Latest Post
Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan

Faedah Surat Yasin: Kebinasaan bagi yang Mendustakan Hari Kiamat

Written By Rachmat.M.Flimban on 05 April 2018 | 4/05/2018 07:22:00 AM

Aqidah, Tafsir Al Qur'an

Faedah Surat Yasin: Kebinasaan bagi yang Mendustakan Hari Kiamat

Oleh; Muhammad Abduh Tuasikal, MSc



Kebinasaan bagi yang mendustakan hari kiamat.

Tafsir Surah Yasin

Ayat 31-33

أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لا يَرْجِعُونَ (٣١)وَإِنْ كُلٌّ لَمَّا جَمِيعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُونَ (٣٢)وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ (٣٣)

“Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka. Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.” (QS. Yasin: 31-33)

Penjelasan Ayat

Sesungguhnya Allah menjelaskan kepada orang-orang yang mendustakan bahwa orang-orang sebelum mereka turut binasa dan mereka yang telah binasa itu tidaklah kembali ke dunia dan tak akan pernah kembali. Seharusnya kisah orang sebelum mereka dijadikan pelajaran. Padahal semuanya akan dikumpulkan menghadap Allah setelah matinya. Allah akan mengadili mereka dengan saat adil, tanpa dizalimi sedikit pun. Dalam ayat disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 40)

Adanya tanda hari berbangkit dan hari pembalasan atas amal, Allah buktikan dengan menunjukkan adanya tanah yang mati lantas turunlah hujan untuk menyuburkannya. Tanah itu jadi subur setelah matinya. Lantas dari tanah yang subur tersebut tumbuhlah tanaman, hingga dimanfaatkan oleh hewan ternak.

Pelajaran dari Ayat

  1. Orang yang mendustakan para Rasul dan hari kiamat, pasti akan binasa.
  2. Wajib bagi setiap orang mengambil pelajaran dari orang-orang sebelumnya.
  3. Tidak ada yang dibangkitkan sebelum hari kiamat datang dan tidak ada yang mati atau binasa kembali lagi ke dunia.
  4. Hari berbangkit benar adanya.
  5. Allah mampu untuk mengumpulkan seluruh makhluk pada satu tempat.
  6. Wajib mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kiamat.
  7. Allah mampu untuk menghidupkan tanah setelah matinya.
  8. Boleh menjadikan dalil dengan sesuatu yang bisa disaksikan saat ini untuk perkara ghaib yang akan terjadi pada hari kiamat.
  9. Boleh menyifati benda mati dengan dihidupkan dan dimatikan.
  10. Digunakan kata ganti “Kami” untuk menerangkan kebesaran Allah dalam menghidupkan dan membangkitkan makhluk pada hari kiamat.
  11. Adanya tanaman dan buah-buahan adalah nikmat yang patut disyukuri.
  12. Hamba sangat butuh kepada Allah termasuk juga dalam hal rezeki berupa makanan.

Renungan Hadits

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2577)

Beberapa Hal yang Jadi Bukti Adanya Hari Berbangkit (Hari Kiamat)

  1. Diciptakannya langit dan bumi. Karena menciptakan langit dan bumi lebih berat dibanding manusia.
  2. Allah Ta’ala berfirman,

    لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

    “Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-Mu’min: 57)

  3. Allah dapat menghidupkan tanah setelah matinya seperti dibahas dalam surah Yasin kali ini. Juga dalam ayat,
  4. وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16) إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17)

    “dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat? Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan,” (QS. An-Naba’: 14-17)

  5. Hari berbangkit dapat dibuktikan dengan diciptakannya manusia, maka membangkitkan manusia setelah matinya lebih mudah bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman,
  6. قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ

    “Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin: 79)

  7. Hari berbangkit dapat dibuktikan dengan hidupnya orang yang mati (sementara) dari tidurnya. Allah berfirman,

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

“dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat.” (QS. An-Naba’: 9)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Referensi:

  1. At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juzu ‘Amma. Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Hlm. 19-21.
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin. Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Hlm. 111-124.
  3. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. 736.

Sumber Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Klasifikasi Kitab Tafsir Al Qur’an (Bag. 2)

Written By Rachmat.M.Flimban on 21 Maret 2018 | 3/21/2018 10:33:00 PM

Klasifikasi Kitab Tafsir Al Qur’an (Bag. 2)

Sa'id Abu Ukkasyah



KLASIFIKASI TAFSIR & KITAB-KITAB TAFSIR

Tafsir Alquran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, sesuai dengan tinjauannya masing-masing.

Berikut ini beberapa tinjauan pembagian tafsir Alquran:

  1. Tafsir ditinjau dari sisi pengetahuan manusia tentang tafsir ( معرفة الناس له).
  2. Tafsir ditinjau dari sisi cara untuk menghasilkan tafsir. (طريق الوصول إليه).
  3. Tafsir ditinjau dari sisi metode dalam menafsirkan Alquran.( أساليبه).
  4. Tafsir ditinjau dari sisi aliran Ahli Tafsir dalam menafsirkan Alquran (اتجاهات المفسرين فيه).

Ini adalah sebagian saja dari sisi-sisi tinjauan dalam pembagian tafsir, dan masih terdapat lagi sisi tinjauan yang lainnya.

