Latest Post
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

TERNYATA Jokowi MenJadi presiden

Written By Rachmat.M.Flimban on 02 April 2019 | 4/02/2019 10:34:00 PM

Ternya Joowi Menjadi Presiden Sudah di Ramalkan Oleh Prabu Jaya
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Pidato Jokowi yang Menggetarkan di Konvensi Rakyat

Written By Rachmat.M.Flimban on 21 Maret 2019 | 3/21/2019 03:37:00 PM

Full Pidato Jokowi yang Menggetarkan di Konvensi Rakyat "Optimis Indonesia....


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ini Reuni UGM Kok Malah Bahas Soal Hutang? Jokowi Ketawa Terpingkal-Pingkal

Written By Rachmat.M.Flimban on 19 November 2018 | 11/19/2018 04:23:00 PM


Jokowi ketawa ngakak saat menghadiri acara Reuni akbar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada / UGM (Kagama) 2018. Dia mengajak rekannya sesama alumnus untuk berbagi kisah tentang pengalaman berutang semasa kuliah. Jokowi meminta alumnus yang pernah berutang untuk maju ke panggung dan berdiri bersamanya.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

BUKAN PARTAI EMAK2, Baru sekali Di Kota Bogor Sholat Bareng Presiden Jok...

Written By Rachmat.M.Flimban on 24 Agustus 2018 | 8/24/2018 02:33:00 PM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Menimba Pelajaran dari Revolusi Arab

Written By Rachmat.M.Flimban on 05 Maret 2018 | 3/05/2018 10:23:00 AM



Al-Masa'il: Fiqh,Politik
MENIMBA PELAJARAN DARI REVOLUSI ARAB
Oleh
Ustadz Anas Burhanudin, MA


APA ITU REVOLUSI ARAB?
Revolusi Arab yang juga dikenal sebagai Arab Spring[1] adalah gerakan protes besar-besaran yang mulai terjadi di berbagai negara Arab pada akhir tahun 2010. Pemicunya adalah maraknya KKN, kezhaliman penguasa, krisis ekonomi, kehidupan yang susah dan pemilu yang dinilai tidak bersih. Gerakan ini telah berhasil menggulingkan empat rezim pemerintahan; yaitu di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman. Gerakan ini juga merembet ke banyak negara lain dan sebagian masih bergejolak hingga hari ini.
Sebagian gerakan ini berubah menjadi revolusi bersenjata yang menelan banyak korban jiwa. Di Libya saja, lebih dari 50.000 nyawa melayang. Sampai Juni 2013, jumlah korban jiwa yang tercatat dalam konflik Suriah sudah di atas 70.000. Korban luka, kerugian materi dan non materi juga sangat banyak bahkan tidak bisa dihitung lagi. Saat Libya masih bergolak, kerugian material atas rusaknya fasilitas dan infrastruktur umum diperkirakan mencapai lebih dari 240 milyar dollar. Sementara saat ini beberapa negara masih bergejolak. Suriah masih membara dan Mesir kembali memanas.[2]
Luasnya cakupan dan dampak gerakan ini ditambah besarnya perhatian dunia kepadanya membuat revolusi ini menjadi salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah modern. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik darinya, sebagaimana kisah sejarah umat-umat terdahulu. Tentang kisah Nabi Yûsuf Alaihissallam misalnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Dalam kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” [Yûsuf /12:111]
DI ANTARA PELAJARAN YANG BISA DIPETIK DARI REVOLUSI ARAB ADALAH:
Pertama: Kebenaran sabda-sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits-hadits ini telah diucapkan belasan abad yang lalu dan perjalanan sejarah hingga kini membuktikan bahwa ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan wahyu ilahi. Coba simak beberapa hadits berikut:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Sepeninggalku akan ada pemimpin-pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan sunnahku. Dan akan memerintah orang-orang yang berhati setan dan bertubuh manusia.”Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Saya bertanya “ Apa yang harus saya lakukan jika saya mendapati hal itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Engkau harus tetap taat dan patuh meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Dengar dan taati mereka!”. [HR. Muslim no. 1847]
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
Sungguh sepeninggalku nanti kalian akan menemui pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri mereka sendiri, maka sabarlah sampai kalian berjumpa denganku di telaga. [HR. Al-Bukhâri, no. 2377dan Muslim, no. 1061]
Di zaman ini, sangat mudah mendapati pemimpin yang memiliki sifat demikian. Sebagian pemimpin Arab juga demikian. Namun untuk pemimpin berhati setan sekalipun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan agar umat Islam bersabar menghadapi mereka. Itulah jalan keselamatan yang telah beliau tunjukkan, namun diabaikan oleh banyak orang. Adakah perumpamaan yang lebih dalam lagi dari berhati setan?
Kedua : Dampak Buruk Korupsi dan Kezhaliman.
Korupsi dan kezhaliman telah menyebabkan rakyat hidup miskin dan susah. Saat kesabaran mereka habis, terjadilah revolusi ini. Dampak buruk kezhalimanpun menjadi senjata makan tuan. Para penguasa kehilangan jabatan dan kemewahan mereka yang selama ini membelai mereka. Itu semua adalah akibat buruk dosa yang Allâh Azza wa Jalla segerakan di dunia. Pertanggungjawaban di akhirat jelas akan lebih sulit. Bayangkan jika jutaan rakyat yang dizhalimi menuntut keadilan di pengadilan Allâh Azza wa Jalla ?
Ketiga : Raja Dunia Berubah Menjadi Pesakitan.
Revolusi Arab telah merubah kehidupan orang dengan begitu drastis. Para tiran yang sebelumnya memiliki kekuasaan begitu absolut, tiba-tiba berubah menjadi buron atau pesakitan. Ada yang diseret ke pengadilan dalam keadaan sakit. Ada yang disiksa oleh rakyatnya sendiri sebelum akhirnya dibunuh. Kawan-kawan terdekat tiba-tiba menjadi musuh yang menikam. Demikianlah Allâh Azza wa Jalla dengan mudah membolak-balikkan keadaan hamba-Nya. Orang yang nampak kuat di mata manusia ternyata begitu lemah di sisinya.
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Wahai Allâh Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.Di tangan Engkaulah segala kebajikan.Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Ali Imrân/3:26]
Begitu juga dengan diri kita, kita juga tidak aman dari musibah-musibah seperti ini. Juga tidak ada jaminan bahwa kita akan terus berada di atas jalan iman dan sunnah. Alangkah butuhnya kita akan bimbingan dan perlindungan Allâh Azza wa Jalla . Salah satu doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجْأَةِ نِقْمَتِكَ وجَمِيْعِ سَخَطِكَ
Ya Allâh, aku berlindung kepadaMu dari hilangnya nikmatMu, berubahnya keselamatan yang Engkau berikan, hukumanMu yang tiba-tiba dan seluruh murkaMu.” [Shahih Sunan Abi Dawud no. 1382]
Keempat : Sistem Kerajaan Lebih Stabil Dari Sistem Presidensial.
Semua Negara yang bersistem kerajaan sejauh ini berhasil meredam gelombang revolusi, yaitu delapan Negara dari total 22 anggota Liga Arab: Arab Saudi, Oman, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Jordania dan Maroko. Sedangkan pemerintahan yang berhasil digulingkan, semua bersistem presidensial.
Kelima : Kudeta Biasanya Membawa Kerusakan Lebih Besar daripada Kerusakan Yang Ingin Dihilangkan.
Dalam Revolusi Arab, korban yang luar biasa besar sudah jatuh. Kerugiannya tidak bisa dihitung lagi. Keamanan berganti menjadi rasa takut dan kekacauan. Sementara kebaikan yang diharapkan belum tentu terwujud. Korupsi tetap jalan, yang berubah hanya pelakunya. Kezhaliman masih merajalela dan ekonomi justru semakin terpuruk. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Barangkali hampir tidak diketahui ada sekelompok orang yang melakukan kudeta terhadap pemimpin, melainkan dalam kudeta tersebut terdapat kerusakan yang lebih besar daripada kerusakan yang ingin dihilangkan.”[3]
Keberhasilan kudeta membuat rakyat tidak lagi hormat kepada penguasa. Jika sudah demikian, tinggal kekacauan yang ditunggu.
Keenam : Demonstrasi Damai Berubah Menjadi Kekacauan Bahkan Pertumpahan Darah.
Sebab para demonstran belum tentu satu tujuan, dan tidak memiliki satu komando. Mereka juga tidak bisa menolak orang lain yang hendak bergabung, dan bahkan mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, provokator sangat mudah menyusup untuk menyulut fitnah. Apalagi jika mereka keluar dengan emosi lalu mendapat perlakuan dan sikap yang tak sesuai keinginan, maka bukan saja kekacauan yang terjadi, namun perang saudara dan pertumpahan darah.[4] Apa yang terjadi dalam revolusi Arab adalah bukti paling aktual akan hal ini. Semua kekacauan dan pertumpahan darah yang terjadi berawal dari aksi damai.
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Kamu hendaknya mengikuti para salaf. Kalau memang demonstrasi ada di zaman salaf, berarti baik. Namun jika tidak ada di zaman mereka, berarti jelek. Tidak diragukan sedikitpun bahwa demonstrasi itu jelek, sebab ia menimbulkan kekacauan, baik dari pihak demonstran maupun yang lain. Bahkan terkadang menimbulkan tindak aniaya terhadap kehormatan, harta benda, dan jiwa. Karena mereka yang tenggelam dalam kekacauan tadi, seperti pemabuk yang tidak sadar terhadap ucapan dan perbuatannya. Jadi, demonstrasi itu jelek semua, baik diizinkan oleh penguasa maupun tidak. Adanya sebagian penguasa yang mengizinkan demonstrasi sebenarnya hanyalah basa-basi, sebab jika hati kecilnya ditanya ia pasti sangat membencinya. Namun ia berusaha menampakkan dirinya sebagai orang yang ‘demokrat’, dan memberi kebebasan bagi rakyat… ini semuanya bukanlah sikap para salaf”.[5]
Ketujuh : Sunnah Sayyi`ah Muhammad al-Bou’azizi.
Pemicu revolusi Arab adalah tindakan bakar diri yang dilakukan oleh pemuda Tunisia bernama Muhammad al-Bou’azizi yang tertekan oleh kehidupannya yang sulit. Saat polisi merazia dan mengambil gerobak yang dipakainya berdagang, ia membakar diri. Aksi ini membakar semangat warga Tunisia untuk mendukungnya dan melakukan demo besar-besaran menuntut reformasi dan berhasil menggulingkan pemerintahan Zainal Abidin bin Ali. Keberhasilan warga Tunis memicu revolusi di Mesir, lalu Libya, Yaman dan Negara-negara lain.
Mungkin al-Bou’azizi tidak pernah menyangka bahwa aksi spontannya akan berdampak sedemikian besar. Dia dikhawatirkan akan menghadapi pertanggungjawaban besar di hadapan Allâh Azza wa Jalla ; karena memelopori kerusakan sedemikian luas. Demikian juga para pelopor revolusi di setiap Negara, seperti Wa`il Ghanim di Mesir.
Kedelapan : Revolusi Digerakkan Oleh Anak Muda.
Seperti umumnya gerakan revolusi, Revolusi Arab juga digerakkan oleh anak-anak muda salah asuhan. Mereka dengan semangat menyala-nyala yang tidak diimbangi dengan ilmu yang cukup. Akibatnya adalah berbagai kerusakan yang sudah disebutkan. Karakter seperti ini mirip dengan kelompok yang disinggung oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ، حُدَثَاءُ الأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ البَرِيَّةِ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، لاَ يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ
Di akhir zaman akan datang suatu kaum yang masih muda, lemah akal, dan mengucapkan perkataan yang terbaik.Mereka terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari binatang buruan dan iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Di manapun kalian bertemu mereka, perangilah; karena itu berpahala bagi pelakunya pada hari kiamat. [6]
Kesembilan : Pemerintah Adalah Cermin Rakyat
Rakyat yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik, dan sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah cermin dari keburukan rakyatnya. Jika demikian, hendaknya rakyat tidak hanya menyalahkan pemimpin, tapi juga memperbaiki diri. Jika pemimpin yang adil tidak bisa dihasilkan jika rakyat masih zhalim, hendaknya usaha membangun pemerintahan yang Islami dimulai dengan mendakwahi rakyat.
Kesepuluh : Jangan Hadapi Kezhaliman Penguasa Dengan Pedang
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Ketahuilah –Semoga Allâh Menyelamatkanmu- bahwa kezhaliman penguasa adalah salah satu hukuman dari Allâh, dan hukuman Allâh tidak boleh dilawan dengan pedang, melainkan dihindarkan dengan doa, taubat dan meninggalkan dosa. Jika hukuman Allâh bertemu pedang, hukuman Allâh yang akan menang.”
Kesebelas : Bid’ah Yang Samar Menjadi Jelas.
Ada sebagian bid’ah yang tidak nampak kecuali pada zaman fitnah. Sebelum terjadinya Perang Teluk di tahun 1991, pemuda-pemuda pengusung pemikiran sururi adalah para juru dakwah yang direkomendasikan oleh para ulama senior. Bahkan kesamaran akan perkara mereka juga terjadi pada para ulama besar. Orang yang awam tentu lebih sulit mendeteksi penyimpangan mereka. Namun fitnah Perang Teluk menyibak tabir hakekat mereka.
Demikian pula, banyak orang yang menisbatkan diri kepada manhaj salaf dan berpenampilan sesuai sunnah. Namun pada hakekatnya mereka menyimpan pemikiran yang menyimpang. Revolusi Arab telah menyibak tabir hakekat mereka. Gelombang revolusi membuat mereka terseret ikut mencaci pemerintah di atas mimbar dan berunjuk rasa di jalan dan lapangan. Oo, anda ketahuan! Posisi mereka sungguh jauh dari manhaj ahlussunnah dalam bab ini.
Yang menggelikan, bagi sebagian orang, kesesatan Hizbullah dan al-Buthi baru mereka sadari dengan adanya Revolusi Arab. Walhamdulillah ‘ala kulli hal.
Kedua Belas : Kontradiksi Kaum Haraki
Saat sebagian Ulama memfatwakan bolehnya mendatangkan bala bantuan dari Negara kafir dalam Perang Teluk, mereka dicela habis oleh kaum haraki. Namun di revolusi Arab ini, giliran mereka yang jatuh dalam perkara yang mereka caci. Revolusi di Libya –misalnya– sangat jelas dibantu oleh NATO, Prancis dan Mahkamah Pidana Internasional. Herannya, kali ini nyaris tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Apakah isti’anah bil kuffar haram bagi Arab Saudi dan halal untuk kalian?
Kudeta yang dilakukan militer terhadap Mursi di Mesir dianggap batil, sementara kudeta yang mereka lakukan terhadap Husni Mubarak dianggap sah. Bedanya apa? Karena Mursi adalah bagian dari jama’ah anda.
Ketiga Belas : Anomali Arab Saudi Dan Aljazair.
Dalam revolusi Arab ini terjadi pengecualian di beberapa Negara, di antaranya Arab Saudi dan Aljazair. Saat kawasan Timur Tengah dilanda gelombang kudeta, Arab Saudi relatif adem ayem. Hanya ada riak-riak kecil di kota-kota Syiah yang bisa dengan mudah dikontrol. Ketika ‘ulama’ di negara-negara tetangga ikut mengompori revolusi, para ulama dan juru dakwah di Saudi membela dan menjelaskan hak besar Raja Abdullah atas rakyatnya. Dalam khutbah Jumat selalu terselip doa kebaikan untuk Sang Raja yang diamini oleh jutaan rakyatnya plus jutaan orang asing yang mengais rejeki di negeri penegak bendera tauhid ini. Begitulah jika ilmu dan sunnah menyinari suatu negeri. Hanya orang bodoh yang ingin mengganti kemakmuran dan keamanan negeri ini dengan prahara. Kondisi Negara-negara yang ‘berhasil’ dalam revolusi sungguh tidak pantas untuk dijadikan sasaran iri hati.
Revolusi juga tidak laku di Aljazair. Aljazair telah mengalami berbagai gejolak beberapa waktu yang lalu. Pegalaman pahit mengalami gejolak itu ditambah suburnya dakwah sunnah di negeri ini telah membuat rakyat Aljazair lebih dewasa . Ajakan melakukan aksi protes besar-besaranpun tidak berhasil.
Keempat belas : Sejarah Terulang, Syariat Islam Tidak Bisa Dibangun Dengan Jalan Demokrasi.
Apa yang terjadi di Mesir akhir-akhir ini, di mana militer membatalkan pemerintahan presiden Mursi sangat mirip dengan yang terjadi di Aljazair pada tahun 1992. Partai a-Ikhwan al-Muslimin (FJP) unggul dalam pemilu Mesir dengan 48 % suara. Selanjutnya Muhammad Mursi terpilih menjadi presiden. Setelah setahun memerintah, banyak pihak yang menuntutnya mundur, dan kemudian militer mengumumkan peralihan kekuasaan dari tangan Mursi. Pada tahun 1991,bahkan Partai FIS (Front Islamique du Salut/Front Penyelamatan Islam) memenangkan pemilu Aljazair dengan 82 % suara. Namun sebulan berselang, Majlis Tertinggi Negara yang dikuasai oleh militer mengumumkan pembatalan hasil pemilu yang diikuti pemberlakuan keadaan darurat dan pembubaran FIS. Dalihnya sama, yaitu penyelamatan demokrasi dari upaya islamisasi.
Perlawanan terhadap keputusan militer Aljazair menyeret rakyat ke dalam fitnah berkepanjangan yang menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang. Demikian juga kemenangan Partai Refah di Turki dalam pemilu 1995 tidak lantas membuat Islam tegak di sana.
Dalam sejarah modern, hanya Arab Saudi yang berhasil mendirikan Negara dan pemerintahan Islam. Usaha tak kenal lelah oleh para juru dakwah yang dipelopori Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akhirnya mendapat dukungan dari Raja Muhammad bin Saud. Dengan taufik dari Allâh, sinergi ulama dan umara ini berhasil mendirikan negara yang konsisten menjadikan Islam sebagai dasar Negara hingga saat ini.
Naiknya seorang pemimpin dan kedaulatan yang sudah di tangan ternyata tidak berarti apa-apa dalam upaya penegakan Islam. Apalagi jika itu didahului dengan kudeta yang merupakan pelanggaran agama.
Berkompromi dengan demokrasi semestinya dilakukan untuk mengecilkan kerusakan saja. Membentuk partai dan masuk dalam pemilu semestinya tidak dijadikan sarana utama. Sarana penegakan Islam adalah dakwah dengan tauhid sebagai prioritasnya. Sayangnya mereka yang memilih jalur politik sebagai medan juang justru lebih asyik dengan dunia politik dan sedikit banyak mengabaikan dakwah. Bahkan mereka yang ingin memperbaiki keadaan justru sebagian ikut terseret dalam arus kerusakan. Bahkan sebagian mengorbankan akidahnya demi memperoleh suara dukungan. Padahal, rakyat yang buruk tidak akan menghasilkan pemimpin yang baik. Kemenangan dan kekuasaan tanpa perbaikan agama rakyat hanyalah fatamorgana.
PENUTUP
Itulah beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari Revolusi Arab. Peristiwa yang dialami negara-negara Arab ini adalah cermin bagi umat Islam yang lain. Hendaknya kita menjadikannya sebagai pelajaran agar kita selamat di dunia dan akhirat. Orang bijak mengatakan,
السَّعِيدُ مَنْ وُعِظَ بِغَيْرِهِ
“Orang berbahagia adalah yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain.”[7]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Sumber: Almanhaj.or.id

Footnote
[1] Media barat menggambarkan revolusi ini sebagai musim semi yang indah, padahal isinya adalah kekacauan dan pertumpahan darah. Barangkali penamaan itu memang mencerminkan perasaan mereka. Mereka bertepuk tangan menyemangati umat Islam untuk saling tikam, sementara mereka hidup dengan tenang di negeri mereka. Adapun bagi umat Islam, revolusi ini bukanlah musim semi. Tidak pula memberi harapan datangnya musim semi; karena dalam sejarahnya kudeta hanya mendatangkan kerusakan yang lebih besar.
[2] Lihat: http://ar.wikipedia.org/wiki/ الثورات العربية
[3] Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 3/391.
[4] Artikel “Mendulang Hikmah dari Revolusi Timur Tengah” 3 (http://basweidan.com)
[5] Lihat: Liqa` al-Bâb al-Maftuh, no 179.
[6] Shahîh al-Bukhâri no. 3611
[7] Tafsir al-Qurthubi 18/5.



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Membongkar Sejarah Sentimen Etnis Tionghoa

Written By Rachmat.M.Flimban on 17 Februari 2018 | 2/17/2018 11:25:00 PM

Politik

Membongkar Sejarah Sentimen Etnis Tionghoa


Membaca tulisan seorang mantan jenderal yang terus-menerus membakar massa untuk sentimen terhadap etnis Tionghoa,penulis berusaha mencari asal muasal sentimen ini muncul,namun sebelum kita mengetahui sentimen ini ada baiknya kita melihat kembali sejarah pelayaran laksamana Cengho,seorang jenderal muslim dari Cina yang berlayar dengan pasukannya mengelilingi dunia dan tiba di Nusantara( Indonesia ) di sekitar abad ke-15,kisah ini kita ketahui karena Laksamana Cengho dalam pelayarannya membawa seorang penulis dan penerjemah yang bernama Mahuan dan tercatat dalam bukunya berjudul Yingyai Senglan.

Dalam laporan buku itu disebutkan bahwa masyarakat Etnis Cina telah tinggal di daerah pesisir Jawa dalam jumlah yang sangat banyak,bahkan mereka datang ke daerah Jawa ini sudah sejak nenek moyang mereka sekitar abad ke-5 masehi bahkan bukan di Jawa saja mereka juga sudah menyebar di Sriwijaya Sumatera,hal ini dapat di lihat dari catatan para pendeta Tiongkok yang mengembara dari Tiongkok menuju India melewati Jawa dan Sumatera seperti Catatan pendeta Fahien tahun 399,pendeta Hiun Tsang tahun 629,Pendeta I-tsing pada tahun 671masehi..Sebagai bangsa pedagang yang hebat,orang-orang Cina ini sudah menguasai perdagangan di Pulau Jawa dan Sumatera sejak masa kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Jawa.Bahkan mereka jugalah yang berpengaruh sejak Majapahit menjadi kerajaan besar dengan patih Gajah madanya yang tersohor itu.

Bahkan dalam buku Prof.Slamet Mulyana disebutkan bahwa masuknya Islam ke Pulau Jawa juga tidak luput dari peranan Etnis Tionghoa yang beragama Islam pada abad ke 14,Masuknya Sunan Ampel yang merupakan keponakan putri Campa Dwarawati yang menikah dengan Raja Majapahit Brawijaya,Sunan Ampel yang nama aslinya adalah Bong Swi Hoo adalah cucu penguasa tertinggi di Yunan, Tiongkok Selatan bernama Bong Tak Keng.

Sunan Ampel menikahi putri Kapten Cina yang berkedudukan di Tuban,Gan Eng Yu,lahirlah Sunan Bonang atau nama Tionghoanya Bon Ang Hoo,Sedangkan Kapten Cina Tuban ini punya seorang Putra bernama Gan Sie Cang atau Raden Said yang kelak terkenal sebagai Sunan Kalijaga.Sedangkan Sunan Giri adalah teman Sunan Bonang,sama-sama keturunan Etnis Tionghoa murid dari Sunan Ampel.Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat Fatahillah adalah putra Sultan Trenggana bernama Toh A Bo putra dari Tung Ka Lo.Demikianlah kalau kita baca sejarah,ternyata sejarah masuknya Islam pun tidak terlepas dari peran Etnis Tionghoa,bahkan penulis yakini bahwa sebenarnya Raja-Raja dan Sultan-Sultan di Indonesia pun adalah percampuran dari kalangan bangsawan Cina,terutama dari Yunan,Tiongkok Selatan.Hal ini sangat bertepatan apabila disebutkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Sungai Mekong,Indo Cina,Tiongkok Selatan.

Kembali ke judul di atas membongkar sejarah sentimen terhadap Etnis Tionghoa,kalau kita baca dari sejarah dari sejak Abad ke-5 sampai kepada abad ke 15 selama 1000 tahun,di Indonesia ini tidak pernah terjadi sentimen terhadap Etnis Tionghoa,bahkan Etnis Tionghoalah yang telah memajukan perdagangan di Nusantara ini.Sentimen Etnis Tionghoa ini terjadi setelah masuknya VOC ke negeri Nusantara ini.

Pada jaman Kolonial Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, para penjajah akan kewalahan. Karena itulah, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.

Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam-diam. Entah bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal-kapal Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan.

Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yang terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar-besaran di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang-orang pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai-sungai menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.


Demikianlah jika kita membongkar sejarah sentimen terhadap etnis Tionghoa,ternyata adalah akibat adu domba kolonial Belanda yang takut bersaing dengan kehebatn Etnis Tionghoa yang berdagang sejak lama di Nusantara,bahkan karena tahu saudara-saudaranya yang disebut Pribumi oleh Belanda yang akan diangkut dan dibuang ke laut lepas Afrika,justru etnis Tionghoa menyerbu kapal-kapal Belanda untuk menyelamatkan para kuli,yang disebut sebagai pribumi.Jadi istilah pribumi itu adalah istilah Belanda yang kasar terhadap kaum kuli,pekerja kasar yang disebut sebagai Inlander (Pribumi ) orang-orang rendahan.

Dengan memahami sejarah sentimen terhadap Etnis Tionghoa yang merupakan adu domba bangsa kolonial Belanda,penulis ingin mengajak saudara sebangsa dan setanah air,marilah hidup damai,dibawah panji NKRI,Pancasila dan Bhinnekha Tunggl Ika,Etnis Tionghoa adalah saudara kamu,family kamu,bahkan kemungkinan nenek moyangmu dan nenek moyang mereka pun sedarah,satu kampung halaman di Indo Cina sana,Sungai Mekong,Yunan Selatan,yang dahulu bernama negeri Campa.Salam Persatuan..


Sumber Artikel dari ; Kompasiana.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Pengamat Sejarah: Politisasi Isu Wahabi Sebagai Pemecah Belah Umat

Written By Rachmat.M.Flimban on 09 Mei 2017 | 5/09/2017 06:25:00 AM

Pengamat Sejarah: Politisasi Isu Wahabi Sebagai Pemecah Belah Umat


Nama Wahabi sengaja dipilih –para pembencinya- agar dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum

Hidayatullah.com–Bertempat di aula AQL Islamic Center, Tebet Jakarta Selatan, pada hari Sabtu 19 September 2015, Forum Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) menyelenggarakan diskusi menarik tentang isu Wahabi.

Kajian perdana yang disebut Ngobrol Bareng Sejarah Indonesia (NGOBRAS) diikuti 89 peserta dengan mengangkat tema; “Gerakan Pembaruan Islam Awal Abad 20”.

Tema ini diangkat bersamaan dengan memanasnya kembali isu wahabisme di Indonesia. Tentu saja, sebagai umat Islam diperlukan kajian serius agar tidak terjerumus pada berita-berita yang simpang-siur dan provokatif.

Acara dimulai pukul 10.00 WIB dan dibuka oleh Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), selaku moderator.

Dalam memaparkan sinopsis ringkas tentang tema kajian, Beggy mengharap agar kajian sejarah seperti ini bisa konsisten dilaksanakan setiap bulan.

Setelah dirasa cukup, acara diserahkan langsung kepada presentator Tiar Anwar Bachtiar, doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia ini.

Dalam pembukaan, Tiar menandaskan pentingnya sejarah sebagai referensi bagi tindakan umat.

Selanjutnya, Ketua Persatuan Pemuda PERSIS ini menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah muncunya Wahabi serta pengaruhnya pada Pembaruan Islam Indonesia pada awal 20-an hingga masa sekarang.

Ada catatan penting yang beliau sampaikan, di antaranya; penyebutan istilah Wahabi sebenarnya kuranglah tepat. Pasalnya, kalau mau konsisten, seharusnya kalau dinisbahkan kepada Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka semestinya bernama: Muhammadiyah.

“Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam menggunakan istilah,” ujar Tiar.

Lebih jauh ia benang merah, penyebutan istilah Wahabi sangat sarat muatan politis. Sebab nama Wahabi sengaja dipilih –oleh pembencinya- supaya dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah pada abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum.

“Masalah konflik antara Wahabi dan Asy`ari sudah terjadi beberapa abad yang lalu, kalau sekarang memanas kembali berarti ada yang menunggangi,” ujarnya.

Paling tidak –menurut analisis Tiar- ada dua hal mendasar yang menyebabkan isu ini memanas kembali.

Pertama, isu ini dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak berkepentingan untuk memecah-belah umat.

Tiar menyebut adagium menarik yang sempat dikemukakan terkait masalah konflik internal umat Islam ini.

“Konflik yang terjadi sebenarnya bukan karena perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan,” demikian ia mengistilahkan.

Artinya, konflik perbedaan sebenarnya sudah lama usai. Namun karena ada kepentingan politis, isu ini diangkat kembali.

Kedua, buntunya komunikasi umat. Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa di antara umat Islam. Apalagi, jika masalah khilafiyah furu`iyah (perbedaan pada masalah agama yang cabang bukan pokok) dibesar-besarkan, maka akan menjadi semakin runyam.

Solusi paling riil untuk menghadapinya jelasnya ialah tidak memperbesar konflik di wilayah furu`iyah, sembari dibangun kembali semangat bertoleransi, kemudian perlu dijalin komunikasi yang baik antar umat.

Selama umat Islam tidak “terpadu”(tergantung pada duit), tak bermuatan kepentingan politik, serta mampu menjalankan komunikasi dengan baik, maka Insyaallah isu lama seperti Wahabisme tidak akan berakibat pada konflik yang lebih besar.

“Lebih baik energi umat Islam disatukan pada hal-hal yang disepakati, serta tolerir terhadap yang tidak disepakati agar tidak terbuang percuma.”

Menjelang Pukul 12.00 siang, diskusi pun dipungkasi dengan beberapa harapan besar dari pembicara.

Pertama, ia meminta agar umat bisa menjaga persatuan dan tidak terpengaruh dengan istilah-istilah provokatif. Kedua, pentingnya menjalin komunikasi yang baik antarumat Islam.*/Kiriman
Mahmud Budi Setiawan


Sumber Artikel; Frame.bloglovin.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Manhaj,Kembalilah Ke Tugas Utamamu

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 Maret 2017 | 3/25/2017 06:53:00 AM


Kembalilah Ke Tugas Utamamu
Ayo kembali ke tugas kita, ilmu, amal dan dakwah.
Mari kita menghargai waktu kita, kembali membenahi hubungan kita
dengan Allah saat fitnah seperti ini
By Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi 18 January 2017

Akhir-akhir ini, banyak orang bahkan penuntut ilmu dan ustadz tersedot waktu,
energi dan pikiran untuk mengikuti berita perkembangan politik praktis negeri
ini yang semakin carut marut.
 
Beberapa penuntut ilmu bahkan ustadz mendadak berubah profesi dari pendakwah
menjadi pengamat politik bahkan politikus yang mengulas dan menganalisa peta
politik sehingga tersibukkan dari tugas mulia yang inti.
 
Lebih para lagi, para awam yang tidak mengerti thaharah (bersuci) dan shalat
pun berani berbicara masalah besar tanpa kontrol dan kendali seakan ulama kibar
dan Mufti.
Saudaraku, manhaj salaf yang saya kenal sejak dulu adalah menyibukkan diri
dengan ilmu, amal dan dakwah, bukan dengan politik praktis zaman ini yang penuh
dengan noda-noda yang bertentangan dengan syariat Islam yang mulia. Dahulu
Syaikh Albani berkata:
من السياية اليوم ترك السياية
“Termasuk politik syar’i zaman ini adalah meninggalkan politik praktis”.
Sungguh, sebuah nasehat dan ucapan yang sangat indah. Dan lebih indah lagi
jika kita mengamalkannya, lebih-lebih dalam situasi hiruk-pikuk politik yang
melelahkan saat ini.
Ayo kembali ke tugas kita, ilmu, amal dan dakwah. Mari kita menghargai waktu
kita, kembali membenahi hubungan kita dengan Allah saat fitnah seperti ini.
Bukankah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
العبادة في الهرج كهجرة إلي
“Ibadah saat kacau pahalanya sepertinya hijrah padaku” (HR. Muslim no. 2948).
Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa bisa begitu? Karena saat situasi kacau, biasanya banyak orang lalai dari ibadah kepada Allah.
Bukan berarti kita tidak memikirkan masalah negeri, tapi kita punya cara sendiri menghadapinya berdasarkan tuntunan ilahi yaitu dengan menyibukkan
ibadah. Kalaupun berbicara tentang politik, biarlah hal itu kita serahkan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dari ulama dan umara’ tanpa menyibukkan umat dan memprovokasi menuju anarkisme, demonstrasi dan pertumpahan darah.
Sekali lagi, mari bersikap tenang, jangan sibukkan diri kita dengan politik praktis.
Wahai para penuntut ilmu dan para ustadz, tolong ajarkanlah kami kembali kepada ilmu yg bermanfaat, gandenglah tangan kami menuju surga, jangan sibukkan
kami terlibat dan terjun dalam dunia politik praktis yang kotor.
Semoga Allah memperbaiki keadaan negeri ini.

Penulis: Artikel Muslim.or.id, Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Disalin dari Sumber Artikel : Muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

صدام حسين يكرم جندي ذو لحيه طويلة ويضحك معه

Written By Rachmat.M.Flimban on 24 Maret 2017 | 3/24/2017 01:02:00 AM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Mengapa Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak Menempuh Solusi Politik

Written By Rachmat.M.Flimban on 20 Januari 2017 | 1/20/2017 02:26:00 AM

Mengapa Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak Menempuh Solusi Politik

dan

Revolusi dalam Perbaikan Masyarakat?[1]

Oleh

Syaikh Abdul Malik Ramadhani


 

Agama Islam telah mencakup seluruh kebutuhan makhluk, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri [An-Nahl/16:89].

Diantara kebutuhan ini adalah sisi politik yang menjadi sarana keteraturan masyarakat dan sisi jihad yang menjadi penjamin kemuliaan dan menghalangi musuh yang menyerangnya. Kemulian orang yang melaksanakan kedua hal ini dengan ilmu dan keadilan adalah perkara yang sudah masyhur.

Hal ini kami sampaikan untuk menjelaskan bahwa politik syar’i termasuk bagian agama dan jihad yang syar’i juga bagian dari agama bahkan menjadi menaranya sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Namun ketika banyak kaum Muslimin yang tidak memiliki banyak pengetahuan dari ajaran agama mereka, maka banyak musibah yang menimpa mereka. Padahal dahulu kaum Muslimin adalah umat yang satu lagi mulia dan kokoh, tiba-tiba berubah persatuannya menjadi perpecahan dan kekuatannya menjadi lemah sekali. Para aktifis dakwah Islam telah melakukan perbaikan keadaan yang ada, namun mereka berselisih dalam perbaikan ini sesuai perbedaan mereka dalam merealisasikan akar permasalahan. Mayoritas memandang semua musibah besar yang menimpa kaum Muslimin sekarang, sebabnya adalah rusaknya sistem perpolitikan. Hal ini telah menjadi hasil pemikiran para jamaah dakwah yang beragam manhajnya.

Ada dua jama’ah yang muncul di medan dakwah. Yang pertama memandang semua ini menuntut kaum Muslimin terlibat langsung ke medan politik untuk merubah program-program pemerintah; Dan yang kedua memandang tidak ada obat dalam hal ini kecuali peperangan.

Kelompok pertama meyakini semua hal ini perlu untuk berlomba-lomba meraih kekuasaan dan yang lainnya hanya memandang mengkudeta para penguasa imperalis.

Bukanlah perbedaan disini dalam masalah pengakuan tentang rusaknya keadaan masyarakat dan tidak juga tentang urgensinya berusaha memperbaiki keadaan atau tidak memperbaiki. Namun perbedaannya yaitu dalam metode memperbaikinya. Efek dari perbedaan dalam masalah ini cukup jelas; karena cara perbaikan apabila dianggap tidak ada atau dilalaikan maka pelakunya terus akan kelelahan merubah sesuatu tapi bukan pintunya. Ini seperti orang yang ingin sampai pada satu sasaran tidak melalui jalurnya, lalu kapan sampainya?!

Demikian juga masalah mencari akar masalah penyimpangan, karena tabiat terapi berbeda-beda sesuai perbedaan analisa pokok penyakit. Oleh karenanya saya ingin menjelaskan sebab utama musibah kaum Muslimin; karena pengetahuan tentang hal ini menentukan cara pengobatan yang pas. Sebab keberhasilan pengobatan seluruh penyakit berawal dari akar masalah ini.

Orang yang meneliti sejarah pelaku perbaikan –terutama para Nabi – mengetahui secara yakin bahwa dua jamaah di atas menyelisihi mereka, baik dalam melihat akar permasalahannya atau melihat cara memperbaikinya; sebab para Nabi diutus pada kaum yang memiliki semua keburukan termasuk juga buruk dalam politik, lalu tida ada dalam al-Qur`an dan as-Sunnah satu petunjukpun yang menjelaskan para Nabi pertama kali melakukan perbaikan keadaan politik dengan menjadi praktisi politik atau praktisi revolusi berdarah.

Barangsiapa meneliti dakwah para Nabi dengan niat menerima dan mencontoh tentulah akan tampak jelas dan yakin akan hal tersebut tanpa susah payah. Sebab para Nabi diajak masuk dan ikut dalam kekuasan lalu mereka menolak dengan menyatakan kepada kaum mereka:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam [Asy-Syu’ara/26:109]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus pada waktu kerusakan politik yang sudah merata. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memfokuskan pada perbaikan sistem perpolitikan, walaupun politik adalah bagian dari agama sebagaimana telah dijelaskan tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diajak oleh para pemimpin besar Quraisy untuk bersekutu dalam kekuasaan dan beliau menolaknya. Bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsîr pada awal-awal surat Fushilat dan ada juga riwayat yang semakna dengan ini bisa dilihat takhrijnya dan dihasankan oleh syaikh al-Albâni t dalam komentar beliau t pada kitab Fiqhus-Sîrah, hlm 106. Dalam sebagian jalan periwayatkannya, kaum Quraisy berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا، سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا، فَلاَ نَقْطَعْ أَمْرًا دُوْنَكَ. وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا.

Apabila kamu inginkan kehormatan maka kami jadikan kamu pemimpin kami dan kami tidak akan memutuskan satu perkarapun tanpa kamu dan bila kamu inginkan kerajaan maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami…

Bahkan orang yang membandingkan antara dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada raja-raja dan para penguasa dengan dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakay pasti mengetahui perbedaannya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menghadapi masyarakat dengan bergerak dan semangat berapi-api dalam mendakwahi mereka di tempat-tempat berkumpul mereka, pasar-pasar dan rumah-rumah serta selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi mereka, baik kabilah maupun pribadi-pribadi tanpa lelah hingga mencapai puncak kesedihan, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat [Fâthir/35: 8]

Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir bunuh diri karena itu hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran) [Al-Kahfi/18: 6]

Sedangkan terhadap para raja dan penguasa pada umumnya keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebani dirinya untuk datang menemui mereka, bahkan cukup dengan mengutus utusan kepada mereka membawa ucapan ringkas dan selesai, ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Dari Muhammad hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya kepada Hiraklius penguasa Romawi, Semoga keselamatan diberikan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Sungguh aku mengajak kamu dengan ajakan islam: Masuklah kedalam Islam niscaya kamu selamat dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kamu pahala dua kali. Apabila kamu berpaling maka kamu menanggung dosa arisiyun dan Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala “. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Ali Imrân/3:64). [HR al-Bukhari (no.7) dan Muslim (no 1773].

Bandingkanlah antara dakwah Nabi yang bijak dengan ceramah-ceramah politik yang panjang dan menghabiskan umur prkatisinya hingga jenggot mereka beruban, pasti mengetahui mana dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Bahkan waktu itu masuk islam seorang raja besar yaitu an-Najâsyî raja Habasyah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpikir untuk berhijrah kesana untuk tinggal menetap di kerajaannya atau menjadikannya sebagai awal negara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak berkata: Dari istana seperti ini dakwah akan berjalan maju; karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa masyarakat umum apabila belum menerima sepenuhnya Islam, maka keksuasan yang didapatkan tidak banyak bermanfaat. Kalau begitu, wajib bagi pengikut para Nabi untuk memperhatikan cara-cara mereka dalam perbaikan. Kalau sudah demikian maka kemenanganpun akan datang!

Pengaruh perubahan raja dalam perbaikan masyarajak sudah sangat jelas; namun ketika kebaikan dan rusaknya raja mengikuti kebaikan dan kerusakan masyarakatnya dan tidak sebaliknya. Maka perbedaan inilah yang ada dalam sejarah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara perbaikan pemimpin dan perbaikan masyarakat dan perhatian besar dalam mendakwahi masyarakat lebih banyak dari perhatian mendakwahi raja-raja.

Sebuah kepastian bahwa penyebab kerusakan keadaan kaum Muslimin di semua negara adalah kerusakan penguasa dan rakyat. Kalau sudah jelas demikian maka kerusakan penguasa banyak menyebabkan kerusakan rakyatnya dengan memasukkan kepada rakyatnya aturan-aturan yang menyelisihi syariat Rabb alam semesta. Maka perlu diketahui rusaknya penguasa disebabkan pertama kali dari rusaknya rakyat; karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan bahwa diantara takdir-Nya adalah orang zhalim menjajah orang yang zhalim juga. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan pengertian ini dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan para pemimpin yang hidup mewah dengan kedurhakan mereka menjajah penduduk negeri yang pantas dibinasakan. Tidak diragukan lagi penduduk tersebut berhak dibinasakan karena mereka zhalim, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا

Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka [Al-Kahfi/18:59].

Sebagian salaf memahami ayat ini dengan tafsir ini, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim t (6/30) dan al-Baihaqi t dalam asy-Syu’ab al-Imaan no. 7389 dan Abu Amru ad-Daani t dalam as-Sunan al-Waaridah fil Fitan no. 299 dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbâr bahwa beliau berkata:

إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ أَهْلِهِ , فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيهِمْ مُصْلِحًا , وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيهِمْ مُتْرِفًا , ثُمَّ قَرَأَ: وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Sesungguhnya setiap zaman ada raja yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala angkat sesuai hati-hati penduduknya. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala inginkan pada satu kaum kebaikan maka mengangkat pada mereka raja yang memperbaiki dan bila ingin kebinasaan maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat pemimpin yang bermewah-mewahan, kemudian beliau membaca firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadîr 1/265 berkata, “Lengkapnya adalah jika Allah Azza wa Jalla menginginkan keburukan pada satu kaum yang jelek, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat para tokoh yang bermewah-mewah sebagai pemimpin mereka karena ketidak istiqamahan rakyat tersebut.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dengan jelas bahwa kezhaliman penguasa kepada rakyatnya diawali dengan dosa-dosa mereka sendiri. Beliau bersabda:

وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.

Dan mereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali disiksa dengan kelaparan dan kesulitan hidup serta kezhaliman penguasa [HR Ibnu Majah no. 4019 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu majah].

Demikianlah efek dosa, tidak dilanggar peringatan Allah di satu kaum kecuali akan tertimpa mala petaka, sehingga mereka terjajah, dirampas rezeki mereka, dilecehkan kehormatan dan hilang kebebesan mereka. Kemungkaran menimpa mereka sesuai kadar kejelekan yang mereka perbuat dan hilang dari mereka kebahagian sesuai dengan yang mereka hilangkan dari ketaatan.

Ketika ini semua adalah sebab utama, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan perbaikan individu sebagai cara satu-satunya dalam perbaikan penguasa dan rakyat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [Ar-Ra’d/13:11]

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dalam Khutbah beliau dari berlindung dari keburukan jiwa , beliau berkata:

وَنَعُوذُ بهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيئاتِ أعْمَالِنَا

Dan kami berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa dan kejelakan amalan kami. (HR ash-Habus sunan dan dishahihkan al-Albani ).

Mengapa banyak para dai yang berpaling dari ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini?

Yang mendorong saya untuk menyampaikan tulisan ini adalah rasa sayang kepada usaha besar yang telah dikeluarkan dalam dakwah islam yang habis tanpa faedah yang dapat dikenang, lebih-lebih lagi usaha-usaha ini mencakup medan luas dari medan-medan dakwah yang menyita banyak waktu praktisinya. Seandainya mereka mengambil petunjuk al-Qur`an dan Sunnah dan meneliti sirah para Nabi dengan niyat ittiba’ pastilah sampai dengan izin Allah pada tujuan dengan waktu yang singkat. Namun yang menyimpang dari hal ini dari dua kelompok yang telah diisyaratkan diatas dikhawatirkan tidak mendapatkan bagian dari amalannya ini kecuali seperti yang disampaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ

Bekerja keras lagi kepayahan. [Al-Ghâsyiyah/88:3]

Inilah keadaan orang-orang yang berlebihan dalam praktek politik dan revolusi berdarah.


 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015.

Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, J

l. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183

Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.

Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,

Redaksi 08122589079]


Footnote

[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi? dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40


Dikutib dari Asali; Sumber: almanhaj.or.id

Blog Duta Asri Palem 3

Al-Islam

Mushola Nurul Iman

author; Rachmat. Flimban


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Politik Ahlus Sunnah Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslim

Written By Rachmat.M.Flimban on 18 Januari 2017 | 1/18/2017 07:50:00 PM

AHLUS SUNNAH TAAT KEPADA PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiyatan, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena mentaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wajib.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kalian.” [An-Nisaa/4: 59]

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَطاَعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [1]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.”[2]

Apabila mereka memerintahkan perbuatan maksiyat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ آمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ…

“…Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam…“[3]

Ahlus Sunnah memandang bahwa maksiat kepada seorang amir (pemimpin) yang muslim merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.”[4]

Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” [Asy-Syuraa/42: 30]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [Al-An’aam/6: 129]

Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.”[5]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan lisan kita’ karena itu agar umat Islam selamat:

Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hendaklah mereka memperbaiki ‘aqidah mereka.

Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d/13: 11]

Ada seorang da’i berkata:

أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ اْلإِسْلاَمِ فِي قُلُوْبِكُمْ، تُقَمْ لَكُمْ فِيْ أَرْضِكُمْ

“Tegakkanlah negara Islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak Islam di negaramu.”

Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“… Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj/: 40][6]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menganjurkan agar menasihati ulil amri dengan cara yang baik serta mendo’akan amir yang fasiq agar diberi petunjuk untuk melaksanakan kebaikan dan istiqamah di atas kebaikan, karena baiknya mereka bermanfaat untuk ia dan rakyatnya.

Imam al-Barbahari (wafat tahun 329 H) rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.”

Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan bukan keburukan meskipun ia seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin akan merasakan manfaat dari do’anya.” [7]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]


Footnote

[1] HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa-i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1/351 no. 181) oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah

[2] HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah (no. 2864), an-Nasa-i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Saha-bat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini adalah lafazh Muslim

[3] HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan di-sepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh ini milik al-Hakim

[4] HR. Al-Bukhari (no. 7137), Muslim (no. 1835 (33)), Ibnu Majah (no. 2859) dan an-Nasa-i (VII/154), Ahmad (II/252-253, 270, 313, 511), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/41, no. 2450-2451), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[5] Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 543) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki

[6] Al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah (hal. 69), tahqiq Syaikh al-Albani, cet. II/Maktab al-Islami, th. 1414 H.

[7] Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahari

Dikutib dari Asali : almanhaj.or.id

Blog Duta Asri Palem 3

Al-Islam

Mushola Nurul Iman

author; Rachmat. Flimban


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger