Aqidah, Pendapat Imam Ahmad Tentang Qadar
Written By Rachmat.M.Flimban on 24 April 2017 | 4/24/2017 03:36:00 AM
Aqidah Imam Empat
Pendapat Imam Ahmad Tentang Qadar
Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله karya Musaddad. Dalam kitab itu terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Kita mengimani taqdir, yang baik, yang buruk, yang manis, yang pahit, semuanya dari Allah.”1
Imam al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya: “Apakah kebaikan dan keburukan itu ditaqdirkan kepada hamba Allah, dan apakah Allah menciptakan kebaikan dan keburukan?” Beliau menjawab: “Ya, Allah telah mentetapkannya.”2
Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله beliau mengatakan: “Taqdir itu, yang baik dan yang buruk, yang sedikit dan yang banyak, yang lahir dan yang batin, yang manis dan yang pahit, yang disuka dan yang dibenci, yang elok dan yang jelek, yang awal dan yang akhir, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang dapat keluar dari kehendak dan ketetapan Allah. ”3
Imam al-Khallal juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Harun, dari al-Harits, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah سبحانه و تعالي telah mentaqdirkan ketaatan dan maksiat, kebaikan dan keburukan. Orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, maka ia berbahagia, dan orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang celaka, ia akan celaka.”4
Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله berkata, “Saya mendengar ayah saya, ketika beliau ditanya Ali bin Jahm tentang “Orang yang berbicara tentang qadar, apakah ia menjadi kafir?” Beliau menjawab: “Ya apabila ia mengingkari ilmu Allah. Apabila ia berpendapat bahwa Allah itu tidak mengetahui, sampai Allah menciptakan ilmu, dan barulah Allah mengetahui, maka ia mengingkari ilmu Allah, dan dengan demikian ia menjadi kafir.”5
Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله juga menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya sekali lagi tentang shalat menjadi makmum di belakang paham Qadariyah. Beliau menjawab: “Apabila penganut Qadariyah itu selalu berdebat dan menyebarkan paham tersebut, maka kamu jangan shalat di belakangnya.”6
Footnote;
1 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 169, 172
2 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85
3 as-Sunnah, hal. 68
4 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85
5 Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, hal. 119
6 as-Sunnah, I/384
Menukil dari Sumber eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim
Aqidah, Pendapat Imam Syafi’i Tentang Sahabat
Written By Rachmat.M.Flimban on 06 April 2017 | 4/06/2017 03:06:00 AM
Aqidah, Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Qadar
Written By Rachmat.M.Flimban on 03 April 2017 | 4/03/2017 03:05:00 AM
- Seorang datang kepada Imam Abu Hanifah رحمه الله dan mendebat beliau tentang masalah qadar. Kata beliau: “Tahukan Anda, bahwa orang yang melihat masalah matahari dengan matanya, semakin lama ia melihat, ia makin bingung.”1
- Beliau berkata: “Allah telah mengetahui segala sesuatu sejak masa azali, sebelum segala sesuatu itu terwujud.”2
- Beliau juga berkata: “Allah juga mengetahui sesuatu yang tidak ada ketika hal itu tidak ada, dan juga Allah mengetahui bagaimana hal itu akan ada apabila Allah mewujudkannya. Allah juga mengetahui sesuatu yang ada ketika hal itu ada, dan Allah juga mengetahui bagaimana kehancuran sesuatu itu.”3
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Taqdir Allah adalah di Lauh Mahfuzh.”4
- Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa Allah telah memerintahkan kepada al-Qalam dan ia berkata, “Apa yang akan saya tulis wahai Tuhanku?” Allah menjawab: “Tulislah apa yang ada dan terjadi sampai Hari Kiamat.” Hal ini berdasarkan firman Allah:
- Beliau juga berkata: “Di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah.”6
- Kata beliau lagi: “Allah menciptakan segala sesuatu tanpa bahan apa-apa.”
- Beliau juga berkata: “Allah adalah Maha Pencipta sebelum Dia menciptakan.”
- Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa hamba bersama amal-amalnya. Penetapannya dan pengetahuannya adalah makhluk. Apabila yang berbuat saja makhluk, maka perbuatan-perbuatannya lebih tepat untuk disebut makhluk.”
- Beliau berkata lagi: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.”
- Beliau berkata: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak maupun diam, adalah betul-betul upaya mereka, dan Allah menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, ilmu, penetapan, dan qadar Allah. Semua ketaatan adalah wajib berdasarkan perintah Allah, dan hal itu disukai, diridhai, diketahui, dikehendaki, ditetapkan, dan ditaqdirkan Allah. Sedangkan maksiat semuanya diketahui, ditetapkan, ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah, tetapi Allah tidak menyukai dan tidak meridhai hal itu, bahkan Allah juga tidak memerintahkannya.”7
- Beliau juga berkata: “Allah menciptakan makhluk berdasarkan fithrahnya, suci dari perbuatan yang terlarang. Kemudian Allah menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang untuk berbuat yang tercela. Maka, di antara mereka kemudian ada yang kafir dengan melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran dan mengingkari kebenaran (hak). Ada juga di antara mereka yang beriman, baik melalui perbuatannya, iqrar lisannya, dan pembenaran hatinya. Dan hal itu merupakan taufiq dan pertolongan Allah kepadanya.”8
- Beliau juga berkata: “Allah telah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang punggungnya dalam bentuk sel-sel, kemudian mereka diberi akal, lalu Allah menyuruh mereka untuk beriman dan melarang mereka melakukan kekafiran. Kemudian mereka mengakui ketuhanan (rububiyyah) Allah. Maka hal itu merupakan iman mereka. Kemudian mereka dilahirkan berdasarkan fithrah tersebut. Karenanya, sebenarnya ia telah mengubah dan mengganti fithrah itu. Sedangkan orang yang beriman dengan penuh keyakinan hatinya, maka ia tetap berada dalam fithrah tersebut.”9
- Beliau juga berkata: “Allah-lah yang menetapkan segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun dunia dan akhirat kucuali atas kehendak, pengetahuan, dan qadha serta qadar Allah. Dan hal itu telah ditulis di lauh Mahfuzh.”10
- Beliau juga berkata: “Allah tidak memaksa seorang pun dari makhluk-Nya untuk menjadi kafir atau mukmin. Tetapi Allah menciptakan mereka menjadi orang-orang. Sementara beriman atau menjadi kafir itu adalah perbuatan hamba. Allah mengetahui orang yang kafir pada saat ia kafir. Manakala setelah itu ia beriman, Allah juga mengetahuinya dan dia akan dicintai Allah. Dan ilmu Allah tidak berubah.”11