Berikut ini keterangan singkat tentang keempat tinjauan pembagian tafsir Alquran tersebut:

  1. Tafsir ditinjau dari sisi pengetahuan manusia tentang tafsir ( معرفة الناس له)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Sang Habrul Ummah, dan Pakar Tafsir di kalangan sahabat telah membagi tafsir Alquran menjadi empat, hal ini ditinjau dari sisi pengetahuan manusia tentang tafsir, yaitu:

  1. a) Tafsir yang dikenal maknanya secara bahasa Arab (وجه تعرفه العرب من كلامها).
  1. b) Tafsir yang setiap mukallaf harus mengetahuinya (تفسير لا يعذر أحد بجهله).
  1. c) Tafsir yang diketahui oleh ulama (تفسير يعلمه العلماء).
  2. d) Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah. (تفسير لا يعلمه إلا الله).
  3. Tafsir ditinjau dari sisi cara untuk menghasilkan tafsir. (طريق الوصول إليه)

Tafsir Alquran, apabila ditinjau dari sisi cara untuk menghasilkan tafsir, maka terbagi menjadi dua macam, yaitu :

Jenis tafsir yang dihasilkan melalui riwayat/atsar, dan disebut Tafsir bil Ma`tsur.

Jenis tafsir yang dihasilkan melalui ijtihad ahli Tafsir, dan disebut dengan Tafsir bir ra`yi.

III. Tafsir ditinjau dari sisi metode dalam menafsirkan Alquran ( أساليبه)

Tinjauan pembagian tafsir dari sisi ini terbagi menjadi empat macam, yaitu:

  1. Tafsir Tahliili/Penjabaran (التفسير التحليلي)
  2. Tafsir Ijmali/Global ( التفسير الإجمالي)
  3. Tafsir Muqoron/Perbandingan ( التفسير المقارن)
  4. Tafsir Maudhu’i/Tematik (التفسير الموضوعي)

Penjelasan :

  1. Tafsir Tahliili/Penjabaran (التفسير التحليلي)

Tafsir jenis ini adalah tafsir yang paling banyak didapatkan. Dengan metode tafsir Tahlili ini seorang mufassir (Ahli Tafsir) berpatokan pada tahliil ayat (penjelasan tentang seluk beluk ayat), seperti : penjelasan sebab diturunkannya sebuah ayat, penjelasan makna lafazh ayat yang jarang diketahui (ghariibul aayah), i’raab bagian ayat yang relatif sulit dipahami, penjelasan makna global ayat, dan selainnya.


Contoh kitab-kitab tafsir jenis ini adalah Tafsir Ibnu Athiyyah, Tafsir Al-Alusi, Tafsir Asy-Syaukani, dan selain mereka.

  1. Tafsir Ijmali/Global ( التفسير الإجمالي)

Tafsir Ijmali adalah jenis tafsir yang seorang mufassir fokus menjelaskan makna umum dari sebuah ayat, tanpa menjelaskan secara rinci, sehingga musfassir tidak menjelaskan sisi i’raabnya, etimologinya, kesusastraannya, faedahnya dan perincian selainnya.

Contoh kitab-kitab tafsir jenis ini adalah Tafsir Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, Tafsir Al-Makki An -Nashiri, Tafsir Al-Maraghi, Tafsir Abu Bakar Al-Jazairi (Al-Ma’na Al-Ijmali).

  1. Tafsir Muqoron/Perbandingan ( التفسير المقارن)

Dengan metode tafsir jenis ini, seorang mufassir fokus kepada penyebutan beberapa pendapat dari para ahli Tafsir, dan membandingkan antar pendapat-pendapat tersebut, lalu mentarjiih dengan memilih pendapat yang terkuat menurutnya.

Contoh kitab-kitab tafsir jenis ini adalah Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan selainnya.

  1. Tafsir Maudhu’i/Tematik (التفسير الموضوعي)

Dengan metode tafsir Maudhu’i/Tematik ini seorang mufassir berpatokan pada pembahasan tema tertentu, baik itu berupa pembahasan lafazh tertentu, kalimat tertentu, atau materi tertentu dalam Alquran, dan pembahasan itu dapat dibagi menjadi beberapa macam:

  1. Pembahasan tema tertentu dalam seluruh isi Alquran, seperti: pembahasan tentang sifat-sifat Allah dalam Alquran seluruhnya.
  2. Pembahasan tema tertentu dalam surat tertentu saja dalam Alquran, seperti: pembahasan tentang akhlak dalam bermasyarakat dalam surat Al-Hujuraat.
  3. Pembahasan lafazh atau kalimat tertentu dalam Alquran, seperti : penjelasan makna lafazh “Al-Ummah” dalam Alquran, dan penjelasan tafsir {الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ} dalam Alquran.

Perhatian:

Pembagian tafsir jenis Tafsir Tahliili/Penjabaran, Tafsir Ijmali/Global, dan Tafsir Muqoron/Perbandingan tersebut merupakan klasifikasi teoritis atas tafsiran yang mendominasi, sehingga tidak berarti masing-masing jenis kitab tafsir pada salah satu dalam tiga klasifikasi tersebut hanyalah berisikan tentang jenis tafsiran yang menjadi ciri khasnya semata, karena terkadang sebuah kitab tafsir berisikan lebih dari satu jenis tafsiran, seperti: Tafsir Ibnu Jarir yang berisikan ketiga jenis tafsir sekaligus, yaitu: Tafsir Tahliili/Penjabaran, Tafsir Ijmali/Global, dan Tafsir Muqoron/Perbandingan.

Hanya saja pengklasifikasian menjadi tiga jenis tafsir tersebut berdasarkan jenis tafsir yang dominan didalamnya.



  1. Tafsir ditinjau dari sisi aliran Ahli Tafsir dalam menafsirkan Alquran (اتجاهات المفسرين فيه)

Yang dimaksud dengan “aliran Tafsir (الاتجاه)” adalah aliran seorang mufassir dalam menafsirkan Alquran yang mendominasi tafsirannya, atau yang menjadi ciri khas tafsirannya sehingga dengan kekhasannya tersebut, terbedakanlah tafsiran tersebut dengan tafsiran ahli Tafsir selainnya.

Sedangkan “aliran Tafsir” itu bermacam-macam sesuai dengan tinjauannya masing-masing, seperti :

  1. Aliran Tafsir, ditinjau dari sisi madzhab aqidah seorang mufassir, seperti:
  • Manhaj Salafi yang nampak dalam kitab-kitab Tafsir semisal: Tafsir Ibnu Jarir,
  • Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Asy-Syinqithi.

  • Aliran Mu’tazilah, contohnya : Tafsir Zamakhsyari.
  • Aliran Asy’ariyyah, contohnya: Tafsir Ar-Rozzi.
  1. Aliran Tafsir, ditinjau dari sisi ilmu yang mendominasi tafsiran, seperti:
  • Kitab-kitab Tafsir yang didominasi ilmu Bahasa, contohnya kitab Ma’anil Qur`an oleh Al-Farra`, dan Majazul Qur`an oleh Abu Ubaidah.
  • Kitab-kitab Tafsir yang didominasi ilmu Nahwu, contohnya kitab I’raabul Qur`an oleh An-Nahhas, Al-Bahrul Muhiith oleh Ibnu Hayyan, dan Ad-Durrul Mashuun oleh As-Samiin Al-Halabi.
  • Kitab-kitab Tafsir yang didominasi ilmu Balaghoh, contohnya kitab Al-Kasysyaaf oleh Az-Zamakhsyari, dan At-Tahriir wat Tanwiir oleh Thahir Ibnu Asyur.

Referensi:

  1. Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar dalam kitabnya Fushulun fi Ushulit Tafsir.

Wallahu a’lam bishawab, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber Artikel: Muslim.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Klasifikasi Kitab Tafsir Al Qur’an (Bag. 1)

AL-QUR'AN

Klasifikasi Kitab Tafsir Al Qur’an (Bag. 1)

Sa'id Abu Ukkasyah



Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Sebelum penyusun sampaikan tentang “Klasfikasi kitab-kitab Tafsir Alquran”, maka akan kami jelaskan terlebih dahulu perkara yang menjadi istilah pokok pembahasan, yaitu: pengertian tafsir dan hukum mempelajarinya.

DEFINISI TAFSIR

Tafsir (التفسير), secara bahasa diambil dari kata الفسر yang bermakna: menyingkap sesuatu yang tertutup sehingga menjadi jelas. Jadi, sebagaimana dijelaskan oleh pakar bahasa Arab, Ibnul Faris dalam Mu’jam Maqayis Al-Lughah bahwa makna bahasa dari kata “Tafsir” itu kembalinya kepada penjelasan sesuatu, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

{وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا}

(33)Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) syubhat, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[QS. Al-Furqan: 33].

Adapun secara istilah, beragam para ulama dalam mendefinisikannya, Syaikh Al-Utaimin dalam kitabnya Ushulun fit Tafsir mendefinisikan istilah “Tafsir” dengan:

بيان معاني القرآن الكريم

Penjelasan makna Al-Qur`an Al-Karim.

HUKUM TAFSIR

Hukum mempelajari tafsir Alquran adalah wajib atas umat ini secara umum, sedangkan untuk masing-masing individu, maka bagi setiap orang wajib mempelajari tafsir sebatas kadar wajib dari tafsir Alquran

Hal ini berdasarkan dalil dan alasan pendalilan sebagai berikut :

Hikmah penurunan Alquran adalah untuk ditadabburi dan diambil pelajarannya

Allah telah menjelaskan hikmah diturunkannya Alquran adalah untuk ditadabburi dan diambil pelajarannya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka metadabburi ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran (sehat) mendapat pelajaran.(QS. Shaad :29)

Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah –dalam kitab beliau Ushulun fit Tafsir– menjelaskan makna tadabbur dalam ayat di atas, yaitu:

“Memperhatikan lafadz untuk bisa memahami maknanya” , maka dari itu, tidak mungkin seseorang bisa mentadabburi Alquran dengan baik, tanpa mempelajari maknanya (tafsirnya).

Ketahuilah, Alquran itu jika tidak ditadabburi menyebabkan terluputnya hikmah diturunkannya Alquran, sehingga Alquran menjadi sebatas lafadz-lafadznya saja yang tidak ada pengaruh besar terhadap pembacanya.

Allah mengancam orang yang tidak mentadaburi Al-Qur`an adalah akan dikunci hatinya!

Firman Allah Ta’ala :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an bahkan hati mereka terkunci?”. [QS. Muhammad:24].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

يقول تعالى آمرا بتدبر القرآن وتفهمه ، وناهيا عن الإعراض عنه ، فقال : { أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها } أي : بل على قلوب أقفالها ، فهي مطبقة لا يخلص إليها شيء من معانيه

“Allah Ta’ala berfirman,memerintahkan (hamba-Nya) untuk mentadaburi dan memahami Al-Qur`an dan melarangnya berpaling darinya,dengan berfirman :

{ أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها },yaitu : bahkan hati mereka terkunci, maka hati tersebut tertutup, tidak ada satu makna Al-Qur`an pun yang masuk ke dalam hatinya”. [Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah,jilid.4 hal.459].

Berkata Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :

أن الله تعالى وبخ أولئك الذين لا يتدبرون القرآن، وأشار إلى أن ذلك من الإقفال على قلوبهم، وعدم وصول الخير إليها

“…bahwa Allah Ta’ala mencela orang-orang yang tidak mentadaburi Al-Qur`an,dan mengisyaratkan bahwa hal itu termasuk bentuk dari penguncian hati mereka serta tidak bisa sampainya kebaikan kepada hati mereka.” [Ushulun fit Tafsir,Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin ,hal.23].

Berkata DR. Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar dalam kitabnya Fushulun fi Ushulit Tafsir :

وتعلُّم التفسير واجب على الأمة من حيث العموم، فلا يجوز أن تخلو الأمة من عالم بالتفسير يعلّم الأمة معاني كلام ربها. أما الأفراد فعلى كلٍّ منهم واجبٌ منه، وهو ما يقيمون به فرائضهم، ويعرفون به ربهم. ولابن عباس تقسيم للتفسير، ويمكن تقسيم الحكم على كل قسم بحسبه، ومنه معرفة ما يجب على أفراد الأمة

“Secara umum, (hukum) mempelajari tafsir (Alquran) itu wajib atas umat, maka di tengah umat ini tidak boleh sampai kosong dari orang yang mengetahui tafsir Alquran, ia mengajarkan makna firman Rabbnya kepada umat.

Sedangkan untuk (masing-masing) individu, maka bagi setiap orang wajib mempelajari tafsir sebatas kadar wajib dari tafsir Alquran, yaitu : perkara yang menyebabkan terlaksananya kewajiban mereka dan dengannya mereka dapat mengenal Rabb mereka.

Ibnu Abbas telah membagi tafsir (kedalam beberapa bagian), dan memungkinkan pembagian hukumnya disesuaikan masing-masing bagian tersebut, dan diantaranya adalah perkara yang wajib dipelajari oleh (masing-masing) individu umat ini”.


Referensi :

Ushulun fit Tafsir,Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin.

Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar dalam kitabnya Fushulun fi Ushulit Tafsir.

(Bersambung, in sya Allah)

Sumber Artikel: Muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Surat Yasin: Mengolok-Olok Rasul

Written By Rachmat.M.Flimban on 03 Maret 2018 | 3/03/2018 08:26:00 PM

Faedah Surat Yasin: Mengolok-Olok Rasul

Oleh; Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Surat Yasin kali ini mengajarkan agar jangan mengolok-olok Rasul dan ajaran Islam.

Tafsir Surah Yasin

Ayat 28-30


وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِينَ (٢٨) إِنْ كَانَتْ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ (٢٩) يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (٣٠)

“Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Yasin: 28-30)

Penjelasan Ayat

Allah menyatakan sebagai hukuman bagi kaumnya—yang telah mendustakan Rasul dan membunuh wali-Nya—bahwa Allah tidak akan menurunkan suatu hukuman dengan menurunkan pasukan dari langit untuk menghancurkan mereka. Tidak perlu siksaan seperti itu diturunkan. Karena Allah Mahamampu untuk melakukan segalanya, sedangkan manusia itu begitu lemah. Cukup dengan hukuman ringan saja sebagai siksa Allah bagi mereka, yaitu dengan satu teriakan suara saja, diteriakkan oleh malaikat Allah. Dengan itu saja mereka bisa langsung mati dan terdiam—tak ada suara, tak bergerak—setelah mereka sombong dan angkuh. Lalu Allah ingatkan lagi karena kasihan dengan hamba-Nya, padahal sudah ada rasul yang diutus untuk mengingatkan mereka. Namun yang ada, rasul itu dilecehkan dan diolok-olok.

Pelajaran dari Ayat

Malaikat adalah tentara Allah.

Tempat malaikat adalah di langit, itu asalnya. Namun kadang malaikat bisa turun ke muka bumi seperti pada malam Lailatul Qadar. Allah disebutkan dengan kata ganti “Kami” untuk menunjukkan keagungan Allah, bukan menunjukkan Allah itu berbilang. Allah Mahamampu untuk menundukkan setiap makhluk.

Menghancurkan kaum yang menentang Allah tidak perlu dengan menurunkan pasukan malaikat, namun cukup dengan satu teriakan suara saja yang dapat menghancurkan kaum penentang.

Kaum yang menentang Allah kelak akan menyesal.

Allah itu adil. Allah menyiksa makhluk karena dosa-dosa mereka.

Dilarang mengolok-olok, mendustakan, dan menentang kebenaran yang dibawa para Rasul. Mengolok-olok Rasul termasuk perbuatan kufur yang pantas mendapatkan siksa.

Setiap utusan dan pendakwah pasti akan mendapatkan celaan dan olok-olokan dari kaumnya.

Kata Imam Qurthubi, wajib menahan amarah dan tetap bersikap hilm (sabar) ketika menghadapi orang bodoh.

Hukum Mengolok-Olok Ajaran Islam

Diriwayatkan dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, disebutkan bahwa pada perjalanan perang Tabuk, ada orang dari kalangan munafikin berkata kepada ‘Auf bin Malik, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an (yang dimaksudkan adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, pen) kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala berhadapan di medan perang.”

(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, engkau itu munafik. Sungguh aku akan melaporkan ucapanmu tadi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu).

Zaid berkata bahwa Ibnu ‘Umar bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan,

إِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُ

“Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah yang artinya), “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. At-Taubah: 65-66). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath ThAbari, 11:543. Sanad hadits ini jayyid. Hisyam bin Sa’ad ada masalah dalam segi hafalan. Namun Hisyam adalah orang yang paling tsabat dari jalur Zaid bin Aslam. Lihat Shahih min Asbabin Nuzul, hlm. 203).

Imam Asy-Syafi’i ditanya mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah Ta’ala. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ , لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).” Lihat Ash-Sharim Al-Maslul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 513

Ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayat-ayat Allah termasuk kekafiran. Dan barang siapa mengolok-olok salah satu dari ketiga hal ini, maka dia telah mengolok-olok kesemuanya. Lihat Kitab At-Tauhid, hlm. 59.

Perlu diketahui bahwa mengolok-olok Allah dan agama-Nya ada dua bentuk, yaitu:

Yang bentuknya jelas dan terang-terangan sebagaimana terdapat dalam kisah turunnya surah At-Taubah ayat 65-66.

Yang bentuknya sindiran dan isyarat seperti isyarat mata atau menjulurkan lidah. Termasuk bentuk mengolok-olok adalah seperti mengatakan bahwa ajaran Islam tidak pantas lagi untuk abad ke-20, Islam hanya pantas untuk abad-abad pertengahan. Dan termasuk dalam mengolok-olok adalah mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti mengatakan, ‘agama itu bukanlah pada tampilan rambut’. Perkataan ini dimaksudkan untuk mengejek orang-orang yang berjenggot. Atau menggelari Wahabi atau madzhab kelima yang bertujuan mengolok-olok agama dan orang yang berpegang dengan ajaran yang benar. Atau termasuk juga ucapan-ucapan yang lainnya yang hampir sama. Lihat Kitab At-Tauhid, hlm. 61-62.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga meraih manfaat dari merenungkan dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an.


Referensi:

  1. Ash-Sharim Al-Maslul ‘ala Syatim Ar-Rasul. Cetakan pertama, Tahun 1417 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Penerbit Dar Ibnu Hazm Beirut.
  2. At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Yasin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Hlm. 50-54.
  3. Aysar At-Tafasir li Kalam Al-‘Ali Al-Kabir. Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Penerbit Darus Salam. 4:375-376.
  4. Kitab At-Tauhid. Cetakan Tahun 1420 H. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Kementrian Urusan Islamiyah dan Wakaf KSA.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin. Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Hlm. 101-111.
  6. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 6:335.
  7. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. 736.



Sumber Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Qur'an; Sepuluh Wasiat dari Surat Al An’am

Written By Rachmat.M.Flimban on 15 Juli 2017 | 7/15/2017 05:04:00 PM

Sepuluh Wasiat dari Surat Al An’am
Qur'an
Penulis: Al Ustadz Abdul Mu’thi, Lc


Didalam surat Al An’am Allah Ta’ala menyebutkan sepuluh wasiat agar seorang terjaga akidah atau keyakinannya dari penyimpangan dan agar terbimbing kehidupan sebuah keluarga dan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al An’am: 151-153)
Ayat-ayat yang mulia ini telah di nyatakan oleh sahabat Abdulloh bin Mas’ud dalam pernyataannya: Barangsiapa ingin membaca lembaran Rasululloh yang padanya ada setempel beliau hendaknya membaca ayat-ayat tersebut.
Dan yang dimaksud dengan padanya ada setempel beliau bahwa ayat-ayat ini hukum-hukumnya tetap dan tidak ada ayat yang menghapus hukum-hukumnya.
Tiga ayat tersebut masing-masing darinya diakhiri dengan firmanNya:
ذلِكُمْ وَصَاكُمْ بِه
“Demikianlah Allah memerintahkan berwasiat kepada kalian”. Hal ini sebagai penegasan tentang mendalamnya nilai dari wasiat ini dan bahwa ini adalah wasiat yang datangnya dari Allah yang dengannya akan menjadi lurus kehidupan manusia dan dengannya akan menjadi baik perkara dunia dan perkara agama.
Dalam ayat ke 151 dari surat Al An’am ini Allah berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَاحَرَّم رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
Disini Allah memerintahkan NabiNya untuk meminta dari manusia agar mereka mau mendengar apa yang Allah haramkan atas mereka, bahwa hak untuk menghalalkan dan mengharamkan hanya milik Allah semata bukan hak setiap orang atau tokoh agama. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.”(QS. An Nahil: 116)
Dengan ini apa yang diharamkan oleh orang-orang jahiliah dari binatang ternak dan semisalnya maka sesungguhnya hal itu tidak haram, karena pengharaman mereka adalah mengada-ada bukan dari Allah.
Adapun sepuluh wasiat yang berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah adalah sebagai berikut:
Wasiat pertama: Untuk tidak menyekutukan Allah (berbuat syirik). Karena kesyirikan adalah pokok segala yang diharamkan dan induk segala dosa. Berkata sahabat Ibnu Mas’ud, Aku bertanya kepada Rasululloh tentang dosa apa yang paling besar? Beliau menjawab: Kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Kesyirikan adalah dosa yang Allah tidak akan mengampuninya bila seorang tidak bertobat darinya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(QS. An Nisa: 48)
Sesungguhnya, terbebasnya keyakinan dari noda kesyirikan dan kemurnian iman merupakan jalan keselamatan dan pondasi kokoh yang agama ini dibangun diatasnya. Bila keyakinan seorang tidak lepas dari kesyirikan maka amalan seperti apapun tidak akan berguna meski nampak baik secara lahiriah. Telah datang berita gembira dari Nabi bagi orang yang mati dalam keadaan bersih dari berbagai persekutuan bersama Allah dalam ibadah. Nabi bersabda:
أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَبَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ لَايُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا مِنْ أُمَّتِكَ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Telah datang kepadaku Jibril, lalu ia memberi berita gembira kepadaku bahwa barangsiapa dari umatmu mati dalam keadaan ia tidak menyekutukan sesuatupun dengan Alloh maka dia akan masuk surga.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Allah Ta’ala telah melarang segala bentuk kesyirikan, apakah yang berkaitan dengan ibadah yaitu dengan memberikan peribadatan kepada selain Allah, atau yang berkaitan Sifat Allah dengan memberikan sifat ketuhanan kepada makhluk, atau kesyirikan yang berkaitan dengan perbuatan Allah. Seperti meyakini pada sebagian makhluk bahwa ia mampu untuk mengatur alam semesta, memberi rejeki, menyembuhkan penyakit dan semisalnya.
Wasiat kedua: adalah keharusan berbuat baik terhadap kedua orang tua dan haramnya berbuat durhaka kepada mereka. Durhaka kepada kedua orang tua dan menyakiti mereka dalam bentuk apapun dan sekecil apapun adalah perkara yang diharamkan Allah. Sebagaimana firmanNya:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”(QS. Al Isro’: 23)
Coba anda cermati ayat ini bagaimana Allah mengiringkan keharusan menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan tentang tingginya kedudukan orang tua serta dorongan untuk berbakti kepada mereka. Al Qur’an Al Karim telah mengulang-ulangi penjelasan tentang berbakti kepada kedua orang tua sebanyak tujuh kali sebagai penekanan agar seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengan perangai yang mulia ini terhadap kedua orang tuanya. Demikian pula Rasululloh telah menekankan hal itu sebagaimana dalam riwayat Ibnu Mas’ud dia berkata: “Wahai Rasululloh, amalan apa yang paling dicintai oleh Allah? Beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Aku bertanya, kemudian apa? Beliau menjawab: Berbakti kepada kedua orang tua, aku bertanya: kemudian apa? Beliau menjawab: Berjihad dijalan Allah.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dalam salah satu haditsnya beliau bersabda (yang artinya): “Keridhoan Allah terletak pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan kedua orang tua.” [Hr. Attirmidzi dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban]
Wasiat ketiga: Larangan membunuh anak. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”(QS. Al An’am: 151)
Setelah Allah berwasiat kepada para anak agar berbakti kapada kedua orang tuanya maka disini Allah berwasiat kepada para bapak untuk berbuat baik terhadap anak. Yang demikian agar bangunan keluarga berdiri diatas kuatnya pondasi saling mencintai dan hubungan yang baik. Perlu diketahui bahwa keluarga adalah batu pertama untuk berdirinya suatu bangunan masyarakat. Dan dikarenakan agama Islam ini sangat antusias dalam pembentukan masyarakat yang kuat dan saling erat berhubungan maka Islam mengarahkan perhatiannya kepada membangun keluarga diatas pondasi saling mencintai. Diperintahnya setiap anggota keluarga untuk menunaikan hak kepada yang lainnya dan melaksanakan tugas yang diembannya. Allah berpesan kepada para bapak dan ibu agar memperhatikan anak-anak mereka dan mendidik mereka dengan bagus. Termasuk dosa (besar) bila seorang tidak memperhatikan keadaan mereka. Nabi bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
“Cukup seorang (dikatakan) melakukan dosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [Hr. Abu Daud]
Berkata Ibnu Mas’ud: Aku berkata: Wahai Rasululloh, dosa apa yang paling besar? Beliau menjawab kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptamu. Aku berkata: kemudian apa? Beliau bersabda: Kamu membunuh anakmu karena takut diberi makan bersamamu (takut fakir). Aku bertanya: lalu apa? Beliau menjawab: Kamu berzina dengan isteri tetanggamu. Lalu Rasululloh membaca ayat:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,”(QS. Al Furqon: 68-69)
Membunuh anak dalam bentuk apapun diharamkan. Ayat dalam surat Al An’am 151 menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang jahiliah dahulu dimana mereka membunuh anak-anak mereka dikarenakan fakir, sebagaimana disebutkan dalam surat yang lain bahwa orang-orang jahiliah juga membunuh anak-anak mereka karena khawatir terhadap masa depan yang sulit dan fakir. Allah Ta’ala berfriman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.”(QS. Al Isro’: 31)
Sebagaimana pula disebutkan dalam Al Qur’an tentang sebagian kekejaman orang-orang jahiliah dimana mereka membunuh anak-anak perempuan karena khawatir mendapat celaan. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh,”(QS. Attakwir: 8-9)
Padahal, diantara nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya adalah nikmat berupa anak-anak dan cucu. Allah Ta’ala berfriman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni`mat Allah?”(QS. An Nahl: 72)
Dan diantara bentuk mengkufuri nikmat adalah tidak memperhatikan terhadap hak-hak anak dan mendhalimi mereka dengan pembunuhan atau yang lainnya terlebih jika hal yang mendorong untuk melakukan itu adalah takut fakir, padahal Allah telah menjamin rejeki hamba-hambaNya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,”(QS. Hud: 6)
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Rahul Qudus (Jibril) telah meniup pada hatiku bahwa suatu jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan mengambil rejekinya secara penuh.” [Hr. Abu Nu’aim fil hilyah dan dishohihkan Al Albani dalam shohih Al Jami’]
Wasiat keempat: Larangan mendekati perbuatan keji (seperti zina) baik yang nampak atau tersembunyi. Wasiat yang mulia ini tentunya memiliki tujuan agar masyarakat muslim itu bersih dari kebobrokan moral dan kekejian. Supaya menjadi sebuah masyarakat yang bersih luar dalamnya. Dan kekejian yang dimaksud adalah dosa-dosa besar, namun bisa di maksudkan disini secara lebih khusus adalah perbuatan zina. Al Qur’an Al Karim telah menyebutkan tentang haramnya perbuatan-perbuatan keji secara berulang-ulang baik yang nampak ataupun tersembunyi. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِسُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al A’rof: 33)
Wasiat kelima: Tidak membunuh jiwa yang di larang untuk di bunuh.
Allah telah menjaga jiwa manusia sehingga tidak boleh seorang melenyapkan nyawa orang lain tanpa ada kebolehan dari syariat Allah. Nabi bersabda:
لَايَحِلُّ دَمَ امْرِئٍِ مُسْلِمِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا اللهُ وَ أَني رَسُولُ الله إلَّا بإحْدى ثَلاثٍ الثَّيبُ الزَّانِى وَالنَّفْسُ بالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لدِيْنِهِ المُفَارقُ للْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga (sebab): orang yang sudah menikah dia berzina, membunuh jiwa (maka) dibalas dengan dibunuh dan yang murtad dari agamanya yang menyelisihi jama’ah (kaum muslimin).” [Hr. Al Bukhari dan Muslim]
Hadits ini jelas bahwa ada tiga golongan yang boleh bagi penguasa untuk membunuh mereka yaitu: Seorang yang melakukan perzinaan padahal dia sudah menikah, seorang yang membunuh orang lain dengan sengaja maka dia dikishosh (dihukum balas) dengan di bunuh dan yang ketiga adalah yang murtad dari agama Islam..
Larangan dari membunuh manusia tidak hanya terbatas terhadap kaum muslimin namun juga orang yang bukan muslim yang dalam ikatan perjanjian. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa membunuh orang (kafir) yang dalam ikatan perjanjian (dengan muslimin) maka ia tidak akan mencium baunya surga.” [Hr. Al Bukhari]
Sungguh agama Islam sangat keras tentang larangan membunuh jiwa tanpa hak, pelaku pembunuhan menurut islam merupakan kejahatan yang luar biasa jahatnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”(QS. An Nisa: 93)
Nabi juga bersabda dalam suatu haditsnya (yang artinya): “Lenyapnya dunia lebih ringan menurut Allah ketimbang membunuh seorang mukmin tanpa hak…” [Hr. Ibnu Majah dan lain-lainnya]
Wasiat keenam: Tidak mencaplok harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa.”(QS. Al An’am: 152)
Ini merupakan wasiat Allah yang mulia yang mengharuskan seorang untuk memperhatikan dan menjaga anak yatim beserta hartanya. Dan seorang anak di katakan yatim bila bapaknya meninggal dunia sementara anak itu belum baligh.
Allah Ta’ala melarang dari mendekati harta anak yatim dengan tujuan yang tidak baik, tentunya lebih keras lagi larangan dari mencaplok harta anak yatim. Dibolehkannya mengambil harta anak yatim bila orang tersebut adalah yang mengembangkan harta anak yatim, maka boleh baginya untuk mengambil sewajarnya sebagai upah dari jerih payahnya dalam merawat dan mengembangkan harta anak yatim. Orang yang ditugasi merawat harta anak yatim hendaknya melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya dengan tidak mendholimi hartanya sampai anak yatim itu baligh dan bisa menjaga hartanya sendiri. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”(QS. An Nisa: 6)
Namun hal ini bukan berarti boleh bagi seorang untuk mendholimi harta anak yatim setelah dia baligh. Karena harta anak yatim setelah dia baligh itu sama kehormatannya seperti kehormatan harta-harta selainnya dari kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengharamkan perbuatan mendholimi seorang muslim dalam segala keadaannya. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ المُسْلِم عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim yang lainnya itu haram (terjaga) kehormatannya, hartanya dan darahnya.” [Hr. Muslim]
Islam telah memperhatikan terhadap anak yatim dan mengajak untuk menjaganya dan memperhatikan kondisinya serta mengancam dari mendholiminya dan mencaplok hartanya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(QS. An Nisa: 10)
Demikianlah balasan bagi orang yang tidak memiliki sifat belas kasihan terhadap anak yatim yang sangat membutuhkan belaian kasih sayang setelah bapaknya meninggal dunia. Betapa bengisnya hati seorang yang tega menyakiti perasaan anak yang lemah seperti itu. Bukankah seharusnya seorang itu iba dan menaruh perasaan kasih sayang terhadapnya sehingga terdorong untuk menyantuninya dan merawatnya? Rasulullah bersabda (yang artinya): “Saya beserta orang yang mengasuh anak yatim berada disorga seperti ini.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan antara keduanya. [Hr. Al Bukhari dll]
Wasiat ketujuh: Tidak curang dalam menakar dan menimbang. Allah berfirman:
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”(QS. Al An’am: 152)
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman untuk menegakkan keadilan dalam transaksi jual beli mereka yaitu dengan jujur dalam menakar dan menimbang, demikian pula agar mereka berlaku adil dalam segala hubungan diantara mereka. Sehingga seorang tidak menuntut yang lebih dari haknya dan tidak pula mengurangi hak orang lain. Sungguh binasanya umat-umat itu disebabkan oleh kedholiman yang mereka lakukan. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Hati-hatilah kalian dari berbuat dholim karena kedholiman adalah kegelapan pada hari kiamat.” [Hr. Muslim]
Allah Ta’ala juga telah menghabarkan bahwa orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang bagi mereka adzab yang pedih, sebagaimana dalam firmanNya:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthaffifin: 1-3)
Dahulu, kaumnya Nabi Syu’aib dibinasakan oleh Allah karena mereka berbuat dhalim atau curang dalam menakar dan menimbang. Allah Ta’ala berfirman dengan menyebutkan ucapan Nabi Syu’aib terhadap kaumnya:
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَاتَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(QS. Asy Syu’aro: 181-183)
Pesan dari Allah kepada manusia untuk berlaku jujur dalam menakarkan dan menimbangkan hak-hak orang agar para hamba tahu bahwa aktifitas mereka selalu di pantau oleh Allah. Agar mereka tahu bahwa baiknya keadaan mereka tatkala berpegang dengan petunjuk Allah sedangkan kebinasaan tatkala mereka berpaling dari perintah Allah. Adapun lanjutan friman Allah:
لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”(QS. Al An’am: 152)
Maka ini adalah kemudahan dari Allah terhadap para hambaNya. Karena menjaga kejujuran atau keadilan yang mutlak yang tidak pernah keliru dalam menakar dan menimbang terkadang sulit terwujud. Oleh karena itu, seorang punjual atau pedagang hendaknya mencurahkan segala upayanya untuk terwujudnya ketepatan dalam hal takaran dan timbangan. Bila kemudian setelah dia usaha untuk jujur namun terjadi kekeliruan maka dia tidak berdosa karena Allah tidak membebani seorang diatas kemampuannya.
Wasiat kedelapan: Yaitu agar berkata yang jujur. Allah berfirman:
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu),”(QS. Al An’am: 152)
Maksudnya adalah: Apabila kalian mengatakan suatu perkataan yang sifatnya memutuskan atau menghukumi atau suatu persaksian atau meluruskan suatu perkara maka hendaknya ucapan kalian itu bersumber dari kebenaran dan keadilan, tanpa cenderung kepada hawa nafsu atau menyimpang karena suatu manfaat tertentu. Yang demikian karena kebenaran lebih berhak untuk diikuti.
Pada wasiat ini Allah meminta dari kita agar kita selalu bersama kejujuran dalam segala ucapan, seperti apapun hubungan kita dengan orang yang kita bersaksi untuknya atau kita hukumi atasnya.
Sungguh, diantara faktor terpenting seorang tidak jujur dalam memberikan persaksian dan keputusan adalah pengaruh kekerabatan , harapan mendapat kemanfaatan baginya atau terhindarnya dari suatu mudhorrot. Demikian pula faktor ambisi mencari kedudukan disisi penguasa atau takut terhadap penguasa.
Oleh karena itu, wasiat ini adalah suatu bentuk wasiat dari Alloh untuk mendidik diri seorang muslim agar selalu menetapi kebenaran, dan berdiri di sisi kebenaran seperti apapun menggodanya ambis-ambisi sesaat yang terpampang dihadapan. Nabi bersabda (yang artinya): Demi Dzat yang jiwa Muhamad di tanganNya (Demi Alloh) , seandainya Fatimah puteri Muhamad itu mencuri niscaya (Nabi) Muhamad (bapaknya) akan memotong tangannya .
Al Quran Al karim telah menggariskan keadilan yang mulia ini didalam surat Annisa ayat 135 yaitu:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.”
Wasiat kesembilan: Menetapi perjanjian terhadap Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,”(QS. Al An’am: 152)
Segala yang Allah perintahkan hambaNya untuk menjalankannya atau apa yang dilarang untuk melakukannya demikian pula apa yang Allah wasiatkan, ini semua harus dijaga. Karena kita semua adalah hamba Allah yang harus tunduk terhadap peraturanNya.
Allah Ta’ala telah berjanji dengan memberikan pahala kepada orang yang melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, sebagaimana firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga `Adn. Itulah keberuntungan yang besar.”(QS. Ash Shof: 10-12)
Inilah janji dari Allah bagi yang beriman dan berjihad di jalanNya, bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memasukkannya kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Orang yang senantiasa menetapi perjanjian terhadap Allah adalah orang-orang yang benar-benar memiliki akal fikiran dimana ia tahu tentang maslahat dirinya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,”(QS. Ar Ra’du: 19-20)
Wasiat kesepuluh: Hanya menempuh jalan Allah yang lurus. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al An’am: 153)
Jalannya Allah adalah agamaNya yang dengannya Allah mengutus para rasulNya, yaitu agama Islam. Wajib atas manusia untuk mengikuti agama ini karena ia yang akan mengantarkan kepada surga. Adapun jalan selain islam maka akan menyimpangkan seorang dari surga dan mengantarkan kepada kebinasaan.
Jalan yang lurus adalah apa yang ditempuh oleh Nabi Muhammad, para sahabat dan yang mengikuti mereka dalam beragama. Inilah satu-satunya jalan yang benar dalam beragama, maka barangsiapa mencari jalan kebenaran selain jalan mereka maka dia tidak akan sampai kepada tujuan. Adapun jalan-jalan kebatilan maka begitu banyaknya sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat imam Ahmad bahwa Rasulullah menggaris suatu garis (yang lurus) dengan tangannya kemudian beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هذَا سَبِيلُ الله مُسْتَقِيْمًا
“Inilah jalan Allah yang lurus.”
Lalu beliau menggaris disebelah kanan dari kiri dari garis itu garis-garis yang banyak lalu beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هذِه السُّبُلُ لَيْس مِنْها سبيل إلا عليه شيطان يدعو إليه
“Jalan-jalan ini tidak ada darinya jalan kecuali padanya ada syithon yang mengajak kepadanya.”
Kemudian Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”(QS. Al An’am: 153)
Demikianlah Allah tutup wasiat-wasiat yang mulia dengan wasiat ini sebagai penekanan bahwa berpegang teguh dengan wasiat-wasiat sebelumnya merupakan jalan yang lurus yang mengantarkan orang yang menjalankannya kepada keselamatan dan kesuksesan didunia dan di akhirat.
[Disarikan dari Mudzakkiroh fittafsir dan Al washoya Al ‘Asyr dari fatawa Asy Syaikh Ibnu Utsaimin]
Sumber dari: Assalafiyahkebumen.wordpress.com
Dinukil dari; Abunamira.wordpress.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger