Mengapa Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah tidak Menempuh Solusi Politik
dan
Revolusi dalam Perbaikan
Masyarakat?[1]
Oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhani
Agama Islam telah mencakup seluruh kebutuhan makhluk, Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri [An-Nahl/16:89].
Diantara kebutuhan ini adalah sisi politik yang menjadi sarana keteraturan
masyarakat dan sisi jihad yang menjadi penjamin kemuliaan dan menghalangi musuh
yang menyerangnya. Kemulian orang yang melaksanakan kedua hal ini dengan ilmu
dan keadilan adalah perkara yang sudah masyhur.
Hal ini kami sampaikan untuk menjelaskan bahwa politik syar’i termasuk bagian
agama dan jihad yang syar’i juga bagian dari agama bahkan menjadi menaranya
sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Namun ketika banyak kaum Muslimin yang tidak memiliki banyak pengetahuan dari
ajaran agama mereka, maka banyak musibah yang menimpa mereka. Padahal dahulu
kaum Muslimin adalah umat yang satu lagi mulia dan kokoh, tiba-tiba berubah
persatuannya menjadi perpecahan dan kekuatannya menjadi lemah sekali. Para
aktifis dakwah Islam telah melakukan perbaikan keadaan yang ada, namun mereka
berselisih dalam perbaikan ini sesuai perbedaan mereka dalam merealisasikan akar
permasalahan. Mayoritas memandang semua musibah besar yang menimpa kaum Muslimin
sekarang, sebabnya adalah rusaknya sistem perpolitikan. Hal ini telah menjadi
hasil pemikiran para jamaah dakwah yang beragam manhajnya.
Ada dua jama’ah yang muncul di medan dakwah. Yang pertama memandang semua ini
menuntut kaum Muslimin terlibat langsung ke medan politik untuk merubah
program-program pemerintah; Dan yang kedua memandang tidak ada obat dalam hal
ini kecuali peperangan.
Kelompok pertama meyakini semua hal ini perlu untuk berlomba-lomba meraih
kekuasaan dan yang lainnya hanya memandang mengkudeta para penguasa imperalis.
Bukanlah perbedaan disini dalam masalah pengakuan tentang rusaknya keadaan
masyarakat dan tidak juga tentang urgensinya berusaha memperbaiki keadaan atau
tidak memperbaiki. Namun perbedaannya yaitu dalam metode memperbaikinya. Efek
dari perbedaan dalam masalah ini cukup jelas; karena cara perbaikan apabila
dianggap tidak ada atau dilalaikan maka pelakunya terus akan kelelahan merubah
sesuatu tapi bukan pintunya. Ini seperti orang yang ingin sampai pada satu
sasaran tidak melalui jalurnya, lalu kapan sampainya?!
Demikian juga masalah mencari akar masalah penyimpangan, karena tabiat terapi
berbeda-beda sesuai perbedaan analisa pokok penyakit. Oleh karenanya saya ingin
menjelaskan sebab utama musibah kaum Muslimin; karena pengetahuan tentang hal
ini menentukan cara pengobatan yang pas. Sebab keberhasilan pengobatan seluruh
penyakit berawal dari akar masalah ini.
Orang yang meneliti sejarah pelaku perbaikan –terutama para Nabi – mengetahui
secara yakin bahwa dua jamaah di atas menyelisihi mereka, baik dalam melihat
akar permasalahannya atau melihat cara memperbaikinya; sebab para Nabi diutus
pada kaum yang memiliki semua keburukan termasuk juga buruk dalam politik, lalu
tida ada dalam al-Qur`an dan as-Sunnah satu petunjukpun yang menjelaskan para
Nabi pertama kali melakukan perbaikan keadaan politik dengan menjadi praktisi
politik atau praktisi revolusi berdarah.
Barangsiapa meneliti dakwah para Nabi dengan niat menerima dan mencontoh
tentulah akan tampak jelas dan yakin akan hal tersebut tanpa susah payah. Sebab
para Nabi diajak masuk dan ikut dalam kekuasan lalu mereka menolak dengan
menyatakan kepada kaum mereka:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku
tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam [Asy-Syu’ara/26:109]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus pada waktu kerusakan
politik yang sudah merata. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak
memfokuskan pada perbaikan sistem perpolitikan, walaupun politik adalah bagian
dari agama sebagaimana telah dijelaskan tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun diajak oleh para pemimpin besar Quraisy untuk bersekutu dalam
kekuasaan dan beliau menolaknya. Bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsîr pada
awal-awal surat Fushilat dan ada juga riwayat yang semakna dengan ini bisa
dilihat takhrijnya dan dihasankan oleh syaikh al-Albâni t dalam komentar beliau
t pada kitab Fiqhus-Sîrah, hlm 106. Dalam sebagian jalan periwayatkannya, kaum
Quraisy berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا، سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا، فَلاَ نَقْطَعْ
أَمْرًا دُوْنَكَ. وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا.
Apabila kamu inginkan kehormatan maka kami jadikan kamu pemimpin kami dan
kami tidak akan memutuskan satu perkarapun tanpa kamu dan bila kamu inginkan
kerajaan maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami…
Bahkan orang yang membandingkan antara dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada raja-raja dan para penguasa dengan dakwah Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada masyarakay pasti mengetahui perbedaannya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menghadapi masyarakat dengan
bergerak dan semangat berapi-api dalam mendakwahi mereka di tempat-tempat
berkumpul mereka, pasar-pasar dan rumah-rumah serta selainnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi mereka, baik kabilah maupun
pribadi-pribadi tanpa lelah hingga mencapai puncak kesedihan, sehingga Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ
Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya
Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat [Fâthir/35: 8]
Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir bunuh diri karena itu
hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا
الْحَدِيثِ أَسَفًا
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati
setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini
(al-Quran) [Al-Kahfi/18: 6]
Sedangkan terhadap para raja dan penguasa pada umumnya keadaan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebani dirinya untuk datang menemui
mereka, bahkan cukup dengan mengutus utusan kepada mereka membawa ucapan ringkas
dan selesai, ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:
مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ:
سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ
بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ
مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Dari Muhammad hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya kepada Hiraklius
penguasa Romawi, Semoga keselamatan diberikan kepada orang yang mengikuti
petunjuk. Amma ba’du: Sungguh aku mengajak kamu dengan ajakan islam: Masuklah
kedalam Islam niscaya kamu selamat dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kamu
pahala dua kali. Apabila kamu berpaling maka kamu menanggung dosa arisiyun dan
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh
Subhanahu wa Ta’ala “. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
“Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”
(Ali Imrân/3:64). [HR al-Bukhari (no.7) dan Muslim (no 1773].
Bandingkanlah antara dakwah Nabi yang bijak dengan ceramah-ceramah politik
yang panjang dan menghabiskan umur prkatisinya hingga jenggot mereka beruban,
pasti mengetahui mana dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak dengan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Bahkan waktu itu masuk islam seorang raja besar yaitu an-Najâsyî raja
Habasyah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpikir untuk berhijrah
kesana untuk tinggal menetap di kerajaannya atau menjadikannya sebagai awal
negara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak berkata: Dari istana
seperti ini dakwah akan berjalan maju; karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui bahwa masyarakat umum apabila belum menerima sepenuhnya Islam,
maka keksuasan yang didapatkan tidak banyak bermanfaat. Kalau begitu, wajib bagi
pengikut para Nabi untuk memperhatikan cara-cara mereka dalam perbaikan. Kalau
sudah demikian maka kemenanganpun akan datang!
Pengaruh perubahan raja dalam perbaikan masyarajak sudah sangat jelas; namun
ketika kebaikan dan rusaknya raja mengikuti kebaikan dan kerusakan masyarakatnya
dan tidak sebaliknya. Maka perbedaan inilah yang ada dalam sejarah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara perbaikan pemimpin dan perbaikan masyarakat
dan perhatian besar dalam mendakwahi masyarakat lebih banyak dari perhatian
mendakwahi raja-raja.
Sebuah kepastian bahwa penyebab kerusakan keadaan kaum Muslimin di semua
negara adalah kerusakan penguasa dan rakyat. Kalau sudah jelas demikian maka
kerusakan penguasa banyak menyebabkan kerusakan rakyatnya dengan memasukkan
kepada rakyatnya aturan-aturan yang menyelisihi syariat Rabb alam semesta. Maka
perlu diketahui rusaknya penguasa disebabkan pertama kali dari rusaknya rakyat;
karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi
teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan
[Al-An’âm/6:129]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan bahwa diantara takdir-Nya adalah
orang zhalim menjajah orang yang zhalim juga. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga
menjelaskan pengertian ini dalam firman-Nya:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا
فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].
Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan para pemimpin yang hidup
mewah dengan kedurhakan mereka menjajah penduduk negeri yang pantas dibinasakan.
Tidak diragukan lagi penduduk tersebut berhak dibinasakan karena mereka zhalim,
sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ
مَوْعِدًا
Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan
telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka [Al-Kahfi/18:59].
Sebagian salaf memahami ayat ini dengan tafsir ini, diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim t (6/30) dan al-Baihaqi t dalam asy-Syu’ab al-Imaan no. 7389 dan Abu Amru
ad-Daani t dalam as-Sunan al-Waaridah fil Fitan no. 299 dengan sanad yang shahih
dari Ka’ab al-Ahbâr bahwa beliau berkata:
إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ أَهْلِهِ ,
فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيهِمْ مُصْلِحًا , وَإِذَا
أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيهِمْ مُتْرِفًا , ثُمَّ قَرَأَ: وَإِذَا
أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا
فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Sesungguhnya setiap zaman ada raja yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala angkat
sesuai hati-hati penduduknya. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala inginkan pada
satu kaum kebaikan maka mengangkat pada mereka raja yang memperbaiki dan bila
ingin kebinasaan maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat pemimpin yang
bermewah-mewahan, kemudian beliau membaca firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].
Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadîr 1/265 berkata, “Lengkapnya adalah
jika Allah Azza wa Jalla menginginkan keburukan pada satu kaum yang jelek, maka
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat para tokoh yang bermewah-mewah sebagai
pemimpin mereka karena ketidak istiqamahan rakyat tersebut.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dengan
jelas bahwa kezhaliman penguasa kepada rakyatnya diawali dengan dosa-dosa mereka
sendiri. Beliau bersabda:
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ
وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.
Dan mereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali disiksa dengan
kelaparan dan kesulitan hidup serta kezhaliman penguasa [HR Ibnu Majah no. 4019
dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu majah].
Demikianlah efek dosa, tidak dilanggar peringatan Allah di satu kaum kecuali
akan tertimpa mala petaka, sehingga mereka terjajah, dirampas rezeki mereka,
dilecehkan kehormatan dan hilang kebebesan mereka. Kemungkaran menimpa mereka
sesuai kadar kejelekan yang mereka perbuat dan hilang dari mereka kebahagian
sesuai dengan yang mereka hilangkan dari ketaatan.
Ketika ini semua adalah sebab utama, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan perbaikan individu sebagai cara satu-satunya dalam perbaikan penguasa
dan rakyat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
[Ar-Ra’d/13:11]
Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dalam
Khutbah beliau dari berlindung dari keburukan jiwa , beliau berkata:
وَنَعُوذُ بهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيئاتِ أعْمَالِنَا
Dan kami berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa dan
kejelakan amalan kami. (HR ash-Habus sunan dan dishahihkan al-Albani ).
Mengapa banyak para dai yang berpaling dari ketaatan kepada Allâh Subhanahu
wa Ta’ala dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah
ini?
Yang mendorong saya untuk menyampaikan tulisan ini adalah rasa sayang kepada
usaha besar yang telah dikeluarkan dalam dakwah islam yang habis tanpa faedah
yang dapat dikenang, lebih-lebih lagi usaha-usaha ini mencakup medan luas dari
medan-medan dakwah yang menyita banyak waktu praktisinya. Seandainya mereka
mengambil petunjuk al-Qur`an dan Sunnah dan meneliti sirah para Nabi dengan
niyat ittiba’ pastilah sampai dengan izin Allah pada tujuan dengan waktu yang
singkat. Namun yang menyimpang dari hal ini dari dua kelompok yang telah
diisyaratkan diatas dikhawatirkan tidak mendapatkan bagian dari amalannya ini
kecuali seperti yang disampaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ
Bekerja keras lagi kepayahan. [Al-Ghâsyiyah/88:3]
Inilah keadaan orang-orang yang berlebihan dalam praktek politik dan revolusi
berdarah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015.
Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, J
l. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.
Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul
Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi?
dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40
Dikutib dari Asali; Sumber: almanhaj.or.id
Blog Duta Asri Palem 3
Al-Islam
Mushola Nurul Iman
author;
Rachmat. Flimban