ISLAM BUKAN BUDAYA ARAB
Oleh
Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan sebuah istilah baru dalam penyebutan
sebuah konsep beragama dengan istilah; Islam Nusantara.
Istilah ini mulai mengemuka setelah penggunaan langgam Jawa dalam tilawah al-Qur’an
pada tanggal 17 Mei Tahun 2015 di Istana Negara.
Kejadian tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan. Kejadian tersebut bukan
sebuah kejadian tanpa disengaja, akan tetapi itu merupakan sebuah konsep yang
akan digulirkan oleh Menteri Agama RI! Kemudian istilah ini lebih mengelinding
lagi bagaikan bola salju ketika muktamar NU ke-33 di Jombang mengambil tema:
“Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Alhasil isu Islam Nusantara menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh banyak
pihak, mulai dari tokoh agama, tokoh politik dan kalangan akademisi. Akan tetapi
berbagai tanggapan dan pendapat seputar Islam Nusantara belum juga bisa
didudukan dengan jelas, karena memang salah satu target dari pencetusan ide ini
adalah untuk menimbulkan kebingungan yang berkepanjangan di tengah masyarakat.
Karena Istilah Islam Nusantara, disatu sisi bisa benar dan pada sisi lain salah,
alias samar-samar (Mutasyâbih). Kalau kita umpamakan istilah Islam Nusantara
bagaikan ular berkepala belut, mau dikatakan halal ada unsur haramnya,
sebaliknya jika dikatakan haram ada pula unsur halalnya.
Perlu kita ketahui bahwa menggunakan bahasa yang samar (Mutasyâbih) adalah salah
satu metode pemasaran pemikiran sesat yang dilakukan oleh orang-orang sesat
sejak dahulu kala. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menceritakan kebiasaan Bani
Israil:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. [Al-Baqarah/2:42]
Oleh sebab itu, Allâh Azza wa Jalla melarang mengikuti istilah yang memiliki
penafsiran ganda, seperti Allâh Azza wa Jalla melarang orang Islam untuk
meniru-niru istilah orang Yahudi yang biasa mereka gunakan untuk mengejek Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
وَاسْمَعُوا
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’ina”,
tetapi katakanlah, “Unzhurna” dan “dengarlah!”, [Al-Baqarah/2:104]
Kata Râ’ina memiliki makna ganda, bisa berarti “Dengarkanlah kami!” Dan juga
bermakna celaan. Akan tetapi orang-orang Yahudi mengucapkannya untuk mencela
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Agar tidak terjadi kesamaran dalam
sebuah istilah atau ungkapan, Allâh Azza wa Jalla melarang orang-orang Mukmin
menggunakan dan mengucapkan kalimat tersebut.
Oleh sebab itu, sangat latah jika kita ikut-ikutan menggunakan istilah-istilah
yang menimbulkan polemik dalam pemahaman.
Tujuan penggunaan istilah yang “abu-abu” adalah untuk mengelabui orang awam,
atau jika mereka berhadapan dengan lawan yang kuat mereka munculkan sisi
benarnya, dan mereka akan terang-terangan bila berbicara dihadapan sesama rekan
mereka, dimana hakikat ide Islam Nusantara adalah untuk menghambat perkembangan
dakwah yang hak, dakwah yang mengajak untuk menjalani Islam yang belum
terkontaminasi oleh berbagai budaya, yang dalam istilah mereka disebut Islam
Arab.
Kalau kita cermati banyak hal yang perlu dipertanyakan tentang ide dan konsep
Islam Nusantara tersebut. Diantara pertanyaan tersebut; Apa dasar pemikiran
Islam Nusantara? Apa Tujuannya? Kalau jawabannya: Dasar pemikiran Islam
Nusantara al-Qur’an dan as-Sunnah. Berarti tidak ada bedanya dengan Islam yang
sudah diamalkan sejak kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Tapi bila jawabannya: Islam yang berdasarkan budaya, maka berarti berbeda dengan
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Lalu tujuannya apa? Kalau jawabannya untuk terciptanya kedamaian dan toleransi
dalam kehidupan bernegara. Bukankah Islam datang untuk menegakkan misi ini?
Bukankah hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah Islam sewaktu Islam berkuasa di
Madinah, Syam dan Andalusia? Tapi bila jawabannya untuk menjadikan Indonesia
sebagai model percontohan kedamaian dan toleran. Kenapa Islam Nusantara tidak
toleran terhadap orang-orang yang tidak mau dengan konsep Islam Nusantara? Apa
toleran itu berlaku untuk sesama pemeluk Islam Nusantara saja?
Kenapa istilah Islam Nusantara sering dibenturkan dengan istilah Islam Arab?
Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah polemik anti Arab. Kenapa yang ditolak
itu budaya Arab saja dan tidak disebutkan menolak budaya Barat juga?
Suatu pertanyaan lagi adalah; kenapa yang ending itu istilah “Islam Nusantara”
yang diusung oleh NU? Bukan istilah “Islam Yang Berkemajuan” yang diusung oleh
Muhammadiyah?
Kenapa yang dianggap sebagai Islam Nusantara hanya tradisi keberagamaan yang
dilakukan oleh massa NU, kenapa pengamalan ormas-ormas Islam lain tidak dianggap
sebagai bagian dari Islam Nusantara? Bahkan ada yang lebih fatal lagi, untuk
menilai seseorang itu pro NKRI atau tidak dilihat dari sisi tahlilan atau tidak!?
Bukankah di sana sangat banyak sekali ormas yang tidak melakukan tahlilan?
seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain-lain. Bahkan diantara ormas
Islam tersebut ada yang lebih dahulu lahir dari ormas NU. Berati Islam Nusantara
adalah paham yang kaku, tidak toleran alias radikal.
Rasanya kita tidak perlu membuang waktu dan energi untuk membuktikan kelabilan
konsep Islam Nusantara dari berbagai sisi. Cukup kita melihat siapa yang
melakoni atau pencetus Islam Nusantara itu sendiri. Apakah mereka para pencetus
Islam Nusantara orang yang patut dicontoh pemahaman dan pengamalan terhadap
ajaran Islam?
Apakah mereka orang-orang yang benar-benar berakhlak mulia? terutama terhadap
orang yang menegakkan dan menjalani ajaran Islam dengan baik?
Atau malah sebaliknya; suka memperolok-olok dan melecehkan para penegak sunnah?
Apakah mereka selama ini adalah para pembela Islam atau sebaliknya?
Apakah pemahaman mereka lebih baik dari pemahaman para Sahabat g ? Sehingga
teori yang mereka cetuskan lebih baik dari keislaman para Sahabat?
Apakah mereka orang yang taat beribadah dan suka membaca al-Qur’an?
Apakah alasan dan hal yang melatarbelakangi lahirnya konsep Islam Nusantara ini
belum tercover dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan disebarkan oleh para Sahabat?
Berikut ini kita akan mengupas topik Islam Bukan Budaya Arab, tidak seperti yang
disinyalir oleh kaum SIPILIS termasuk Jemaat Islam Nusantara bahwa ajaran Islam
sarat dengan budaya Arab.
Secara etimologi budaya dalam bahasa Arab disebut ‘âdah atau ‘Uruf.[1]
Secara terminologi budaya berarti kebiasaan dalam masyarakat, baik berbentuk
ucapan maupun perbuatan yang sesuai dengan akal sehat dan tabi’at yang baik.[]
Namun sebagian diantara Ulama ada yang membedakan antara ‘âdah dengan ‘Uruf
secara terminologi. Ada yang mengatakan ‘âdah lebih khusus, sedangkan ‘Uruf
lebih umum. Dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. wallâhu a’lam. [3]
Pengertian budaya dalam bahasa Arab tidak berbeda dengan pengertiannya dalam
bahasa lain. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. [4]
Di jelaskan dalam wikipedia: Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya,
dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[5]
Pengertian budaya menurut ilmuwan Barat juga tidak jauh berbeda dengan
pengertian yang dijelaskan oleh para Ulama Islam. Kebudayaan sangat erat
hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual,
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. [6]
Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan di atas bahwa hakikat budaya adalah
hasil dari buah pikiran manusia yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu.
Baik buruknya budaya berbeda-beda berdasarkan persepsi masing-masing masyarakat,
lalu menjadi tabi’at mereka sehari-hari.
Maka suatu budaya bisa dianggap baik oleh sekelompok masyarakat namun juga
dianggap tidak baik oleh sekelompok masyarakat lain.
Dalam artian bahwa kebenarannya relatif dan tidak absolut. Contoh dalam budaya
barat lesbi, homoseksual dan minum khamar adalah budaya yang maju dalam sisi
kebebasan. Namun budaya tersebut sangat tidak cocok di tengah-tengah budaya
masyarakat timur.
Atau bisa saja suatu budaya pada suatu masa dianggap baik, namun pada masa yang
lain bisa dianggap tidak baik oleh masyarakat yang sama. Berarti penilaian
terhadap sebuah budaya itu bisa berubah-ubah atau kondisional. Contoh dulu
masyarakat Eropa lebih suka budaya sosialisme akan tetapi sekarang budaya yang
mereka sukai adalah budaya kapitalisme.
Maka berikut ini akan dijelaskan beberapa sisi perbedaan antara Islam dengan
Budaya.
PERBEDAAN ANTARA ISLAM DAN BUDAYA
Pertama:
Budaya bersumber dari manusia yang umumnya memiliki sifat zhalim lagi
bodoh.
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla gambarkan tetang sifat manusia secara umum dalam
firman-Nya:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”[Al-Ahzâb/33:72)
Islam sumbernya dari Allâh Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan Maha Adil.
Allâh Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi seluruh makhluk. Allâh Maha
Bijaksana dalam segala ketentuan dan keputusan-Nya, tidak ada yang sia-sia dalam
segala ciptaan-Nya. Allâh Maha Adil dalam segala ketetapan dan hukum-Nya, tidak
sedikitpun ada kezhaliman dalam segala ketetapan Allâh Azza wa Jalla .
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla tegaskan dalam kitab suci al-Qur’an:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ
مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al- Qur’an ketika al-Qur’an itu datang
kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Quran itu
adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al- Qur’an) kebatilan baik
dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[Fushshilat/41:42)
Dan Allâh Azza wa Jalla tidak sedikitpun berbuat zhalim terhadap para hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ
بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Barangsiapa mengerjakan amal yang shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri
dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya
sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya para hamba-Nya.”
[Fushshilat/41:46]
Kedua:
Sebuah budaya belum tentu cocok untuk semua manusia
Budaya Asia belum tentu cocok untuk orang Afrika, budaya Arab belum tentu cocok
untuk orang Eropa. Akan tetapi ajaran Islam cocok untuk seluruh umat manusia,
apapun bangsa dan suku mereka, bahkan untuk Jin sekalipun.
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui. [Saba’/34:28]
Ketiga:
Sebuah budaya belum tentu cocok pada setiap saat, terkadang hanya cocok
untuk waktu dan zaman tertentu.
Sedangkan Islam diturunkan Allâh Azza wa Jalla untuk sepanjang waktu dan masa
sampai akhir zaman. Islam tidak hanya berlaku pada fase kenabian dan
kekhalifahan saja, akan tetapi berlaku untuk seluruh generasi umat manusia
sampai hari kiamat. Karena Islam adalah agama terakhir yang dijaga keasliannya
oleh Allâh Azza wa Jalla sampai hari kiamat. Sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr/15:9]
Dan akan tetap ada golongan dari manusia yang beramal dan berada di atas Islam
yang murni sampai hari kiamat, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tegaskan dalam sabdanya:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أمتي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ
خَذَلَهُمْ حَتَّى يأتي أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Akan senantiasa ada satu golongan dari umatku berada diatas kebenaran, mereka
tidak merasa terganggu dengan orang-orang yang menghina mereka, sampai datang
keputusan Allâh (hari kiamat) mereka tetap seperti itu.[7]
Keempat:
Sebuah budaya belum tentu cocok pada semua tempat, bahkan sering
terbatasi oleh tempat dan ruang.
Sedangkan Islam diturunkan Allâh Azza wa Jalla berlaku untuk di semua tempat,
baik di Barat maupun di Timur, baik di Eropa, Afrika maupun di Asia. Islam tidak
hanya berlaku di Arab saja, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla tegaskan dalam
al-Qur’an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. [Al-Anbiyâ’/21:107]
Kelima:
Sebuah budaya boleh untuk kita pilah-pilih, bisa kita tolak dan
tinggalkan bahkan kita lupakan
Sedangkan Islam wajib untuk kita terima dan amalkan, tidak boleh kita tolak,
tidak boleh kita tinggalkan apalagi dilupakan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ
فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang
menimbulkan kemurkaan Allâh dan (karena) mereka membenci(apa yang menimbulkan)
keridhaan-Nya, sebab itu Allâh menghapus (pahala) amal-amal
mereka.[Muhammad/47:28]
Islam tidak boleh kita pilah-pilih bahkan harus kita terima dan kita jalankan
secara total dan maksimal, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla perintahkan dalam
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu“. [Al-Baqarah/2:208]
PANDANGAN ISLAM TERHADAP BUDAYA
Salah satu cara orang Arab Jahiliyah untuk menolak kebenaran Islam adalah
membanggakan budaya nenek moyang, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan
argumentasi orang-orang musyrik ketika diseru ke dalam agama Islam:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَمَا
لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh,”
mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk? [Al-Baqarah/2:170]
Demikian pula disebutkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang lain:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ
عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh.”
Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak
mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang
menyala-nyala (neraka Sa’ir)? [Luqmân/31:21]
Begitu banyak budaya Arab jahiliyah yang dikoreksi oleh Islam, ini menunjukkan
bahwa Islam bukanlah budaya Arab. Berikut ini kita sebutkan beberapa contoh
budaya Arab yang dihapus oleh Islam:
Bertawassul dengan orang mati.
Salah satu kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah yaitu mengkultuskan orang shaleh
namanya Latta. Pada mulanya patung Latta adalah simbol orang yang sangat
dermawan kepada para jamaah haji. Dengan berlalunya waktu akhirnya patung itu
dijadikan oleh masyarakat Arab Jahiliyah sebagai media bertawassul kepada Allâh
Azza wa Jalla . Jika mereka ingin mendapatkan sesuatu mereka mendatangi patung
Latta tersebut untuk bertawassul.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
dan orang-orang yang menggambil selain Allâh sebagai pembantu, kami tidak
menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allâh sedekat-dekatnya.
[Az-Zumar/39:3]
Menurut asumsi mereka hal itu bukan perbuatan syirik akan tetapi bagian dari
minta syafaat dalam budaya mereka.
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allâh apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata:
“Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allâh. [Yûnus/10:18]
Karena hal itu sudah menjadi adat kebiasaan dan budaya nenek moyang mereka sejak
dulu kala, mereka menolak untuk meninggalkannya.
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ
آبَاؤُنَا ۖ فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata, “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allâh
saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh nenek moyang kami? maka
datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang
yang benar.” [Al-A’râf/7:70]
Tawaf di Ka’bah tanpa busana
Allâh Azza wa Jalla sebutkan perilaku buruk mereka ini dalam firman-Nya yang
mulia:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. [Al-A’râf/7:31]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat ini adalah bantahan atas kebiasaan
orang-orang musyrik bertawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Sebagaimna yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasaai dan Ibnu Jarir … dari Ibnu Abbas, ia
berkata, ‘Mereka orang-orang musyrik bertawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang,
baik laki-laki maupun wanita; (untuk) laki-laki pada siang hari dan wanita di
malam hari.”[8]
Beribadah di Ka’bah dengan bersorak sambil bertepuk tangan.
Hal ini Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam surat al-Anfâl:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ۚ فَذُوقُوا
الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Tidaklah shalat mereka di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan
tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.”[Al-Anfâl/8
:35]
Suka bernyanyi atau menyewa para biduan untuk bernyanyi
Kebiasaan ini Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam surat Luqmân:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allâh tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allâh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan.” [Luqmân/31:6]
Menurut para Ulama ahli tafsir (mufassirin) dari kalangan Sahabat dan Tabi’in
bahwa yang dimaksud membeli lahwal hadîts (perkataan sia-sia) dalam ayat di atas
adalah nyanyian, alat-alat musik dan menyewa para biduan atau biduanita.[9]
Meramal nasib dengan binatang atau benda
Dianatara kebiasan yang suka dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah yaitu
menggundi nasib atau meramal nasib dengan suara atau gerakan burung. Umpamanya
ada seseorang sakit lalu mereka mendengar burung gagak atau burung hantu
berbunyi di malam hari, maka mereka meramal bahwa orang yang sakit tersebut akan
meninggal dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk
meninggalkan budaya tersebut dalam sabdanya:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السلمي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُمُورًا
كُنَّا نَصْنَعُهَا في الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نأتي الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ
تَأْتُوا الْكُهَّانَ . قَالَ قُلْتُ كُنَّا نَتَطَيَّرُ. قَالَ : ذَاكَ شيء
يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ في نَفْسِهِ فَلاَ يَصُدَّنَّكُمْ
Dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulamy, aku berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh! Ada beberapa hal yang pernah kami lakukan
di masa jahiliyah; kami pernah mendatangi dukun? Jawab Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam : Jangan kalian mendatangi dukun. Lalu aku berkata lagi: Kami
dahulu suka mengundi nasib dengan burung? Jawab Beliau: itu sesuatu yang
terbetik dalam hati kalian janganlah menghalangi kalian”. [10]
Dalam riwayat lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik. [11]
Yang dimaksud dengan Thiyarah yaitu meramal suatu kejadian buruk dengan burung
atau lainnya seperti yang telah jelaskan di atas.
BISAKAH ISLAMISASI BUDAYA?
Sebagaimana yang telah kita jelaskan di atas tentang perbedaan antara Islam
dengan budaya, maka Islam itu sudah sempurna tidak perlu ditambah dengan budaya
lokal. Budaya tetap budaya tidak bisa dijadikan ajaran Islam.
Akan tetapi Islam
memberikan ruang untuk sebuah kebiasaan atau budaya masyarakat untuk dilakukan
selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan tidak dianggap
sebagai ajaran agama yang wajib dijalankan.
Bagi siapa yang mau melakukan
silakan menjalankannya asal tidak menjadi alat untuk memecah belah persatuan
kaum Muslimin. Apalagi menjadi tolak ukur ketakwaan dan menghukum orang yang
tidak menjalankannya sebagai kelompok sesat. Seperti kejadian beberapa kasus di
berbagai tempat, seorang Muslim yang meninggal dilarang dikuburkan di pemakaman
umum karena tidak ikut yasinan dan tahlilan! Beberapa pondok pesantren dibakar
dan diusir santrinya karena tidak melaksanakan maulidan dan salawatan! Ini
menunjukkan sebuah penyimpangan dalam pemahaman beragama terutama masyarakat
yang diasuh oleh agen-agen Islam Nusantara.
Sebaliknya, kita tidak pernah
melihat atau mendengar pengusiran bagi orang yang tidak shalat, yang tidak
berhijab dan bahkan terang-terangan berbuat maksiat di depan umum. Seakan-akan
kedudukan budaya lebih tinggi dari hal-hal yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .
Jangankan apa yang disebut sebagai bid’ah hasanah, orang yang tidak melaksanakan
sunnah muakkadah saja tidak berhak diusir, bahkan orang yang meninggalkan hal
yang wajib sekalipun juga tidak berhak diusir! Silakan anda renungkan kenapa
sikap radikal seperti ini terjadi terhadap orang yang tidak suka budaya, tapi
tidak diberlakukan terhadap orang yang tidak suka pada agama? Sungguh aneh alias
ajiib.
KENAPA JAZIRAH ARAB TERPILIH MENJADI TEMPAT DITURUNKANNYA ISLAM, MENGAPA TIDAK
DI INDONESIA?
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menjadikan makhluknya dalam aturan yang
sempurna di atas segala kesempurnaan. Allâh Azza wa Jalla tidak memilih dan
menentukan sebuah keputusan yang sia-sia, akan tetapi berdasarkan ilmu-Nya yang
Maha Sempurna dan dibalik ketentuan tersebut tersimpan berjuta-juta hikmah.
Allâh Azza wa Jalla melebihkan satu makhluk atas makhluk yang lain, bumi
dijadikan berlembah dan berbukit, sebagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga Allâh Azza wa Jalla beri kelebihan atas Nabi yang lain.
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ
اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di
antara mereka ada yang Allâh berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya
Allâh meninggikannya beberapa derajat. [Al-Baqarah/2:253]
Sebagaimana surat dan ayat al-Qur’an juga berbeda dari sisi kelebihan dan
keutamaan. Demikian pula suatu tempat dan bangsa juga Allâh Azza wa Jalla beri
kelebihan atas tempat dan bangsa yang lain. Maka Allâh Azza wa Jalla memuliakan
bumi Mekah atas belahan bumi yang lain, memilih bangsa Arab untuk Nabi yang
terakhir walau sebelumnya kebanyakan Nabi berasal dari bangsa Bani Israil.
Bumi Mekah memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh belahan bumi lain,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَى اللَّهِ، وَأَحَبُّ
أَرْضِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Demi Allâh! Sesungguhnya engkau (negeri Mekah) adalah sebaik-baik bumi Allâh,
dan bumi yang paling dicintai Allâh, seandanya aku tidak diusir darimu niscaya
aku tidak akan keluar darimu. [12]
Allâh Azza wa Jalla telah memilih sebagai pembawa risalah yang terakhir dari
negeri yang paling mulia juga dari keturunan yang paling mulia. Sebagaimana
Firman Allâh:
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Allâh memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya
Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Al-Hajj/22:75]
Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا
مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِى
هَاشِمٍ
Sesungguhnya Allâh telah memilih Kinânah dari keturunan Ismail, dan memilih
Quraisy dari Kinaanah, dan dari suku Quraisy memilih Bani Hasyim, dan memilih
aku dari suku Bani Hasyim. [13]
Berkata Ibnu Mas’ud Radhiyallah anhu :
إِنَّ اللَّهَ عز وجل نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ
لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ
بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ أَصْحَابَهُ
خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى
دِينِهِ
Sesungguhnya Allâh melihat kepada hati-hati manusia, maka Allâh mendapati hati
Muhammad sebaik-baik hati manusia. Maka Allâh memilihnya secara khusus dan
mengutusnya untuk membawa risalah-Nya. Kemudian Allâh melihat hati manusia
setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Allâh mendapati hati
para Sahabatnya sebaik-baiknya hati manusia, maka Allâh menjadikan mereka
sebagai pembantu nabi-Nya, berperang membela agamanya.[14]
Semua itu kembali kepada kehendak Allâh Azza wa Jalla secara mutlak, kita tidak
berhak mempertanyakan perbuatan Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi kitalah yang
akan ditanya tentang perbuatan kita.
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan
ditanyai. [Al-Anbiyâ/21:23]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Sesungguhnya Allâh berbuat apa yang Dia kehendaki. [Al-Hajj/22:14]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا
يَشَاءُ
Dan barangsiapa dihinakan Allâh maka tidak seorangpun yang memuliakannya.
Sesungguhnya Allâh berbuat apa yang Dia kehendaki.” [Al-Hajj/22:18]
Orang-orang kafir Mekah pernah mempertanyakan: kenapa Allâh Azza wa Jalla tidak
mengutus orang lain selain nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Allâh
menjawab keberatan mereka: apakah mereka yang akan mengatur pembagian rahmat
Allâh?
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ
عَظِيمٍ ﴿٣١﴾ أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ
مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَا
Dan mereka berkata, “Mengapa al–Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar
dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, [Az-Zukhruf/43:31-32]
KESIMPULAN
Budaya adalah hasil karya akal dan pengalaman manusia yang punya banyak sisi
kelemahan, kebenarannya relatif.
Budaya yang berjalan dan berlaku di tengah-tengah masyarakat bisa diterima dalam
Islam selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam.
Islam bukan budaya Arab, akan tetapi Islam adalah agama Allâh Azza wa Jalla yang
sempurna, diturunkan untuk semua suku bangsa dan berlaku untuk sepanjang masa
serta cocok pada setiap tempat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M.
Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.
Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
Footnote/Catata Kaki
-
[1] Lihat al Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 30/53
-
[2] Lihat Qâ’idah al ‘Âdah Muhakkamah, Ya’qûb bin Abd Wahab, hlm. 27
-
[3] Lihat Qâ’idah al ‘Âdah Muhakkamah, Ya’qub bin Abd Wahab, hlm. 49
-
[4] Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).
-
[5] Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya
-
[6] Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya
-
[7] HR. Muslim
-
[8] Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 3/405.
-
[9] Lihat, Tafsir Ibnu katsir, 6/331.
-
[10] HR. Muslim
-
[11] HR. Abu Daud. Dishahihkan syaikh al-Albani
-
[12] HR. Tirmidzi. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullah
-
[13] HR. Muslim
-
[14] HR.Ahmad. Dan Berkata al-Arnauth : “Sanadnya hasan”