Latest Post
Tampilkan postingan dengan label manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manhaj. Tampilkan semua postingan

Penjelsan Hadits Doa Rasulullah Bagi Para Pemimpin

Written By Rachmat.M.Flimban on 28 November 2020 | 11/28/2020 09:40:00 PM

MANHAJ

Penjelasan Hadits Doa Rasulullah Bagi Para Pemimpin



Terdapat sebuah hadits yang di dalamnya Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam mendoakan keburukan dan kebaikan bagi para pemimpin, yaitu hadits dari 'Aisyah radhiallahu'anha, Nabi Shallahu'alaihi Wasallam bersabda,

اللَّهُمَّ، مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ

"Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari Umatku, lalu ia membuat susah umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia, (HR.Muslim, no. 1828) 
Hadits ini sering dijadikan alasan untuk mencela ulil amri, atau alasan untuk melakukan Demonstrasi atau bahkan dijadikan alasan membrontak kepada alil amri. Sama sekali ini pendalilan yang tidak tetap. Karena beberapa point;

Pertama, para ulama, seperti Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Abdul Azizi bin Baz, Syaikh Muhammad bib Shalih Al Utsaimin, Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili, dan para ulama sunnah lainnya, ketika menjelaskan hadits ini, penjelasan mereka tidak lepas dari;

  1. Hadits ini adalah ancaman bagi para pemimpin yang zalim kepada rakyatnya.
  2. Hadits ini adalah motivasi bagi para pemimpin untuk menyayangi rakyatnya,
  3. Hadits ini menunjukan al jaza' min jinsil 'amal, balasan sesuai dengan perbuatan.
  4. Hadits ini menunjukkan sayangnya Rasulullah kepada Umatnya.

Tidak kami ketehui di antara ulama Ahlussunnah  yang memahami dari
hadits ini, bahwa maknanya boleh mencela ulil amri atau bahkan sampai jadi dalil bolehnya memberontak.

Intinya, hadits ini adalah salah satu dari dalil wa'id (ancaman) bagi para pemimpin (secara umum) yang tidak menjalankan amanah dengan baik. Dan dalil-dalil ancaman bagi pemimpin itu banyak sekali. 

Tidak hanya hadits ini.

Kedu, dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam mendoakan pemimpin yang zalim secara umum. Yang disebutkan oleh beliau adalah sifatnya, yaitu yang zalim kepada umat. Bukan nama atau individu secara spesifik.
Maka tida tepat jika dijadikan dalil untuk mencela seorang ulil amri atau pemimpin secara mu'ayyan (spesifik). 
Contoh lain, hadits tentang doa keburukan bagi orang yang disebutkan sifatnya:

Diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246,254),

عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين

"Dari Abu Hurairah; Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam naik mimbar lalu lalu bersabda; Amin, Amin, Amin'. 

Para sahabat bertanya; 

"Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?
Kemudian beliau bersabda, 
"Baru saja Jibril berkata kepadaku; 

'Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ', maka kukatakan, 'Amin', kemudian Jibril berkata lagi,' 

'Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (Karena tidak berbakti berbakti kepada mereka berdua)', maka aku berkata 'Amin',
Kemudian Jibril berkata lagi.
'Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu', maka kukatakan, 'Amin","

(Dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma' Az Zawaid (8/142), Juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi' (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679.)

Di dalam hadits ini Malaikat Jibril ‘alaihissalam mendoakan keburukan bagi:
  1. Orang yang tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan.
  2. Anak yang tidak berbakti kepada orang tua.
  3. Orang yang tidak bershalawat ketika disebut nama Nabi.
Dan diaminkan doanya oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bukan berarti artinya kita boleh mencela secara spesifik orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut. Apalagi dicela di depan umum, semisal mengatakan:
“Sesungguhnya Fulan telah durhaka kepada orang tuanya”.
“Dasar kau Fulan, ahli maksiat di bulan Ramadhan”.
“Dasar laknat kau Fulan, disebut nama Nabi kok tidak shalawat”.
Demikian juga hadits-hadits Rasulullah tentang laknat beliau kepada beberapa jenis orang:
– Rasulullah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah
– Rasulullah melaknat pelaku maksiat dan pelaku bid’ah
– Rasulullah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya
– Rasulullah melaknat orang yang mengubah batas tanah
– Rasulullah melaknat orang menyerupai lawan jenis
– Rasulullah melaknat orang yang minum khamr
– Rasulullah melaknat orang yang menyambung rambut
– Rasulullah melaknat orang yang mentato dll.
Padahal “laknat” itu artinya: 
mendoakan agar jauh dari rahmat Allah.
Namun Rasulullah menyebutkan dalam hadits-hadits tersebut berupa sifat-sifat secara umum. 
Sehingga bukan berarti kita boleh mencela orang-orang tersebut secara spesifik dan di depan umum. 
Semisal mengatakan, “dasar kau Fulan, tukang tato“, “dasar kau Fulan pemabuk“, “saudara-saudara sekalian… ketahuilah Fulan itu banci, ia menyerupai lawan jenis…“.
Baca Juga: Inilah Manfaatnya Doa Untuk Pemimpin
Ini semua tidak dibenarkan karena:
  1. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mencela perbuatan secara umum, bukan individu secara mu’ayyan (spesifik). Perlu kehati-hatian menerapakan hukum yang umum kepada individu secara spesifik.
  2. Andaikan ada yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, bukan berarti boleh kita cela di depan umum. Namun kita nasehati secara pribadi dengan cara yang baik.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku. Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy Syafi’i, hal. 56)
Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang menasehati pemimpin,
من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك،وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097)
Ketiga, dalil yang mutasyabih (samar maknanya atau pendalilannya) harus dibawa kepada dalil yang muhkam (jelas maknanya atau pendalilannya). 
Inilah jalannya orang-orang yang Allah berikan ilmu yang benar. 
Inilah jalannya salafus shalih dan ulama Ahlussunnah. 
Adapun ahlul bid’ah dan orang-orang menyimpang, mereka menonjolkan pendalilan yang mutasyabih dan meninggalkan dalil-dalil yang muhkam.
Allah ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ  وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. 

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” 
(QS. Ali Imran: 7) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
طريقة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث؛ كالشافعي، والإمام أحمد، ومالك، وأبي حنيفة، وأبي يوسف، والبخاري، وإسحاق… أنهم يَردون المتشابه إلى المحكَم، ويأخذون من المحكم ما يُفسِّر لهم المتشابه ويُبينه لهم، فتتَّفق دَلالته مع دَلالة المحكَم، وتوافق النصوص بعضُها بعضًا، ويُصدِّق بعضُها بعضًا، فإنها كلها من عند الله، وما كان من عند الله فلا اختلاف فيه ولا تناقض
“Jalannya para sahabat, tabi’in dan para imam ahlul hadits seperti Asy Syafi’i, imam Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al Bukhari dan Ishaq … mereka mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. 
Mereka mengambil dalil-dalil yang muhkam untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat yang mutasyabih. 
Sehingga sejalanlah ayat-ayat yang mutasyabih dengan ayat-ayat yang muhkam. Dan nash antara satu dengan yang lain akan sejalan serta saling membenarkan. 
Karena semua nash tersebut berasal dari Allah. Dan apa yang berasal dari Allah, tidak akan ada perselisihan dan tidak ada pertentangan.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/209-210)
Baca Juga: Menjawab Beberapa Syubhat Bolehnya Memilih Pemimpin Dari Orang Kafir
Ada banyak sekali dalil yang dengan jelas dan tegas memerintahkan untuk mendengar dan taat pada ulil amri secara mutlak, baik dia shalih atau fajir, selama bukan dalam maksiat.
Diantaranya Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,
من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني
“Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku.” (HR. Muslim no. 1835)
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:
دعانا النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin). 
Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah.” 
(HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من كَرِه من أميرِهِ شيئا فليصْبِرْ عليهِ . فإنّه ليسَ أحدٌ من الناسِ خرج من السلطانِ شِبْرا ، فماتَ عليهِ ، إلا ماتَ ميتةً جاهليةً
“Barang siapa yang tidak suka terhadap suatu hal dari pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar.
Karena tidak ada yang memberontak kepada penguasa satu jengkal saja, kemudian ia mati, kecuali ia mati jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 7054, Muslim no. 1849)
Dari Abu Bakrah Nafi bin Al Harits Ats Tsaqafi, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَكرم سُلطانَ اللهِ أَكرمَه اللهُ ، ومَنْ أهانَ سُلطانَ اللهِ أهانه اللهُ
“Barangsiapa yang memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakan dia. Barangsiapa yang menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakan dia.” 
(HR. Tirmidzi no. 2224, Ahmad no. 20433, dihasankan Al Albani dalam Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus Sunnah li Abi Ashim no. 1017)
Baca Juga: Mencela Pemimpin, Ciri Khas Kelompok Khawarij
Dan banyak sekali dalil-dalil lainnya, yang tidak samar lagi bagi para penuntut ilmu.
Ulama juga ijma’ wajibnya mendengar dan patuh kepada ulil amri walaupun fasiq dan zalim. An Nawawi mengatakan,
وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث بمعنى ما ذكرته وأجمع أهل السنة على أنه لا ينعزل السلطان بالفسق
“Adapun memberontak kepada ulil amri dan memerangi ulil amri, hukumnya haram berdasarkan ijma ulama. Walaupun ulil amri tersebut fasiq dan zalim.
Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sangat jelas dan ahlussunnah sudah sepakat tentang tidak bolehnya memberontak kepada penguasa yang fasiq.” (Syarah Shahih Muslim, 12/228)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:
قال بن بطال في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Ibnu Bathal mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat hujjah terhadap haramnya memberontak kepada penguasa (Muslim) walaupun ia zalim.
Dan ulama telah ijma akan wajibnya taat kepada penguasa yang berhasil menguasai pemerintahan.
Serta wajibnya berjihad bersama dia. Dan taat kepadanya lebih baik daripada memberontak.
Karena taat kepadanya akan menjaga darah dan menstabilkan keamanan masyarakat.” (Fathul Bari, 7/13)
Maka mengapa dalil-dalil dan ijma yang terang benderang ini ditinggalkan demi membela pendalilan yang samar? Allahul musta’an.
Kesimpulannya, tidak benar menjadikan hadits di atas sebagai dalil untuk mencela ulil amri di depan publik atau mengajak umat untuk memberontak kepada ulil amri.
Ini adalah talbis (upaya menutupi kebatilan sehingga nampak seolah benar) dan mencampurkan yang haq dan yang batil.
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف ، ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع ، ولكن الطريقة المتبعة عند السلف النصيحة فيما بينهم وبين السلطان ، والكتابة إليه ، أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير
“Bukan termasuk manhaj salaf, menyebarkan aib-aib pemerintah dan menyebutkannya di mimbar-mimbar. 

Karena hal ini akan membawa pada chaos (kekacauan) dan akan hilangnya ketaatan pada pemerintah dalam perkara-perkara yang baik. Dan akan membawa kepada perdebatan yang bisa membahayakan dan tidak bermanfaat. 

Adapun metode yang digunakan para salaf adalah dengan menasehati penguasa secara privat. 
Dan menulis surat kepada mereka. Atau melalui para ulama yang bisa menyampaikan nasehat kepada mereka, hingga mereka bisa diarahkan kepada kebaikan.” 
(Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 8/194)
Baca Juga: Pemimpin Kafir Adil Lebih Baik Dari Pemimpin Muslim Zalim?
Memilih Orang Kafir Menjadi Pemimpin.
Semoga Allah memberi taufik.
Sumber ; Artikel Muslim.or.id
Penulis : Rachmat.M.M.A
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Jihad dan Kepahlawanan dalam Islam

Written By Rachmat.M.Flimban on 11 Januari 2019 | 1/11/2019 08:51:00 PM


Jihad dan Kepahlawanan dalam Islam

(Tafsir QS. At-Taubah [9]: 86-89)


وَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ . رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ . لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan apabila diturunkan suatu surah (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): ‘Berimanlah kalian kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang memiliki kemampuan di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: ‘Biarkanlah Kami berada bersama orang-orang yang duduk’ [86]. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad) [87]. Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka, dan mereka Itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung [88]. Allah telah menyediakan bagi mereka syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar [89]. (QS. At-Taubah [9]: 86-89)

Surah At-Taubah merupakan surah yang banyak bercerita tentang peperangan dan keadaan orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk empat ayat yang disebutkan di atas.

Imam ath-Thabari (w. 310 H) berkomentar tentang ayat ke 86, “Allah ta’ala berfirman, dan apabila diturunkan kepadamu wahai Muhammad satu surah dalam Al-Qur’an yang menyeru orang-orang munafiq, aaminuu billaah, yaitu benarkanlah Allah, dan wa jaahiduu ma’a rasuulih, yakni perangilah orang-orang musyrik bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang-orang yang memiliki kekayaan dan harta di antara mereka meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berperang dan tetap tinggal bersama keluarga mereka. Mereka berkata kepadamu, tinggalkanlah kami, kami duduk-duduk saja di rumah bersama orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan melakukan safar bersamamu.”[1]

Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, berdasarkan riwayat ath-Thabari, menyatakan bahwa uulu ath-thawl bermakna orang-orang yang kaya. Ibn Ishaq menyebutkan di antara mereka adalah ‘Abdullah ibn Ubay dan al-Jadd ibn Qays.[2]

Ayat ke 87, menurut Imam Ibn Katsir (w. 774 H), merupakan pengingkaran dan celaan Allah ta’ala kepada orang-orang yang mundur dari peperangan, dari kalangan munafiqin. Orang-orang munafiq tersebut rela berada dalam kehinaan dan berdiam diri di rumah-rumah mereka bersama kaum wanita[3]. Di masa peperangan, orang-orang munafiq ini merupakan orang-orang yang paling pengecut, sedangkan di masa aman, mereka adalah orang yang paling banyak omongannya, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Al-Ahzab [33] ayat 19:

فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ

Artinya: “Maka apabila datang ketakutan (karena perang), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencacimu dengan lidah yang tajam.”

Hati mereka dikunci oleh Allah ta’ala karena penolakan mereka dari kewajiban jihad dan keluar untuk perang di jalan Allah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka tidak mengetahui apa yang baik bagi mereka dan apa yang buruk.[4]

Setelah mencela orang-orang munafiq yang enggan untuk berjihad, Allah ta’ala kemudian memuji orang-orang yang beriman yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta dan jiwa mereka pada ayat ke 88 dan 89. Imam ath-Thabari menyatakan bahwa walaupun orang-orang munafiq tidak ikut berperang, namun orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya tetap berjihad bersama Rasul, mereka menginfaqkan hartanya untuk keperluan jihad dan mengikuti peperangan dengan segenap jiwa raga mereka.[5]

Menurut Imam al-Baidhawi (w. 685 H), makna al-khairat yang akan didapatkan oleh orang-orang yang beriman yang ikut berjihad bersama Rasul adalah keuntungan di dunia dan di akhirat. Di dunia mereka mendapatkan kemenangan dan ghanimah, sedangkan di akhirat mereka akan mendapatkan surga dan kemuliaan. Dan ayat ke 89 merupakan gambaran tentang kebaikan di negeri akhirat yang akan mereka dapatkan.[6]

Syaikh Wahbah az-Zuhaili, mufassir kontemporer, menyatakan bahwa empat ayat ini merupakan gambaran keadaan orang-orang munafiq dan orang-orang beriman saat menerima perintah jihad. Para gembong munafiqin yang memiliki kemampuan untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka memilih tidak ikut berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka merelakan diri mereka berada dalam kehinaan dan kerendahan dengan tinggal diam bersama orang-orang yang lemah yang tidak ikut berjihad. Hati mereka terkunci mati, sehingga mereka tidak mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang memberikan maslahat dan mana yang mudharat.

Sebaliknya, orang-orang beriman saat menerima perintah jihad, mereka bersungguh-sungguh mengorbankan harta dan jiwa mereka untuk meraih ridha Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dan balasan bagi mereka ini adalah keuntungan di dunia dan di akhirat, mendapatkan surga dan terbebas dari siksaan di akhirat.

***

Tanggal 10 November diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai hari pahlawan. Peringatan ini mengambil momentum perjuangan Bung Tomo dan pasukannya melawan penjajah Belanda yang datang lagi ke Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia. Dan fakta menarik yang jarang diungkapkan adalah ternyata perjuangan Bung Tomo dan pasukannya terinspirasi dari seruan jihad yang dilantangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama mukhlis pejuang Islam, yang juga pendiri Nahdlatul ‘Ulama (NU).[7]

Seruan jihad inilah yang mengobarkan semangat Bung Tomo dan pasukannya, dan semangat jihad seperti itu juga lah yang mengobarkan perlawanan para pahlawan muslim nusantara dari zaman ke zaman terhadap penjajah kafir Belanda. Mereka tidak rela negeri mereka dikuasai dan ditaklukkan oleh penjajah kafir, sumber daya alam mereka dikeruk habis dan aqidah mereka digadaikan.[8] Mereka lebih rela mati mulia sebagai syuhada daripada hidup terhina.

Dalam Islam hal ini merupakan hal yang wajar dan niscaya. Jihad[9] dengan makna perang dalam Islam merupakan salah satu kewajiban yang paling agung dan amal yang paling utama[10]. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَال وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ

Artinya: “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيل اللَّهِ

Artinya: “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat, dan berjihadlah kalian dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 41)

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Dalam sebuah hadits disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: ‘Amal apakah yang paling utama?’, Rasul menjawab, ‘Iman kepada Allah dan Rasul-Nya’, beliau ditanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasul menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’, beliau ditanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasul menjawab, ‘haji yang mabrur’.”[11]

Bahkan, dalam QS. At-Taubah ayat 86-87 Allah mencela orang-orang munafiq yang tidak mau ikut berjihad –ketika ada seruan jihad– padahal mereka mampu melakukannya.

***

Sejarah panjang kegemilangan Islam selalu diisi oleh cerita kepahlawanan dari para penguasa adil yang menerapkan hukum-hukum Allah, para ulama dan ilmuwan yang mewakafkan ilmunya untuk kebaikan umat Islam, dan para mujahidin yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah ta’ala. Dari kalangan penguasa, kita misalnya mengenal sosok Umar ibn al-Khaththab, Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Harun ar-Rasyid, Sulaiman al-Qanuni dan Abdul Hamid II. Dari kalangan ulama dan ilmuwan kita mengenal Ibn ‘Abbas, asy-Syafi’i, Ibn Firnas dan al-Khawarizmi. Dan dari kalangan mujahidin kita mengenal sosok Khalid ibn al-Walid, Thariq ibn Ziyad, Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih. Sosok-sosok seperti mereka inilah yang terus lahir dari tubuh umat Islam sebagai bukti nyata keagungan Islam.

Aktivitas jihad telah dilakukan sejak awal mula masa Islam, sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terus berlangsung sampai masa kemunduran umat Islam, dan benar-benar ditinggalkan sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah yang berpusat di Turki dan bercokolnya penguasa-penguasa zalim yang tidak mau menerapkan hukum-hukum Allah di negeri-negeri muslim. Sejak saat itu, jihad ditinggalkan[12] dan umat Islam terus dihinakan oleh musuh-musuh mereka.

Bagaimanapun, kewajiban jihad tidak akan bisa terlaksana secara sempurna tanpa adanya Khilafah. Kebutuhan umat Islam akan jihad meniscayakan kebutuhan umat Islam akan tegaknya kembali Khilafah, yang akan menerapkan hukum-hukum Allah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Momentum hari pahlawan ini, sebagai refleksi perjuangan umat Islam di masa lalu, harus kita maknai dengan tepat. Jika para pahlawan muslim nusantara dulu berjihad untuk mengusir penjajah kafir Belanda, saat ini kita perlu berjuang sungguh-sungguh untuk mewujudkan kembali kepemimpinan Islam yang satu, yaitu Khilafah Islamiyah, yang akan terus menyerukan dakwah dan jihad sampai cahaya Islam menerangi seluruh penjuru bumi. Wallahul musta’an.


Catatan Kaki;

[1] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 14 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000), hlm. 411-412.

[2] Ibid., hlm. 412.

[3] Kaum wanita tidak diwajibkan berjihad, berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah ada jihad bagi kaum wanita, Nabi menjawab, ‘Jihad tanpa perang, yaitu haji dan umrah.’ Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah pembahasan tentang Jihad.

[4] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4 (Riyadh: Daar Thayyibah, 1999), hlm. 196-197.

[5] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 14 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000), hlm. 414.

[6] Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Juz 3 (Beirut: Daar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1418 H), hlm. 93.

[7] Baca: http://nujember.or.id/resolusi-jihad-nu-fakta-sejarah-yang-disingkirkan/ dan http://www.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2010/08/17/9278/resolusi-jihad-kaum-santri-dalam-kemerdekaan-ri/

[8] Baca: http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=256%3Asejarah-nasional-indonesia-adalah-sejarah-islam&catid=13%3Atiar-anwar-bachtiar&Itemid=17, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:meluruskan-pelajaran-sejarah-indonesia&catid=21:sejarah&Itemid=19, dan http://hizbut-tahrir.or.id/2011/06/05/penerapan-syariah-di-bumi-nusantara/

[9] Jihad, walaupun diwajibkan dalam Islam, tetap memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi, tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Silakan baca pembahasan tentang jihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya dalam kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (2/146-270) karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (6/411-475) karya Syaikh Wahbah az-Zuhaili; al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (16/124-164).

[10] Hal ini misalnya diungkapkan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu(6/414) pembahasan Fadhl al-Jihad wa Manzilatuhu fi al-Islam.

[11] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H), hlm. 14, hadits no. 26. Hadits yang semisal ini juga banyak diriwayatkan oleh imam-imam ahli Hadits yang lain.

[12] Dalam skala kecil, jihad masih terus dilakukan oleh kaum muslim di daerah konflik semisal Palestina. Jihad yang benar-benar ditinggalkan adalah jihad di bawah komando khalifah dengan para tentara yang terlatih, dengan persenjataan lengkap. Jihad semacam inilah yang akan benar-benar membuat takut musuh-musuh Islam.

Dinukil dari Sumber : abufurqan.com

Artikel Terkait; " "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Surat Yasin: Kebinasaan bagi yang Mendustakan Hari Kiamat

Written By Rachmat.M.Flimban on 05 April 2018 | 4/05/2018 07:22:00 AM

Aqidah, Tafsir Al Qur'an

Faedah Surat Yasin: Kebinasaan bagi yang Mendustakan Hari Kiamat

Oleh; Muhammad Abduh Tuasikal, MSc



Kebinasaan bagi yang mendustakan hari kiamat.

Tafsir Surah Yasin

Ayat 31-33

أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لا يَرْجِعُونَ (٣١)وَإِنْ كُلٌّ لَمَّا جَمِيعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُونَ (٣٢)وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ (٣٣)

“Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka. Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.” (QS. Yasin: 31-33)

Penjelasan Ayat

Sesungguhnya Allah menjelaskan kepada orang-orang yang mendustakan bahwa orang-orang sebelum mereka turut binasa dan mereka yang telah binasa itu tidaklah kembali ke dunia dan tak akan pernah kembali. Seharusnya kisah orang sebelum mereka dijadikan pelajaran. Padahal semuanya akan dikumpulkan menghadap Allah setelah matinya. Allah akan mengadili mereka dengan saat adil, tanpa dizalimi sedikit pun. Dalam ayat disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 40)

Adanya tanda hari berbangkit dan hari pembalasan atas amal, Allah buktikan dengan menunjukkan adanya tanah yang mati lantas turunlah hujan untuk menyuburkannya. Tanah itu jadi subur setelah matinya. Lantas dari tanah yang subur tersebut tumbuhlah tanaman, hingga dimanfaatkan oleh hewan ternak.

Pelajaran dari Ayat

  1. Orang yang mendustakan para Rasul dan hari kiamat, pasti akan binasa.
  2. Wajib bagi setiap orang mengambil pelajaran dari orang-orang sebelumnya.
  3. Tidak ada yang dibangkitkan sebelum hari kiamat datang dan tidak ada yang mati atau binasa kembali lagi ke dunia.
  4. Hari berbangkit benar adanya.
  5. Allah mampu untuk mengumpulkan seluruh makhluk pada satu tempat.
  6. Wajib mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kiamat.
  7. Allah mampu untuk menghidupkan tanah setelah matinya.
  8. Boleh menjadikan dalil dengan sesuatu yang bisa disaksikan saat ini untuk perkara ghaib yang akan terjadi pada hari kiamat.
  9. Boleh menyifati benda mati dengan dihidupkan dan dimatikan.
  10. Digunakan kata ganti “Kami” untuk menerangkan kebesaran Allah dalam menghidupkan dan membangkitkan makhluk pada hari kiamat.
  11. Adanya tanaman dan buah-buahan adalah nikmat yang patut disyukuri.
  12. Hamba sangat butuh kepada Allah termasuk juga dalam hal rezeki berupa makanan.

Renungan Hadits

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2577)

Beberapa Hal yang Jadi Bukti Adanya Hari Berbangkit (Hari Kiamat)

  1. Diciptakannya langit dan bumi. Karena menciptakan langit dan bumi lebih berat dibanding manusia.
  2. Allah Ta’ala berfirman,

    لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

    “Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-Mu’min: 57)

  3. Allah dapat menghidupkan tanah setelah matinya seperti dibahas dalam surah Yasin kali ini. Juga dalam ayat,
  4. وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16) إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17)

    “dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat? Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan,” (QS. An-Naba’: 14-17)

  5. Hari berbangkit dapat dibuktikan dengan diciptakannya manusia, maka membangkitkan manusia setelah matinya lebih mudah bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman,
  6. قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ

    “Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin: 79)

  7. Hari berbangkit dapat dibuktikan dengan hidupnya orang yang mati (sementara) dari tidurnya. Allah berfirman,

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

“dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat.” (QS. An-Naba’: 9)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Referensi:

  1. At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juzu ‘Amma. Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Hlm. 19-21.
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin. Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Hlm. 111-124.
  3. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. 736.

Sumber Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Penjelasan, Pelajaran dari Ayat dan Maraji

Written By Rachmat.M.Flimban on 23 Oktober 2017 | 10/23/2017 05:05:00 PM


Tidak Melampaui Batas

Dalam BERDOA

Ustadz 'Ashim bin Musthofa حفظه الله

Disalin dari Majalah As-Sunnah Ed.12 Thn. XI_1429H/2008M

PELAJARAN DARI AYAT

  1. Kewajiban berdoa hanya kepada Allah, karena berdoa termasuk ibadah.
  2. Penjelasan mengenai adab berdoa, yaitu dengan bertadharru’.
  3. Adab dalam berdoa, yaitu melantunkannya dengan suara lirih.
  4. Larangan berbuat i’tida‘ (melampui batas) dalam berdoa.
  5. I’tida‘ dapat mempengaruhi doa seseorang tidak dikabulkan.
  6. Penetapan sifat mahabbah Allah عزّوجلّ.

Wallahu a’lam.[]


Marâji‘:

  1. Al-Qur‘ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma’ Mâlik Fahd Madinah.
  2. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423H 2003 M.
  3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cet.IV, Th. 1422 H – 2001M.
  4. Fiqhul-Ad’iyah wal-Adzkâr, Prof. Dr. ‘Abdur-Razzâq bin ‘Abdil-Muhsin al-’Abbâd, Dar Ibni ‘Affân, Cetakan I, Tahun 1422-2001.
  5. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I,Th. 1423 H – 2002 M.
  6. Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M
  7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.

Wallahu a’lam.[]


Ref,

1

Dinukil dari eBook Islam Ibnu Majjah "Istighfar dan Taubat"

Artikel Terkait; " "

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Contoh-Contoh I’tida‘ (Melampaui Batas Dalam Berdoa)

Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa

Ustadz 'Ashim bin Musthofa حفظه الله

Disalin dari Majalah As-Sunnah Ed.12 Thn. XI_1429H/2008M

Dinukil dari e-Book Ibnumajjah,com



Contoh-Contoh I’tida‘ (Melampaui Batas Dalam Berdoa)

Sikap melampaui batas dalam berdoa tidak hanya satu macam saja, namun banyak dan bahayanya juga bertingkat-tingkat, tergantung jenis perbuatannya.

Syaikh ‘Abdur-Razzâq حفظه الله mengingatkan bahaya melampaui batas dalam berdoa. Beliau berkata: “Bagaimana mungkin doa orang yang berbuat melampui pedoman-pedoman syariat dan tidak mengindahkan batasan yang sudah ditetapkan itu bisa diharapkan untuk dikabulkan. Doa yang mengandung perbuatan melampaui batas tidak disukai Allah dan tidak diridhai-Nya. (Maka) bagaimana seseorang bisa berharap doanya dikabulkan dan diterima Allah?”1

Berikut ini beberapa contoh i’tida’ dalam doa.

  1. Jenis yang paling parah, yaitu berdoa kepada selain Allah عزّوجلّ. Tidak ada i’tida’ yang lebih besar dan paling parah daripada orang yang memperuntukkan doa kepada selain Allah atau mempersekutukan sesuatu dengan-Nya dalam berdoa. Kekeliruan i’tida‘ bentuk ini disebutkan oleh Allah عزّوجلّ dalam firman-Nya:

  2. وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى? يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ

    Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru tuhan-tuhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka. (QS. al Ahqâf/46:5).

  3. Memohon kepada Allah عزّوجلّ hal-hal yang tidak diperbolehkan, seperti memohon pertolongan untuk melakukan perbuatan haram dan mengerjakan kemaksiatan.
  4. Memohon kepada Allah sesuatu yang tidak dikabulkan oleh Allah karena bertentangan dengan sifat hikmah-Nya. Atau meminta sesuatu yang mestinya ditempuh dengan sebab-sebab, namun ia enggan untuk melaksanakannya. Misal, permintaan agar dapat memperoleh anak tanpa menikah, menghilangkan sifat-sifat manusia, yang membutuhkan makanan dan minuman serta oksigen, ingin tahu ilmu gaib, dan sebagainya.
  5. Memohon derajat dan martabat yang tidak layak, sementara sunnatullah tidak memungkinkanya untuk dapat meraih hal tersebut. Seperti, meminta menjadi malaikat, menjadi nabi dan rasul. Atau memohon supaya menjadi muda kembali setelah memasuki usia tua.
  6. Berdoa kepada Allah tidak dengan tadharru’.
  7. Berdoa yang mengandung laknat bagi kaum mukminin.
  8. Sebagian ulama Salaf menjelaskan makna orang-orang yang melampaui batas pada ayat di atas, bahwasanya mereka ialah orang-orang yang melaknat kaum mukminin pada kondisi yang tidak diperbolehkan, seraya berseru: “Ya Allah, hinakan mereka. Ya Allah, laknatlah mereka”.2

  9. Berdoa dengan meninggikan dan mengeraskan suara sehingga bertentangan dengan etika, adab dan sopan santun.

Catatan Kaki

1. Fiqhul-Ad’iyah, 2/75.

2. Ma’âlimut-Tanzîl, 2/166.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa


Tidak Melampaui Batas

Dalam Berdoa

Ustadz 'Ashim bin Musthofa حفظه الله

Disalin dari Majalah As-Sunnah Ed.12 Thn. XI_1429H/2008M

Dinukil dari e-Book Ibnumajjah,com


Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-A'raf/7 : 55)

Di bagian akhir ayat ini, Allah عزّوجلّ menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat i’tidâ‘.

Al-i’tidâ‘, berasal dari kata al-’udwân. Maknanya, melewati batasan syariat dan pedoman-pedoman yang semestinya harus dipatuhi. Atau menurut Imam al-Qurthubi رحمه الله, yaitu mujâwazatul-haddi (melampaui batas) wa murtakibul-hazhar (melakukan pelanggaran).1

Allah عزّوجلّ berfirman :

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. (QS. al-Baqarah/2:229).

Larangan berbuat melampaui batas, sebenarnya berlaku umum, mencakup seluruh perbuatan dalam semua aspek, tidak khusus hanya dalam berdoa. Namun, karena larangan itu datang setelah perintah untuk berdoa, sehingga menunjukkan dengan jelas dan secara khusus berbicara tentang perbuatan melampaui batas dalam berdoa.

Penggalan ayat di atas mengandung pengertian, bahwa doa yang memuat unsur berlebihan dan melampaui batas tidak disukai Allah عزّوجلّ dan tidak diridhai-Nya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah memberitahukan munculnya gejala melampaui batas dalam berdoa pada diri umat Islam. Pemberitaan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم ini, juga merupakan peringatan berkaitan perbuatan tersebut. Kaum muslimin supaya berhati-hati dan waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang tersebut. Peringatan Rasulullah صلى الله عليه وسلم ini termasuk bagian dari kesempurnaan dan kepedulian beliau صلى الله عليه وسلم kepada umatnya, sekaligus sebagai salah satu tanda kenabian.

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal رضي الله عنه, ia berkata:

إنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ اْلأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: Sungguh akan muncul kaum dari umat ini yang akan berbuat melampaui batas dalam berdoa dan bersuci.2

Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan kecuali komitmen dengan petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam berdoa kepada Allah عزّوجلّ.

Kesimpulannya : Ayat di atas memuat dua unsur penting:

Pertama, unsur yang dicintai Allah, yaitu berdoa kepada-Nya dengan penuh tadharru’ dan suara yang lembut.

Kedua,unsur yang dibenci dan tidak disukai Allah, dan diperingatkan supaya tidak dilakukan, yakni berbuat i’tida‘ dalam berdoa, dan demikian pula dengan pelakunya.3


Ref,

  1. . Al-Jâmi’u li Ahkâmil-Qur‘ân, 7/202.
  2. . HR Ahmad, Abu Dâwud dan Ibnu Maajah. Dishahîhkan oleh al Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dawud, no. 87.
  3. . Lihat al-Fatâwâ, 15/23-24.

Dinukil dari eBook Islam Ibnu Majjah "Istighfar dan Taubat"

Artikel Terkait; "Contoh Melampaui Batas Dalam Berdoa "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Adab Berdoa, Dengan Suara Lirih dan Perlahan

Written By Rachmat.M.Flimban on 22 Oktober 2017 | 10/22/2017 08:16:00 PM


Tidak Melampaui Batas

Dalam Berdoa

Ustadz 'Ashim bin Musthofa حفظه الله

Disalin dari Majalah As-Sunnah Ed.12 Thn. XI_1429H/2008M

Dinukil dari e-Book Ibnumajjah,com


TEKS AYAT

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdo'alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-A'raf/7 : 55)

Adab Berdoa, Dengan Suara Lirih dan Perlahan


Ayat di atas juga mengajarkan cara bagi seorang muslim saat berdoa kepada Allah عزّوجلّ, sehingga doa yang dilantunkannya dikabulkan.1 Apakah dengan mengeraskan suara sebagimana kebiasaan di masyarakat yang kita lihat pada saat ini?

Ternyata tidak dengan suara keras. Tetapi Allah عزّوجلّ menunjukkan cara berdoa itu, ialah dengan menyertakan dua sifat yang mengiringi perintah untuk berdoa kepada-Nya. Dua sifat itu, ialah tadharru’ dan khufyah.

Pengertian tadharru’, yaitu mengandung unsur khusyu’, tadzallul (kerendahan diri dan kehinaan diri) dan istikânah (ketundukan diri).2 Adapun pengertian khufyah, ialah mengeluarkan suara dalam berdoa secara perlahan dan lirih, tidak mengeraskan maupun meneriakkannya. Doa itu dilakukan dengan suara lembut dan hati ikhlas karena Allah عزّوجلّ.

Tujuan berdoa secara perlahan dan lirih, supaya seorang yang berdoa terjauhkan dan selamat dari riya‘, dan demikian ini dikatakan oleh Imam al-Qurthubi رحمه الله. Begitu pula Nabi Zakariyya عليه السلام, beliau dipuji lantaran dalam berdoa dengan cara demikian, perlahan, lirih dan lembut. Allah عزّوجلّ berfirman:

ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Rabb kamu kepada hamba-Nya, Zakariyya. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut. (QS. Maryam/19:2-3).3

Oleh karena itu, ketika ada orang yang berdoa dengan suara keras, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم menegur sahabat yang berbuat demikian. Disebutkan dalam Shahîhain, dari sahabat yang bernama Abu Musa al-Asy’ari رضي الله عنه, ia berkata: Orang-orang mengangkat suara tatkala berdoa, sehingga Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

أيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلى أنْفُسكُمْ إنَّكُمْ لَيسَ تَدْ عُونَ أصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إنّكُم تَدْ عُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا

Wahai manusia. Tenangkanlah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang bisu atau yang tidak ada. Sesungguhnya Dzat yang kalian seru Maha Mendengar lagi Maha Dekat.4

Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah عزّوجلّ berikut:

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. al-A’râf/7:205)

Al-Hasan al-Bashri رحمه الله seorang Tabi’i, ia berkata: “Dahulu, kaum muslimin sangat tekun dalam berdoa. Tidak terdengar suara dari mereka, kecuali hanya suara lirih antara mereka dengan Rabb mereka”. Selanjutnya, beliau membacakan surat al-A’râf/7 ayat 55 dan pujian terhadap Nabi Zakariyya dalam surat Maryam/19 ayat 3.

Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk etika dalam berdoa. Etika ini mencerminkan nilai-nilai positif. Di antaranya:

  1. Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini bahwa Allah عزّوجلّ mendengar suara yang lirih,
  2. Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah عزّوجلّ mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya kecuali dengan suara yang rendah.
  3. Sebagai pertanda sikap khusyu‘ dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa,
  4. Lebih mendatangkan keikhlasan. Karena doa dengan suara keras membuat orang lain merasa terganggu dan terpancing perhatiannya kepada suara-suara yang keras lagi riuh-rendah.
  5. Cara ini membantu untuk konsisten dan senantiasa berdoa. Karena bibir tidak merasa bosan dan anggota tubuh tidak mengalami kelelahan. Sebagaimana orang yang membaca dan mengulang-ulangnya dengan suara keras, maka akan lebih cepat merasa penat.
  6. Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah عزّوجلّ.5

Ref,

  1. l-Aisar, 1/388.
  2. Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (3/428), al-Jâmi’u li Ahkâmil-Qur‘ân (7/199), al-Aisar (1/388).
  3. Al-Jâmi’u li Ahkâmil-Qur‘ân, 7/199. Lihat pula at-Taisîr, hlm. 296.
  4. HR al-Bukhâri, no. 4205 dan Muslim, no. 2704.
  5. Fiqhu-Ad’iyah, 1/80-81.

Dinukil dari eBook Islam Ibnu Majjah "Istighfar dan Taubat"

Artikel Terkait; "Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger