Mengingkari Kemungkaran Dengan Demonstrasi dan Pembunuhan
Written By Rachmat.M.Flimban on 08 Mei 2017 | 5/08/2017 05:17:00 AM
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Ali Al-Ghasun ditanya : Dua tahun yang lalu kami mendengar ceramah sebagian da’i membahas metode-metode dakwah dan cara mengingkari kemungkaran, di dalam metode-metode tersebut mereka masukkan demonstrasi, pembunuhan dan barangkali sebagian mereka memasukkan hal tersebut dalam bab jihad Islam.
Kami mohon penjelasan Anda, apakah hal tersebut termasuk metode-metode dakwah yang syar’i ataukah termasuk bentuk bid’ah yang tercela dan tidak diperbolehkan ?
Kami mohon penjelasan, bagaimana cara bermuamalah yang sesuai dengan syari’at terhadap orang yang mengajak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, dan berpendapat seperti itu serta menyeru kepadanya ?
Jawaban
Alhamdulillah. Telah jelas bahwasanya amar ma’ruf dan nahi mungkar, berdakwah dan memberikan petunjuk merupakan dasar agama Allah (Islam), akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di kitabNya yang mulia.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-Nahl/16 : 125]
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun maka Allah berfirman.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. [Thaha/20 : 44]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan hikmah serta memerintahkan untuk berdakwah dengan hikmah dan sabar, hal ini terdapat pada Al-Qur’an Al-Karim pada surat Al-Ashr : Bismillahirrahmanirrahim.
وَالْعَصْرِ﴿١﴾إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menatapi kesabaran”. [Al-Ashr/103 : 1-3]
Hendaklah seorang da’i di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan penyeru amar ma’ruf dan nahi mungkar senantiasa menghiasi diri dengan kesabaran, mengharapkan pahala serta lapang, menerima apa yang didengar atau apa yang didapatkan ketika berdakwah fi sabilillah.
Adapun manusia yang meniti jalan yang keras -semoga Allah melindungi kita-, menyakiti manusia, menempuh jalan yang penuh kebingungan atau jalan perselisihan dan memecah belah persatuan, semua itu merupakan perkara-perkara syaithaniyah (perilaku setan), juga menjadi dasar pemikiran khawarij, mereka melakukan pembunuhan sebagai cara mengingkari kemungkaran terhadap perkara-perkara yang tidak mereka sukai dan menyelisihi aqidah mereka, menumpahkan darah, mengkafirkan orang serta masih banyak lagi.
Perbedaan cara dakwah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pendahulu kita dengan dakwah Khawarij serta orang-orang yang sejalan dengan aqidah mereka adalah bahwasanya para sahabat berdakwah dengan hikmah dan memberikan pelajaran yang baik, menjelaskan kebenaran, sabar, menerima apa yang terjadi, serta mengharapkan balasan dan pahala. Sedangkan metode dakwah Khawarij adalah dengan melakukan pembunuhan terhadap manusia, menumpahkan darah, mengkafirkan, memecah belah persatuan, menghancurkan kesatuan kaum muslimin yang kesemuanya jelas perbuatan yang amat hina dan diada-adakan.
Orang-orang seperti itu sebaiknya dijauhi, menjaga jarak dari mereka, berhati-hati terhadap mereka karena merekalah yang memecah belah kaum muslimin yang merupakan jama’ah penuh rahmat, mereka ini kelompok yang pantas mendapat murka dan siksa -semoga Allah melindungiku-, seandainya penduduk negeri berkumpul melakukan kebajikan, membentuk satu kesatuan maka mereka akan jaya dan berwibawa.
Jika penduduk suatu negeri berpecah belah, saling menghancurkan, berselisih serta saling memusuhi, maka yang demikian ini adalah perkara bid’ah lagi keji dan seperti jalannya orang yang terdahulu. Mereka datang dari kelompok orang-orang yang memisahkan diri dari jama’ah, yang telah membunuh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya yang ikut dalam bai’at ridwan.
Mereka membunuh karena memimpikan kebaikan padahal mereka adalah dedengkotnya keburukan, kebid’ahan, perselisihan dan perpecahan. Merekalah yang telah menghancurkan dan melemahkan kesatuan kaum muslimin. Begitu juga jika mendapati seseorang yang berkata seperti mereka, mengambilnya serta berprasangka baik terhadap mereka (Khawarij), maka wajib untuk menjauhinya karena dia adalah bahaya bagi kaumnya, dan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Yang benar, bahwasanya seorang muslim itu harus selalu bekerja keras, mengajak kepada kebaikan dan mengerjakannya dengan sempurna, berkata yang benar, berdakwah dengan lemah lembut, berprasangka baik kepada saudara-saudaranya dan menyadari bahwasanya kesempurnaan merupakan sesuatu yang sulit, dan yang ma’shum hanyalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya mereka lenyap maka tidak akan muncul yang lebih baik dari mereka. Sekiranya manusia-manusia itu lenyap apakah itu para pemimpin, pemegang pemerintahan, penuntut ilmu atau suatu bangsa maka akan muncul yang lebih buruk daripada mereka, karena tidaklah datang suatu masa kecuali lebih buruk dari yang sebelumnya. Siapa saja yang menginginkan agar manusia mencapai tingkat kesempurnaan atau bersih dari segala kesalahan dan kekhilafan maka ia telah sesat dan termasuk Khawarij yang telah memecah belah umat, serta menindas mereka.
Hal inilah yang ditentang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Rafidhah, Khawarij, Mu’tazilah serta seluruh cabang dari keburukan dan kebid’ahan.
(Majalah Safinah An-Najah edisi 2 Januari 1991)
[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Penerjemah Andi Masyudin, Terbitan Pustaka At-Tazkia, Juni 2004]
Sumber: Almanhaj.or.id
Jihad-Jihad Yang Fardhu 'Ain
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا مُتَّفّقٌ عَلَيْه وَمَعْنَاهُ :لاَ هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلاَمِِ
“Artinya : Dari ‘Aisyah, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”[1]
Maknanya : Tidak ada hijrah dari Mekkah karena dia telah menjadi negeri Islam.[2]
Permasalahan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain merupakan permasalahan besar yang belum banyak diketahui oleh kaum muslimin. Sehingga banyak para da’i berfatwa dan menyerukan jihad yang hukumnya (dianggap) fardhu ‘ain terhadap setiap pribadi tanpa dasar kaidah yang jelas, dan terkadang dibuat dalam rangka mewujudkan keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok orang tertentu saja. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, kami merasa perlu memuat suatu penjelasan singkat tentang hal tersebut dari seorang alim ulama yang telah dikenal ilmu dan kesholehannya, agar kita semua dapat beramal diatas ilmu, dan mudah-mudahan Allah memberi taufiq-Nya kepada kita untuk berjalan di jalan yang lurus.
Syarah Hadits. Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah dengan sabdanya :
لاَ هِجْرَةَ
Tidak ada hijrah.
Peniadaan ini bukan untuk keumumannya, maknanya hijrah tersebut tidak batal dengan penaklukan kota Mekkah, karena hijrah tersebut tidak akan hilang sampai hari kiamat sebagaimana telah ada dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Artinya : Hijrah tidak terputus sampai taubat terputus, dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat” [3]
Akan tetapi yang dimaksud dengan tidak ada hijrah disini adalah tidak adanya hijrah dari Mekkah, sebagaimana dinyatakan oleh penulis (Imam Nawawi) diatas, karena setelah penaklukan kota Mekkah menjadi negeri Islam dan setelah itu tidak akan kembali menjadi negeri kafir, dengan dasar inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan Mekkah.
Mekkah dahulu di bawah kekuasaan kaum musyrikin, mereka telah mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dengan izin Rabbnya ke Madinah. Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, beliau kembali ke Mekkah dan menaklukannya sehingga kota Mekkah menjadi negeri iman dan Islam, dan dengan demikian tidak ada lagi hijrah dari sana.
Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa Mekkah tidak akan kembali menjadi negeri kafir, tetapi tetap menjadi negeri Islam sampai datang hari kiamat atau sampai waktu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.
Kemudian sabda beliau :وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ “Akan tetapi jihad dan niat”
Bermakna : Perintah setelah ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah keluar dari Makkah untuk berjihad. Dan “waniyyatun” bermakna : Niat yang baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan cara berniat adalah jihadnya untuk meningkatkan kalimat Allah.
Kemudian beliau bersabda : : وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا “Dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”.
Bermakna : Jika waliyul amri (pemerintah) meminta kalian untuk pergi berjihad di jalan Allah, maka kalian wajib berangkat berjihad, dan hukum jihad pada saat itu adalah fardhu ‘ain. Maka jangan seorangpun tidak memenuhinya, kecuali orang yang telah mendapat udzur Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dalil firman-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَالَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ اْلأخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ إِلاَّ تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلاَتَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [At-Taubah : 38-39]
Ini merupakan salah satu keadaan jihad yang diuhukumi fardhu a’in.
Keadaan kedua : Jika musuh mengepung satu Negara, bermakna musuh datang menyerang Negara tersebut dan mengepungnya, maka jihad diwaktu itu menjadi fardhu ‘ain. Dalam keadaan seperti ini setiap orang wajib berperang, termasuk para wanita dan orang tua yang mampu berjihad. Karena ini merupakan jihad membela diri (jihad difa’) dan perang membela diri ini berbeda dengan perang menyerang mush (jihad tholab), sehingga dalam keadaan seperti ini seluruh orang berangkat untuk membela Negara mereka.
Keadaan ketiga : Jika terjadi pertempuran, kedua belah pihak yang berperang saling berhadapan, barisan orang-orang kafir dengan barisan kaum muslimin, maka jihad pada waktu itu hukumnya fardhu ‘ain dan tidak boleh seorangpun berpaling, sebagaimana firman Allah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار . وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [Al-Anfaal : 15-16]
Demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan kabur dari medan pertempuran termasuk dosa besar yang tujuh.[4]
Keadaan keempat : Jika seseorang dibutuhkan, contoh : tidak ada yang mengetahui penggunaan senjata kecuali hanya satu orang saja, dan orang-orang membutuhkan orang tersebut untuk menggunakan senjata baru, maka wajib atasnya untuk berjihad walaupun imam (waliyul amri) tidak memintanya berangkat dan kewajiban itu ada lantaran dia dibutuhkan.
Maka dalam empat keadaan inilah jihad menjadi fardhu ‘ain, dan yang selainnya adalah fardhu kifayah.
Ahlul Ilmi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk menjadikan sebagian dari mereka berjihad setiap tahun sekali[5], berjihad memerangi musuh-musuh Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bukan karena sekedar membela Negara. Karena membela negara, semata-mata sebagai satu negara, itu bisa dilakukan orang mukmin dan kafir. Orang-orang kafir-pun membela negara mereka. Akan tetapi seorang muslim hanya membela agama Allah, sehingga dia membela negaranya bukan karena sekedar sebagai satu negara akan tetapi karena dia adalah negara Islam, lalu dia membelanya dalam rangka menjaga Islam. Oleh karena itu wajib atas kita pada keadaan yang kita hadapi sekarang ini, untuk mengingatkan seluruh orang bahwa seruan untuk memerdekakan negara dan yang serupa dengannya adalah seruan yang tidak pas, dan wajib bagi kita untuk mendidik manusia dengan pendidikan agama. Dan hendaklah dikatakan : Kita membela agama kita sebelum yang lainnya, karena Negara kita adalah negara agama dan negara Islam yang membutuhkan perlindungan dan pembelaan, maka kita harus membelanya dengan niat tersebut.
Adapun membela dengan niat nasionalisme atau kesukuan maka ini terjadi pada orang mukmin dan kafir, dan perbuatan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat, jika terbunuh dalam keadaan membela Negara dengan niat ini maka dia tidak mati syahid ; karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena kebanggaan (gengsi) dan berperang karena keberanian saja dan berperang karena ingin memperlihatkan kehebatannya, mana yang dikatakan dijalan Allah lalu beliau berkata.
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Artinya : Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah” [6]
Perhatikan syarat ini !! Jika kamu berperang karena negara, maka kamu dan orang kafir sama, akan tetapi berperanglah karena ingin menegakkan kalimat Allah yang dilaksanakan di negara kamu, karena negara kamu adalah negara Islam, maka pada keadaan seperti ini mungkin perang tersebut dapat dikatakan perang di jalan Allah.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ
“Artinya : Tidak ada luka yang terluka di jalan Allah dan Allah maha tahu siapa yang terluka di jalan Allah kecuali datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengeluarkan darah, warnanya warna darah tetapi wanginya wangi misk (minyak kasturi)” [7]
Perhatikan bagaiman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan mati syahid dengan berperang hanya dijalan Allah, maka wajib atas para penuntut ilmu menjelaskan permasalahan ini kepada umat.
Wallahul Muwaffiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Footnote
[1]. [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2783 kitab al-Jihad wa as-siyar dan Muslim No. 1864 kitab al-Imaarah
[2]. Keterangan dari Imam Nawawiy penulis kitab Riyadhush Sholihin (pent)
[3]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud No. 2479 kitab Al-Jihad dan Ahmad dalam Musnadnya 4/99 dan dia ada di Shahihil Jami’ No. 7469
[4]. Isyarat kepada hadits Abi Hurairah secara marfu’ :
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“Artinya : Jauhilah tujuh dosa besar, mereka bertanya : Apakah itu wahai Rasulullaj ?. Beliau menjawab : Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan kebenaran, memakan uang riba, memakan harta anak yatim dan kabur dari medan pertempuran serta menuduh kaum mukminat yang telah menikah yang lalai dengan zinah” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2766 kitab al-Washoya dan Muslim No. 89 kitab al-Iman]
[5]. Yakni suatu negara Islam wajib berjihad -paling sedikit sekali dalam satu tahun- memerangi musuh untuk meningkatkan kalimat Allah, -red
[6]. Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2810 kitab al-Jihad wa as-Siyar dan Muslim No. 1904 kitab al-Imarah
[7]. Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2803 kitab al-Jihad dan Muslim No. 1876 (105) kitab al-Imaarah
Sumber: Almanhaj.or.id
Manhaj, Jihad Menurut Syariat Islam
Jihad
Jihad (bahasa Arab: جهاد) menurut syariat Islam adalah berjuang dengan sungguh-sungguh.[1]
Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din (atau bisa diartikan sebagai agama) Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi dengan damai dan saling mengasihi. Namun dalam berjihad, Islam melarang pemaksaan dan kekerasan, termasuk membunuh warga sipil yang tidak ikut berperang, seperti wanita, anak-anak, hingga manula.
Pelaksanaan jihad
Pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Pada konteks diri pribadi, jihad berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
- Komunitas jihad berusaha agar Din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan.
- Kedaulatan jihad berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar maupun pengkhianatan dari dalam, agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Jihad ini hanya berlaku pada daulah yang menggunakan Din Islam secara menyeluruh (Kaffah).
Jihad dan perang
Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang mereka tidak mengenal prinsip-prinsip Din Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah qital, bukan jihad.
Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi umat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar).
Pada dasarnya, kata jihad berarti "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras", namun bukan harus berarti "perang dalam makna "fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik.
Jika mengartikan jihad sebagai "perjuangan membela agama", maka lebih tepat bahwa berjihad adalah perjuangan menegakkan syariat Islam. Sehingga berjihad haruslah dilakukan setiap saat selama seorang muslim masih hidup.
Etika perang Nabi Muhammad SAW
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan perang Islam Semasa kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin antara lain diriwayatkan bahwa Abu Bakar sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, memberikan pesan pada pasukannya , yang kemudian menjadi etika dasar dalam perang yaitu:
- Jangan berkhianat.
- Jangan berlebih-lebihan.
- Jangan ingkar janji.
- Jangan mencincang mayat.
- Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita.
- Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih binatang ternak kecuali untuk dimakan.
- Jangan mengusik orang-orang Ahli Kitab yang sedang beribadah.
Jihad dan terorisme
Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad; Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau !".(QS 4:75)
Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan!, bukan dalam bentuk terorisme, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah<-islam), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
1 Jihad - Macsonic.org
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sumber; id.wikipedia.org
Al-Masaa’il : Jihad, Harus Minta Izin Kapada Orang Tua
Written By Rachmat.M.Flimban on 07 Mei 2017 | 5/07/2017 11:59:00 PM
Jihad, Harus Minta Izin Kapada Orang Tua
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sesungguhnya saya sangat ingin berjihad dan keinginan itu sudah tertanam di lubuk hati saya, saya tidak bisa bersabar lagi, saya telah meminta izin dari ibu saya akan tetapi ia tidak setuju. Hal ini berpengaruh pada diriku dan saya tidak mampu jauh dari jihad. Wahai Syaikh, keinginan saya dalam hidup ini adalah berjihad fii sabilillah akan tetapi ibu saya tidak setuju, berikanlah petunjuk kepadaku, semoga Allah membalas engkau dengan kebaikan ?
Jawaban.
Jihadmu terhadap ibumu merupakan jihad yang besar. Jagalah ibumu dan berbuat baiklah kepadanya kecuali jika diperintah oleh pemimpin untuk berjihad maka pergilah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika kalian diperintah (untuk berperang) maka keluarlah” [Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari]
Dan selama pemimpin tidak memerintahkan kamu maka berbuat baiklah terhadap ibumu, berilah ia kasih sayang dan ketahuilah bahwa berbuat baik kepadanya merupakan jihad yang besar, yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukannya dari jihad fii sabilillah, seperti yang termaktub dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau ditanya :
“Wahai Rasulullah, perbuatan apa yang paling utama ?
Beliau bersabda : ‘Shalat pada waktunya’.
Aku berkata : Kemudian apa ?
Beliau bersabda : ‘Kemudian berbakti kepada kedua orang tua’.
Aku berkata : Kemudian apa ?
Beliau bersabda : ‘Berjihad fii sabilillah’.
Maka aku tidak bertanya lagi kepada Rasulullah jika aku minta tambah maka tentu beliau akan menambahkannya”.
Hadits ini disepakati keshahihannya maka berbakti kepada kedua orang tua lebih diutamakan dari jihad.
Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata :
Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk berjihad, maka beliau bersabda :
“Artinya : Apakah kedua orangtuamu masih hidup ?
Ia berkata : Ya,
Nabi bersabda : “(berbakti) kepada keduanya merupakan jihad”
Hadits ini disepakati keshahihannya.
Pada riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Kembalilah kepada keduanya lalu minta izinlah, jika mereka mengizinkan maka berjihadlah, jika tidak maka berbaktilah kepada keduanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daud]
Sedangkan ini adalah seorang ibu ; maka sayangilah ia , berbuat baiklah kepadanya sampai ia memberikan izin kepadamu. Semua ini hak dalam jihad thalab (mendaftarkan diri untuk ikut dalam peperangan) yang mana pemimpin (walimatul amri) tidak memerintahkanmu berjihad..
Adapun jika datang bencana atas kamu maka belalah dirimu dan saudara-saudaramu fillah. Tidak ada daya dan upaya kecuali milik Allah, begitu pula jika pemimpin memerintahkan kamu untuk berperang maka keluarlah walaupun tanpa ridha kedua orang tua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu ? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat ? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” [At-Taubah : 38]
[Syarh kitab Al-Jihad dari Bulughul Maram (kaset yang pertama)]
[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]
Sumber: Almanhaj.or.id