Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5].
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.
Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini :
قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96].
Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan -menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam.
MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR
Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah [17].
Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah.
APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH?
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.
Ibnu Qudamah berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:
(Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR Tirmidzi, 4/60).
Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya :
أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim, 3/39].
Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca :
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ
Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayit. [20]
Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan: “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja.[21]
Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendo’akan orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendoakan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.
Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh seorang muslim, memberikan tuntunan do’a :
أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
(Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit).
Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya ialah :
أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ وَلاَ نَقَصَ عَدَدَكَ
(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).
Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22]
Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat bermasalah, sebab berdo’a agar orang kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan saja” [23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar.
Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat.
Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan :
اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَكَ وَرَحِمَنَا وَإِيَّاكَ
(Semoga Allah mengabukan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu). [24]
DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH
Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain. Adapun jika dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya haram.[26]
Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya maslahat; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyari’atkan, dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]
Dalam masalah ini ada yang berpendapat memperbolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah[28]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha , dia menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada kesedihan … [HR Muslim, 3/45]
Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau n duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya berta’ziyah.[29]
Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah menginap di tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah pernah melayat sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih lama lagi. [30]
Demikianlah beberapa point berkenaan dengan ta’ziyah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]