Latest Post
Tampilkan postingan dengan label iman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label iman. Tampilkan semua postingan

Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (3)

Written By Rachmat.M.Flimban on 17 Mei 2017 | 5/17/2017 03:49:00 AM

Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (3)
Terkait dengan Al-Qur'an, disebabkan keistimewaan dan keagungannya yang melebihi Kitabullah yang lainnya lah, maka Al-Qur'an diturunkan dengan beberapa tahapan.
By Sa'id Abu Ukkasyah 1 July 2016


Pada ayat yang disebutkan di atas, Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan dengan memilihnya untuk menjadi waktu penurunan Al-Qur`an Al-Karim, bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Kitabullah yang lainnya pun diturunkan kepada para rasul ‘alaihimush shalatu was salam pada bulan Ramadhan yang mubarak ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ath-Thabarani serta selainnya dari hadits Watsilah bin Al-Asqo’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
“Shuhuf Ibrahim ‘alaihissalam diturunkan di awal malam Ramadhan, sedangkan Taurat diturunkan setelah enam hari berlalu dari bulan Ramadhan. Injil diturunkan setelah tiga belas hari berlalu dari bulan Ramadhan, Al-Furqan (Al-Qur`an) diturunkan setelah empat belas hari berlalu dari bulan Ramadhan” (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah dan Shahih wa Dho’if Al-Jami’ Ash-Shaghir). Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya beberapa Kitabullah kepada para rasul ‘alaihimush shalatu was salam.
Adapun terkait dengan Al-Qur’an, disebabkan keistimewaan dan keagungannya yang melebihi Kitabullah yang lainnya lah, maka Al-Qur’an diturunkan dengan beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahapan penulisan (kitabah) di Lauhul Mahfuzh Sebelum Allah berfirman dengan firman Al-Qur`an, maka Al-Qur`an terlebih dahulu tertulis dalam Lauh Mahfuzh. Hal ini menunjukkan keluasan ilmu Allah sehingga mengetahui apa yang akan Dia firmankan. Dalilnya adalah firman Allah dalam surat Al-Waaqi’ah: 77-78.
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
(77) Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah bacaan yang sangat mulia,
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ
(78) pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh).
Dalam surat Al-Buruuj 21-22, Allah berfirman:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
(21) Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia,
فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
(22) yang (tertulis) dalam Lauh Mahfuzh.
2. Tahapan Penurunan Seluruhnya Sekaligus di Langit Dunia Pada tahapan ini, Al-Qur`an diturunkan seluruhnya 30 juz sekaligus di Baitul ‘Izzah yang berada di langit dunia, tepatnya pada malam Lailatul Qodar di bulan Ramadhan yang diberkahi ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang terdapat dalam surat Al-Qodar 1:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan Lailatul Qodar).
Pakar Tafsir di kalangan sahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat tersebut:
نزل القرآن جملة واحدة في ليلة القدر
“Al-Qur`an diturunkan sekaligus pada malam Lailatul Qodar” (Ibnu Hajar menshahihkan riwayat ini dalam Fathul Bari).
Hal itu terjadi di Baitul ‘Izzah di langit dunia sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat Ibnu Abbas yang dishahihkan oleh Al-Hakim yang disepakati oleh Adz-Dzahabi.
[bersambung]
Sumer Artikel Muslim.or.id
[bersambung]
Sumer Artikel Muslim.or.id

Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (3)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Ahmad Tentang Iman

Written By Rachmat.M.Flimban on 24 April 2017 | 4/24/2017 05:56:00 AM

Aqidah Imam Empat


Pendapat ImamAhmad Tentang Iman

  1. Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Di antara yang paling mulia dari masalah-masalah iman adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.”1
  2. Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang, seperti diterangkan dalam hadits : أَكْمَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

    “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling bagus akhlaknya.”2

  3. ,Imam al-Khallal meriwayatkan dari Sulaiman bin Asy’ats, katanya, bahwa Imam Ahmad رحمه الله mengatakan: “Shalat, zakat, haji dan berbuat kebajikan adalalah sebagian dari iman. Sedangkan menjalankan maksiat dapat mengurangi iman.”3
  4.  Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله, mengatakan, saya pernah bertanya ayah saya tentang “Seseorang yang berpendapat bahwa iman itu adalah ucapan dan pengamalan, bertambah dan berkurang tanpa menyebut insya Allah, apakah ia seorang Murji’ah?” Beliau menjawab: “Saya berharap mudah-mudahan orang tersebut bukan penganut paham Murji’ah.” Abdullah berkata lagi, saya mendengar ayah berkata: “Dalil yang melawan pendapat orang yang tidak menyebutkan insya Allah dalam menyatakan iman adalah sabda Nabiصلي الله عليه وسلم kepada penghuni kubur: وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَ حِقُوْنَ
  5. “Kami insya Allah menyusul kamu.”4

  6. Abdullah juga menuturkan, saya mendengar ayah saya, ketika ditanya tentang paham Murji’ah, beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang melakukan zina atau minum khamar, maka imannya berkurang.”5

Footnote;

1 Thabaqat al-Hanabilah, II/275

2 Musnad al-Imam Ahmad, II/250. Sunan Abi Daud, V/60 Sunan at-Tirmidzi, III/457. Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 153, 168,173

3 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 96

4 Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim, II/669. Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, I/307-308

5 Ibid


Menukil dari Sumber eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman

Written By Rachmat.M.Flimban on 05 April 2017 | 4/05/2017 03:46:00 AM

Aqidah Imam Empat رحمهم الله
Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman
Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
“Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Tahukah kamu firman Allah عزّوجلّ:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu.” (Al-Baqarah: 143)
Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah عزّوجلّ menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.”
1
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله, “Apakah amal yang paling utama?”
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i رحمه الله, “Yaitu iman kepada Allah عزّوجلّ di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”
Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?”
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah عزّوجلّ, dan ucapan itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”
Imam Syafi’i رحمه الله menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi.
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab, “Allah عزّوجلّ telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah عزّوجلّ membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ.
Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana terdapat wajahnya.
Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.
Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati adalah iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri, bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah عزّوجلّ, Maha Esa Allah عزّوجلّ tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah عزّوجلّ, serta mengaku semua yang datang dari Allah عزّوجلّ, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d :28)
مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ
“Di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.” (Al-Maidah: 41)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
“Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284)
Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada lisan, yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di dalam hati. Allah عزّوجلّ berfirman:
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ‏
“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,” (Al-Baqarah: 136)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
‏ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan katakanlah yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)
Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada lisan, yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan keimanan yang diwajibkan kepadanya.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada telinga (pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa’: 140)
Namun ada pengecualian, bila seseorang itu lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah عزّوجلّ berfirman :
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)
Dan Allah عزّوجلّ juga berfiman :
فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar :17-18)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu membersihkan dirinya.” (Al-Mu’minun: 1-4)
Allah عزّوجلّ berfirman pula :
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ
“Apabila mereka mendengar (perkataan) yang tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55)
Begitu pula firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)
Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram didengar.
Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu termasuk iman.
Allah عزّوجلّ juga meriwayatkan dua mata manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah عزّوجلّ berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ melarang orang mukmin untuk melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam al-Qur’an, maksudnya adalah berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah melihat.
Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kedua mata manusia, dan itu merupkan pekerjaan mata termasuk dalam iman.
Allah عزّوجلّ kemudian memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut ini:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’ : 36)
Maksud ayat ini adalah bahwa Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada farj (kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ
“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22)
Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kemaluan agar menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua tangan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam hal-hal yang diperintahkan Allah عزّوجلّ, seperti sadaqah, silaturahmi, jihad fi sabilillah, bersuci untuk shalat dan lain-lain. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ ...
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku …dst.” (Al-Maidah : 6)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4)
Memerangi orang-orang kafir, silaturrahmi, sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua kaki manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37)
Allah عزّوجلّ mewajibkan wajah untuk sujud kepada Allah عزّوجلّ siang dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.” (Al-Jin: 18)
Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada anggota badan.
Allah عزّوجلّ juga menyebutkan bersuci dan shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah عزّوجلّ memerintahkan kepada Nabi صلي الله عليه وسلم untuk memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih menghadap ke Ka’bah di Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi صلي الله عليه وسلم, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah diterima oleh Allah عزّوجلّ?”. Allah عزّوجلّ kemudian menurunkan ayat:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah عزّوجلّ, maka ia bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja meninggalkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka ia akan bertemu dengan Allah عزّوجلّ dalam keadaan imannya berkurang.”
Begitulah penjelasan Imam Syafi’i رحمه الله tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله tadi bertanya lagi, “Saya sudah paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman itu?” Imam Syafi’i رحمه الله menjawab dengan menyebutkan firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam kekafiran.” (At-Taubah : 124-125)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13)
Imam Syafi’i رحمه الله kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya kurang, mereka akan masuk ke neraka.
Kemudian Allah عزّوجلّ akan mendahulukan orang beriman lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu.”2

Footnote
1 al-Intiqa’ hal. 81
2 Manaqib asy-Syafi’i, I/387-393
~
Disalin dari eBook; Ibnu Majjah 4 Umat Muslim
Sumber Artikel ; Ibnumajjah.com
~
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger