Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha
tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang
sempurna aturan syariatnya dalam menjamin …
By Abdullah Taslim, Lc., MA. 1 February 2010
Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha
tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang
sempurna aturan syariatnya dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta
membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al
Maaidah:3).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat/anugerah Allah Ta’ala yang
terbesar bagi umat Islam, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama ini
bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain Islam, juga tidak
kepada nabi selain nabi mereka (nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada (seluruh umat) manusia dan
jin, maka tidak sesuatu yang halal kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Ta’ala), tidak ada sesuatu yang haram
kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Dan segala sesuatu yang beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada
kedustaan dan kebohongan padanya,
Allah Ta’ala berfirman,
{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan
adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam:115). Yaitu: (kalimat) yang benar
dalam semua beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.
Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini, maka (ini
berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka telah sempurna. Oleh karena
itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai
Islam itu sebagai agamamu”. Artinya: Terimalah dengan ridha agama (Islam) ini
bagi dirimu, karena inilah (satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya,
dan dengannya dia mengutus (kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an)”[1].
Sikap Seorang Mukmin terhadap Syariat Allah
Di antara ciri utama seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah
Ta’ala dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua
ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata”
(QS al-Ahzaab:36).
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً”
“Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha pada
Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“[2].
Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam yang dirasakan tidak sesuai
dengan kemauan/keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan
mengingkari atau membenci hukum Allah Ta’ala tersebut, bisa menyebabkan
pelakunya murtad/keluar dari agama Islam[3], na’uudzu billahi min dzaalik. Allah
Ta’ala berfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan
(syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka”
(QS Muhammad:9).
Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita
selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk
memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:
Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan
menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan
syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.
Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan
ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum
syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan
hawa nafsunya[4].
Salah seorang ulama salaf ada yang berkata, “Setiap Allah Ta’ala
memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua macam
godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): [1] (yaitu godaan)
untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan [2] (godaan)
untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya),
dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil
(diterapkannya kepada manusia)”[5].
Hukum Poligami dalam Islam
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh
dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[6].
Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).
Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena
perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun
berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan
menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7],
atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.
Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,
{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ
فَلْيَكْفُرْ}
“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah
ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan
melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya[8].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah poligami
dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab
rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu,
karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan
karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar)
bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9]. Karena dalam
poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki
maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan
memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga
kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi
laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada
kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan.
Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka
cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Ta’ala berfirman,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk
kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat[10].
Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata,
“…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap
adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi (dua) sampai empat (orang
wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena dia enerjik, (sehingga)
dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu
dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang layak) bagi
istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara
mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih
dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih
utama. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Orang yang terbaik di umat ini
adalah yang paling banyak istrinya[11]”…[12].
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun (hukum) asal (pernikahan)
apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati ucapan para (ulama) ahli
tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas masalah ini.
Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3) menunjukkan bahwa seorang yang
memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara
sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan menikahi dua) sampai empat
orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia
menikahi seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu a’lam”[13].
Hikmah dan Manfaat Agung Poligami
Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim,
artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah[14] yang maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki banyak
hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:
Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya
jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami
dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan
istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan
istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia
sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka
masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan
keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala
berfirman,
{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا
وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}
“Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena
pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).
Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara)
banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].
Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar
wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya
hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini
merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi
(dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri,
sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi
dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan
(biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya
rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang
sesuai dengan syariat-Nya[16].
Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami
berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu
lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh
untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah,
yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan
semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka
dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita
atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan
cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan
terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia
ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini
poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk
mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya
akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan
lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan
baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini
umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta
dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba
waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan
sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan
suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang
beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap
kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah
sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah Allah
Ta’ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].
Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil
dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama
manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu,
karena Allah Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna[18].
Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ}
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran” (QS an-Nahl:90).
Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat
sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat
tinggal dan bermalam bersama mereka[19]. Dan ini tidak berarti harus adil dalam
segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya[20], yang ini jelas di
luar kemampuan manusia[21].
Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa
nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami
firman Allah Ta’ala[22],
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang
lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).
Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah
yang mulia ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan
makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada
dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni
bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah
kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang
menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu
a’lam”[23].
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan
nisaa’ (bersikap adil di antara para istri)[24], dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan
makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari
mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam
ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara
istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam
poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan
(pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah
menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa)
pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia
tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam
hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi
berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah
penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali
bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika
menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan
intim)…[25].
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan
ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu
(menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan
ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia
bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati
mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena
itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya
Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan),
maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku
miliki”[26]. Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya):
janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan
tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya
hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[27].
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu
sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu
dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir
semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati),
keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin
Muzahim”[28].
Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada
asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib
bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami,
untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa
menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk
sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan
tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah
Ta’ala berfirman,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan
(syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka”
(QS Muhammad:9).
Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana
dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri
wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi semua
itu dengan sabar dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang
baik[30].
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan
watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas
dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela.
Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir
bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesunguhnya di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh
Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah
al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang
dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan”[31].[32]
Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena
melampaui batas) adalah:
– Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
– Godaan setan
– Hati yang berpenyakit
– Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari
istri-istrinya.
– Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.
– Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan
istrinya yang lain[33].
Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:
– Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
– Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar
dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan
yang dibolehkan dalam syariat.
– Menjauhi pergaulan yang buruk.
– Bersangka baik.
– Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).
– Selalu mengingat kematian dan hari akhirat
– Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut[34].
Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]
-
Nasehat untuk suami yang berpoligami
– Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil
dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak wajib hukumnya.
Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.
– Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk
selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan menganjurkan istri untuk
menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa mereka semua
adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan
mereka.
– Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan
tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan kasih sayang
yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan suami.
– Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain.
Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena rahasia itu akan
cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan
membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui
istri-istri yang lain.
– Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan,
kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua
akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka,
kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.
– Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri
yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak
terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.
-
2. Nasehat untuk istri pertama
– Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap
menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.
– Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh
jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut
berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.
– Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya,
baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di hadapan keluargamu atau
teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan lisanmu,
serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan
yang baik bagi para wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau
mereka yang merasa disakiti ketika suaminya berpoligami.
– Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan
ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau dengan madumu.
Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar sebelum kamu meneliti
kebenaran berita tersebut.
– Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu
kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka adalah saudara
dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya akan menimpa
pelakunya.
– Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah
biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah pertolongan dan
berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan dalam
hatimu.
-
3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi
– Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri
adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu,
insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran pahala dari Allah atas
semua itu.
– Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain
dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat,
dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk membersihkan rumah
dan merawat diri.
– Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan Allah Ta’ala dalam
hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam
syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para wanita untuk
menerima syariat poligami ini.
– Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan
anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu
kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan menjadikan suami
ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.
– Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri suami yang lain.
Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami berpoligami karena
tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk perangkap setan.
– Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang
lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah
(mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu mengalah
kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.
Penutup
Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan
dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita
semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh
Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد
لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Dzulqa’dah 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA Artikel www.muslim.or.id
-
[] Tafsir Ibnu Katsir (2/19).
-
[] HSR Muslim (no. 34).
-
[] Kitab “Fadhlu ta’addudiz zaujaat” (hal. 24).
-
[] kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).
-
[] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).
-
[] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18).
-
[] Maksudnya adil yang sesuai dengan syariat, sebagaimana yang akan kami
terangkan, insya Allah.
-
[] Lihat keterangan imam Ibnu Jarir dalam tafsir beliau (4/238).
-
[] Sebagaimana yang diterangkan dalam bebrapa hadits yang shahih,
diantaranya HR at-Tirmidzi (3/435) dan Ibnu Majah (1/628), dishahihkan oleh
at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
-
[] Dinukil dalam majalah “al-Balaagh” (edisi no. 1028, tgl 1 Rajab 1410
H/28 Januari 1990 M).
-
[] Atsar yang shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 4787).
-
[] Liqaa-il baabil maftuuh (12/83).
-
[] Fataawal mar’atil muslimah (2/690).
-
[] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini
bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 131).
-
[] Lihak keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari”
(9/143).
-
[] Majmuu’ul fataawa syaikh al-‘Utsaimiin (4/12 – kitabuz zawaaj).
-
[] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal.
31-32).
-
[] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan”
(hal. 447).
-
[] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 69).
-
[] Sebagaimana persangkaan keliru orang-orang yang tidak memahami
pengertian adil yang sebenarnya.
-
[] Sebagaimana penjelasan para ulama yang akan kami nukil setelah ini,
insya Allah.
-
[] Bahkan kesalahpahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang
beranggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami
tidak mungkin bisa bersikap adil !!? Kita berlindung kepada Allah dari
penyimpangan dalam memahami agama-Nya.
-
[] Kitab “al-Umm” (5/158).
-
[] Dalam kitab “shahihul Bukhari” (5/1999).
-
[] Kitab “Fathul Baari” (9/313).
-
[] Hadits ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2134), at-Tirmidzi (no. 1140), an-Nasa’i (no. 3943) dan Ibnu Majah (no. 1971),
dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i dan syaikh al-Albani
dalam “Irwa-ul ghalil” (7/82).
-
[] Kitab “Tafsiirul Qurthubi” (5/387).
-
[] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/747).
-
[] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal.
136).
-
[] Ibid.
-
[] HR an-Nasa’i (no. 2558) dan Ibnu Hibban (no. 295), dinyatakan hasan oleh
Syaikh al-Albani.
-
[] Kitab “Fathul Baari” (9/326).
-
[] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal.
140).
-
[] Ibid (hal. 141).
-
[] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal.
143-145).
Sumber
Artikel : muslim.or.id
MUSLIMAH,Wanita