Latest Post
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Beda Pendapat Sahabat Nabi Saat Terdampak Wabah

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 November 2021 | 11/25/2021 09:28:00 PM

Fiqih-Wabah

Fiqih Ikhtilaf; ,Beda Pendapat Sahabat Nabi saat Terdampak Wabah Thaun

Selengkapnya Klik Tombol Buka di bawah ini

Letakan Posting di sisni
Dalam memutuskan masalah yang menyangkut keselamatan jiwa masyarakatnya, para sahabat Nabi tetap mengutamakan adab. (Ilustrasi: vipis.org)
Masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat ulama sering dijumpai dalam pembahasan fiqih, terutama yang berkaitan dengan amaliah ibadah. Namun, ternyata dalam fiqih kesehatan, khilafiyah sudah terjadi, bahkan sejak zaman sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Salah satu kisah perbedaan pendapat tersebut terungkap dalam sikap para sahabat Nabi ketika menghadapi wabah thaun yang terjadi di daerah Amwas, Syiria/Syam, pada tahun 17-18 Hijriah.

Para sahabat yang terdampak wabah thaun Amwas adalah sekelompo besar pasukan yang sedang menjalankan misi pada masa Khalifah Umar bin Khattab untuk menaklukkan kedudukan Romawi di Syiriah dan sekitarnya.

Misi ini sukses sehingga keberadaan pasukan dipertahankan di daerah tersebut.

Mereka bermarkas di Amwas dan dikomandoi oleh Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah. Bahkan, sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian dijadikan wali negeri di Syria untuk mengatur dan memimpin masyarakat di sana.
Di tengah keberhasilan penaklukan, para sahabat pun mengatur, mendidik dan membina daerah taklukan itu agar penuh keberkahan dengan syariat Islam.
Khalifah Umar bin Khattab pun sempat memberikan ucapan selamat dan dukungan penuh dengan mendatangkan para sahabat lainnya untuk membantu perjuangan pasukan.
Tidak kurang dari ulamanya para sahabat seperti Mu’adz bin Jabal yang berpengalaman dakwah di Yaman dan Sahabat ‘Amr bin ‘Ash yang ahli strategi perang turut diperbantukan ke Syria.
Hal menarik yang dapat diambil sebagai pelajaran adalah penanganan wabah thaun Amwas yang berbeda dan diwarnai perdebatan para sahabat.
Saat wali negeri Syiria sekaligus panglima pasukan muslim dipimpin oleh sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal, fatwa yang dikeluarkan kedua sahabat itu untuk diikuti pasukannya dalam menghadapi wabah adalah tetap berkumpul di area markas dan tidak menyebar.
Namun, pada masa kepemimpinan sahabat ‘Amr bin ‘Ash, fatwa yang dikeluarkan untuk diikuti oleh pasukannya adalah agar menyebar secara mandiri ke daerah perbukitan dan lembah.
Kedua ijtihad yang berbeda dari golongan para sahabat besar itu pada mulanya menjadi suatu masalah khilafiyah.
Sahabat ‘Amr bin ‘Ash yang semula masih menjadi pasukan di bawah komando sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah sempat menganjurkan kepada panglimanya tersebut agar masyarakat dan pasukan diungsikan.
Beliau berpendapat bahwa hendaknya wabah dihindari dengan cara menyebarkan lokasi tinggal pasukan.
Namun, dia segera tunduk patuh pada keputusan panglima Abu Ubaidah yang mengambil keputusan berbeda dengan pendapatnya.
Mereka sepakat untuk tetap berkumpul di Amwas.
Demikian pula ketika akhirnya Abu Ubaidah wafat akibat terkena thaun dan kedudukan panglima digantikan oleh Mu’adz bin Jabal.
Sahabat Mu'adz tetap mempertahankan keputusan agar markas pasukan tetap berada di dalam satu lokasi, maka kejadian yang sama pun terulang, yaitu terpaparnya Mu'adz bin Jabal sekeluaga sehingga wafat akibat thaun.
Tidak kurang dari 25.000 korban jiwa dari kalangan kaum muslimin yang meningga akibat wabah thaun Amwas.
Setelah Sahabat 'Amr bin 'Ash sebagai panglima pasukan. kali ini, keputusan yang diambilnya utnu menghidari wabah diterapkan secara berbeda dari pendahulun
Setelah Sahabat 'Amr bin 'Ash sebagai panglima pasukan. kali ini, keputusan yang diambilnya utnu menghidari wabah diterapkan secara berbeda dari pendahulun
Setelah Sahabat 'Amr bin 'Ash sebagai panglima pasukan. kali ini, keputusan yang diambilnya utnu menghidari wabah diterapkan secara berbeda dari pendahulun
Maka ada sahabat senior yang juga mengkritiknya.
Namun, ‘Amr bin ‘Ash tetap dalam pendapatnya dan diikuti oleh seluruh pasukan maupun masyarakat di Amwas.
Kisah lengkap tentang perbedaan pendapat ini terekam dalam kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi (Penerbit Darul Qalam,
Damaskus tanpa tahun: hal 155).
“Ketika wabah melanda, Abu Ubaidah pun berkhutbah, wahai sekalian manusia, sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Tuhan kalian, doa Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut.

Lalu dia terjangkit penyakit tersebut sehingga meninggal dunia.
Selanjutnya Mu'adz bin Jabal mengnggantikannya untuk memimpin orang-orang, lalu dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah, wahai sekalian manusia, wabah ini merupakan rahmat dari Tuhan kalian, doanya Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang saleh sebelum kalian.
Sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar keluarganya mendapat bagian dari rahmat tersebut.
Kemudian, putranya yang bernama Abdurrahman bin Mu’adz terjangkit penyakit tersebut sampai meninggal.
Dia pun memohon kepada Tuhannya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terkena thaun pada telapak tangannya. Setelah dia wafat, ‘Amr bin ‘Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang.
-----------------------------------------------
Kemudian, dia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan kami.
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jika penyakit ini mewabah maka dia akan berkobar sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.

Maka Abu Wailah al-Hudzali bangkit dan berkata kepadanya, sungguh engkau telah berdusta, aku pernah bersahabat dengan Rasulullah sedangkan engkau lebih buruk daripada keledaiku ini.

‘Amr bin ‘Ash berkata, demi Allah aku tidak akan membalas perkataanmu, demi Allah aku tidak akan memperkarakan perkataanmu itu.

Dia pun keluar dan orang-orang ikut keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka.

Ketika pendapat ‘Amr bin ‘Ash didengar oleh Khalifah Umar bin Khattab, demi Allah, dia tidak membencinya.” Berdasarkan kisah tersebut, ternyata perbedaan pendapat tentang manajemen wabah penyakit telah muncul sejak zaman para sahabat pilihan.

Namun, mereka tetap berlapang dada dan menunjukkan ketaatan kepada pimpinannya.
Sebagaimana telah kita ketahui, para sahabat yang diangkat oleh Khalifah Umar sebagai pimpinan pasukan atau pimpinan wilayah adalah sahabat yang mumpuni dalam permasalahan agama, sehingga fatwanya akan ditaati oleh pengikutnya.
Tidak terkecuali fatwa dari Panglima Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal, kedua fatwa dari sahabat ini diikuti oleh ‘Amr bin ‘Ash meskipun berbeda dari pendapat pribadinya. Dalam hal senioritas, sahabat ‘Amr bin ‘Ash memang masuk Islam belakangan jika dibandingkan dengan Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal.
Namun, dengan diangkatnya mereka bertiga sebagai pimpinan wilayah secara berurutan menempatkan mereka pada kedudukan resmi sebagai pemberi keputusan atau fatwa dalam setiap masalah hukum di wilayah yang dipimpinnya.
Ketika situasi berkembang, tidak menutup kemungkinan fatwa yang semula berbeda dengan fatwa resmi ternyata bisa digunakan. Bahkan fatwa yang semula bertentangan dengan fatwa yang sudah ada juga bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah yang sedang terjadi.

Keteguhan ‘Amr bin ‘Ash untuk melaksanakan ijitihadnya didasarkan pada situasi wabah yang telah berkembang dari keadaan awal sejak pendahulunya masih memimpin.

Saat diangkat menjadi pemimpin, Beliau bertanggung jawab terhadap sisa pasukan dan masyarakat yang dipimpinnya setelah berkurang 25.000 orang akibat wabah thaun.

Maka Beliau pun berijtihad dengan hasil keputusan yang baru dan berbeda.

Sekilas, landasan keputusan logis yang diambil oleh ‘Amr bin ‘Ash tidak sekuat landasan dari kedua pendahulunya yang langsung mendengar dari Rasulullah. Sebagai bentuk adab kepada sahabat seniornya, ternyata ‘Amr bin ‘Ash juga sempat menyepakati pendapat panglima sebelumnya dengan mengeluarkan sebuah landasan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Masih di kitab yang sama, Imam Suyuthi menceritakan kisah lengkapnya sebagai berikut.

“Ahmad meriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa thaun terjadi di Syam.

Lalu ‘Amr bin ‘Ash berkata, siksaan ini telah menetap terjadinya, maka larilah kalian ke jalan menuju bukit atau menuju lembah.
Lalu hal itu sampai di telinga Mu’adz bin Jabal, tetapi dia tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh ‘Amr bin ‘Ash. Mu’adz bin Jabal berargumen dengan perkataannya, bahkan itu adalah kesyahidan, rahmat dan doa Nabi kalian.

Ya Allah, berilah sebagian dari rahmatMu untuk Mu’adz dan keluarganya. ‘Amr bin ‘Ash berkata, maka aku juga mengetahui tentang kesyahidan dan rahmat.

Aku tidak mengetahui apa doa Nabi kalian hingga aku diberitahu bahwa pada suatu malam, Rasulullah melaksanakan shalat, lalu Beliau berdoa, jadi dengan penyakit panas atau thaun, tiga kali.” (As-Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam,
Damaskus tanpa tahun: hal 143). Wabah, antara Azab dan Rahmat Dengan menyampaikan hadits tersebut, sebetulnya ‘Amr bin ‘Ash bersepakat tentang makna rahmat dan kesyahidan dalam konteks thaun Amwas.
Jadi Beliau tidak hendak membantah Mu’adz bin Jabal, bahkan dalam riwayat yang lain,
‘Amr bin ‘Ash menyatakan bahwa Mu’adz bin Jabal adalah benar.
Pada kisah di atas, ‘Amr bin ‘Ash juga mengakui bahwa pengetahuannya tentang doa Nabi tidaklah sebaik pengetahuan yang dimiliki oleh Mu’adz bin Jabal.
Di sinilah letak ketawadhuan ‘Amr bin ‘Ash ketika masih ada Mu’adz bin Jabal. Lalu apa dasar yang digunakan oleh ‘Amr bin ‘Ash ketika menjadi panglima tetap menerapkan gagasannya yang dulu sempat disampaikan kepada Mu’adz bin Jabal untuk menyebar pasukan agar tidak berkumpul di markas?
Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Suyuthi, ‘Amr bin ‘Ash beberapa kali menggunakan istilah rijzun untuk menyertai penyebutan penyakit thaun. Rijzun merupakan perbuatan dosa, atau bisa juga diartikan azab/siksaan karena dosa.
Perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia, diyakini oleh orang yang beriman, dapat mengundang azab dari Allah SWT. Rupanya perbedaan cara sudut pandanglah yang menyebabkan masalah khilafiyah ini.
Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal serta beberapa sahabat senior yang lain melihat thaun dari sudut pandang rahmat, sedangkan ‘Amr bin ‘Ash melihatnya dari sudut pandang azab dengan tetap membenarkan sudut pandang rahmat.
Azab yang tidak pilih-pilih ini tentunya harus dihindari dengan berbagai upaya oleh kaum muslimin agar tidak terkena kebinasaan.
 Sebagaimana yang telah diketahui, ada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja.
Bila orang saleh dan orang beriman tertimpa dengan hal tersebut, kondisinya tetap menjadi rahmat dan bukan azab.
Bila yang tertimpa adalah orang yang tidak beriman, barulah menjadi siksaan yang sebenar-benarnya di dunia sebagai pembukaan siksaan di akhirat kelak.
Namun, anjuran umum yang berlaku adalah memelihara diri dari siksaan/azab yang seperti itu.
Upaya lahiriah yang diterapkan oleh ‘Amr bin ‘Ash sebenarnya adalah konsep physical distancing dan isolasi mandiri dari wabah penyakit menular, yang saat itu terjadi, yaitu wabah thaun.
 Sebagaimana yang telah dibahas oleh para ulama, wabah memiliki sisi perbedaan dengan thaun.
Thaun sudah pasti merupakan wabah, sedangkan wabah merupakan istilah yang lebih umum untuk menyebutkan kondisi penyakit menular yang kejadiannya sedang merebak di suatu wilayah.
Physical distancing yang dikenal dengan istilah jaga jarak, ternyata relevan bila diterapkan baik pada thaun maupun wabah penyakit menular lainnya.
Demikian pula dengan isolasi mandiri bagi yang sedang terkena penyakit thaun maupun penyakit menular lainnya, ternyata masih relevan diterapkan hingga masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Adapun sudut pandang yang dimiliki oleh ‘Amr bin ‘Ash tentang thaun sebagai azab atas dosa masih bersesuaian dengan pengalaman lapangan dan sejarah mula-mula kemunculan thaun di Amwas. Imam Suyuthi mengutip bahwa dalam Mir’ah az-Zaman disebutkan bahwa: “Pada tahun 18 Hijriah, sejumlah orang muslim di Syam meminum minuman keras.
Abu Ubaidah menghukum mereka dengan hukuman cambuk atas perintah Khalifah Umar bin Khattab.
Pada saat itu, Khalifah berkata, sungguh pada tahun ini akan terjadi peristiwa. Maka terjadilah thaun. Hisyam berkata, thaun terjadi di Syam karena mereka minum minuman keras.” Semua sahabat Nabi yang disebutkan di atas berada pada ijtihad yang benar.
Ada satu hadits yang merangkum benarnya fatwa mereka semua, yaitu hadits tentang pahala syahid bagi orang yang bersabar dari thaun.
Aisyah meriwayatkan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai thaun. Sesungguhnya thaun itu merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menjadi rahmat bagi kaum mukmin.”
Demikianlah adab para sahabat ketika berbeda pendapat. Bahkan dalam memutuskan masalah yang menyangkut keselamatan jiwa masyarakatnya, mereka tetap mengutamakan adab.
Mereka semua adalah sahabat Nabi yang terpilih dan ulama panutan umat yang setiap pendapatnya tidak didasarkan atas kepentingan pribadi. Mereka juga berlapang hati dalam melaksanakan keputusan pimpinan, meskipun pimpinan tersebut berbeda dalam merumuskan ijtihad dengan dirinya.
Semoga ini bisa menjadi contoh untuk menyikapi masalah khilafiyah yang sering kita hadapi.
Apabila dikhususkan dalam konteks menyikapi wabah Covid-19, banyak ragam perbedaan pendapat tentang fiqih kesehatan yang dikemukakan oleh para ulama.
Mulai dari hukum bermasker ketika beribadah, menjaga jarak ketika sholat berjamaah dan perbedaan dalam hal-hal lainnya. Semua hal tersebut telah dicermati dan dikaji bersama dengan pakar di bidang kesehatan.
Maka ketika ada anjuran atau fatwa yang telah mempertimbangkan saran dari para ahli kesehatan yang terpercaya, sudah selayaknya umat Islam mematuhinya.
Namun, bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat, hendaknya mereka berlapang dada untuk kembali kepada kesepakatan para ulama dan pemimpin muslim yang adil dalam memutuskan persoalan kaum muslimin.
 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Seputar Qurban- Fiqih Qorban

Written By Rachmat.M.Flimban on 12 Agustus 2019 | 8/12/2019 09:42:00 AM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

MISTERI ALAM KUBUR, Seramnya Alam Kubur

Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Desember 2018 | 12/29/2018 08:12:00 AM

Aqidah, Fiqh


Hari Akhir, MISTERI ALAM KUBUR

Seramnya Alam Kubur

Oleh : Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin حفظه الله

Dinukil dari e-Book Ibnumajjah.com 1440 H, 2018 M


Disalin dari Buku "Rintangan Setelah Kematian"

Kami singkat takhrij hadits dan catatan kaki seperlunya


SERAMNYA ALAM KUBUR


Dari Hani' Maula Utsman berkata bahwa ketika Utsman bin Affan رضي الله عنه berdiri di depan kuburan, beliau Menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Lalu dikatakan kepadanya, "Diceritakan kepadamu tentang Surga dan Neraka kamu tidak menangis, tetapi kamu menangis dari ini." Maka beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا الْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ

"Kuburan adalah awal rintangan dari beberapa rintangan alam akhirat. Jika sukses di alam itu maka setelahnya lebih mudah, dan jika tidak sukses maka setelahnya lebih susah." Kemudian beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Tiada pemandangan yang pernah saya lihat melainkan kuburan yang paling menyeramkan."1

Ketika seseorang hamba diantar ke kuburan dia disertai tiga hal, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya. Dan yang kembali pulang dua hal yaitu harta dan keluarganya, sedangkan yang mengikutinya hanya amalnya, seperti yang telah ditegaskan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sabdanya:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

"Suatu yang mengikuti mayat ada tiga, kembali pulang dua dan ikut bersamanya satu; dihantarkan keluarganya, hartanya dan amalnya, maka kembali pulang keluarganya dan hartanya dan yang tersisa (bersamanya) amalnya.2

Dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya berkata: “Ketika dinding rumah Nabi صلى الله عليه وسلم roboh sementara Umar bin Abdul Aziz pada saat itu sedang berada di Madinah, tiba-tiba telapak kaki salah seorang penghuni kuburan yang dikubur di rumah itu terlihat dan telapak kaki itu terkena sesuatu sehingga berdarah. Maka Umar bin Abdul Aziz kaget sekali, lalu Urwah masuk ke rumah tersebut. Ternyata telapak kaki itu adalah telapak kaki Umar bin Khaththab. Maka Urwah berkata kepada beliau, 'Engkau jangan kaget, kaki tersebut adalah kaki Umar bin Khaththab رضي الله عنه.' Lalu beliau menyuruh membangun kembali dinding tersebut dan dikembalikan seperti keadaan semula."3

Abu Umamah al-Bahili berkata, "Sesungguhnya kalian pada pagi dan petang berada dalam hunian yang meraup kebaikan dan keburukan. Dan hampir-hampir kalian akan pergi meninggalkannya menuju hunian lain yaitu kuburan, suatu hunian yang sangat menyeramkan dan rumah yang sangat gelap, tempat tinggal yang sangat sempit kecuali yang diluaskan Allah, kemudian kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat."4

Umar bin Abdul Aziz رحمه الله berkata kepada salah seorang pendampingnya, "Wahai Fulan, Aku tadi malam tidak bisa tidur karena merenungkan sesuatu." Dia berkata, "Apa yang sedang Engkau renungkan, wahai Amirul Mukmmin?" Beliau menjawab, "Aku sedang merenungkan kuburan dan penghuninya. Jika kamu menyaksikan mayat pada hari ketiganya di dalam kubur, niscaya kamu akan mendapatkan suatu bentuk sangat mengerikan walaupun sebelum mati dia sangat menawan hati. Kamu menyaksikan suatu hunian penuh dengan binatang binatang yang menyeramkan, badan yang mulai mengembung dan bernanah yang dibuat santapan cacing tanah, sedang tubuh mulai membusuk, kain kafan mulai hancur, sementara dahulu di dunia penampilannya sangat menawan, aroma tubuhnya sangat semerbak wangi dengan parfum dan pakaiannya sangat bersih dan indah." Setelah itu beliau tersungkur pingsan.5

Dari Yahya bin Abu Katsir bahwa Abu Bakar رضي الله عنه pernah berkhutbah, "Di manakah mereka yang berwajah rupawan, yang bangga dengan usia remajanya, yang silau dengan keperkasaannya, namun hal itu tidak pernah dipersembahkan untuk peperangan? Di manakah mereka yang telah membangun kota-kota besar yang dilindungi dengan benteng-benteng yang kokoh? Semuanya telah ditelan oleh masa dan semuanya akan menuju kepada gelapnya kuburan.6

Umar bin Dzar berkata, "Andaikata orang yang sehat wal'afiyat mengetahui tubuh penghuni alam kubur hancur lebur (dimakan cacing tanah), maka mereka akan sungguh-sungguh dan serius selama berada di dunia karena takut pada suatu hari, di mana hati dan mata tercengang karena ketakutan.7

Abu Abdurahman al-Umari al-Abid berkata, "Wahai para pemilik istana-istana yang megah! Ingatlah gelapnya hiburan yang menyeramkan, wahai orang-orang yang bergelimang kenikmatan dan kelezatan, ingatlah cacing tanah, darah campur nanah dan hancurnya jasad bersama tanah."8




Catatan Kaki;

1. Hasan, HR. Tirmidzi dan Ibnu Majjah., lihat Shahihul Jami’ No.5623.

2. Shahih, HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i., lihat Shahihul Jami’ No.8017.

3. Lihat Kitab Majmu Rasail Ibnu Rajab, Risalah Ahwalul Qubur, hal. 175.

4. idem, hal. 258.

5. idem, hal. 290.

6. idem, hal. 295.

7. idem, hal. 296.

8. idem, hal. 260.


Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah"

Artikel Terkait; "DERITA DAN NIKMAT ALAM BARZAKH "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

ROH MASIH BERADA DI RUMAH SETELAH BEBERAPA HARI MENINGAL

Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Desember 2018 | 12/27/2018 01:20:00 PM

https://www.youtube.com/shorts/KyTNOZ3SbZQ

ROH MASIH BERADA DI RUMAH SETELAH BEBERAPA HARI MENINGGAL DUNIA KHAZANA...

Psstt, ... Ingin bisa baca Qur'an hanya dalam tiga (3) hari? Klik di sini untuk solusinya!

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kenapa Dalam Ayat 14 Surat An-Nisa’ Lafadz Wasiat itu Lebih Didahulukan Daripada Hutang?

Written By Rachmat.M.Flimban on 04 Desember 2018 | 12/04/2018 05:33:00 PM


Kenapa Dalam Ayat 14 Surat An-Nisa’ Lafadz Wasiat itu Lebih Didahulukan Daripada Hutang?

Fiqih Ibadah

Narasumber; Islam Download.net fikih-ibadah



لمادا أتت لفظة الوصية في القرآن الكريم قبل الدين ونحن نعلم أن الدين ينفد قبل الوصية



Pertanyaan: Kenapa lafadz Wasiat dalam Al-Qur’an tertera sebelum lafadz Dain [hutang] sedangkan kita ketahui bahwa hutang harus diselesaikan dahulu sebelum wasiat?”

الحمد للهقال القرطبي رحمه الله : ” إن قيل : ما الحكمة في تقديم ذكر الوصية على ذكر الدَّيْن, والدين مقدم عليها بإجماع ، أي تقضى ديون الميت من تركته قبل إخراج ما أوصى به

… فالجواب من أوجه خمسة : الأول : إنما قصد تقديم هذين الفصلين على الميراث ولم يقصد ترتيبهما في أنفسهما ; فلذلك تقدمت الوصية في اللفظ . جواب ثان : لما كانت الوصية أقل لزوما من الدين قدمها اهتماما بها; كما قال تعالى: “لا يغادر صغيرة ولا كبيرة” الكهف./٤٩

Jawaban : Alhamdulillaah

Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata: “Jika dikatakan: Apakah hikmah penyebutan kata al-wasiah yang didahulukan sebelum kata ad-dain, sedangkan upara ulama sepakat bahwa ad-dain [hutang] sebenarnya lebih didahulukan daripada wasiat ?

Maka jawabannya dari 5 sisi:

Pertama: Yang dimaksud adalah bahwa dua masalah tersebut didahulukan dari masalah warisan, dan urutan di mana mereka disebutkan tidak menunjukkan mana yang lebih penting [untuk didahulukan salah satunya]. Oleh karena wasiat itu disebutkan pertama.

Kedua: Selagi wasiat itu lebih jarang dilakukan dibanding hutang, maka wasiat dikedepankan sebagai tanda adanya perhatian padanya, sebagaimana firman Allah: “tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar” [Al-Kahfi: 49]

جواب ثالث: إنما قدمت الوصية إذ هي حظ مساكين وضعفاء , وأخَّر الدَّيْن إذ هو حظ غريم يطلبه بقوة وسلطان وله فيه مقال . جواب رابع : لما كانت الوصية ينشئها من قبل نفسه قدَّمها , والدين ثابت مؤدّى ذكره أو لم يذكره. ” انظر الجامع لأحكام القرآن للقرطبي ج/٥ص/٧٤

Ketiga: Sesungguhnya wasiat didahulukan karena ia adalah bagian untuk orang-orang miskin dan lemah. Sedangkan hutang didahulukan karena ia adalah bagian untuk orang yang memintanya dengan adanya kekuatan dan daya.

Keempat: Karena warisan adalah sesuatu yang dimulai oleh orang tersebut, maka disebutkan pertama, sedangkan utang adalah sesuatu yang mapan dan jelas entah dia menyebutkan atau tidak.” [Al-Jaami' li Ahkaam Al-Qur'aan 5/74]

وزاد بعض العلماء وجهين آخرين

” وإنما قدّمت الوصيّة على الدَّين في الذكر لأن الوصية إنما تقع على سبيل البر والصلة بخلاف الدَّين فإنه إنما يقع غالباً بنوع تفريط فوقعت البداءة بالوصية لكونها أفضل

Dan sebagian ulama menambahkan dua sisi lain:

Warisan ini disebutkan pertama karena warisan adalah tindakan kebaikan dan menjunjung tinggi ikatan manusia, tidak seperti hutang yang biasanya hasil dari semacam pengabaian. Jadi dimulainya dengan warisan karena itu adalah kebajikan yang lebih besar dan baik.

وقيل قدمت الوصية لأنها شيء يؤخذ بغير عوض والدَّين يؤخذ بعوض فكان إخراج الوصية أشقُّ على الوارث من إخراج الدَّيْن وكان أداؤها مظنّة للتفريط بخلاف الدَّيْن فإن الوارث مطمئن بإخراجه فقدّمت الوصية لذلك ” . انظر التحقيقات المرضية في المباحث الفرضية للشيخ صالح للفوزان ص/٢٧

Dan dikatakan oleh sebagian ulama bahwa warisan disebutkan pertama karena itu adalah sesuatu yang diberikan tanpa adanya imbalan, sedangkan utang diberikan sebagai imbalan atas sesuatu. Jadi pembayaran warisan lebih sulit bagi ahli waris dari pembayaran utang,. Dan membayar warisan bisa dianggap bahwa ia akan diabaikan. Tidak seperti hutang yang ahli waris akan membayar dengan tenang.

”[lihat At-Tahqiiqaat Al-Mardhiyyah fi Al-Mabaahits Al-Fardhiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzaan 27]

Wallahu a’lam


Sumber; Islam-qa.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Adab Ta’ziyah

Written By Rachmat.M.Flimban on 27 November 2018 | 11/27/2018 09:36:00 AM


Adab, Fiqih Ta'ziyah

Oleh

Syaikh Musa’id bin Qashim Al-Falih



Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.

Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.

Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini?

Untuk menjelaskan masalah ta’ziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at Ta`ziyah, karya Syaikh Musa’id bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al ‘Ashimah. Semoga bermanfaat.

DEFINISI TA’ZIYAH

Kata “ta`ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.[1]

Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya.

Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akannya”.[2]

Imam al Khirasyi di dalam syarahnya menulis: “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.[3]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya”.[4]



HUKUM FIKIH TA’ZIYAH


Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya :Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ

Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’ kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].

Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha : “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192].

HIKMAH TA’ZIYAH

Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain :

– Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.

– Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.

– Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.

– Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.

– Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.

– Mendo’akan mayit dengan kebaikan.

– Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.

WAKTU TA’ZIYAH

Jumhur ulama memandang bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.[7]

Pendapat lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh ta’ziyah setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa melupakannya. Oleh karena itu, hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu, orang yang tertimpa musibah benar-benar dituntut untuk bersabar. [8]

Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa musibah merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si mayit.[9]

JANGKA WAKTU TA’ZIYAH

Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari [10]. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].

Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut.

Sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tak ada pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.

Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama.

MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH

Mengulang-ulang ta’ziyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak boleh berta’ziyah di kuburan, apabila sebelumnya sudah melakukannya.

Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan dilakukannya ta’ziyah sudah dicapai pada ta’ziyah yang pertama kali, sehingga tidak perlu diulang lagi, supaya tidak membuat kesedihannya terus menghimpitnya.[11]

KEPADA SIAPA BERTA’ZIYAH?

Sunnahnya ta’ziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya. [12]

Jika saat ta’ziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya.



TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR


Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14]

Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat :

Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram [15]. Dalil yang mereka pergunakan ialah:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5].

Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.

Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini :

قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ

Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.

Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96].

Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan -menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam.

MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR

Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah [17].

Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah.

APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH?

Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.

Ibnu Qudamah berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:

رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ

(Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR Tirmidzi, 4/60).

Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya :

أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim, 3/39].

Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca :

أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ

Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayit. [20]

Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan: “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja.[21]

Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendo’akan orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendoakan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.

Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh seorang muslim, memberikan tuntunan do’a :

أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ

(Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit).

Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya ialah :

أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ وَلاَ نَقَصَ عَدَدَكَ

(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).

Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22]

Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat bermasalah, sebab berdo’a agar orang kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan saja” [23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar.

Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat.

Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan :

اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَكَ وَرَحِمَنَا وَإِيَّاكَ

(Semoga Allah mengabukan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu). [24]

DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH

Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain. Adapun jika dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya haram.[26]

Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya maslahat; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyari’atkan, dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]

Dalam masalah ini ada yang berpendapat memperbolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah[28]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha , dia menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada kesedihan … [HR Muslim, 3/45]

Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau n duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya berta’ziyah.[29]

Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah menginap di tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah pernah melayat sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih lama lagi. [30]

Demikianlah beberapa point berkenaan dengan ta’ziyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Footnote

[1]. Lihat Mukhtar ash Shihah, hlm. 431; al Qamus al Muhith (4/364) dan Lisan al ‘Arab (15/52).

[2]. Radd al Mukhtar (1/603).

[3]. Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129).

[4]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu’ (5/304).

[5]. Al Mughni (3/480). Lihat juga al Ifshah (1/193).

[6]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/130), al Balighah (2/82).

[7]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130); al Majmu’ (5/306), al Mughni, (2/480), al Inshaf (2/563).

[8]. Al Mughni (3/480), Nail al Authar (4/95).

[9]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306).

[10]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina’ (2/160).

[11]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Furu’ (2/294), al Inshaf (2/564).

[12]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/129), al Majmu’ (5/305), al Adzkar an Nawawiyah hlm. 127, al Mughni (3/480).

[13]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Muhadzdzab –dicetak bersama al Majmu- (5/304).

[14]. Al Mughni (3/486), Ahkam Ahl adz Dzimmah (1/204).

[15]. Al Inshaf (2/566), Kasysyaf al Qina’ (2/161).

[16]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/565).

[17]. Hasyiyah ad Dusuqi (1/419), al Inshaf (2/566).

[18]. Al Mughni (3/480).

[19]. Al Adzkar, hlm. 127.

[20]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).

[21]. Al Majmu’ (5/306).

[22]. Al Majmu’ (5/306), al Mughni (3/486)

[23]. Al Majmu’ (5/306)

[24]. Al Mughni (3/487), Kasysyaf al Qina’ (2/161).

[25]. Zadul Ma’ad (1/146).

[26]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm. 127.

[27]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta`, no. 38, diambil dari surat kabar al Muslimun.

[28]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130).

[29]. Lihat Radd al Mukhtar (1/604).

[30]. Kasysyaf al Qina’ (2/160).


Sumber Arikel : Almanhaj.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger