Keistimewaan Rasulullah Muhammad SAW Bag 1
Written By Rachmat.M.Flimban on 28 Mei 2022 | 5/28/2022 08:33:00 PM
Keistimewaan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Bag. 1)
by dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya, yaitu: Menggunakan kodew Warna; swar " hitam, pemarah, kehitam-hitaman
Keistimewaan pertama, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi yang paling agung dan memiliki kedudukan paling tinggi di sisi Allah Ta’ala
Keistimewaan pertama, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi yang paling agung dan memiliki kedudukan paling tinggi di sisi Allah Ta’ala
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melebihkan atau mengistimewakan sebagian Rasul-Nya di atas sebagian Rasul yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (QS. Al-Baqarah: 253)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَى بَعْض
“Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain).” (QS. Al-Isra’: 55)
Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul yang paling agung. Dalam hadis tentang syafaat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Aku adalah pemimpin seluruh manusia pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 4712 dan Muslim no. 194)
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para Nabi, imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa, dan pemimpin para Rasul.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 38)
Al-Ajuri rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmati kami dan kalian, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memuliakan Nabi-Nya Muhammad dengan kemuliaan yang tertinggi, menyifati beliau dengan p>sifat yang paling baik, menggambarkan beliau dengan karakter yang paling indah, dan mendudukkannya pada kedudukan yang tertinggi.” (Asy-Syari’ah, 3: 1386)
Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu mengabarkan kepada kita bahwa beliau adalah pemimpin anak keturunan Adam hanyalah karena kita tidak mungkin mengetahui hal itu, kecuali melalui berita yang disampaikan oleh beliau sendiri. Hal ini karena tidak ada lagi Nabi sepeninggal beliau yang akan mengabarkan kepada kita agungnya kedudukan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi Allah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kita tentang keutamaan para Nabi sebelum beliau, shallallahu ‘alaihim ajma’in.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 164)
Baca Juga; Bagaimankah Al-Qur'an Turun kepada Nabi Muhammag?
Keistiwaan kedua, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada seluruh umat manusia dan bangsa jin sekaligus
Sesungguhnya risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu bersifat umum, ini termasuk salah satu keistimewaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki dua keumuman:
Pertama, umum ditinjau dari kepada siapa risalah tersebut ditujukan. Risalah beliau mencakup seluruh manusia dan jin, tidak ada satu pun pengecualian.
Kedua, umum ditinjau dari kandungan risalah yang dibawa, karena mencakup semua yang dibutuhkan oleh umatnya, baik dari sisi pokok (ushul) maupun cabang (furu’) dalam agama.Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Qatadah rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mengutus Muhammad kepada bangsa Arab dan bangsa non-Arab. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ath-Thabari, 20: 405
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mengatakan, ‘Tidaklah Kami mengutusmu wahai Muhammad hanya kepada orang-orang musyrik dari kaummu saja. Akan tetapi, Kami mengutusmu kepada umat manusia seluruhnya, baik bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, sebagai pembawa berita bagi siapa saja yang taat kepadamu, dan sebagai pemberi peringatan bagi siapa saja yang mendustakanmu. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu kepada seluruh umat manusia.’” (Tafsir Ath-Thabari, 20: 405)
Allah Ta'ala berfirman
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً
Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.’” (QS. Al-A’raf: 158)
Baca Juga; Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Seruan ini ditujukan kepada bangsa Arab maupun non-Arab, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua’, maksudnya seluruh manusia. Ini merupakan kemuliaan dan keagungan beliau shallallahu ‘laihi wasallam, bahwa beliau adalah penutup para Nabi, dan sesungguhnya beliau diutus kepada seluruh umat manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 489)
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata menegaskan keistimewaan ini, “Dan beliau diutus kepada seluruh jin dan manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, (dan dengan membawa) cahaya dan penerang.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 39)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu diutus kepada ‘ats-tsaqolain’ (dua golongan, yaitu jin dan manusia, pent.) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fataawa, 11: 303)
Adapun para Nabi yang lain; risalah mereka hanya khusus di tujukan kepa kamumnya saja Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
و“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah sunnatullah yang berlaku bagi makhluk-Nya, bahwa sesungguhnya Allah tidaklah mengutus seorang Nabi kepada suatu kaum, kecuali dengan bahasa mereka. Maka setiap Na bi hanya khusus menyampaikan risalahnya kepada umatnya saja, tidak kepada selain mereka. Sedangkan Muhammad bin Abdillah memiliki keistimewaan bahwa risalahnya mencakup seluruh umat manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 477)
Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Para nabi diutus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” (HR. Bukhari no. 335)
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini, baik Yahudi dan Nasrani, mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga diutus kepada golongan jin. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَراً مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِم مُّنذِرِين
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur’an, maka ketika mereka menghadiri pembacaannya, mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).’ Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.”
قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَاباً أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.”
وَمَن لَّا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِن دُونِهِ أَولِيَاء أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahqaf: 29-32)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada jin dan manusia. Sesungguhnya wajib atas bangsa jin untuk taat kepada beliau, sebagaimana umat manusia juga wajib taat kepada beliau.” (Thariqul Hijratain, hal. 417)
Baca Juga: Membenci dan Mengolok-olok Syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika menjelaskan surah Al-Ahqaf ayat 31, Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Pemahaman langsung (baca: manthuq) dari ayat ini adalah bahwa siapa saja yang menerima seruan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepadanya dan beriman kepada ajaran kebenaran yang beliau bawa, maka Allah akan mengampuni dosanya dan melepaskannya dari azab yang pedih. Adapun pemahaman kebalikan (baca: mafhum mukhalafah) dari ayat ini bahwa siapa saja dari bangsa jin yang tidak menerima seruan beliau, tidak beriman kepadanya, maka Allah tidak mengampuninya dan tidak melepaskannya dari azab yang pedih, bahkan Allah akan menazabnya dan memasukkannya ke dalam neraka. Pemahaman ini dijelaskan dengan gamblang di ayat yang lain,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Huud: 119)
وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Akan tetapi, telah tetaplah perkataan dari-Ku, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.’” (QS. As-Sajdah: 13) (Adhwaul Bayaan, 7: 226)
PENGERTIAN AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA AH
Written By Rachmat.M.Flimban on 20 November 2020 | 11/20/2020 02:39:00 AM
Kitab,Aqidah,Syarah
PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
- Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan,
at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]
Sedangkan menurut istilah (terminologi):
‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]
Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
- Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
- Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]
Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
- Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:
- Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka.
Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.
Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka.
Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan.
Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.
Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”[13]
Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul).
Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[14]
Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela.
Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]
Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.
Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli.
Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
Bookmark/Penanda Buku
[1]. Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614: عقد). [2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[5]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H),
رحمهم الله . [6]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H),
رحمهم الله. [7]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H),
رحمهم الله. [8]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H),
رحمهم الله. [9]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H),
رحمهم الله. [10]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th. 150)
[11]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[12]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H. Home /Kitab : Aqidah (Syarah.../Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah..
Reference: https://almanhaj.or.id/3429-pengertian-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
MISTERI ALAM KUBUR, Seramnya Alam Kubur
Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Desember 2018 | 12/29/2018 08:12:00 AM
Aqidah, Fiqh
Hari Akhir, MISTERI ALAM KUBUR Seramnya Alam Kubur Oleh : Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin حفظه الله Dinukil dari e-Book Ibnumajjah.com 1440 H, 2018 M |
Disalin dari Buku "Rintangan Setelah Kematian" Kami singkat takhrij hadits dan catatan kaki seperlunya SERAMNYA ALAM KUBUR Dari Hani' Maula Utsman berkata bahwa ketika Utsman bin Affan رضي الله عنه berdiri di depan kuburan, beliau Menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Lalu dikatakan kepadanya, "Diceritakan kepadamu tentang Surga dan Neraka kamu tidak menangis, tetapi kamu menangis dari ini." Maka beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا الْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ "Kuburan adalah awal rintangan dari beberapa rintangan alam akhirat. Jika sukses di alam itu maka setelahnya lebih mudah, dan jika tidak sukses maka setelahnya lebih susah." Kemudian beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Tiada pemandangan yang pernah saya lihat melainkan kuburan yang paling menyeramkan."1 Ketika seseorang hamba diantar ke kuburan dia disertai tiga hal, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya. Dan yang kembali pulang dua hal yaitu harta dan keluarganya, sedangkan yang mengikutinya hanya amalnya, seperti yang telah ditegaskan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sabdanya: يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ "Suatu yang mengikuti mayat ada tiga, kembali pulang dua dan ikut bersamanya satu; dihantarkan keluarganya, hartanya dan amalnya, maka kembali pulang keluarganya dan hartanya dan yang tersisa (bersamanya) amalnya.2 Dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya berkata: “Ketika dinding rumah Nabi صلى الله عليه وسلم roboh sementara Umar bin Abdul Aziz pada saat itu sedang berada di Madinah, tiba-tiba telapak kaki salah seorang penghuni kuburan yang dikubur di rumah itu terlihat dan telapak kaki itu terkena sesuatu sehingga berdarah. Maka Umar bin Abdul Aziz kaget sekali, lalu Urwah masuk ke rumah tersebut. Ternyata telapak kaki itu adalah telapak kaki Umar bin Khaththab. Maka Urwah berkata kepada beliau, 'Engkau jangan kaget, kaki tersebut adalah kaki Umar bin Khaththab رضي الله عنه.' Lalu beliau menyuruh membangun kembali dinding tersebut dan dikembalikan seperti keadaan semula."3 Abu Umamah al-Bahili berkata, "Sesungguhnya kalian pada pagi dan petang berada dalam hunian yang meraup kebaikan dan keburukan. Dan hampir-hampir kalian akan pergi meninggalkannya menuju hunian lain yaitu kuburan, suatu hunian yang sangat menyeramkan dan rumah yang sangat gelap, tempat tinggal yang sangat sempit kecuali yang diluaskan Allah, kemudian kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat."4 Umar bin Abdul Aziz رحمه الله berkata kepada salah seorang pendampingnya, "Wahai Fulan, Aku tadi malam tidak bisa tidur karena merenungkan sesuatu." Dia berkata, "Apa yang sedang Engkau renungkan, wahai Amirul Mukmmin?" Beliau menjawab, "Aku sedang merenungkan kuburan dan penghuninya. Jika kamu menyaksikan mayat pada hari ketiganya di dalam kubur, niscaya kamu akan mendapatkan suatu bentuk sangat mengerikan walaupun sebelum mati dia sangat menawan hati. Kamu menyaksikan suatu hunian penuh dengan binatang binatang yang menyeramkan, badan yang mulai mengembung dan bernanah yang dibuat santapan cacing tanah, sedang tubuh mulai membusuk, kain kafan mulai hancur, sementara dahulu di dunia penampilannya sangat menawan, aroma tubuhnya sangat semerbak wangi dengan parfum dan pakaiannya sangat bersih dan indah." Setelah itu beliau tersungkur pingsan.5 Dari Yahya bin Abu Katsir bahwa Abu Bakar رضي الله عنه pernah berkhutbah, "Di manakah mereka yang berwajah rupawan, yang bangga dengan usia remajanya, yang silau dengan keperkasaannya, namun hal itu tidak pernah dipersembahkan untuk peperangan? Di manakah mereka yang telah membangun kota-kota besar yang dilindungi dengan benteng-benteng yang kokoh? Semuanya telah ditelan oleh masa dan semuanya akan menuju kepada gelapnya kuburan.6 Umar bin Dzar berkata, "Andaikata orang yang sehat wal'afiyat mengetahui tubuh penghuni alam kubur hancur lebur (dimakan cacing tanah), maka mereka akan sungguh-sungguh dan serius selama berada di dunia karena takut pada suatu hari, di mana hati dan mata tercengang karena ketakutan.7 Abu Abdurahman al-Umari al-Abid berkata, "Wahai para pemilik istana-istana yang megah! Ingatlah gelapnya hiburan yang menyeramkan, wahai orang-orang yang bergelimang kenikmatan dan kelezatan, ingatlah cacing tanah, darah campur nanah dan hancurnya jasad bersama tanah."8 Catatan Kaki; 1. Hasan, HR. Tirmidzi dan Ibnu Majjah., lihat Shahihul Jami’ No.5623. 2. Shahih, HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i., lihat Shahihul Jami’ No.8017. 3. Lihat Kitab Majmu Rasail Ibnu Rajab, Risalah Ahwalul Qubur, hal. 175. 4. idem, hal. 258. 5. idem, hal. 290. 6. idem, hal. 295. 7. idem, hal. 296. 8. idem, hal. 260. Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah" |