Latest Post
Tampilkan postingan dengan label soaljawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label soaljawab. Tampilkan semua postingan

Penjelasan Hadits Larangan Shalat Setelah Shubuh dan Setelah Ashar

Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Maret 2018 | 3/29/2018 04:55:00 PM

Fiqh dan Muamalah

Penjelasan Hadits Larangan Shalat Setelah Shubuh dan Setelah Ashar
Oleh; Yulian Purnama


Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Soal:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا صلاة بعد الصبح حتى ترتفع الشمس، ولا صلاة بعد العصر، حتى تغيب الشمس
“Tidak ada shalat setelah shalat shubuh, hingga matahari meninggi. Dan tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari tenggelam”
Apakah hadits ini shahih? Apakah orang yang terlewat shalat ashar (di awal waktu) tidak boleh shalat kecuali setelah matahari tenggelam? Atau orang yang terlewat shalat shubuh, apakah tidak boleh shalat kecuali setelah matahari terbit? Beri kami faidah, semoga Allah memberikan ganjaran yang kekal kepada anda.
Jawab:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari beberapa jalan dan dari beberapa sahabat Nabi radhiallahu’anhum, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
لا صلاة بعد الصبح حتى تطلع الشمس
“Tidak ada shalat setelah shalat shubuh, hingga matahari terbit”
Dalam riwayat lain:
حتى ترتفع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس

“… sampai matahari meninggi. Dan tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari tenggelam“.
Ini semuanya hadits-hadits yang shahih. Dan waktu-waktu tersebut disebut dengan waktu-waktu terlarang untuk shalat.
Seorang Muslim tidak boleh shalat sunnah pada waktu-waktu tersebut. Adapun shalat yang terluput, boleh dilakukan di waktu-waktu tersebut. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من نام عن الصلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك
“Barangsiapa yang ketiduran sehingga terluput shalat, atau kelupaan, maka hendaknya ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat. Tidak ada kafarah kecuali itu“.
Dalam hadits ini tidak dikecualikan waktu-waktu terlarang. Maka jika seseorang ketiduran sehingga terluput shalat, kemudian ia bangun sebelum terbit matahari, atau ketika terbit matahari, ia hendaknya kerjakan ketika itu. Jika ia ketiduran sehingga tidak shalat ashar dan tidak bangun kecuali ketika matahari sudah mulai menguning, ia juga hendaknya kerjakan ketika itu, berdasarkan hadits yang shahih ini.
Dibolehkan juga shalat jenazah. Jika shalat jenazah dilakukan di waktu sesudah ashar atau setelah subuh, tidak mengapa. Shalat jenazah boleh dilakukan di dua waktu yang panjang tersebut, yaitu setelah ashar dan setelah subuh, sehingga shalat jenazah tidak perlu ditunda-tunda.
Demikian juga shalat kusuf (gerhana), boleh dilakukan jika terjadi gerhana matahari setelah shalat ashar. Karena shalat kusuf termasuk shalat sunnah yang dzawatul asbab (memiliki sebab). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا رأيتم فصلوا وادعوا
“Jika kalian melihat gerhana, maka shalatlah”
Dan tidak ada waktu yang dikecualikan dalam hal ini.
Demikian juga shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah setelah thawaf. Jika seseorang masuk masjid setelah ashar untuk berniat duduk di dalamnya, maka yang tepat, ia shalat dua rakaat shalat tahiyyatul masjid. Karena shalat tahiyyatul masjid juga termasuk dzawatul asbab. Maka boleh mengerjakannya walaupun di waktu larangan shalat. Atau jika seseorang masuk masjid setelah shubuh untuk berniat duduk di dalamnya hingga terbit matahari, atau untuk menghadiri majelis ilmu, maka hendaknya ia shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Inilah yang tepat. Karena ia termasuk dzawatul asbab.
Atau seseorang melalukan thawaf di Mekkah setelah ashar di Ka’bah. Maka hendaknya ia kerjakan shalat dua rakaat setelah thawaf. Karena ini shalat yang termasuk dzawatul asbab. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا تمنعوا أحداً طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار
“Tidak terlarang seseorang yang melakukan thawaf untuk shalat di Baitullah di waktu kapanpun yang ia kehendaki, baik siang ataupun malam” (HR. Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih).
Dengan demikian, anda ketahui wahai penanya, bahwa shalat yang terluput boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang. Dan anda ketahui juga bahwa shalat yang dzawatul asbab seperti shalat jenazah setelah shalat ashar atau setelah shubuh, demikian juga shalat gerhana, shalat tahiyyatul masjid, shalat thawaf, ini semua boleh dilakukan di waktu terlarang. Karena semuanya termasuk dzawatul asbab. Dan semua shalat ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tanpa mengecualikan waktu-waktu yang terlarang. Ini menunjukkan bahwa shalat-shalat tersebut boleh dilakukan di waktu terlarang.
Adapun shalat sunnah yang dilakukan tanpa sebab (shalat sunnah mutlaq) jika dikerjakan setelah shubuh, maka ini terlarang. Atau juga jika dikerjakan setelah ashar, ini juga terlarang.
Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Sumber: https://www.binbaz.org.sa/noor/9492
Penerjemah: Yulian Purnama
Dinukil dari Narasumber ;
Muslim.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Akankah Berjumpa Kembali dengan Keluarga di Surga?

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 Maret 2018 | 3/25/2018 05:56:00 PM

Aqidah

Akankah Berjumpa Kembali dengan Keluarga di Surga?

By Ustadz Ammi Nur Baits



Bertemu di Surga dengan Orang Tua

Pertanyaan:

Apakah bila di surga nanti kita akan berjumpa kembali dengan ibu dan bapak kita?

Dari: Ferry

Jawaban:

Mukmin akan dikumpulkan di surga bersama keluarganya

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21)

Ibnu Katsir mengatakan:

يخبر تعالى عن فضله وكرمه، وامتنانه ولطفه بخلقه وإحسانه: أن المؤمنين إذا اتبعتهم ذرياتهم في الإيمان يُلحقهم بآبائهم في المنزلة وإن لم يبلغوا عملهم، لتقر أعين الآباء بالأبناء عندهم في منازلهم، فيجمع بينهم على أحسن الوجوه، بأن يرفع الناقص العمل، بكامل العمل، ولا ينقص ذلك من عمله ومنزلته، للتساوي بينه وبين ذاك

“Allah memberitahukan tentang keutamaan, kemurahan, dan nikmat-Nya kepada makluk-Nya, bahwa orang yang beriman, jika keturunannya juga mukmin maka Allah kumpulkan keturunannya bersama orang tuanya dalam satu kedudukan, meskipun amal keturunannya ini tidak sebanyak amal bapaknya. Agar lebih menyenangkan si bapak, dengan kehadiran anaknya di sisi mereka.

Allah kumpulkan mereka dengan wajah yang sangat indah, Allah angkat orang yang kurang amalnya dan Allah gabungkan bersama orang yang lebih sempurna amalnya. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi amal orang tua dan kedudukan orang tua, karena kesaman antara keduanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7:432)

Dari said bin Jubair, bahwa Ibnu Abbas pernah menafsirkan ayat ini dan mengatakan:

هم ذرية المؤمن، يموتون على الإيمان: فإن كانت منازل آبائهم، أرفع من منازلهم ألحقوا بآبائهم، ولم ينقصوا من أعمالهم التي عملوا شيئا

“Mereka adalah keturunan orang yang beriman. Mereka mati dengan membawa iman. Jika kedudukan bapaknya lebih tinggi dari pada derajatnya maka Allah kumpulkan mereka bersama bapaknya, tanpa mengurangi sedikit pun amal bapaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7:433)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Sumber Artikel; Konsultasisyariah.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Siapa yang Menanggung Biaya Walimah Pernikahan?

Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Januari 2018 | 1/30/2018 07:07:00 PM

Fiqh,Fikih,Ibadah,Pernikahan,Pertanyaan

Siapa yang Menanggung Biaya Walimah Pernikahan?

By Ustadz Aris Munandar, M.Pi



Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Saya mau bertanya tentang hukumnya memberatkan syarat pernikahan bagi mempelai. Saya dan calon suami saya sudah merencanakan pernikahan kami pada bulan Syawal. Kedua orang tua kami sama-sama mendukung, tetapi orang tua saya–terutama Ibu yang juga mendukung–malah memberikan “syarat” kepada calon suami saya yang ternyata memberatkan keluarga calon saya tersebut. Ibu saya memberikan syarat agar calon suami saya dan keluarganya menanggung setengah dari (biaya, red.) pesta. Padahal keluarga calon menginginkan acara yang sederhana karena keterbatasan biaya. Namun Ibu tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan keinginan pesta resepsi tersebut. Lantas, apa yang harus saya dan calon suami saya lakukan? Saya tidak berani untuk menegur ibu saya karena takut menyinggung perasaan beliau. Namun saya juga tidak hendak memaksa pernikahan kami. Tapi rasanya aneh saja jika pernikahan kami terpaksa dibatalkan hanya karena kurangnya syarat dari ibu saya. Mohon persyaratannya. Wassalamu ‘alaikum.

Esa (esa.***@**.ru)


Jawaban:

Wa’alaikum salam wa rahmatullah..

Jika kita perhatikan hadis-hadis yang mensyariatkan adanya walimah, maka zahir hadis menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab mengadakan walimah adalah mempelai pria bukan istrinya dan bukan pula wali sang istri. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pernikahan istri-istri beliau dan juga perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah atas pernikahannya dengan wanita Anshar. Ini menunjukkan bahwa, pada asalnya, pengadaan walimah adalah tanggung jawab suami. Sebagian ulama memberikan alasan sehingga tanggung jawab suami: karena sang suamilah yang berkewajiban menafkahi istri, dan kewajiban nafkah ini mencakup pelaksanaan pesta pernikahan keduanya. (Taudhihul Ahkam, 4:506).

Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh ditanya tentang walimah yang biayanya dari keluarga pengantin wanita, apa landasannya? Beliau rahimahullah menjawab, “Mungkin (diperbolehkan) karena keumuman (dalil), meskipun hukum asal walimah dilakukan oleh pihak suami (pengantin pria).” (Kumpulan Fatwa dan Risalah Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, 10:160)

Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.A., dengan penambahan dari Ustadz Ammi Nur Baits. Anggota Dewan Pembina Konsultasi Syariah.

Dinukil dari Sumber Artikel KonsultasiSyariah.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Bolehkah Wali Nikah Diwakilkan?

Bolehkah Wali Nikah Diwakilkan?

Bolehkan bagi seorang wali nikah mengutus wakil bagi dirinya sebagai wali bagi

mempelai yang berada dalam perwaliannya sementara dia, misalnya si paman, masih hidup dan ada?

By Yulian Purnama



Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz

Soal:

Bolehkah bagi seorang wali nikah mengutus wakil bagi dirinya sebagai wali bagi mempelai yang berada dalam perwaliannya sementara dia, misalnya si paman, masih hidup dan ada?

Jawab:

Tidak mengapa perwakilan dari si wali menikahkan mempelai tersebut. Misalnya ayah seorang wanita menikahi anaknya dengan diwakilkan oleh pamannya si wanita, atau diwakilkan oleh salah seorang anak pamannya yang ditunjuk untuk menggantikan si ayah dalam pernikahan. Ini tidak mengapa. Boleh bagi seorang wali untuk menunjuk wakil dalam pernikahan anaknya, saudara perempuannya, atau keponakan perempuannya. Boleh diwakilkan oleh orang yang tepat untuk berperan sebagai wali nikah jika dia memang ditunjuk, semisal pamannya, atau saudaranya atau paman dari pihak ibu jika mereka ditunjuk. Ini boleh.

Demikian juga si calon suami boleh diwakilkan. Ia boleh diwakilkan oleh orang lain yang nantinya menerima akad nikah. Misalnya diwakilkan oleh ayahnya, oleh saudaranya, ia nantinya berperan menerima akad nikah dari Fulanah. Contohnya dengan berkata: “saya terima nikahnya atas nama saudara saya, si Fulan..“, atau “atas nama paman saya..” atau “atas nama keponakan saya..” atau “atas nama anak saya..“, ini tidak mengapa.

Perwakilan dalam pernikahan itu boleh, baik bagi wali maupun bagi calon suami, baik mereka sedang ada atau sedang tidak ada.

Narasumber: binbaz.org.sa


Dinukil dari Sumber Artikel Muslimah.Or.Id

Penerjemah: Yulian Purnama


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah yang Benar

Akhlak, Adab, Soal Jawab

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah yang Benar

Oleh, Ustadz Ammi Nur Baits



Lafal Ijab Kabul Akad Nikah

Assalamu’alaikum.

Ustadz, bagaimanakah ucapan atau lafal ijab kabul pernikahan yang benar menurut islam?

Mohon penjelasan.

Donar

Jawaban:

Wa’alaikum salam.

Di antara rukun nikah adalah adanya ijab kabul. Ijab adalah perkataan wali pengantin wanita kepada pengantin pria: Zawwajtuka ibnatii…, saya nikahkan kamu dengan putriku…. Sedangkan kabul adalah ucapan pengantin pria: Saya terima…

Jika sudah dilakukan ijab kabul dan dihadiri dua saksi laki-laki atau diumumkan (diketahui halayak), maka nikahnya sah.

Dalam pengucapn ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul akad nikah maka status nikahnya sah.

Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab,

Semua kalimat yang menunjukkan ijab kabul maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu). Fatawa Lajnah Daimah (17:82).

Demikian penjelasan di: http://www.islamqa.com/ar/ref/155354

Bolehkah akad nikah (ijab kabul) dengan selain bahasa Arab?

Pendapat yang lebih kuat, bahwa akad nikah sah dengan selain bahasa Arab, meskipun dia bisa bahasa Arab. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang tidak bisa bahasa Arab boleh melakukan akad nikah dengan bahasa kesehariannya. Karena dia tidak mampu berbahasa Arab, sehingga tidak harus menggunakan bahasa arab. Sebagaimana orang bisu.

Kemudian disebutkan perselisihan ulama tentang akad nikah dengan selain bahasa Arab, yang kesimpulannya:

Akad nikah sah dengan bahasa apapun, meskipun orangnya bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah – menurut keterangan yang lebih kuat –, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qudamah. Dalam hal ini kedudukan bahasa non-Arab dengan bahasa Arab sama saja. Karena Orang yang menggunakan bahasa selain Arab, memiliki maksud yang sama dengan orang yang berbahasa Arab.

Akad nikah tidak sah dengan selain bahasa Arab. Meskipun dia tidak bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa lafadz ijab kabul akad nikah statusnya sebagaimana takbir ketika salat yang hanya boleh diucapkan dengan bahasa Arab.

Akad nikah sah menggunakan selain bahasa Arab, dengan syarat pelakunya tidak bisa bahasa Arab. Jika pelakunya bisa bahasa Arab maka harus menggunakan bahasa Arab. Ini adalah pendapat ketiga dalam madzhab syafii.

(Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah: 11:174).

Apakah harus disebutkan nama pengantin wanita?

Diantara syarat sahnya nikah adalah adanya kejelasan masing-masing pengantin. Seperti menyebut nama pengantin wanita atau dengan isyarat tunjuk, jika pengantin ada di tempat akad. Misalnya, seorang wali pengantin wanita berkata kepada pengantin lelaki “Aku nikahkan kamu dengan anak ini, kemudian si wali menunjuk putrinya yang berada di sebelahnya.” hukum akad nikahnya sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Diantara syarat nikah adalah adanya kejelasan pengantin. Karena orang yang melakukan akad dan yang diakadkan harus jelas. Kemudian dilihat, jika pengantin wanita ada di tempat akad, kemudian wali mengatakan, ‘saya nikahkan anda dengan anak ini’ maka akad nikahnya sah. Karena isyarat sudah dianggap penjelasan. Jika ditambahi, misalnya dengan mengatakan, ‘saya nikahkan kamu dengan anakku yang ini’ atau ‘…dengan anakku yang bernama fulanah’ maka ini sifatnya hanya menguatkan makna.

Jika pengantin wanita tidak ada di tempat akad maka ada dua keadaan:

Wali hanya memiliki satu anak perempuan. Maka dia boleh mengatakan, “Saya nikahkan anda dengan putriku” Jika disebutkan namanya maka statusnya hanya menguatkan.

Wali nikah memiliki anak perempuan lebih dari satu. Wali ini tidak boleh menggunakan kalimat umum, misalnya mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku” Dalam keadaan ini akad nikahnya tidak sah, sampai si wali menyebutkan ciri khas salah satu putrinya yang hendak dia nikahkan, baik dengan menyebut nama atau sifatnya. Misalnya dia mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku yang pertama atau yang bernama…” (Al-Mughni, 7:444).

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Naraumber; KonsultasiSyariah.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Fiqih, Asal Usul Hijr Ismail

Written By Rachmat.M.Flimban on 01 Januari 2018 | 1/01/2018 01:27:00 PM

Fiqih

Asal Usul Hijr Ismail


Mengapa dinamakan Hijr Islamil? Apakah ada hubungannnya dengan Nabi Ismail?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Masyarakat kita menyebut bangunan tembok setengah lingkarang setinggi pundak dengan nama Hijr Ismail. Meskipun sebenarnya ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nabi Ismail ‘alaihis salam. Karena bangunan ini ada setelah pemugaran yang dilakukan oleh masyarakat Quraisy, sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus jadi nabi.

Ketika peristiwa Fathu Mekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh A’isyah mengenai bentuk Ka’bah. A’isyah bercerita,

سَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ قَالَ « نَعَمْ » . قُلْتُ فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوهُ فِى الْبَيْتِ قَالَ ” إِنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ “

Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tembok Hijr, apakah itu bagian dari Ka’bah?

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya.”

Saya bertanya lagi, ‘Mengapa tidak mereka masukkan jadi satu dengan bangunan Ka’bah?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Masyarakatmu kekurangan dana.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan keinginannya,

وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوبُهُمْ أَنْ أُدْخِلَ الْجَدْرَ فِى الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِالأَرْضِ

Andai bukan karena kaummu baru saja keluar dari masa Jahiliyah, sehingga saya khawatir jiwa mereka menolak, niscaya akan aku gabungkan tembok setengah lingkaran itu jadi satu dengan ka’bah, dan pintunya saya buat di bawah sama dengan tanah. (HR. Bukhari 1584 dan Muslim 3313).

Hadis ini sangat tegas menunjukkan bahwa bangunan tembok setengah lingkaran itu tidak ada kaitannya dengan Ismail.

Bagaimana Kisah Selengkapnya?

Ibnu Katsir membawakan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 35 tahun, terjadi banjir hingga bangunan Ka’bah rusak.

Tinggal puing-puing dan sisa-sisa tembok. Akhirnya orang Quraisy berencana untuk merenovasi ka’bah. Mereka siapkan bahan, peralatan, termasuk tenaganya dan tukang.

Secara ekonomi, sebenarnya orang musyrikin Quraisy cukup mapan. Sehingga mereka mampu untuk merenovasi ka’bah seperti bangunan sebelumnnya. Namun untuk Ka’bah, mereka punya standar yang berbeda dengan umumnya bangunan lainnya.

Sebelum renovasi Ka’bah dilakukan, ada tokoh Quraisy dari bani Makhzum, yaitu Abu Wahb bin Abid bin imran.

Dia memberi peringatan kepada masyarakat Quraisy,

يا معشر قريش لا تدخلوا في بنيانها من كسبكم إلا طيباً، لا يدخل فيها مهر بغي، ولا بيع ربا، ولا مظلمة أحد من الناس

“Wahai orang Quraisy, jangan sampai melibatkan modal untuk pembangunan ka’bah kecuali yang halal. Jangan melibatkan upah pelacur, hasil transaksi riba, atau uang kedzaliman dari orang lain.”

Abu Wahb ini adalah paman Abdullah, ayahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tepatnya paman dari ibu. Dan dikenal sebagai orang terhormat di kalangan Quraisy. (Sirah Ibnu Katsir, 1/275).

Karena mereka hanya membatasi dari harta yang halal, maka dana mereka terbatas. Menyebabkan mereka tidak bisa membangun Ka’bah utuh seperti sebelumnya.

 Mereka bangun sesuai ketersediaan dana, dan bagian sisanya ditaruh luar, hanya diberi tanda tembok setinggi pundak, untuk pembatas agar tidak dilewati orang yang thawaf.

Untuk itu, jika ada orang yang thawaf dan melintasi Hijr, maka thawafnya batal.

Karena dia tidak mengelilingi Ka’bah dengan sempurna.

Benarkah Ada Kuburan Ismail di Hijr?

Ada sebagian orang yang berpendapat demikian. Namun pendapat ini tidak benar, karena tidak ada riwayat yang otentik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan hal itu. Sementara riwayat mauquf (pernyataan sahabat) statusnya sanngat lemah, sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil.

(Penjelasan dari kitab Tahdzir as-Sajid, hlm. 74-76)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)

Sumber: Konsultasisyariah.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hukum Menggunakan Pelumas untuk Jimak

Written By Rachmat.M.Flimban on 09 November 2017 | 11/09/2017 09:22:00 AM

Keluarga, Soal Jawab

Hukum Menggunakan

Pelumas untuk Jimak



Setelah kajian bedah buku “Fikh Kontemporer Kesehatan Wanita”, seorang wanita yang diperkirakan berumur hampir mendekati 60 tahun bertanya langsung secara khusus,

“Apa hukum menggunakan pelumas untuk jimak?”

Jawabannya adalah: BOLEH

Selama tidak membahayakan secara medis. Hukum asal urusan dunia adalah boleh sebagaimana kaidah fiqhiyyah berikut.

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal sesuatu (urusan dunia) adalah boleh/mubah”

Demikian juga fatwa dari Syabakah Islamiyah asuhan syaikh Abdullah Al-Faqih. Pertanyaan:

ﻫﻞ ﻫﻨﺎﻙ ﺣﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺯﻳﺖ ﺍﻟﺰﻳﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺩﻫﻦ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻟﻠﻌﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺠﻨﺴﻴﺔ ﺑﻐﺮﺽ ﺗﺴﻬﻴﻞ ﺍﻹﻳﻼﺝ ﻓﺄﺭﺟﻮ ﺍﻹﻓﺎﺩﺓ؟

“Apakah tidak boleh menggunakan minyak zaitun sebagai minyak pelumas pada kemaluan untuk mempermudah hubungan suami-istri?”

ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺰﻳﺖ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺩﻫﻦ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺑﻪ ﻟﺘﺴﻬﻴﻞ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ، ﺑﻞ ﻗﺪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺫﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻭﻻ ﻳﺘﺄﻟﻢ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﺰﻭﺟﻴﻦ . ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺣﻴﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ، ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﺍﻟﻄﺐ ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ – ﺯﻳﺖ ﺍﻟﺰﻳﺘﻮﻥ – ﻳﺴﺄﻝ ﻓﻴﻪ ﺃﻫﻞ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺹ، ﻭﻫﻞ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻳﻀﺮ ﺍﻟﺒﺪﻥ ﺃﻡ ﻻ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

“Boleh menggunakan minyak untuk melumasi kemaluan agar mempermudah jimak, bahkan terkadang disarankan agar hubungan jimak menjadi mudah dan salah satu suami-istri tidak mengalami rasa sakit. Ini dari sisi syariat, adapun dari sisi kedokteran penggunaaan minyak zaitun perlu ditanyakan kepada ahlinya, apakah penggunaan ini bisa membahayakan badan atau tidak” (Fatwa Syabakah Islamiyyah no. 17752).

Penggunaaan minyak zaitun secara medis sebagai pelumas jimak

Beberapa sumber menyebutkan bahwa beberapa minyak alami seperti minyak zaitun dan minyak kelapa bisa digunakan sebagai pelumas ketika berhubungan intim, akan tetapi kami lebih tenang untuk menganjurkannya jika sudah ada penelitian ilmiyah tentang menggunakan minyak zaitun sebagai pelumas.

Dengan penelitian ilmiyah akan menyingkirkan kemungkinan “kebetulan-kebetulan mujarabnya” dan bisa digunakan untuk berbagai keadaan dan jenis serta meneliti efek jangka panjangnya jika digunakan secara terus-menerus.

Perlu diperhatikan jika ingin menggunakan minyak zaitun sebagai pelumas ketika berhubungan intim:

Penggunanya tidak alergi atau bermasalah kulitnya dengan minyak zaitun ini.

Sehingga aman ketika digunakan sebagai pelumas.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa minyak zaitun bisa merusak kondom dan bisa membuatnya mudah robek sehingga perlu dipertimbangkan ketika mengunakannya sebagai pelumas.

Gunakan minyak zaitun yang murni. Bukan oplosan atau sudah tercampur dengan bahan lainnya.

Minyak zaitun juga bisa meninggalkan noda dan membuat pakaian terasa seperti berminyak

Minyak kelapa murni dan tidak ada tambahannya Konon, cairan pelumas dari minyak kelapa murni dianggap bisa menyebabkan alergi pada kulit serta organ kelamin.

Saran kami sebaiknya gunakan pelumas berbahan dasar air sehingga bersahabat bagi tubuh, praktis dan mudah untuk dibersihkan. Pelumas dengan bahan dasar air cukup mudah ditemukan di apotek dan pasar lainnya. Kurangnya pelumas yang keluar pada wanita bisa disebabkan beberapa hal:

Wanita belum benar-benar siap melakukan hubungan intim sehingga pelumas belum keluar dan perlu “pemanasan” yang cukup dan perlahan. Wanita merasa tidak nyaman ketika behubungan intim, merasa takut atau khawatir atau suasana tidak nyaman lainnya.

Ada penyakit tertentu yang bisa mempengaruhi keluarnya pelumas pada wanita Jika hal ini berlanjut terus-menerus, ada baiknya dibawa kedokter obstetri dan kandungan untuk diperiksakan.

Semoga bermanfaat

Narasumber; Muslim.or.id Penulis: dr. Raehanul Bahraen.

Topics: hubungan intim, Keluarga


About Author

dr. Raehanul Bahraen

Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Kedokteran Umum UGM, dosen di Universitas Mataram, kontributor majalah "Kesehatan Muslim"

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah Pocong, Adakah dalam Islam?

Written By Rachmat.M.Flimban on 26 Oktober 2017 | 10/26/2017 09:06:00 PM

Aqidah Pocong, Adakah dalam Islam?

Oleh : Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. –hafizhahullah-



Mungkin anda pernah mendengar istilah “pocong”. Pocong secara bahasa adalah mayat yg dibalut kain kafan. Akan tetapi istilah ini terus berkembang sehingga terkadang jauh dari maknanya, karena adanya pengaruh aqidah (keyakinan) yang salah atau kesalahpahaman tentang arti pocong.

Akhirnya, banyak diantara masyarakat yang memaknai bahwa pocong adalah mayat yang bangkit dan dapat berjalan atau bergerak kesana-kemari sesuai keinginannya.

Pocong kini diyakini oleh sebagian orang sebagai momok yang menakutkan lagi berbahaya.

Menurut mereka, pocong itu hidup atau bangkit saat ikatan kain kafan mayat bagian kepala tak dilepas. Padahal semua itu hanyalah keyakinan dan khayalan batil!!

Karena takut pocong, sebagian orang takut melanggar sumpahnya bila ia dimintai bersumpah pocong, yaitu sumpah yg disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berpakaian kain kafan (dipocong spt mayat).

Sebagian orang ada yang takut memandikan orang tua atau kerabatnya, dengan dalih bahwa ia takut jangan sampai tiba-tiba mayat itu bergerak. Subhanallah, alangkah jahilnya orang seperti ini!!

Keyakinan yang serupa juga muncul di negeri-negeri barat dan kafir lainnya. Itulah “drakula”, seorang tokoh dalam cerita horor di Eropa yg suka menghisap darah manusia yg menjadi mangsanya, sehingga muncul keyakinan bahwa drakula walaupun sudah mati, ia masih bisa bangkit mengisap darah manusia.

Kaum kafir barat dan lainnya ada, yang meyakini Vampiratau Zombie, mayat yg menurut kepercayaan (orang Barat) bangkit kembali dari kubur, kemudian keluar pada malam hari dan mengisap darah manusia yg sedang tidur. Cerita vampire ini hampir serupa dengan drakula.

Aqidah pocong yang meyakini bahwa mayat dapat bangkit kembali amat memiliki pengaruh buruk pada masyarakat kita sehingga banyak diantara mereka yang takut keluar malam untuk suatu hajat, tak berani tidur di rumahnya saat ada kematian, tak mau ke kubur untuk ziarah, enggan bangun sholat malam dan lain sebagainya.

Semua itu karena takut pocong menurutnya. Ini adalah keyakinan salah menurut syariat. Semua itu hanyalah cerita fiktif masyarakat jahiliah.

Lucunya lagi, ada segerombolan anak sekolah yang iseng lagi jahil datang ke sebuah tempat gelap dengan memoles dirinya ala pocong.

Mereka mengganggu sebagian orang yang lewat. Sedang orang-orang yang mereka takuti juga jahil sehingga ada diantara mereka yang hampir celaka akibat rasa takut yang menghantuinya.

Ini adalah sebuah fenomena yang ada di masyarakat, sebagian orang meyakini bahwa pocong itu ada dan bisa mengganggu manusia.

Keyakinan salah seperti ini amat perlu dicermati dan diluruskan. Sebab apabila merebak, maka ia akan membawa dampak negatif bagi dunia dan akhirat seseorang.

Para pembaca yang budiman, Allah -Azza wa Jalla- telah menjelaskan kepada kita dalam banyak ayat bahwa manusia tak akan dibangkitkan dari kuburnya sebelum waktu yang ditetapkan oleh Allah, yaitu tegak dan terjadinya hari kiamat.

Bila kiamat telah terjadi, maka bangkitlah seluruh makhluk dari kuburnya.

Adapun sebelum itu, maka mayat tak akan bangkit, kecuali dalam beberapa kejadian yang telah ditentukan oleh Allah, seperti kejadian di zaman Nabi Musa dan Isa, yaitu ada sebagian mayat yang dibangkitkan oleh Allah karena suatu hikmah di balik itu.

Adapun selain itu, maka seseorang tak boleh meyakini adanya mayat yang bangkit dari kuburnya, kecuali berdasarkan dalil. Adapun isu yang tersebar bahwa ada mayat yang bangkit, maka mungkin berita itu bohong atau itu adalah permainan setan yang ingin menyesatkan manusia dengan jalan berpenampilan seperti pocong.

Aqidah kembalinya manusia dengan jasad dan rohnya ke dunia sebelum datangnya kiamat adalah perkara batil.

Sebagian ahli bid’ah menyebutnya dengan roj’ah (الرَّجْعَةُ), yakni kembalinya ruh ke jasad sebelum kiamat. Ini jelas batil berdasarkan ayat dan hadits yang shohih.

Banyak sekali dalil yang menjelaskan bahwa manusia setelah mati tak akan bangkit, kecuali pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah -Ta’ala-, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ para ulama.

Allah -Ta’ala- berfirman,

{قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)} [المؤمنون: 99، 100]

“Dia (orang kafir yang sekarat) berkata,” Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya itu adalah perkara yang diucapkannya saja.Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”.(QS. Al-Mu’minun: 99-100).

Al-Imam Abul Hasan Al-Barbahariy -rahimahullah-berkata dalam menjelaskan batilnya aqidah roj’ah,

“وبدعة ظهرت، هي كفر بالله العظيم، ومن قال بها فهو كافر، لا شك فيه: من يؤمن بالرجعة، ويقول: علي بن أبي طالب حي، وسيرجع قبل يوم القيامة، ومحمد بن علي وجعفر بن محمد، وموسى بن جعفر، وتكلموا في الإمامة، وأنهم يعلمون الغيب، فاحذرهم؛ فإنهم كفار بالله العظيم.”

“Suatu bid’ah yang telah tampak merupakan kekafiran. Barangsiapa yang menyatakannya, maka ia kafir kepada Allah, tanpa ada keraguan. Barangsiapa yang berkeyakinan roj’ah (kembalinya ruh ke jasad sebelum kiamat dalam keadaan hidup), dan berkata, “Ali bin Abi Tholib masih hidup, dan akan kembali sebelum hari kiamat, dan juga Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, dan Musa bin Ja’far; mereka akan berbicara tentang imamah (kepemimpinan), dan bahwa mereka mengetahui perkara ghaib, maka waspadailah orang-orang yang berkeyakinan seperti ini, karena mereka adalah orang-orang kafir kepada Allah Yang Maha Agung”. [Lihat Syarhus Sunnah (hal. 57-58), tahqiq Al-Qohthoniy]

Abul Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Malthiy Asy-Syafi’iy –rahimahullah– berkata,

“فَكَذَلِك قَوْلهم فِي الرّجْعَة أكذبهم فِيهِ قَول الله تبَارك وَتَعَالَى {وَمن ورائهم برزخ إِلَى يَوْم يبعثون} يخبر أَن أهل الْقُبُور لَا يبعثون إِلَى يَوْم النشور فَمن خَالف لحكم الْقُرْآن فقد كفر.” اهـــ من التنبيه والرد على أهل الأهواء والبدع (ص: 19)

“Demikian pula tentang keyakinan mereka dalam masalahroj’ah telah didustakan oleh firman Allah –Tabaroka wa Ta’ala- ,

وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)}[المؤمنون: 100]

“Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. (QS.Al-Mu’minun : 100)

Allah mengabarkan bahwa para penghuni kubur tak akan dibangkitkan (dari kuburnya) sampai hari kebangkitan. Jadi, barangsiapa yang menyelisihi hukum Al-Qur’an ini, maka ia sungguh telah kafir”. [Lihat At-Tanbih wa Ar-Rodd (hal. 19), karya Al-Malthiy]

Abdul Aziz bin Waliyullah Ad-Dahlawy -rahimahullah-berkata dalam mengingkari aqidah roj’ah,

وهذه العقيدة مخالفة صريحا للكتاب، فإن الرجعة قد أبطلت في أيات كثيرة منها قوله تعالى {قال رب ارجعون لعلي أعمل صالحا فيما تركت، كلا إنها كلمة هو قائلها ومن ورائهم برزخ إلى يوم يبعثون}.” اهـ من مختصر التحفة الاثني عشرية (ص/ 201)

” Aqidah ini merupakan penyelisihan yang amat gamblang terhadap Al-Kitab, karena roj’ah sungguh telah dibatalkan dalam banyak ayat, diantaranya firman-Nya -Ta’ala-,

“Dia (orang kafir yang sekarat) berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya itu adalah perkara yang diucapkannya saja.Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”.(QS. Al-Mu’minun: 99-100).

Jadi, firman-Nya, “Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”, adalah gamblang sekali dalam meniadakan aqidah reinkarnasi secara mutlak”.[LihatMukhtashor At-Tuhfah Al-Itsna Al-Asyariyyah(hal.201) karya Al-Alusy]

Ketika roh kita dicabut oleh malaikat maut, maka para malaikat mengangkatnya ke langit, maka setelah itu roh kita dikembalikan ke jasad agar roh dan jasad merasakan nikmat atau siksaan di alam kubur.

Kalau ada yang menyatakan, “Bukankah saat itu ruh kembali ke jasad, lalu hidup”, maka perlu dipahami bahwa kehidupan itu adalah kehidupan alam barzakh, bukan kehidupan di alam dunia. Sedang roh bila sudah berada di alam barzakh, maka ia akan tertahan disana, tak akan bebas gentayangan.

Adapun isu adanya mayat atau roh gentayangan, kalau benar, maka itu bukan roh, tapi ia adalah setan yang menjelma untuk menyesatkan dan menakut-nakuti manusia.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam sebuah hadits panjang tentang siksa kubur yang diterima oleh seorang pembangkang,

وَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ لَهُ مَا دِينُكَ فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنْ السَّمَاءِ أَنْ كَذَبَ فَأَفْرِشُوهُ مِنْ النَّارِ وَأَلْبِسُوهُ مِنْ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ قَالَ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا قَالَ وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ زَادَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ قَالَ ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَبْكَمُ مَعَهُ مِرْزَبَّةٌ مِنْ حَدِيدٍ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ لَصَارَ تُرَابًا قَالَ فَيَضْرِبُهُ بِهَا ضَرْبَةً يَسْمَعُهَا مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ فَيَصِيرُ تُرَابًا قَالَ ثُمَّ تُعَادُ فِيهِ الرُّوحُ

“Rohnya dikembalikan ke jasadnya. Dia pun di datangi oleh dua orang malaikat. Keduanya mendudukkan orang itu seraya berkata kepada orang itu,”Siapakah Robb-mu?” Ia berkata, “Oh, oh, tak tahu”. Lalu keduanya berkata, “Siapakah orang (yakni, Rasul) yang diutus kepada kalian?”Ia menjawab, “Oh, oh, aku tak tahu”. Kemudian ada yang berteriak dari langit,”Orang itu bohong, berilah hamparan baginya berupa api neraka, berilah pakaian berupa api neraka dan bukakanlah pintu baginya menuju neraka. Orang inipun didatangi oleh panas dan racun neraka. Kuburnya dipersempit sampai tulang belulangnya bersilangan. Kemudian ditugaskan baginya malaikat (Zabaniyah) yang buta lagi bisu, disertai palu godam dari besi. Andaikan dipukulkan pada sebuah gunung, maka gunung itu akan menjadi tanah. Kemudian malaikat itu memukulnya dengan sebuah pukulan yang didengarkan segala sesuatu yang ada diantara timur dan barat, kecuali jin dan manusia. Orang itu pun berubah menjadi tanah. Kemudian dikembalikan lagi rohnya”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4753). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (131)]

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa roh yang kembali ke jasad saat kematian, bukanlah dikembalikan ke alam dunia, tapi ke alam kubur (alam barzakh).

Rohnya dikembalikan agar keduanya merasakan nikmat atau siksaan di alam kubur.

Bila ia baik, maka ia akan merasakan nikmat. Tapi bila ia buruk, maka ia akan merasakan siksaan.

Inilah beberapa patah kata dan seuntai dalil yang mengingkari aqidah pocong ini.

Semoga kita telah mengerti duduk permasalahannya dan tidak lagi salah dalam berkeyakinan.

Sumber : Abufaizah75

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hukum dari Upah dari Membaca Al-Qur'an

Written By Rachmat.M.Flimban on 19 Oktober 2017 | 10/19/2017 03:29:00 PM

Hukum dari Upah dari Membaca Al-Qur'an


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Usaimin


Soal:

Apa yang dimaksud dengan membaca Al-Qur'an?

Jawab:

Membaca al-Qur'an dalam rentjana upah sesuai hukum haram , karena membaca Al Qur'an adalah amal shalih. Amal shalih tidak boleh dijadikan sarana untuk mencari kenikmatan dunia. Jika ia dijadikan sarana untuk mencari kenikmatan dunia, maka batal pahalanya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

من كان يريد الحياة الدنيا وزينتها نوف إليهم أعمالهم فيها وهم فيها لا يبخسون * أولئك الذين ليس لهم في الآخرة إلا النار وحبط ما صنعوا فيها وباطل ما كانوا يعملون

" Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka yang mereka inginkan di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak menghasilkan di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan "(QS Hud: 15-16).

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه

"Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya sebatas yang ia niatkan itu" (HR Bukhari - Muslim).

Maka orang yang membaca Al-Qur'an jadinya tidak ada pahalanya di sisi Allah, sehingga dia pun tidak bisa mengirimkan pahala bagi orang yang sudah mati dengan bacaannya tersebut.

***

Sumber: Majmu 'perang Fatawa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin , 12 / 165-166, Asy-Syamilah.

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber Artikel: Muslim.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger