Inilah Generasi Terbaik dalam
Sejarah
“Belum pernah ada, dan tidak
akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka” Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka
teladanilah orang-orang yang …
By Ari Wahyudi, Ssi. 17 March
2010
“Belum pernah ada, dan tidak
akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka”
Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka
teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling
baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak
suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh
Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk
menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan
tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang
berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan muslim,
meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti
Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian
ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi
pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila
salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum
radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir
Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)
Sikap Ahlus Sunnah terhadap
para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq
Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun
senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan sering menyebutkan berbagai
kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para sahabat, memintakan
ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai Rabb kami, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan
janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang
beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr :
10) Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun
adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta
bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang
terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama,
panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong
beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di
antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid
yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan
pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah
mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan
ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 141).
Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah
menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi
Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Dalil-dalil Al Kitab tentang
keutamaan para Sahabat
- Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang
bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling
menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa
mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)
- Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir
dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena
mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan
orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum
mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin)
dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka
berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka
sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr :
8-9)
- Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para
sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu
Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah
menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan
yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)
- Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam)
dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100)
- Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan
orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan
di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim :) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)
Dalil-dalil dari As Sunnah
tentang keutamaan para Sahabat
- Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara
para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di
antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak
akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar
genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)
- Beliau juga bersabda,
“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang
yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
- Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit.
Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan
akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku.
Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi
kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku.
Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan
dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku
ini.” (HR. Muslim)
- Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para sahabatku maka
dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat
dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)
- Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku
maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Ijma’ tentang keutamaan
para Sahabat
- Imam Ibnush Shalah
rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini
telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para
sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang
ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan
para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
- Imam Nawawi rahimahullah
berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil,
baik yang terlibat dalam fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan
para ulama yang layak untuk diperhitungkan pendapatnya.”
- Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk
menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi
dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli
bid’ah.”
- Imam Al Qurthubi
mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka
adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang
terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya
sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan
dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini.
Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang
menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang
selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Urutan keutamaan para Sahabat
Syaikh Shalih Al Fauzan
hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang
bertingkat-tingkat. [1] Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa
rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu’anhum al
jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa
salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin
yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.” [2]
Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira
pasti masuk surga selain mereka, yaitu : Abu ‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwaam, Thalhah bin
Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhum. [3] Kemudian diikuti
oleh Ahlul Badar, lalu [4] Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para
sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu
Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah
menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang
dekat.” (QS. Al Fath : 18). [5] Kemudian para sahabat yang beriman dan turut
berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada
sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al
Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang
lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang,
dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al
Hadid : 10). Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian
Hudaibiyah. [6] Kemudian kaum Muhajirin secara umum, [7] kemudian kaum Anshar.
Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam Al Qur’an,
Allah subhanahu berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan
Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta
mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong
agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr
: 8). Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tentang kaum Anshar,
Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman
sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin)
dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan
dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun
mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa
bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al
Hasyr : 9). Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum
Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama.
Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan
harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman
mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah
Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat
adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam
memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama
kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh
Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At
Taubah : 117). Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah
meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap
dakwah Nabi di Mekkah, pent). Sedangkan orang paling utama di antara para
sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian
‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah
mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal
pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih
mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan
‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak
berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih
utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama)
Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah,
hal. 77)
Menyikapi polemik yang
terjadi di kalangan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi
hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan
yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan
pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi
seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala,
sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala.
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk
meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi;
karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk itu.
Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya,
serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku
(sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah
kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang
terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab
itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau
kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah
Wasithiyah, hal. 82)
Keterjagaan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang
yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam
maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan
tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena
sebab-sebab sebagai berikut :
- Mereka berhasil
merealisasikan iman dan amal shalih
- Lebih dahulu memeluk
Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik
umat manusia, red)
- Berbagai amal yang
sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka,
seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
- Mereka telah bertaubat
dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan
sebelumnya.
- Berbagai kebaikan yang
akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
- Adanya ujian yang
menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang;
sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas
dosa.
- Kaum mukminin senantiasa
mendo’akan mereka
- Syafa’at dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang
paling berhak untuk memperolehnya.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena
salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Hal
itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan juga
orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum
pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah
‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)
Cintailah mereka!
Abu Ja’far Ath Thahawi
rahimahullah mengatakan, “Kami -Ahlus Sunnah- mencintai para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah
seorang di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di
antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci
orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak
menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk
agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan
dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Sumber Artikel
www.muslim.or.id
Manhaj, Sahabat, Sejarah