Latest Post
Tampilkan postingan dengan label ulama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ulama. Tampilkan semua postingan

Biografi, Muhammad Hasan Banjar, Putra Indonesia di Saudi Arabia

Written By Rachmat.M.Flimban on 31 Maret 2018 | 3/31/2018 09:52:00 PM

Berita Dunia Islam, Serbaserbi, Biografi, Kisah, Sejarah

Biografi, Muhammad Hasan Banjar,

Putra Indonesia Berprestasi di Saudi Arabia



Antara prestasi Orang Indonesia di negeri Tauhid, Kerajaan Saudi Arabia, adalah apa yang ditunjukkan Syaikh Muhammad Hasan Sa’id Banjar. Nama lengkap beliau ialah Muhammad Hasan bin Sa’id bin Basri bin Sa’d Abu Najib Al-Banjari. Sebagaimana maklum “Banjar” adalah nama salah satu negeri di Indonesia yang masyhur melahirkan banyak ulama besar yang memainkan peran dakwah Islam di pelbagai belahan dunia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, dan bahkan Tanah Hijaz. Orang-orang Banjar yang kemudian berada di luar Indonesia biasa memakai gelar Banjar di belakang nama mereka meski lahir di luar Banjar, termasuk ulama kita yang satu ini.

Muhammad Sa’id Banjar yang kemudian menjadi ulama kenamaan sebagaiamana yang tidak berapa lama lagi akan penulis kisahkan, tidak memperolehnya tanpa latar belakang yang mendukungnya. Dari latarbelakang itu dapat diketahui betapa suatu pristiwa yang akan datang tidak bisa dipisahkan dari masa yang telah sirna. Oleh sebab itu sebuah ungkapan terkenal “bangsa yang tidak mengerti sejarahnya, tidak akan mampu mengerti masa depannya”.

Ya, Muhammad Hasan Banjar terlahir dari sebuah keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan ilmu pada tahun 1343 H/1924 M. Adalah Sa’id, ayah Banjar, telah mencurahkan perhatian terhadap putranya yang memang ia persiapkan untuk menjadi ulama dan tokoh panutan masyarakat. Ia menyadari betul bahwa anak adalah anugrah besar dari Allah yang juga ujian yang harus ia hadapi dengan penuh kesabaran agar dapat melaluinya dengan nilai yang memuaskan. Ikhtiarnya dalam mendidik putra-putrinya itu ia iringi dengan lantunan doa yang selalu ia panjatkan kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebab, sebesar apapun kemampuan seseorang jikalau tidak diiringi doa, hanya sebuah kecongkakan di hadapan Allah. Bahkan mudah saja bagi Allah mengambil kemampuan hamba yang sombong itu sehingga ia tidak bisa melakukan sesuatu yang berarti, atau kemmampuan itu tetap Allah berikan namun tak memberi manfaat sama sekali.

Mengenai pendidikan, Muhammad Hasan Banjar oleh sejarah dicatat telah mengenyam berbagai model dan tingkatan. Mulai dari sistem klasik yang biasa ia hadiri di berbagai majelis-majelis ilmu di sekitar rumahnya yang kala itu bertempat di Makkah, maupun sistem modern yang ia terima di Makkah. Untuk konteks terakhir, Muhammad Hasan Banjar diketahui telah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Al-Falah, sebuah madrasah kenamaan yang menjadi tujuan penuntun ilmu dari berbagai negeri termasuk Indonesia. Bahkan sejarah mencatat ada salah satu putra terbaik asal Indonesia, tepatnya Palembang, yang pernah menjabat sebagai rector umum Madrasah Al-Falah. Putra terbaik yang dimaksud ialah Syaikh Shalih ‘Abdul Khaliq Palembang antara tahun 1406-1423 H yang berrati selama 17 tahun. Sebuah angka yang cukup fantastis bukan?

Pada masa Muhammad Hasan Banjar remaja, Kerajaan Saudi Arabia biasa mengirim putra-putra terpilihnya untuk belajar ke luar negeri. Program itu dibuat agar kelak mereka membawa kekayaan ilmu dan tsaqafah yang beraneka ragam yang kelak dapat diterapkan di KSA. Salah satu putra-putra terpilih itu ialah Muhammad Hasan Banjar. Meski bukan Arab, bahkan diketahui berasal dari negeri di sebrang samudra (baca Indoneisa), namun hal tersebut tidak menutup kesempatan belajar bagi Muhammad Hasan muda. Ini menunjukkan bahwa pemerintah KSA sama sekali tidak menganut faham ‘ashabiyyah yang dalam banyak kasus memunculkan sikap-sikap diskriminasi dan kecemburuan sosial.

Muhammad Hasan muda oleh pemerintah yang bergelar Khadimul Haramain, pelayan dua Tanah Suci, dikirim bersama beberapa pemuda lainnya untuk belajar di Cairo, tepatnya pada Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, perguruan tertua sedunia. Di Negeri Kinanah itu, ia mampu menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat Magister dan ijazah yang memberinya izin untuk menjadi qadhi syar’I pada tahun 1370 H.

Dari pendidikannya di Al-Azhar dan keberhasilannya memperoleh ijazah yang tentu melalui proses panjang dan melelahkan, ia kembali ke tanah kelahirnnya untuk mempertanggungjawabkan atas tugas yang diberikan pemerintah KSA atasnya, yaitu belajar di Mesir. Tanggungjawab itu ia terjemahkan dengan memberi pencerahan kepada khalayak masyarakat dan menebarkan ilmu yang ia peroleh selama di Al-Azhar.

Seiring berjalannya waktu, melihat ketokohan dan kealimannya dalam bidang syariah serta etos kerjanya yang gemilang, hingga pemerintah KSA menurunkan surat resmi yang isinya tugas yang dibebankan kepada Muhammad Hasan untuk menjabat kehakiman wilayah Rabi’, dan kemudian –atau mungkin di saat yang sama- wilayah Thaif. Selain itu, ia juga pernah tercatat sebagai ketua pengadilan-pengadilan Provinsi Mizan (mungkin Jazan). Lebih daripada itu, ia juga menduduki ketua Mahkamah Syar’iyah (Pengadilan Syar’i) di Jeddah.

Keberhasilannnya dalam menjalan tugas kenegaraan juga membuatnya dilantik menjadi anggota pada sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang penyelesaian persengketaan dibawah Kementrian Perdagangan untuk wilayah Barat KSA.

Di sana masih banyak kegiatan-kegiatan ilmiah yang pernah diemban oleh Muhammad Hasan Banjar, antara lain: menulis berbagai artikel ilmiah di sejumlah surat kabar dan majalah serta memberikan ceramah di radio-radio, seperti Radio Nida’ Al-Islam. Tema utama yang biasa ia angkat ialah pembelaan terhadap nilai-nilai keislaman serta menjelaskan konsep-konsep dan prinsip-prinsip utamanya. Syubhat-syubhat yang biasa dilontarkan oleh kaum Liberal dan musuh-musuh Islam lainnya dari kalangan orang-orang Kafir dapat ia patahkan dengan argument-argumen ilmiah sehingga masyarakat bisa beristrirahat dengan nyenyak karena hujjah-hujjahnya jauh menggungguli daripada syubhat yang tidak lebih kuat daripada sarang laba-laba.

Nama Muhammad Hasan Banjar semakin harum dan bahkan membuatnya kekal manakala ia sukses mengeluarkan karya-karya ilmiah yang hingga kini masih dikonsumsi oleh kalangan intelektual Islam. Di antara buah karya intelektualnya ialah:

  • Al-Jihad wa As-Salam Dzirwah Sanam Al-Islam (Jihad dan Kedamaian Merupakan Puncak Agama Islam), dicetak oleh Dar Al-Fikr Al-‘Arabi Cairo dengan durasi 158 halaman.
  • Dirasat Islamiyyah wa Naqd li Kitab Tsaurah Al-Islam lid-Duktur Ahmad Zaki Abu Syadi (Studi Keislaman dan Sanggahan Terhadap Buku Revolusi Islam karya Dr. Ahmad Zaki Abu Syadi), dicetak oleh Dar Al-Ashfahani dengan durasi 160 halaman.
  • Ad-Da’wah Ila Allah (Dakwah kepada Allah) berdurasi dua jilid
  • Hadits Ash-Shiyam wa As-Suluk Al-Insani (Hadits-hadits Mengenai Ibadah Puasa dan Prilaku Kemanusiaan)
  • Masyahid ‘ala Ardh Al-Ma’rakah, ditulis berduet dengan salah satu putranya bernama Sa’id.
  • Trilogi Kumpulan Syair
  • Kumpulan Kisah-kisah Kemasyarakatan

Melihat tema-tema yang disuguhkan sang qadhi di atas, nampak bahwa misi terbesar beliau adalah menyingkirkan berbagai duri dan lumut yang sengaja dilumurkan pada Islam. Selain itu, khidmatnya dalam melerai berbagai kemusykilan yang terjadi di masyarakat adalah satu dari sekian topik menarik yang ia tekuni. Tidak saja melalui tulisan akademik yang kadang oleh masyarakat awam dipandang sulit difahami nun menjenuhkan, hingga ia memilih jalan cerita sebagai wadah pembawa pesan perbaikan yang hendak ia sampaikan kepada masyarakat.

Muhammad Hasan juga terlihat sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Terbukti dengan keberhasilan Sa’id yang kemudian ia ikutsertakan dalam proyek ilmiahnya, yaitu penulisan buku Masyahid ‘ala Ardh Al-Ma’rakah. Ini membuktikan bahwa sesibuk apapun pekerjaan orangtua, tidak menghalanginya dari menunaikan kewajiban sebagai pendidik keturunannya. Sebab merekalah yang kelak akan meneruskan estafed perjuangan orangtua tersebut. Oleh sebab itu, seyogyanya orangtua dapat menyisihkan waktu untuk anak-anaknya agar bisa menyampaikan pesan pendidikan kepada mereka.

Syaikh Al-Qadhi Muhammad Hasan bin Sa’id Banjar wafat pada hari Ahad 28 Shafar 1401 H yang bertepatan dengan tahun 1981 M. Semoga Allah meliputinya dengan rahmat dan ampunan-Nya.

Aamiin….

Sumber:

  1. Biografi M. Hasan Banjar yang termaktub pada akhir bukunya yang berjudul Al-Jihad wa As-Salam (hlm. 157)
  2. Al-Mustadrak ‘ala Tatimmah Al-A’lam (hlm. 238)

Sumber Artikel: Muslim.Or.Id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Syaikhul Islam LAITS bin SA’AD

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 Maret 2018 | 3/25/2018 08:58:00 AM

Syaikhul Islam LAITS bin SA’AD

Penulis: Ustadz Abu Minhal, Lc حفظه الله


Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya. Amma ba’du..

Kata syaikhul Islam bermakna orang-orang yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم. Mereka ini terdepan dalam menguasai hukum-hukum dalam al-Qur‘an, versi-versi qira’ah-nya, sebab-sebab turunnya ayat, nasikh dan mansukh, mengamalkan ayat-ayat muhkamat dan mengimani ayat-ayat mutasyabihat. Mereka sosok-sosok yang telah memiliki kematangan dalam Bahasa Arab yang memudahkan mereka memahami ilmu-ilmu yang telah disebutkan. Mereka mengetahui ilmu-ilmu hadits dalam aspek isnad, mengamalkan apa yang harus diamalkan, meyakini kebenaran apa yang harus diyakini. Mereka mampu mengambil istimbath hukum dalam masalah ushul dan furu’ melalui al-Qur‘an dan Hadits, menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah عزّوجلّ, berkomitmen dengan apa yang diajarkan Allah dari dua sumber itu. Mereka orang-orang yang tawadhu di hadapan Allah Dzat Yang Maha Agung, takut terhadap ketergelinciran lisan. Mereka tidak mengklaim ‘ishmah (bebas dari kesalahan dan dosa). Mereka tidak bangga dengan penghormatan. Mereka tahu benar bahwa apa yang ilmu yang mereka dapatkan masih sedikit.

Banyak ulama yang disematkan gelar ini oleh ulama-ulama setelahnya, Imam Laits bin Sa’ad bin Abdur Rahman Abul Harits al-Fahmi al Mishri رحمه الله, maula Khalid bin Tsabit bin Zhahin termasuk salah seorang yang dikenal dengan gelar syaikhul Islam. Tokoh agama terkemuka pada masanya itu, hidup pada masa generasi ketiga umat Islam, Atba Tabi’iin. Terlahir di Qarqasyand, sebuah pedesaan sejauh 4 farsakh dari Mesir pada tahun 94 H.

Imam Ahmad bin Hambal رحمه الله mengatakan, “Laits adalah seorang tsiqah lagi tsabt”. Juga berkata, “Laits bin Sa’ad memiliki ilmu yang banyak dan hadits yang shahih”.

Yahya bin Bukair رحمه الله, salah seorang murid Laits bin Sa’ad mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih sempurna dari Laits bin Sa’ad. Ia seorang ahli fiqih, lisannya fasih, menguasai al-Qur’an, Nahwu dan menghafal syair-syair, hadits dan baik dalam mengulang-ulang ilmu”. Yahya bin Bukair masih menghitung sisi keunggulan gurunya dengan jari-jarinya hingga mencapai sepuluh aspek. Akhirnya, ia berkata, “Aku belum pernah melihat orang seperti dia”.

Imam adz-Dzhahabi رحمه الله menyimpulkan pujian bagi beliau dengan berkata, “(Laits bin Sa’ad) seorang imam panutan, al-Hafizh (ahli hadits), Syaikul Islam, orang alim terkemuka dari Mesir.

Silahkan lebih lanjut menyimak eBook ini, dengan mengenal para ulama shalafus shaleh semoga keimanan kita makin kokoh dan bertambah, hingga tiba ajal menjemput, amin…



Download eBook CHM


Download WORD


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Jangan Membuat Orang Bodoh Terkenal

Written By Rachmat.M.Flimban on 22 Maret 2018 | 3/22/2018 02:17:00 PM

Nasehat Ulama

Jangan Membuat Orang Bodoh Terkenal

Oleh; dr. Raehanul Bahraen



Di zaman ini, sarana internet dan media sosial membuat manusia mudah mengekspresikan dirinya dengan bebas. Ada yang mengekspresikan kepintaran dengan menyebarkan ilmu dan hal yang bermanfaat. Ada juga yang mengekspresikan dan menampakan hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan merupakan (maaf) kebodohan. Di antara orang seperti ini ada yang sengaja menampakkan kebodohannya dalam rangka mencari perhatian, membuat kehebohan agar terkenal.
Untuk hal ini, kita perlu bijak menanggapi:
Pertama, jika hal tersebut tidak terlalu penting untuk ditanggapi, maka tidak perlu ditanggapi atau disebarkan di media sosial dan internet, apalagi pelakunya bukan “orang terkenal”, dengan alasan:
  1. Jika kita sebarkan, misalnya:
  2. “Segera tangkap penista agama ini!”
    Maka kita membuat orang tersebut malah semakin terkenal padahal sebelumnya bukan siapa-siapa. Orang tersebut memang tujuannya mencari sensasi, semakin ditanggapi, dia semakin senang dan semakin berulah.
    Ini yang disebut dalam pepatah Arab.

     ﺑﺎﻝ ﻓﻲ ﺯﻣﺰﻡ ﻟﻴﺸﺘﻬﺮ

    “Dia mengencingi sumur Zam-zam agar terkenal”
    atau
    “Stop making stupid people famous”
    (Jangan membuat orang bodoh jadi terkenal)
  3. Kita akan sibuk mengurus “orang bodoh” dan waktu kita akan habis terbuang percuma
  4. Jika kita membuat orang-orang yang berbuat bodoh terkenal (misalnya ia menistakan agama), apabila hal ini terlihat banyak dan sering terjadi, maka kita akan sering terpapar dengan penistaan agama, dan apabila terlalu sering bisa jadi kita anggap biasa saja oleh orang-orang (maaf) bodoh lainnya.
Kaidah menjelaskan,
ﻛﺜﺮﺓ ﺍﻟﻤﺴﺎﺱ ﺗﻤﻴﺖ ﺍﻻﺣﺴﺎﺱ
“Seringnya berinteraksi/terpapar bisa mematikan sensitifitas/respon”
Kedua, jika dampak dari perbuatan “bodoh” tersebut memliki dampak besar. Misalnya mengolok-ngolok agama dengan menebarkan syubhat yang bisa mempengaruhi orang awam, maka perlu kita tanggapi dengan membuat penjelasan umum kepada masyarakat (tidak harus membuat bantahan langsung) untuk meng-counter pemikiran dan syubhat tersebut.
Kita berharap juga ada tindakan tegas bagi mereka yang melakukan (maaf) kebodohan ini. Dihukum setimpal dan ada “efek jera” (ta’zir). Misalnya penjara seumur hidup atau suatu hukuman yang membuat orang semisal mereka takut melakukan penistaan agama.
Intinya, perlu bijak menyebarkan berita dan menyebarkan perbuatan (maaf) “bodoh“. Menyebarkan berita harus dilakukan oleh ahlinya dan yang berwenang, bukan dilakukan oleh siapapun (perlu berhati-hati di zaman media sosial dan internet ini).
Baik itu berita baik ataupun buruk, tidak langsung disebarkan. Perlu melihat mashlahat dan mafsadatnya. Tidak asal-asalan menyiarkan dan menyebarkannya.
Allah berfirman,
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَﻫُﻢْ ﺃَﻣْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻷﻣْﻦِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﺨَﻮْﻑِ ﺃَﺫَﺍﻋُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻭَﻟَﻮْ ﺭَﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﺇِﻟَﻰ ﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻷﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻟَﻌَﻠِﻤَﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺴْﺘَﻨْﺒِﻄُﻮﻧَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻮْﻻ ﻓَﻀْﻞُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺘُﻪُ ﻻﺗَّﺒَﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﺇِﻻ قليلا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS An-Nisaa : 83)
Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menfsirkan ayat ini,
هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه
“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah [pemerintah] dan yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuan, peneliti, penasehat dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya. Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya.” [1]
Hendaknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” [2]
Dinukil dari Sumer Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1] Taisir Karimir Rahmah hal 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H
[2] HR. Muslim 1/10

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

10 Kiat Istiqomah (10)

Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Oktober 2017 | 10/30/2017 09:29:00 PM

10 Kiat Istiqomah (10)

Nasehat Ulama

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah




Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (9)

KIAT KELIMA :

“Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat”

Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat, maksudnya bahwa hati dan anggota tubuh lahiriyah seorang hamba tertuntut berada di atas jalan istiqomah.

Niat seorang hamba hendaklah lurus sesuai dengan syariat Allah, ucapan dan perbuatanpun tertuntut untuk sesuai dengan syariat Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengatakan:

والاستقَامةُ تتعلَّق بالأقوالِ والأفعالِ والأحوالِ والنِّياتِ

“Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat”.

Dalam Musnad Imam Ahmad dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya.” (HR. Imam Ahmad, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam:

وأعظمُ ما يُراعى استقامتُه بعدَ القلبِ مِنَ الجوارح اللِّسانُ، فإنَّه تُرجمانُ القلب والمعبِّرُ عنه

“Perkara terbesar yang patut diperhatikan keistiqomahannya setelah hati dari anggota tubuh yang zahir adalah lisan, karena sesungguhnya lisan itu penerjemah hati dan pengungkap isinya”.

Dari sini, nampak betapa vitalnya kedudukan hati dan lisan bagi seorang hamba terhadap keistiqomahan dirinya, oleh karena itu pantaslah apabila di antara ulama ada yang menyatakan:

المرءُ بأصْغَريْه : قلبِه ولسانِه

“Seorang hamba tergantung kepada dua anggota tubuh terkecilnya, yaitu: hati dan lisannya”.

Hati adalah sekerat daging yang kecil sekali, lisanpun juga sepotong daging yang kecil sekali, akan tetapi keistiqomahan seorang hamba amat dipengaruhi oleh dua anggota tubuh terkecilnya ini!

Apabila hati dan lisan seorang hamba lurus, maka akan lurus anggota tubuh lainnya. Seluruh anggota tubuh mengikuti hati dan lisan! Keistiqomahan hati dan lisan membuahkan keistiqomahan anggota tubuh lainnya.

Dalil keistiqomahan seseorang tergantung kepada hati adalah hadits dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Adapun dalil bahwa lisan sangat mempengaruhi keisitiqomahan seseorang adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya” (HR. Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Dan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإنَّ الأعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسانَ، فتَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فِينَا؛ فَإنَّما نَحنُ بِكَ؛ فَإنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وإنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Apabila seorang manusia keturunan Nabi Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya mengingkari lisan(nya), seluruh anggota tubuh tersebut mengatakan: ‘Bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami, karena sesungguhnya kami tergantung kepadamu, apabila kamu lurus, maka kamipun lurus, namun apabila kamu bengkok, maka kamipun bengkok!’” (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Lisan adalah penerjemah hati dan wakilnya dalam mengutarakan isinya, apabila hati memerintahkan lisan dengan suatu perintah, maka lisan akan melaksanakannya, karena lisan itu pasukan hati.

Oleh karena itulah, memperhatikan hati adalah kewajiban seorang hamba, hendaklah ia memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar berkenan memperbaiki hatinya dan menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkitinya yang bisa menghalangi sampainya taufik Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada hatinya.

Apabila hati seorang hamba itu baik, maka baik pula ucapan dan perbuatan lahiriyahnya sehingga menjadi orang yang jika berucap dan beramal, ia dicintai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala, diridhai-Nya dan diterima oleh-Nya.

Dinukil dari Narasumber; "Muslim.or.id"

Artikel Terkait; ""

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

10 Kiat Istiqomah (8)

10 Kiat Istiqomah (8)

Nasehat Ulama

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah




Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (7)


Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, maka dalam ajaran Islam seorang hamba diperintahkan untuk melakukan as-sadad dalam menjalankan ajaran Islam , dan jika ia tidak dapat maka beralih ke muqarabah.

Jadi, seorang hamba teruntut untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan as-sadad, dan ia tidak menyengaja untuk kepentingan sebagai-sadad.

Namun JIKA besarbesaran Tidak mampu untuk review melakukan as-sadad barulah besarbesaran beralih ditunjukan kepada muqarabah, sehingga besarbesaran TIDAK menyengaja untuk review bersikap muqarabah, KARENA muqarabah besarbesaran tempuh ketika besarbesaran Tidak mampu melakukan as-sadad.

Sedangkan as-sadad adalah anda beramal sesuai dengan sunah (syariat Islam), melakukan amalan yang paling sempurna dan benar tanpa melampui batasan syariat dan tanpa menguranginya, benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat bidikannya terhadap sasaran tersebut.

Adapun muqarabah adalah anda melakukan amalan dekat tujuan (sunah) dan mendekat amalan yang paling sempurna, meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah) dan tidak sampai paling sempurna karena ketidakmampuan anda.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya Fathul Bari syarhu Shahihil Bukhari menukilkan perkataan Ibnuul Munir rahimahullah, dia berkata:

في هذا الحديث علم من أعلام النبوة, فقد رأينا ورأى الناس قبلنا أن كل متنطع في الدين ينقطع

"Dalam hadits ini ada salah satu dari tanda-tanda kenabian, kami telah menyaksikan sendiri, demikian pula orang-orang sebelum kamipun menyaksikan setiap orang yang melampui batasan (syariat) akan terputus (amalannya)",

وليس المراد منع طلب الأكمل في العبادة فإنه من الأمور المحمودة, بل منع الإفراط المؤدي إلى الملال, أو المبالغة في التطوع المفضي إلى ترك الأفضل, أو إخراج الفرض عن وقته

"Bukanlah maksudnya: selamat dari mencari amalan yang paling sempurna dalam beribadah, karena hal ini pasti perkara yang terpuji, akankah yang dimaksud adalah larangan dari yang melapui batas (syariat) yang menyebabkan kebosanan atau lebih dalam amalan sunah (amalan yang tidak wajib) yang terus-menerus menuju sikap yang lebih utama (afdhal) atau mengeluarkan amalan wajib dari waktunya ",

كمن بات يصلي الليل كله ويغالب النوم إلى أن غلبته عيناه في آخر الليل فنام عن صلاة الصبح في الجماعة, أو إلى أن خرج الوقت المختار, أو إلى أن طلعت الشمس فخرج وقت الفريضة

"Misalnya seseorang tidak tidur semalam suntuk untuk melakukan shalat malam lalu tertidur sampai kedua mulut tak mampu terbuka di penghujung malam, jadi mundur dari shalat subuh berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat yang diperbolehkan diakhirkan ( mukhtar ) atau sampai matahari terbit jadi lewatlah waktu shalat wajib ".

Ibnuul Munir rahimahullah mengatakan pada kalimat yang lainya:

وقد يستفاد من هذا الإشارة إلى الأخذ بالرخصة الشرعية, فإن الأخذ بالعزيمة في موضع الرخصة تنطع, كمن يترك التيمم عند العجز عن استعمال الماء فيفضي به استعماله إلى حصول الضرر

"(Dari hadits ini) bisa diambil isyarat untuk memohon keringanan (rukhshah) syar'i, karena tidak mengambil keringanan pada saat tertuntut mengambilnya adalah sikap melampui batas, seperti sikap tayamum saat tidak mampu menggunakan udara sehingga (jika nekad) menggunakan udara akan menjerulasi terhadap bahaya " .

Narasumber; Muslim.or.id, Penulis: Sa'id Abu Ukkasyah



Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqomah (9) "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

10 Kiat Istiqomah (7)


10 Kiat Istiqomah (7)

Nasehat Ulama

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah


Kiat Keempat

"Istiqomah yang tertuntut itu beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, tidak ada yang mampunya mendekatinya"

Agar seseorang bisa istiqomah, maka perlu memperhatikan dua perkara:

Pertama: Beribadah dan taat kepada Allah Ta'ala, dan beramal shaleh sesuai dengan sunah (syariat Islam).

Kedua: Bila tidak mampu, maka mendekat sunah (syariat Islam).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إن الدين يسر, ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه, فسددوا وقاربوا, وأبشروا

"Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah, dan justru seseorang memperberat diri dalam beragama Islam itu akan terkalahkan sendiri, maka bersikaplahlah sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, juga bergisik!" (HR Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ).

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah menjelaskan makna

إن الدين يسر

"Sesungguhnya agama ini mudah" dengan mengatakan:

ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله, وفي أفعاله وتروكه

"(Agama Islam) ini mudah, lagi gampang, baik dalam akidah, akhlak, amal, dalam melakukan (perintah) maupun dalam sikap kiri (larangan)".

Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari , beliau menyatakan:

والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب

"Maksudnya itu adalah tindakan seseorang dalam mengamalkan agama (Islam) dan selamat jalan tengah nanti akan ada mampu dan terputus (amalannya), lalu kalah!"

Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

فسددوا

"Maka bersikaplah kamu sesuai dengan (sunah)"

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan:

أي : الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط, قال أهل اللغة : السداد التوسط في العمل

"Maksudnya: tetaplah lurus ( as-sadad ), itu benar tanpa melampui batasan (syariat) dan tanpa menguranginya. Ahli bahasa Arab mengatakan: As-Sadad adalah tengah-tengah dalam beramal ".

Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan makna As-Sadad dengan mengatakan:

والسداد : أن تصيب السنة

" As-Sadad adalah anda (beramal) sesuai dengan sunah (syariat Islam)."

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam juga menjelaskan makna As-Sadad :

فالسداد هو حقيقة الاستقامة, وهو الإصابة في جميع الأقوال والأعمال والمقاصد كالذي يرمي إلى غرض فيصيبه

" As-Sadad adalah hakekat dari istiqomah, yaitu: benar dalam semua ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat (bidikannya) mengenai sasaran tersebut ".

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

وقاربوا

" Dan mendekatilah "

dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah :

أي : إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه

"Maksudnya: jangan kalian lakukan amalan yang paling sempurna, maka lakukan amalan yang mendekatinya".

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam menjelaskan makna "mendekat (muqarabah)" :

والمقاربة أن يصيب ما يقرب من الغرض إن لم يصب الغرض نفسه

"Mendekati adalah kamu melakukan (amalan) mendekat tujuan (sunah), meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah)".

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

وأبشروا

"Serta bergisik!",

أي : بالثواب على العمل الدائم وإن قل, والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره

"Maksudnya: bergjamin dengan pahala atas amalan yang senantiasa terjaga sedikit amalan itu sedikit. Maksud perintah bergembira di sini adalah bergembira saat tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, karena ketidakmampuan itu kalau bukan karena kesengajaan untuk tertinggal (amalan paling sempurna), maka tidak berkonsekuensi berkurangnya pahalanya. "


Catatan Kaki;,

Dari Narasumber; Muslim.or.id, Penulis: Sa'id Abu Ukkasyah"

Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqomah (8) "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

10 Kiat Istiqomah (6)


10 Kiat Istiqomah (6)

Nasehat Ulama

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah

Narasumber : Muslim.or.id

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (5)


(Lanjutan kaedah ketiga)

Di dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam mukadimah kitabnya Ighatsatul Lahfan:

ولما كان القلبُ لهذه الأعضاء كالملِكِ المتصرِّف في الجنُود الَّذي تصدُرُ كلُّها عن أمرِه، ويستعمِلُها فيما شاءَ، فكلُّها تحتَ عبوديتِه وقهرِه وتكتسِبُ منه الاستقامَةَ والزَّيغ، وتَتْبَعه فيما يعقِدُه من العَزم أو يحلُّه، قال النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم : «أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ»،هو مَلِكُها وهيَ المنفِّذَة لمَا يأمرُها به، القابلةُ لِمَا يأتِيها منْ هَديَّتِه، ولا يستقيمُ لها شيءٌ مِنْ أعمالها حتَّى تَصدُرَ عن قَصدِه ونيتِه، وهو المسئُول عنها كلِّها

“Tatkala hati kedudukannya bagi badan seperti raja yang berkuasa mengatur pasukannya, semua (pergerakkan)nya berasal dari perintahnya dan sang raja menggerakkannya sesuai dengan kehendaknya maka semua (anggota badan) di bawah pengaturan (hati) dan kekuasaannya. Dari (hati) inilah dihasilkan kelurusan dan penyimpangan. Badan mengikuti tekad kuat hati atau mengikuti sesuatu yang tidak dikehendaki oleh hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati.Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggungjawab atas seluruh (amalan badan)”.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}

“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”,

{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat” (QS. Asy-Syu’araa`:88-89).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan dua ayat di atas di dalam kitab tafsir beliau,

“Firman Allah:

{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}

“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”,

maksudnya adalah harta seseorang tidaklah bisa melindunginya dari azab Allah walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi.

{وَلَا بَنُونَ}

“dan anak-anak laki-laki”,

maksudnya adalah meskipun ditebus dengan semua anak-anak laki-laki yang ada di muka bumi.

Pada hari itu, tidaklah bermanfaat kecuali keimanan kepada Allah, memurnikan ketaatan untuk-Nya semata (ikhlas) dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Oleh karena itu, Allah berfirman:

{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat”, maksudnya: selamat dari kotoran (dosa) dan kesyirikan.”

Diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ قَلْباً سَلِيمًا

“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu hati yang selamat” (H.R. Ahmad dan An-Nasa`i, Lihat: Ash-Shahihah: 2328).

[bersambung]


Catatan Kaki,

Dinukil dari Narasumber; Muslim.or.id

Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqomah (7) "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

10 Kiat Istiqamah (5)

Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Oktober 2017 | 10/29/2017 11:19:00 PM


Nasehat Ulama

10 Kiat Istiqamah (5)

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah


Ahli Tafsir di kalangan tabi'in, Qatadah rahimahullah menafsirkan ayat,

ثم استقاموا

"... kemudian mereka istiqamah ..."

استقاموا على طاعة الله

"Mereka istiqamah di atas ketaatan kepada Allah."

Hal Penyanyi Sesuai DENGAN Sebuah Riwayat Yang Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu' anhu, beliau Berkata ,

استقاموا على أداء فرائضه

"Mereka istiqamah di atas penunaian kewajiban-kewajiban dari Allah."

Ibnu Rajab rahimahullah terbaca dalam kitabnya Jami'ul 'Ulum wal Hikam,

الاستقامة: هي سلوك الطريق المستقيم, وهو الدين القويم من غير تعويج ​​عنه يمنة و لا يسرة, و يشمل ذلك فعل الطاعات كلها الظاهرة و الباطنة و ترك المنهيات كلها كذلك

"Istiqamah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama (Islam) yang lurus, tak bengkok ke kanan dan ke kiri, dan mencakup semua ketaatan, baik yang zhahir maupun batin, dan semua larangan-larangan (Allah)."

Beberapa tafsir tentang istiqamah di atas ini saling berdekatan dan saling menafsirkan satu sama lainnya. Karena istiqamah adalah kata yang mencakup seluruh ajaran dalam Islam.

Oleh karena itu Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan hal itu dalam ucapannya,

فالاستقامة كلمة جامعة آخذة بمجامع الدين; وهي القيام بين يدي الله على حقيقة الصدق والوفاء بالعهد

"Jadi, istiqamah adalah kata yang mencakup ajaran-ajaran agama (islam) ini, yaitu (melakukan perjalanan hidup) menuju kepada Allah dengan benar-benar jujur ​​dan memenuhi perjanjian."

KIAT KETIGA "Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati"

Dasar istiqamah dan kolamasinya adalah keistiqamahan hati, maka barangsiapa yang memperbaiki hatinya, maka ia akan baik ucapan dan perbuatan anggota tubuh lahiriyyahnya. Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,

لا يستقيم إيمان عبد حتى يستقيم قلبه

" Tidak akan istiqamah (lurus) keimanan seorang hamba sampai istiqamah (lurus) hati-Nya. "

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

فأصل الاستقامة استقامة القلب على التوحيد, كما فسر أبو بكر الصديق وغيره قوله {إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا} بأنهم لم يلتفتوا إلى غيره, فمتى استقام القلب على معرفة الله, وعلى خشيته, وإجلاله, ومهابته, ومحبته, وإرادته, ورجائه, ودعائه , والتوكل عليه, والإعراض عما سواه, استقامت الجوارح كلها على طاعته, فإن القلب هو ملك الأعضاء وهي جنوده; فإذا استقام الملك استقامت جنوده ورعاياه.

"Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati di atas tauhid, hibah Abu Bakr Ash-Shiddiq dan selainnya menafsirkan firman Allah,

إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا

" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kita adalah Allah maka mereka istiqamah (mereka tidak berpaling kepada selain-Nya). Selama hati (seseorang) lurus di atas ma'rifatullah, takut kepada Allah, mengagumi-Nya, memuliakan-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, mengharapkan-Nya, berdoa kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari -Nya, maka luruslah anggota tubuh di atas ketaatan kepada-Nya, karena sesungguhnya hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh adalah pasukannya. Kalau itu raja itu lurus, maka lurus pula pasukannya dan rakyatnya. "

[bersambung]


Catatan Kaki,

Narasumber Artikel: Muslim.or.id

Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqamah (6) "

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger