Beda Pendapat Sahabat Nabi Saat Terdampak Wabah
Written By Rachmat.M.Flimban on 25 November 2021 | 11/25/2021 09:28:00 PM
Fiqih-Wabah
Fiqih Ikhtilaf; ,Beda Pendapat Sahabat Nabi saat Terdampak Wabah Thaun
Selengkapnya Klik Tombol Buka di bawah ini
Maka Abu Wailah al-Hudzali bangkit dan berkata kepadanya, sungguh engkau telah berdusta, aku pernah bersahabat dengan Rasulullah sedangkan engkau lebih buruk daripada keledaiku ini.
‘Amr bin ‘Ash berkata, demi Allah aku tidak akan membalas perkataanmu, demi Allah aku tidak akan memperkarakan perkataanmu itu.
Dia pun keluar dan orang-orang ikut keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka.
Ketika pendapat ‘Amr bin ‘Ash didengar oleh Khalifah Umar bin Khattab, demi Allah, dia tidak membencinya.” Berdasarkan kisah tersebut, ternyata perbedaan pendapat tentang manajemen wabah penyakit telah muncul sejak zaman para sahabat pilihan.
Keteguhan ‘Amr bin ‘Ash untuk melaksanakan ijitihadnya didasarkan pada situasi wabah yang telah berkembang dari keadaan awal sejak pendahulunya masih memimpin.
Maka Beliau pun berijtihad dengan hasil keputusan yang baru dan berbeda.
“Ahmad meriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa thaun terjadi di Syam.
Ya Allah, berilah sebagian dari rahmatMu untuk Mu’adz dan keluarganya. ‘Amr bin ‘Ash berkata, maka aku juga mengetahui tentang kesyahidan dan rahmat.
Seputar Qurban- Fiqih Qorban
Written By Rachmat.M.Flimban on 12 Agustus 2019 | 8/12/2019 09:42:00 AM
MISTERI ALAM KUBUR, Seramnya Alam Kubur
Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Desember 2018 | 12/29/2018 08:12:00 AM
Aqidah, Fiqh
Hari Akhir, MISTERI ALAM KUBUR Seramnya Alam Kubur Oleh : Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin حفظه الله Dinukil dari e-Book Ibnumajjah.com 1440 H, 2018 M |
Disalin dari Buku "Rintangan Setelah Kematian" Kami singkat takhrij hadits dan catatan kaki seperlunya SERAMNYA ALAM KUBUR Dari Hani' Maula Utsman berkata bahwa ketika Utsman bin Affan رضي الله عنه berdiri di depan kuburan, beliau Menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Lalu dikatakan kepadanya, "Diceritakan kepadamu tentang Surga dan Neraka kamu tidak menangis, tetapi kamu menangis dari ini." Maka beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا الْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ "Kuburan adalah awal rintangan dari beberapa rintangan alam akhirat. Jika sukses di alam itu maka setelahnya lebih mudah, dan jika tidak sukses maka setelahnya lebih susah." Kemudian beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Tiada pemandangan yang pernah saya lihat melainkan kuburan yang paling menyeramkan."1 Ketika seseorang hamba diantar ke kuburan dia disertai tiga hal, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya. Dan yang kembali pulang dua hal yaitu harta dan keluarganya, sedangkan yang mengikutinya hanya amalnya, seperti yang telah ditegaskan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sabdanya: يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ "Suatu yang mengikuti mayat ada tiga, kembali pulang dua dan ikut bersamanya satu; dihantarkan keluarganya, hartanya dan amalnya, maka kembali pulang keluarganya dan hartanya dan yang tersisa (bersamanya) amalnya.2 Dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya berkata: “Ketika dinding rumah Nabi صلى الله عليه وسلم roboh sementara Umar bin Abdul Aziz pada saat itu sedang berada di Madinah, tiba-tiba telapak kaki salah seorang penghuni kuburan yang dikubur di rumah itu terlihat dan telapak kaki itu terkena sesuatu sehingga berdarah. Maka Umar bin Abdul Aziz kaget sekali, lalu Urwah masuk ke rumah tersebut. Ternyata telapak kaki itu adalah telapak kaki Umar bin Khaththab. Maka Urwah berkata kepada beliau, 'Engkau jangan kaget, kaki tersebut adalah kaki Umar bin Khaththab رضي الله عنه.' Lalu beliau menyuruh membangun kembali dinding tersebut dan dikembalikan seperti keadaan semula."3 Abu Umamah al-Bahili berkata, "Sesungguhnya kalian pada pagi dan petang berada dalam hunian yang meraup kebaikan dan keburukan. Dan hampir-hampir kalian akan pergi meninggalkannya menuju hunian lain yaitu kuburan, suatu hunian yang sangat menyeramkan dan rumah yang sangat gelap, tempat tinggal yang sangat sempit kecuali yang diluaskan Allah, kemudian kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat."4 Umar bin Abdul Aziz رحمه الله berkata kepada salah seorang pendampingnya, "Wahai Fulan, Aku tadi malam tidak bisa tidur karena merenungkan sesuatu." Dia berkata, "Apa yang sedang Engkau renungkan, wahai Amirul Mukmmin?" Beliau menjawab, "Aku sedang merenungkan kuburan dan penghuninya. Jika kamu menyaksikan mayat pada hari ketiganya di dalam kubur, niscaya kamu akan mendapatkan suatu bentuk sangat mengerikan walaupun sebelum mati dia sangat menawan hati. Kamu menyaksikan suatu hunian penuh dengan binatang binatang yang menyeramkan, badan yang mulai mengembung dan bernanah yang dibuat santapan cacing tanah, sedang tubuh mulai membusuk, kain kafan mulai hancur, sementara dahulu di dunia penampilannya sangat menawan, aroma tubuhnya sangat semerbak wangi dengan parfum dan pakaiannya sangat bersih dan indah." Setelah itu beliau tersungkur pingsan.5 Dari Yahya bin Abu Katsir bahwa Abu Bakar رضي الله عنه pernah berkhutbah, "Di manakah mereka yang berwajah rupawan, yang bangga dengan usia remajanya, yang silau dengan keperkasaannya, namun hal itu tidak pernah dipersembahkan untuk peperangan? Di manakah mereka yang telah membangun kota-kota besar yang dilindungi dengan benteng-benteng yang kokoh? Semuanya telah ditelan oleh masa dan semuanya akan menuju kepada gelapnya kuburan.6 Umar bin Dzar berkata, "Andaikata orang yang sehat wal'afiyat mengetahui tubuh penghuni alam kubur hancur lebur (dimakan cacing tanah), maka mereka akan sungguh-sungguh dan serius selama berada di dunia karena takut pada suatu hari, di mana hati dan mata tercengang karena ketakutan.7 Abu Abdurahman al-Umari al-Abid berkata, "Wahai para pemilik istana-istana yang megah! Ingatlah gelapnya hiburan yang menyeramkan, wahai orang-orang yang bergelimang kenikmatan dan kelezatan, ingatlah cacing tanah, darah campur nanah dan hancurnya jasad bersama tanah."8 Catatan Kaki; 1. Hasan, HR. Tirmidzi dan Ibnu Majjah., lihat Shahihul Jami’ No.5623. 2. Shahih, HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i., lihat Shahihul Jami’ No.8017. 3. Lihat Kitab Majmu Rasail Ibnu Rajab, Risalah Ahwalul Qubur, hal. 175. 4. idem, hal. 258. 5. idem, hal. 290. 6. idem, hal. 295. 7. idem, hal. 296. 8. idem, hal. 260. Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah" |
ROH MASIH BERADA DI RUMAH SETELAH BEBERAPA HARI MENINGAL
Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Desember 2018 | 12/27/2018 01:20:00 PM
https://www.youtube.com/shorts/KyTNOZ3SbZQ
ROH MASIH BERADA DI RUMAH SETELAH BEBERAPA HARI MENINGGAL DUNIA KHAZANA...
Kenapa Dalam Ayat 14 Surat An-Nisa’ Lafadz Wasiat itu Lebih Didahulukan Daripada Hutang?
Written By Rachmat.M.Flimban on 04 Desember 2018 | 12/04/2018 05:33:00 PM
لمادا أتت لفظة الوصية في القرآن الكريم قبل الدين ونحن نعلم أن الدين ينفد قبل الوصية Pertanyaan: Kenapa lafadz Wasiat dalam Al-Qur’an tertera sebelum lafadz Dain [hutang] sedangkan kita ketahui bahwa hutang harus diselesaikan dahulu sebelum wasiat?” الحمد للهقال القرطبي رحمه الله : ” إن قيل : ما الحكمة في تقديم ذكر الوصية على ذكر الدَّيْن, والدين مقدم عليها بإجماع ، أي تقضى ديون الميت من تركته قبل إخراج ما أوصى به … فالجواب من أوجه خمسة : الأول : إنما قصد تقديم هذين الفصلين على الميراث ولم يقصد ترتيبهما في أنفسهما ; فلذلك تقدمت الوصية في اللفظ . جواب ثان : لما كانت الوصية أقل لزوما من الدين قدمها اهتماما بها; كما قال تعالى: “لا يغادر صغيرة ولا كبيرة” الكهف./٤٩ Jawaban : Alhamdulillaah Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata: “Jika dikatakan: Apakah hikmah penyebutan kata al-wasiah yang didahulukan sebelum kata ad-dain, sedangkan upara ulama sepakat bahwa ad-dain [hutang] sebenarnya lebih didahulukan daripada wasiat ? Maka jawabannya dari 5 sisi: Pertama: Yang dimaksud adalah bahwa dua masalah tersebut didahulukan dari masalah warisan, dan urutan di mana mereka disebutkan tidak menunjukkan mana yang lebih penting [untuk didahulukan salah satunya]. Oleh karena wasiat itu disebutkan pertama. Kedua: Selagi wasiat itu lebih jarang dilakukan dibanding hutang, maka wasiat dikedepankan sebagai tanda adanya perhatian padanya, sebagaimana firman Allah: “tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar” [Al-Kahfi: 49] جواب ثالث: إنما قدمت الوصية إذ هي حظ مساكين وضعفاء , وأخَّر الدَّيْن إذ هو حظ غريم يطلبه بقوة وسلطان وله فيه مقال . جواب رابع : لما كانت الوصية ينشئها من قبل نفسه قدَّمها , والدين ثابت مؤدّى ذكره أو لم يذكره. ” انظر الجامع لأحكام القرآن للقرطبي ج/٥ص/٧٤ Ketiga: Sesungguhnya wasiat didahulukan karena ia adalah bagian untuk orang-orang miskin dan lemah. Sedangkan hutang didahulukan karena ia adalah bagian untuk orang yang memintanya dengan adanya kekuatan dan daya. Keempat: Karena warisan adalah sesuatu yang dimulai oleh orang tersebut, maka disebutkan pertama, sedangkan utang adalah sesuatu yang mapan dan jelas entah dia menyebutkan atau tidak.” [Al-Jaami' li Ahkaam Al-Qur'aan 5/74] وزاد بعض العلماء وجهين آخرين ” وإنما قدّمت الوصيّة على الدَّين في الذكر لأن الوصية إنما تقع على سبيل البر والصلة بخلاف الدَّين فإنه إنما يقع غالباً بنوع تفريط فوقعت البداءة بالوصية لكونها أفضل Dan sebagian ulama menambahkan dua sisi lain: Warisan ini disebutkan pertama karena warisan adalah tindakan kebaikan dan menjunjung tinggi ikatan manusia, tidak seperti hutang yang biasanya hasil dari semacam pengabaian. Jadi dimulainya dengan warisan karena itu adalah kebajikan yang lebih besar dan baik. وقيل قدمت الوصية لأنها شيء يؤخذ بغير عوض والدَّين يؤخذ بعوض فكان إخراج الوصية أشقُّ على الوارث من إخراج الدَّيْن وكان أداؤها مظنّة للتفريط بخلاف الدَّيْن فإن الوارث مطمئن بإخراجه فقدّمت الوصية لذلك ” . انظر التحقيقات المرضية في المباحث الفرضية للشيخ صالح للفوزان ص/٢٧ Dan dikatakan oleh sebagian ulama bahwa warisan disebutkan pertama karena itu adalah sesuatu yang diberikan tanpa adanya imbalan, sedangkan utang diberikan sebagai imbalan atas sesuatu. Jadi pembayaran warisan lebih sulit bagi ahli waris dari pembayaran utang,. Dan membayar warisan bisa dianggap bahwa ia akan diabaikan. Tidak seperti hutang yang ahli waris akan membayar dengan tenang. ”[lihat At-Tahqiiqaat Al-Mardhiyyah fi Al-Mabaahits Al-Fardhiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzaan 27] Wallahu a’lam |
Adab Ta’ziyah
Written By Rachmat.M.Flimban on 27 November 2018 | 11/27/2018 09:36:00 AM
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala. Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak. Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini? Untuk menjelaskan masalah ta’ziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at Ta`ziyah, karya Syaikh Musa’id bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al ‘Ashimah. Semoga bermanfaat. DEFINISI TA’ZIYAH Kata “ta`ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.[1] Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya. Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akannya”.[2] Imam al Khirasyi di dalam syarahnya menulis: “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.[3] Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya”.[4] |
HUKUM FIKIH TA’ZIYAH |
Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya :Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’ kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511]. Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha : “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192]. HIKMAH TA’ZIYAH Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain : – Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat. – Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala. – Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah. – Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik. – Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya. – Mendo’akan mayit dengan kebaikan. – Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah. WAKTU TA’ZIYAH Jumhur ulama memandang bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.[7] Pendapat lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh ta’ziyah setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa melupakannya. Oleh karena itu, hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu, orang yang tertimpa musibah benar-benar dituntut untuk bersabar. [8] Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa musibah merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si mayit.[9] JANGKA WAKTU TA’ZIYAH Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari [10]. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202]. Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut. Sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tak ada pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama. Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama. MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH Mengulang-ulang ta’ziyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak boleh berta’ziyah di kuburan, apabila sebelumnya sudah melakukannya. Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan dilakukannya ta’ziyah sudah dicapai pada ta’ziyah yang pertama kali, sehingga tidak perlu diulang lagi, supaya tidak membuat kesedihannya terus menghimpitnya.[11] KEPADA SIAPA BERTA’ZIYAH? Sunnahnya ta’ziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya. [12] Jika saat ta’ziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya. |
TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR |
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14] Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat : Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram [15]. Dalil yang mereka pergunakan ialah: لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5]. Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka. Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini : قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”. Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96]. Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan -menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam. MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah [17]. Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah. APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH? Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah. Ibnu Qudamah berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan: رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ (Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR Tirmidzi, 4/60). Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya : أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim, 3/39]. Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca : أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayit. [20] Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan: “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja.[21] Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendo’akan orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendoakan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan. Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh seorang muslim, memberikan tuntunan do’a : أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ (Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit). Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya ialah : أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ وَلاَ نَقَصَ عَدَدَكَ (Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu). Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22] Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat bermasalah, sebab berdo’a agar orang kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan saja” [23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat. Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan : اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَكَ وَرَحِمَنَا وَإِيَّاكَ (Semoga Allah mengabukan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu). [24] DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain. Adapun jika dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya haram.[26] Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya maslahat; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyari’atkan, dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27] Dalam masalah ini ada yang berpendapat memperbolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah[28]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha , dia menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada kesedihan … [HR Muslim, 3/45] Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau n duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya berta’ziyah.[29] Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah menginap di tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah pernah melayat sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih lama lagi. [30] Demikianlah beberapa point berkenaan dengan ta’ziyah. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] |
Footnote
[1]. Lihat Mukhtar ash Shihah, hlm. 431; al Qamus al Muhith (4/364) dan Lisan al ‘Arab (15/52).
[2]. Radd al Mukhtar (1/603).
[3]. Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129).
[4]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu’ (5/304).
[5]. Al Mughni (3/480). Lihat juga al Ifshah (1/193).
[6]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/130), al Balighah (2/82).
[7]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130); al Majmu’ (5/306), al Mughni, (2/480), al Inshaf (2/563).
[8]. Al Mughni (3/480), Nail al Authar (4/95).
[9]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306).
[10]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina’ (2/160).
[11]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Furu’ (2/294), al Inshaf (2/564).
[12]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/129), al Majmu’ (5/305), al Adzkar an Nawawiyah hlm. 127, al Mughni (3/480).
[13]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Muhadzdzab –dicetak bersama al Majmu- (5/304).
[14]. Al Mughni (3/486), Ahkam Ahl adz Dzimmah (1/204).
[15]. Al Inshaf (2/566), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[16]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/565).
[17]. Hasyiyah ad Dusuqi (1/419), al Inshaf (2/566).
[18]. Al Mughni (3/480).
[19]. Al Adzkar, hlm. 127.
[20]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).
[21]. Al Majmu’ (5/306).
[22]. Al Majmu’ (5/306), al Mughni (3/486)
[23]. Al Majmu’ (5/306)
[24]. Al Mughni (3/487), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[25]. Zadul Ma’ad (1/146).
[26]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm. 127.
[27]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta`, no. 38, diambil dari surat kabar al Muslimun.
[28]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130).
[29]. Lihat Radd al Mukhtar (1/604).
[30]. Kasysyaf al Qina’ (2/160).
Sumber Arikel : Almanhaj.or.id