tersebut dengan firman-Nya yang artinya,”Maka mereka ditimpa
azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata,
dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy Syu’ara: 158-159). Allah
mengakhiri kisah tersebut dengan dua asma’ (nama) -Nya yang agung dan dari kedua
nama itu akan menunjukkan sifat-Nya. Kedua nama tersebut adalah Al ‘Aziz dan Ar
Rohim (Maha Perkasa dan Maha Penyayang). Yaitu Allah akan membinasakan musuh-Nya
dengan ‘izzah/keperkasaan-Nya. Dan Allah akan menyelamatkan rasul dan
pengikutnya dengan rahmat/kasih sayang-Nya. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah)
Semoga Allah menjadikan kita
orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman
terhadap apa yang beliau bawa. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Do’a hamba-Nya.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ashabihi
ath thoyyibina ath thohirin.
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal, Artikel www.muslim.or.id