Latest Post
Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan

Membongkar Sejarah Sentimen Etnis Tionghoa

Written By Rachmat.M.Flimban on 17 Februari 2018 | 2/17/2018 11:25:00 PM

Politik

Membongkar Sejarah Sentimen Etnis Tionghoa


Membaca tulisan seorang mantan jenderal yang terus-menerus membakar massa untuk sentimen terhadap etnis Tionghoa,penulis berusaha mencari asal muasal sentimen ini muncul,namun sebelum kita mengetahui sentimen ini ada baiknya kita melihat kembali sejarah pelayaran laksamana Cengho,seorang jenderal muslim dari Cina yang berlayar dengan pasukannya mengelilingi dunia dan tiba di Nusantara( Indonesia ) di sekitar abad ke-15,kisah ini kita ketahui karena Laksamana Cengho dalam pelayarannya membawa seorang penulis dan penerjemah yang bernama Mahuan dan tercatat dalam bukunya berjudul Yingyai Senglan.

Dalam laporan buku itu disebutkan bahwa masyarakat Etnis Cina telah tinggal di daerah pesisir Jawa dalam jumlah yang sangat banyak,bahkan mereka datang ke daerah Jawa ini sudah sejak nenek moyang mereka sekitar abad ke-5 masehi bahkan bukan di Jawa saja mereka juga sudah menyebar di Sriwijaya Sumatera,hal ini dapat di lihat dari catatan para pendeta Tiongkok yang mengembara dari Tiongkok menuju India melewati Jawa dan Sumatera seperti Catatan pendeta Fahien tahun 399,pendeta Hiun Tsang tahun 629,Pendeta I-tsing pada tahun 671masehi..Sebagai bangsa pedagang yang hebat,orang-orang Cina ini sudah menguasai perdagangan di Pulau Jawa dan Sumatera sejak masa kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Jawa.Bahkan mereka jugalah yang berpengaruh sejak Majapahit menjadi kerajaan besar dengan patih Gajah madanya yang tersohor itu.

Bahkan dalam buku Prof.Slamet Mulyana disebutkan bahwa masuknya Islam ke Pulau Jawa juga tidak luput dari peranan Etnis Tionghoa yang beragama Islam pada abad ke 14,Masuknya Sunan Ampel yang merupakan keponakan putri Campa Dwarawati yang menikah dengan Raja Majapahit Brawijaya,Sunan Ampel yang nama aslinya adalah Bong Swi Hoo adalah cucu penguasa tertinggi di Yunan, Tiongkok Selatan bernama Bong Tak Keng.

Sunan Ampel menikahi putri Kapten Cina yang berkedudukan di Tuban,Gan Eng Yu,lahirlah Sunan Bonang atau nama Tionghoanya Bon Ang Hoo,Sedangkan Kapten Cina Tuban ini punya seorang Putra bernama Gan Sie Cang atau Raden Said yang kelak terkenal sebagai Sunan Kalijaga.Sedangkan Sunan Giri adalah teman Sunan Bonang,sama-sama keturunan Etnis Tionghoa murid dari Sunan Ampel.Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat Fatahillah adalah putra Sultan Trenggana bernama Toh A Bo putra dari Tung Ka Lo.Demikianlah kalau kita baca sejarah,ternyata sejarah masuknya Islam pun tidak terlepas dari peran Etnis Tionghoa,bahkan penulis yakini bahwa sebenarnya Raja-Raja dan Sultan-Sultan di Indonesia pun adalah percampuran dari kalangan bangsawan Cina,terutama dari Yunan,Tiongkok Selatan.Hal ini sangat bertepatan apabila disebutkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Sungai Mekong,Indo Cina,Tiongkok Selatan.

Kembali ke judul di atas membongkar sejarah sentimen terhadap Etnis Tionghoa,kalau kita baca dari sejarah dari sejak Abad ke-5 sampai kepada abad ke 15 selama 1000 tahun,di Indonesia ini tidak pernah terjadi sentimen terhadap Etnis Tionghoa,bahkan Etnis Tionghoalah yang telah memajukan perdagangan di Nusantara ini.Sentimen Etnis Tionghoa ini terjadi setelah masuknya VOC ke negeri Nusantara ini.

Pada jaman Kolonial Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, para penjajah akan kewalahan. Karena itulah, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.

Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam-diam. Entah bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal-kapal Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan.

Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yang terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar-besaran di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang-orang pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai-sungai menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.


Demikianlah jika kita membongkar sejarah sentimen terhadap etnis Tionghoa,ternyata adalah akibat adu domba kolonial Belanda yang takut bersaing dengan kehebatn Etnis Tionghoa yang berdagang sejak lama di Nusantara,bahkan karena tahu saudara-saudaranya yang disebut Pribumi oleh Belanda yang akan diangkut dan dibuang ke laut lepas Afrika,justru etnis Tionghoa menyerbu kapal-kapal Belanda untuk menyelamatkan para kuli,yang disebut sebagai pribumi.Jadi istilah pribumi itu adalah istilah Belanda yang kasar terhadap kaum kuli,pekerja kasar yang disebut sebagai Inlander (Pribumi ) orang-orang rendahan.

Dengan memahami sejarah sentimen terhadap Etnis Tionghoa yang merupakan adu domba bangsa kolonial Belanda,penulis ingin mengajak saudara sebangsa dan setanah air,marilah hidup damai,dibawah panji NKRI,Pancasila dan Bhinnekha Tunggl Ika,Etnis Tionghoa adalah saudara kamu,family kamu,bahkan kemungkinan nenek moyangmu dan nenek moyang mereka pun sedarah,satu kampung halaman di Indo Cina sana,Sungai Mekong,Yunan Selatan,yang dahulu bernama negeri Campa.Salam Persatuan..


Sumber Artikel dari ; Kompasiana.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Sejarah Kelam Maulid Nabi

Written By Rachmat.M.Flimban on 07 Februari 2018 | 2/07/2018 08:55:00 PM

Sejarah Kelam Maulid Nabi

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal



Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.

Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut ini.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)

Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab sampai Fatimah?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah.
Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)

Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)

Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua:
Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga:
Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.


Sumber Artikel Rumaysho.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Tanggal Lahir Nabi Belum Jelas

Faedah Sirah Nabi: Tanggal Lahir Nabi Belum Jelas

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


Kapan Nabi kita lahir? Apa benar 12 Rabi’ul Awwal seperti yang diperingati?

Para ulama sepakat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir pada hari Senin.

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim, no. 1162)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Adapun tempat kelahirannya di Mekkah, ada yang mengatakan di sebuah rumah yang ada di Syi’ib Bani Hasyim. Ada yang mengatakan di sebuah rumah dekat Shafa. Selain itu, orang yang bertindak sebagai bidannya adalah ibunda ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu wa ‘anha.

Pendapat yang benar adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan di bulan Rabi’ul Awwal. Adapun tanggal lahirnya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan tanggal 2, tanggal 8, tanggal 9, tanggal 10, tanggal 12, tanggal 17, atau tanggal 22 Rabi’ul Awwal.

Adapun tahun kelahiran beliau adalah di tahun Gajah, yaitu tahun 571 Miladiyah.

Setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibunya mengirimkan beliau ke kakeknya, ‘Abdul Muthallib. Dia menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah. Setelah sampai pada hari yang ketujuh, dia memotong kambing dan mengundang orang-orang Quraisy. Setelah mereka selesai makan, mereka bertanya, “Wahai ‘Abdul Muthallib, siapa nama anak kamu yang karenanya kamu memanggil kami?”

‘Abdul Muthallib berkata, “Saya namakan dia Muhammad.”

Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kamu menamakan anakmu dengan nama yang bukan nama dari kakek kamu dan juga bukan nama yang dikenal pada kaummu?”

‘Abdul Muthallib berkata, “Saya berharap penduduk bumi memujinya dan pendudukan langit pun memujinya.” [Muhammad berarti yang terpuji]

Nama Muhammad adalah nama langka di kalangan Arab Jahiliyah, kecuali beberapa orang tua yang mengetahui bahwa Nabi akhir zaman adalah bernama Muhammad dan berharap anaknya menjadi nabi, maka dia pun menamakan anaknya dengan Muhammad.

Selain itu, Allah Ta’ala, menjaga setiap orang yang bernama Muhammad pada waktu itu dari mengaku sebagai nabi, atau seorang menganggapnya sebagai nabi, atau bahkan menampakkan masalah yang membuat orang lain bertanya-tanya.

Beberapa faedah yang bisa diambil dari tanggal kelahiran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

  1. Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada kaitannya dengan ibadah tertentu dan tidak disyariatkan melakukan ibadah tertentu di dalamnya, baik peringatan kelahiran atau yang lainnya. Seandainya dianjurkan memeringati perayaan tertentu, tentu akan ditentukan tanggal pasti kelahiran beliau sebagaimana kalau mau memasuki Ramadhan atau keluar dari Ramadhan, penentuannya dilihat dengan penglihatan hilal awal bulan.
  2. Hari Senin merupakan hari istimewa dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istimewanya, hari Senin dianjurkan untuk berpuasa. Pada hari Senin, beliau dilahirkan, diangkat menjadi Nabi dan hari meninggal dunia.
  3. Kalau ada yang mengatakan bahwa puasa hari Senin sebagai peringatan kelahiran Nabi, maka kita jawab bahwa puasa hari Senin bukan karena hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Apalagi ditambahkan hari Senin disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hari diangkatnya beliau menjadi nabi.
  4. Tanggal 12 Rabiul Awwal tidak bisa dipastikan sebagai tanggal kelahiran Nabi sebagaimana yang diperingati kaum muslimin saat ini sebagai Maulid Nabi.

Kapan perayaan Maulid Nabi mulai muncul?

Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al-Ibda’ fi Madhor Al-Ibtida’ (hlm. 251) dan Al-Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al-Muhadhorot Al-Fikriyah (hlm. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al-Maulid, hlm. 20)

Empat Kenyataan Perayaan Maulid Nabi

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al-Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Baca selengkapnya tentang Sejarah Kelam Maulid Nabi:



Sejarah Kelam Maulid Nabi

Ini bukti sejarah kelam Maulid Nabi menurut pakar sejarah.

Semoga bahasan ini menjadi pelajaran berharga. Ya Allah, tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus.

Referensi:

Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.


Sumber Artikel; Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Zainab binti Jahsy

Written By Rachmat.M.Flimban on 31 Januari 2018 | 1/31/2018 10:22:00 PM

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Zainab binti Jahsy

Sekarang kita melihat istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya yaitu

Zainab binti Jahsy.



Zainab binti Jahsy

Nama aslinya adalah Barrah. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Zainab. Nama kunyahnya adalah Ummul Hakam. Ibu dari Zainab adalah Umayyah binti ‘Abdul Muthallib bin Hasyim bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Ibunya berarti bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur bapak Nabi. Kita simpulkan berarti Zainab binti Jahsy masih berhubungan kerabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sebagai sepupu beliau.

Zainab binti Jahsy masuk Islam dari dulu. Ia pernah berhijrah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suaminya terdahulu bernama Zaid bin Haritsah (bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Zaid mentalak Zainab dan setelah masa ‘iddahnya selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab. Umur Zainab ketika dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 53 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada bulan Dzulqa’dah tahun 5 Hijriyah sebagaimana pendapat Al-Waqidi dan Ibnu Katsir. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Zainab binti Jahsy meninggal dunia pada tahun 20 Hijriyah.

Keutamaan Zainab binti Jahsy

  1. Allah memuliakannya dengan penyebutan pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ditalak Zaid sebagaimana disebut dalam ayat,
  2. فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

    “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)

  3. Ayat hijab turun berkenaan dengan pernikahan Zainab binti Jahsy yaitu firman Allah,
  4. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)

  5. Ia sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedudukan Zainab binti Jahsy begitu mulia di sisi Nabi karena ia adalah satu-satunya istri beliau yang paling dekat dengan beliau dari sisi kekerabatan, Zainab adalah puteri dari bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ibnatu ‘ammatihi).
  6. Zainab binti Jahsy sangat terkenal dengan banyaknya ibadah beliau. Sampai-sampai Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat wanita yang sangat baik agamanya, paling bertakwa kepada Allah, paling jujur perkataannya dan paling penyayang selain Zainab binti Jahsy.
  7. Zainab binti Jahsy sangat terkenal wara’. Ketika Zainab ditanya tentang Aisyah mengenai fitnahan selingkuh (haditsul ifki), Zainab menjawab, “Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
  8. Zainab binti Jahsy sangat semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dibuktikan bahwa Zainab tidaklah berhaji lagi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terakhir bersama beliau dalam haji wada’. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta istri-istri beliau untuk menetap di rumah sepeninggal beliau. Hanya Saudah binti Zam’ah dan Zainab binti Jahsy yang tidak berhaji bersama istri-istri Nabi lainnya di masa Umar bin Al-Khattab.
  9. Bukti lain kalau Zainab sangat ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidak mau mengenakan wewangian ketika masa berkabung saat meninggal saudara laik-lakinya. Ia mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berbicara di mimbar,

    لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

    “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kalau ditinggal mati suami, maka berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335)

  10. Zainab binti Jahsy sangat senang berinfak atau bersedekah. Setiap harta yang sampai di tangannya, ia gunakan untuk berinfak kepada lainnya. Ketika ia meninggal dunia, ia tidaklah meninggalkan satu dirham atau dinar karena ia telah gunakan semuanya untuk bersedekah. Sampai kain kafan untuknya yang akan diberi oleh Umar, ia wasiatkan untuk disedekahkan. Ketika meninggal dunia, yang ia tinggalkan adalah rumahnya. Ini menandakan banyaknya harta yang telah beliau infakkan. Beliau disebut juga dengan Ma’wal Masakin (tempat kembalinya orang-orang miskin).

Semoga pelajaran dari Zainab binti Jahsy menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber Artikel Rumaysho.Com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Ummu Habibah

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Ummu Habibah


Ummu Habibah adalah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya setelah sebelumnya kita mengenal Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah binti Abu Bakr, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan Juwairiyah binti Al-Harits. Berarti dengan pembahasan Ummu Habibah kali ini sudah sembilan istri yang kita pelajari.

Siapa Ummu Habibah?

Ummu Habibah adalah di antara istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ketika beliau meninggal dunia.

Nama lengkap beliau adalah Ummu Habibah binti Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik Al-Qurasyiyah Al-Umawiyah. Ibunya adalah Shafiyah binti Abul’Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams, merupakan bibi dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Adapun nama aslinya, ada beda pendapat di kalangan para ulama, ada yang menyatakan Hindun dan ada yang menyatakan Ramlah. Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa yang masyhur, nama asli Ummu Habibah adalah Ramlah. Inilah yang menjadi pendapat yang dianggap shahih oleh jumhur ulama berdasarkan penelitian nasab, sejarah, dan hadits. Sebagaimana Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa nama asli Ummu Habibah yang lebih shahih adalah Ramlah. Namun Ummu Habibah lebih masyhur dengan nama kunyah-nya dibanding dengan nama aslinya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 4:305.

Ummu Habibah dilahirkan 17 tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Ummu Habibah termasuk puteri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang punya kedekatan nasab dengan beliau seperti Zainab binti Jahsy dari jalur ibunya (ibu Zainab adalah bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur bapaknya).

Suami Ummu Habibah sebelum menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Ubaidullah bin Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah bin Katsir bin Ghanm bin Dawdan bin Asad bin Khuzaimah.

Ummu Habibah adalah di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam, ia beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan ajaran beliau.

Ia dan suaminya pernah berhijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dari kejahatan kaum musyrikin di Makkah yang dipimpin oleh bapaknya sendiri, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya Abu Sufyan sangat marah sekali ketika mengetahui puterinya masuk Islam dan meninggalkan ajaran nenek moyang mereka. Ketika berhijrah ke Habasyah, Ummu Habibah ditakdirkan hamil dan melahirkan anaknya saat perjalanan di jalan Allah. Ia dikaruniakan rezeki dengan lahirnya anaknya bernama Habibah (akhirnya ia berkunyah dengan nama anak ini), yang merupakan anak yang pertama ketika berada di Habasyah. Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa anak itu dilahirkan di Makkah.

Ketika di Habasyah suaminya ‘Ubaidullah murtad, masuk Nashrani dan ingin mengajak istrinya pula untuk memeluk ajaran Nashrani. Namun ajakan itu tidak berhasil. Suaminya pun mati dalam keadaan Nashrani dalam keadaan sebelumnya mabuk karena minum khamar. Akhirnya, Ummu Habibah hidup seorang diri bersama puterinya (Habibah) sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri kepada Raja Najasyi agar meminta kepada raja tersebut untuk menikahkan Ummu Habibah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang menjadi wali nikahnya adalah putera dari pamannya yaitu Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash bin Umayyah, demikian pendapat yang terkuat. Sedangkan raja Najasyi mewakili Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun akad nikahnya, ada yang menyatakan berlangsung di Madinah setelah Ummu Habibah pulang dari Habasyah, ada pula yang menyatakan di Habasyah. Maharnya ketika itu adalah 400 dinar (kalau dirupiahkan saat ini sekitar 800 juta rupiah, pen.).

Dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maharnya paling mahal adalah Ummu Habibah. Pernikahan beliau yang paling jauh tempatnya adalah dengan Ummu Habibah. Pernikahan tersebut berlangsung pada tahun enam Hijriyah. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaulinya baru pada tahun tujuh Hijriyah.

Ummu Habibah meninggal dunia di Madinah pada tahun 44 Hijriyah pada masa khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagaimana hal ini ditegaskan oleh kebanyakan ulama.

Keutamaan Ummu Habibah

1- Ummu Habibah sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buktinya adalah hadits berikut, di mana Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِى بِنْتَ أَبِى سُفْيَانَ فَقَالَ « أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكَ » . فَقُلْتُ نَعَمْ ، لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ ، وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِى فِى خَيْرٍ أُخْتِى .فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ ذَلِكَ لاَ يَحِلُّ لِى » . قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِى سَلَمَةَ . قَالَ « بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ » . قُلْتُ نَعَمْ . فَقَالَ « لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِى فِى حَجْرِى مَا حَلَّتْ لِى إِنَّهَا لاَبْنَةُ أَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ ، أَرْضَعَتْنِى وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلاَ تَعْرِضْنَ عَلَىَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ »

“Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau senang akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan Abu Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab, pen.). Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku.” )HR. Bukhari, no. 5101 dan Muslim, no. 1449)

2- Ummu Habibah sangat ittiba’ (mengikuti petunjuk) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buktinya adalah tentang hadits shalat rawatib dalam sehari berikut ini. Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah (rawatib) dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Coba kita lihat, bagaimana keadaan para periwayat hadits ini ketika mendengar hadits tersebut. Di antara periwayat hadits di atas adalah An-Nu’man bin Salim, ‘Amr bin Aws, ‘Ambasah bin Abi Sufyan dan Ummu Habibah yang mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.

Ummu Habibah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Ambasah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.”

‘Amr bin Aws mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.”

An-Nu’man bin Salim mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.” (HR. Muslim, no. 728)

Bukti lainnya yang menunjukkan Ummu Habibah sangat ittiba’ adalah ketika menyikapi ayahnya yang meninggal dunia. Dari Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata, “Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)

3- Ummu Habibah meminta maaf sebelum ia meninggal dunia

Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal dunia. Ia berkata, ‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku dan engkau dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu Habibah lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, moga Allah juga memberikan kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu Salamah seperti itu pula. Ia pun meninggal dunia pada tahun 44 Hijriyah pada masa Khalifah Mu’awiyah binti Abi Sufyan. (HR. Abu Sa’ad, 8:100 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasq, 69:152, Al-Hakim, 4:22. Walau sanad hadits ini dha’if sekali dari jalur Al-Waqidi dan Abu Sabrah, keduanya perawi yang matruk).

Semoga kisah Ummu Habibah menjadi pelajaran berharga.


Referensi:

Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Fiqih, Asal Usul Hijr Ismail

Written By Rachmat.M.Flimban on 01 Januari 2018 | 1/01/2018 01:27:00 PM

Fiqih

Asal Usul Hijr Ismail


Mengapa dinamakan Hijr Islamil? Apakah ada hubungannnya dengan Nabi Ismail?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Masyarakat kita menyebut bangunan tembok setengah lingkarang setinggi pundak dengan nama Hijr Ismail. Meskipun sebenarnya ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nabi Ismail ‘alaihis salam. Karena bangunan ini ada setelah pemugaran yang dilakukan oleh masyarakat Quraisy, sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus jadi nabi.

Ketika peristiwa Fathu Mekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh A’isyah mengenai bentuk Ka’bah. A’isyah bercerita,

سَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ قَالَ « نَعَمْ » . قُلْتُ فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوهُ فِى الْبَيْتِ قَالَ ” إِنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ “

Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tembok Hijr, apakah itu bagian dari Ka’bah?

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya.”

Saya bertanya lagi, ‘Mengapa tidak mereka masukkan jadi satu dengan bangunan Ka’bah?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Masyarakatmu kekurangan dana.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan keinginannya,

وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوبُهُمْ أَنْ أُدْخِلَ الْجَدْرَ فِى الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِالأَرْضِ

Andai bukan karena kaummu baru saja keluar dari masa Jahiliyah, sehingga saya khawatir jiwa mereka menolak, niscaya akan aku gabungkan tembok setengah lingkaran itu jadi satu dengan ka’bah, dan pintunya saya buat di bawah sama dengan tanah. (HR. Bukhari 1584 dan Muslim 3313).

Hadis ini sangat tegas menunjukkan bahwa bangunan tembok setengah lingkaran itu tidak ada kaitannya dengan Ismail.

Bagaimana Kisah Selengkapnya?

Ibnu Katsir membawakan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 35 tahun, terjadi banjir hingga bangunan Ka’bah rusak.

Tinggal puing-puing dan sisa-sisa tembok. Akhirnya orang Quraisy berencana untuk merenovasi ka’bah. Mereka siapkan bahan, peralatan, termasuk tenaganya dan tukang.

Secara ekonomi, sebenarnya orang musyrikin Quraisy cukup mapan. Sehingga mereka mampu untuk merenovasi ka’bah seperti bangunan sebelumnnya. Namun untuk Ka’bah, mereka punya standar yang berbeda dengan umumnya bangunan lainnya.

Sebelum renovasi Ka’bah dilakukan, ada tokoh Quraisy dari bani Makhzum, yaitu Abu Wahb bin Abid bin imran.

Dia memberi peringatan kepada masyarakat Quraisy,

يا معشر قريش لا تدخلوا في بنيانها من كسبكم إلا طيباً، لا يدخل فيها مهر بغي، ولا بيع ربا، ولا مظلمة أحد من الناس

“Wahai orang Quraisy, jangan sampai melibatkan modal untuk pembangunan ka’bah kecuali yang halal. Jangan melibatkan upah pelacur, hasil transaksi riba, atau uang kedzaliman dari orang lain.”

Abu Wahb ini adalah paman Abdullah, ayahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tepatnya paman dari ibu. Dan dikenal sebagai orang terhormat di kalangan Quraisy. (Sirah Ibnu Katsir, 1/275).

Karena mereka hanya membatasi dari harta yang halal, maka dana mereka terbatas. Menyebabkan mereka tidak bisa membangun Ka’bah utuh seperti sebelumnya.

 Mereka bangun sesuai ketersediaan dana, dan bagian sisanya ditaruh luar, hanya diberi tanda tembok setinggi pundak, untuk pembatas agar tidak dilewati orang yang thawaf.

Untuk itu, jika ada orang yang thawaf dan melintasi Hijr, maka thawafnya batal.

Karena dia tidak mengelilingi Ka’bah dengan sempurna.

Benarkah Ada Kuburan Ismail di Hijr?

Ada sebagian orang yang berpendapat demikian. Namun pendapat ini tidak benar, karena tidak ada riwayat yang otentik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan hal itu. Sementara riwayat mauquf (pernyataan sahabat) statusnya sanngat lemah, sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil.

(Penjelasan dari kitab Tahdzir as-Sajid, hlm. 74-76)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)

Sumber: Konsultasisyariah.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Sejarah Lahirnya Tahlilan di Pulau Jawa

Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Juli 2017 | 7/29/2017 11:46:00 AM

Sejarah Lahirnya Tahlilan di Pulau Jawa

By FADHIL ZA


” Kami mengemukakan tulisan ini hanya untuk bahan renungan fakta sejarah , bukan untuk bahan perdebatan salah dan benarnya amalan seseorang, silahkan kita beramal menurut keyakinan masing masing. Setiap diri akan bertanggung jawab dihadapan Allah atas apa yang dilakukannya”

Oleh Suhadi


Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak Jawa Tengah.

Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.

Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.

ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.

Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.

Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.

Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.

Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.

Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.

Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.

Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan. *1

Musyawarah para wali *2


Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.

Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :

“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.

Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga”.

Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.

Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni / aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.

Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.

Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.

Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.

Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.

Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.

Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.

Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.

Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.

Dengan sudah tahunya sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.

Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah yg sudah jelas terang benderang saja yg kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ngada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah masih kurang sempurna.

Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Alloh dan RosulNya.

Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua.

Na’udzu billahi mindzalik

Penulis SUHADI

Daftar Literatur

  1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
  2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
  3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
  4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
  5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
  6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
  7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975

Sumber : https://abuhafizh.wordpress.com

Dinukil dari Sumber Artikel; Fadhilza.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger