Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Anak Yatim
Written By Rachmat.M.Flimban on 22 Juli 2017 | 7/22/2017 11:09:00 PM
Dilarang Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Yatim!
By Ammi Nur Baits - Jun 22, 2017
Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Anak Yatim
Bolehkah menyerahkan zakat ke panti asuhan anak yatim?
Biasanya utk biaya operasional panti..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri untuk membersihkan orang yang yang puasa dari dosa tindakan sia-sia dan omong jorok dan sebagai makanan bagi orang miskin ….” (HR. Abu Daud 1609, Ibn Majah 1827; dihasankan al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.
Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2/7)
Allah telah menjelaskan siapa saja yang berhak zakat dalam firman-Nya,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak yatim sebagai salah satu penerima zakat. Artinya semata status yatim, bukan termasuk kriteria yang menyebabkan seseorang berhak menerima zakat.
Sebelumnya kita perlu tahu, siapakah anak yatim itu?
Dalam ensiklopedi Fiqh dinyatakan definisi anak yatim,
الْيَتِيمَ بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ”
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadis: “Tidak ada status yatim setelah baligh.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 45/254)
Berdasarkan pengertian di atas, ada dua kemungkinan anak yatim
Pertama, anak yatim yang kaya. Misalnya, dia memiliki banyak warisan dari orang tuanya. Anak yatim semacam ini, tidak berhak mendapat zakat.
Kemungkinan kedua, dia anak tidak mampu. Anak yatim yang miskin. Sehingga dia berhak menerima zakat. Bukan karena statusnya yatim, tapi karena dia orang miskin.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim berhak menerima zakat?
Jawaban beliau,
الأيتام الفقراء من أهل الزكاة فإذا دفعت الزكاة إلى أوليائهم فهي مجزئة إذا كانوا مأمونين عليها
Anak yatim yang miskin, berhak menerima zakat. Jika anda menyerahkan zakat anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah… (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/346).
Beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim,
ولكن هنا تنبيه : وهو أن بعض الناس يظن أن اليتيم له حق من الزكاة على كل حال ، وليس كذلك فإن اليتيم ليس من جهات استحقاق أخذ الزكاة ، ولا حق لليتيم في الزكاة إلا أن يكون من أصناف الزكاة الثمانية. أما مجرد أنه يتيم فقد يكون غنيًّا لا يحتاج إلى زكاة
”Ada satu catatan penting, sebagian orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah juga disebutkan,
لا يجوز صرف الزكاة إلى اليتيم إلا إذا كان من الأصناف الثمانية الذين يجوز صرف الزكاة إليهم، وهم المذكورون في قول الله تعالى – التوبة: 60 – ، ولأن اليتيم قد يكون غنيا بإرث أو هبة ونحو ذلك
Tidak boleh memberikan zakat kepada anak yatim. Kecuali jika dia termasuk salah satu dari 8 golongan yang boleh menerima zakat, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah di surat Taubah: 60. Karena anak yatim terkadang kaya dari warisan, hibah, atau yang lainnya. (Fatwa Syabakah islamiyah, no. 59155).
Karena itu, zakat tidak bisa secara penuh diserahkan ke panti asuhan anak yatim, tanpa disertai keterangan bahwa itu khusus bagi yang miskin. Kecuali jika seisi panti itu semuanya anak yatim yang miskin.
Catatan:
Anak yatim yang kaya berhak menerima santunan dari selain zakat. Seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan baku yang khusus, tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk diantaranya adalah aturan penerima zakat.
Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia orang mampu.
Allahu a’lam
Dinukil dari Sumber Artikel; Konsultasisyariah.com
YANG BOLEH TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN
Written By Rachmat.M.Flimban on 10 Juni 2017 | 6/10/2017 04:32:00 AM
YANG BOLEH TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN
At Tauhid edisi V/33
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Golongan manusia di bulan Ramadhan dapat dibagi menjadi tiga golongan: [1] Golongan yang boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa, [2] Golongan yang wajib tidak berpuasa, dan [3] Golongan yang wajib berpuasa.
GOLONGAN YANG BOLEH BERPUASA DAN BOLEH TIDAK BERPUASA
Pertama: Orang sakit
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.
Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum.
Nanti ketika sembuh, dia mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Kedua: Orang yang bersafar
Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115).
Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan.
Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan,
“Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114).
Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho bagi mereka. Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
Cara menunaikan fidyah
Adapun ukuran fidyah adalah setengah sho’ kurma, gandum atau beras sebagaimana yang biasa dimakan oleh keluarganya (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ no. 2772, 2503, 2689). Sedangkan ukuran satu sho’ adalah sekitar 2,5 atau 3 kg. Jika kita ambil satu sho’ adalah 3 kg (untuk kehati-hatian) berarti ukuran fidyah adalah sekitar 1,5 kg. Cara menunaikannya adalah:
Pertama, memberi makanan pokok tadi kepada orang miskin. Misalnya memiliki utang puasa selama 7 hari. Maka caranya adalah tujuh orang miskin masing-masing diberi 1,5 kg beras.
Kedua, membuat suatu hidangan makanan seukuran fidyah yang menjadi tanggungannya. Setelah itu orang-orang miskin diundang dan diberi makan hingga kenyang. Misalnya memiliki 10 hari utang puasa. Maka caranya adalah sepuluh orang miskin diundang dan diberi makanan hingga kenyang. Bahkan lebih bagus lagi jika ditambahkan daging, dll. (Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majelis Syahri Ramadhan dan beberapa fatwa beliau)
Keempat: Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Namun apakah mereka memiliki kewajiban qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam.
GOLONGAN YANG WAJIB TIDAK BERPUASA
Pertama, Wanita yang Mengalami Haidh dan Nifas
Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak sah untuk berpuasa dan mereka haram untuk puasa. Dan setelah kembali suci, dia wajib mengqodho puasanya. Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ketika haidh, wanita itu tidak shalat dan juga tidak puasa. Inilah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 1951). ‘Aisyah mengatakan, “Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.” (HR. Muslim no. 335)
Bagaimanakah Puasa untuk Wanita Istihadhoh (Darahnya bukan darah haidh dan nifas, namun darah yang tidak normal)? Wanita istihadhoh tetap memiliki kewajiban berpuasa, begitu pula shalat berdasarkan kesepakatan para ulama.
Kedua, Orang yang khawatir jika berpuasa dirinya akan mati. Orang seperti ini wajib tidak puasa.
GOLONGAN YANG WAJIB BERPUASA
Yaitu setiap muslim, baligh, berakal, sehat (tidak sakit), bermukim (bukan musafir), wanita yang suci dari haidh dan nifas.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima.
[Sumber Rujukan: Shahih Fiqih Sunnah, Al Mughni, dll. Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]
https://buletin.muslim.or.id/fiqih/yang-boleh-tidak-berpuasa-di-bulan-ramadhan
Apakah dikenakan zakat pada orang yang penghasilannya tidak menentu?
Apakah dikenakan zakat pada orang yang penghasilannya tidak menentu?
About Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Pertanyaan:
Bagaimana zakat bagi orang yang penghasilan per bulannya tidak menentu? (Putri dari Bintaro, 0897 9005 ***)
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa zakat adalah suatu kewajiban, bagian dari rukun Islam. Pengeluarannya tentu dengan aturan karena perkara wajib seperti ini mesti diatur sehingga tidak merugikan umat. Maka ada syarat yang mesti dipenuhi dalam penunaikan ibadah yang wajib ini. Jika syarat dipenuhi berarti ada zakat. Jika tidak terpenuhi berarti tidak dikeluarkan zakat.
Juga perlu dipahami bahwa zakat itu tidak melihat dari penghasilannya menentu atau tak menentu. Namun kalau kaitannya dengan harta simpanan kita, dilihat apakah sudah memenuhi dua syarat utama yaitu:
- Harta itu sudah mencapai nishab (kadar minimal suatu harta terkena zakat).
- Harta yang sudah mencapai nishab telah bertahan selama haul (setahun hijriyah).
Ini dua syarat penting yang harus dipenuhi barulah seseorang dikenaik kewajiban zakat.
Kita coba lihat syarat pertama mengenai nishab.
Nishab adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ #1584;َوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat bagi perak di bawah 5 uqiyah , tidak ada zakat bagi unta di bawah 5 ekor dan tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.“ (HR. Bukhari, no. 1405; Muslim, no. 979)
Keterangan:
- Satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Jadi nishab perak adalah 5 uqiyah x 40 dirham/uqiyah = 200 dirham (Lihat Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376).
- Satu wasaq sama dengan 60 sho’. Jadi nishab zakat tanaman adalah 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ (Lihat Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376).
Lihatlah aturan untuk perak, mencapai 5 uqiyah dahulu baru dikenakan wajib zakat. Sedangkan perak di bawah itu, tidak dikenakan zakat. Begitu pula untuk unta, telah mencapai 5 ekor dahulu baru dikenakan zakat. Kalau di bawah 5 ekor, belum dikenakan zakat.
Adapun penghasilan yang tidak menentu, maka tetap dilihat apakah dari simpanan atau tabungan kita ada yang telah bertahan di atas nishab? Karena ada yang punya penghasilan tidak menentu, namun simpanan tabungannya banyak sekali.
Nishab untuk harta simpanan atau tabungan, termasuk dalam hal ini penghasilan dengan menggunakan nishab antara emas dan perak. Yang lebih rendah adalah nishab perak yaitu 595 gram, yang diperkirakan sekitar 5 juta rupiah.
Berarti simpanan mata uang yang sudah mencapai 5 juta rupiah atau lebih dari itu dan bertahan selama haul (setahun hijriyah), dikenai zakat 2,5%.
Kenapa sampai nishab dijadikan syarat dalam menunaikan zakat?
Kata para ulama sebagaimana disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (dalam bahasan nishab zakat), alasannya jelas sekali. Karena sifat zakat adalah menolong atau membantu. Kalau seseorang itu miskin, tentu tidak ada kewajiban untuk membantu. Bahkan orang yang mampu yang seharusnya membantu orang miskin tersebut.
Karena zakat itu diambil dari orang yang mampu dan diserahkan pada orang miskin. Syari’at menjadikan nishab sebagai batasan seseorang disebut mampu. Karena umumnya orang yang memiliki harta di atas nishab dan harta itu sudah bertahan sempurna selama setahun, maka orangnya disebut mampu (ghani).
Mengenai syarat kedua, yaitu mencapai haul telah disebutkan dalam hadits,
وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud, no. 1573; Tirmidzi, no. 631; Ibnu Majah, no. 1792. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Berarti, jika belum memenuhi haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Yang dimaksud haul adalah masa satu tahun hijriyah.
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan,
اتّفق الفقهاء على أنّ الحول شرط لوجوب الزّكاة في نصاب السّائمة من بهيمة الأنعام ، وفي الأثمان ، وهي الذّهب ، والفضّة
“Para ulama sepakat bahwa haul merupakan syarat wajibnya zakat ketika harta telah mencapai nishab, yaitu pada zakat hewan ternak, zakat mata uang, zakat emas dan perak.”
Kenapa sampai harus menunggu haul?
Karena harta-harta tadi masih mengalami pertumbuhan, seperti pada hewan ternak masih akan punya keturunan dan barang dagangan masih akan berkembang keuntungannya. Dan berkembangnya harta di sini diambil standar haul atau satu tahun. Adapun zakat tanaman ditarik tanpa memperhatikan haul tetapi setiap kali panen. Karena dalam ayat disebutkan,
وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin).” (QS. Al-An’am: 141). Lihat penjelasan di Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah dalam index kata ‘haul’.
Kesimpulannya, kalau memiliki penghasilan tidak menentu, maka dilihat apakah memang ada simpanan yang dimiliki yang berada di atas nishab (5 juta rupiah) dan bertahan setahun. Jika memenuhi, maka silakan mengeluarkan zakatnya.
Semoga mendapatkan pencerahan dan menjadi ilmu yang bermanfaat.
Jika ingin buku Panduan Zakat karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, silakan hubungi Toko Online Ruwaifi.Com di kontak WA/ SMS: 085200171222
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 22 Ramadhan 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah
Written By Rachmat.M.Flimban on 08 Juni 2017 | 6/08/2017 05:21:00 AM
Ajakan Indah untuk Menyatukan Langkah dalam Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah
Ajakan Indah untuk Menyatukan Langkah dalam Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah
oleh : Ust. Abdul Qodir Abu Fa'izah, Lc. -hafizhahullah-
* Kaum Muslimin Ummat Terbaik
Ummat Islam adalah ummat yang memiliki banyak kebaikan. Mereka adalah ummat pilihan di antara ummat-ummat lain.
Tak heran jika Allah Ta'ala- berfirman memuji mereka dan menyatakannya sebagai ummat terbaik,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ [آل عمران : 110]
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". (QS. Ali Imran: 110).
Ragam kebaikan yang terdapat pada ummat Islam amatlah banyak, jika kita mau menghitungnya.
Diantara bentuk kebaikan yang ada padanya, adanya perhatian mereka terhadap agama mereka, seperti perhatian mereka terhadap masalah hilal (awal) Romadhon.
Allah menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda masuknya bulan Romadhon, dan wajibnya berpuasa di bulan itu.
Allah -Ta'ala- berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ [البقرة : 185]
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". (QS. Al-Baqoroh: 185).
Mungkin ada diantara kita yang bertanya saat membaca ayat ini, "Bagaimanakah kita mengetahui masuknya Romadhon?"
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda dalam menjawab pertanyaan seperti ini,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ
"Jika kalian melihatnya (yakni hilal, pent.), maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya, maka berbukalah. Jika mendung menutupi kalian, maka tetapkanlah baginya (tiga puluh hari)". [HR. Al-Bukhoriy (1900), dan Muslim (1080)]
Jadi, kaum muslimin berpuasa ketika melihat hilal Romadhon, dan berbuka (berhari raya) saat melihat hilal Syawwal dengan mata telanjang, tanpa harus menggunakan hisab, dan alat-alat teropong atau lainnya sebagaimana yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-.
Para sahabat hanya menggunakan mata kepalanya dalam menunggu munculnya hilal.
Diantara karunia Allah atas hamba-hamba-Nya, dan kompensasi-Nya, Allah menjadikan ibadah-ibadah yang berdasarkan waktu terkait dengan dengan tanda-tanda yang tampak bagi mata, sehingga memungkinkan bagi setiap muslim yang jahil atau alim dari kalangan orang-orang pedalaman, maupun orang-orang kota untuk bisa melihatnya, dan mengetahuinya.
Karena inilah, Allah jadikan ru'yah hilal (melihat hilal) sebagai tanda masuknya bulan Romadhon, dan berakhirnya.
Jadi, Allah mudahkan -bagi setiap orang yang mau mengenalnya- untuk bisa melihatnya dengan mata telanjang.
Oleh karena itu, kaum muslimin -di berbagai tempat, dan negeri- sejak diutusnya Nabi kita -Shollallahu 'alaihi wasallam-; mereka masing-masing berusaha memperhatikan dan munculnya hilal Romadhon.
Dalam hal itu, mereka dikumpulkan oleh kesamaan agama, dan aqidah, serta perealisasian perintah Allah, dan Rasul-Nya -Shollallahu 'alaihi wasallam- .
* Sebab Terjadinya Khilaf dalam Menentukan Hilal
Namun masalah melihat hilal ini, kaum muslimin berselisih di dalamnya; antara yang menetapkan munculnya hilal, dan antara yang meniadakannya.
Perselisihan mereka dalam masalah penetapan awal puasa, dan berhari raya adalah perkara yang berkisar diantara mereka.
Diantara sebab perselisihan itu, di zaman dahulu dalam masalah penetapan hilal adalah jauhnya tempat, dan susahnya menyampaikan berita.
Sebab terkadang hilal itu bisa terlihat di suatu negeri diantara negeri-negeri kaum muslimin, sedang yang lainnya tidak melihatnya, karena jauhnya mereka, dan tidak sampainya berita kepada mereka dari orang yang telah melihatnya di negeri lain.
Mereka yang melihatnya pun mulai berpuasa, sedang yang lainnya masih tetap belum berpuasa. Namun mereka semuanya masih bersatu dan bersaudara, sebab perbedaan mereka tidak muncul karena kesengajaan, atau sebab kebencian, dan perselisihan pendapat atau politik.
Tapi muncul karena masalah hilal telah tampak terlihat atau belum?!
Di era-era belakangan ini, Allah menganugerahkan bagi ummat Islam berbagai macam nikmat yang tak bisa dihitung, kecuali oleh Allah berupa sarana-sarana telekomunikasi; mulai dari radio, televisi, sampai kepada alat-alat, dan teknologi canggih.
Sarana dan alat-alat ini hampir-hampir bisa menjadikan bumi dalam suatu lingkup yang luas, dan lebarnya tidak melebihi satu meter persegi.
Oleh karena itu, selayaknya seluruh negara-negara Islam menyatukan langkah dalam beribadah dengan adanya fasilitas dan alat teknologi yang canggih, bukan malah setiap negara merasa diri berhak menentukan ibadah puasa dan hari rayanya dan bukan pula gengsi mengikuti negara lain yang telah melihat hilal (bulan sabit)!
Jika bersatu dalam urusan dunia (seperti, politik, perdagangan, pendidikan, dan lainnya) adalah perkara yang mungkin dan amat diusahakan, lalu kenapa dalam urusan penentuan awal puasa dan hari raya tidak bisa?!
Setiap negara Islam harus menyadari bahwa menyatukan langkah dalam penentuan awal puasa Romadhon dan hari raya adalah sebuah keharusan.
Alangkah indahnya jika mereka sejalan dan seragam dalam memulai ibadah, sehingga syiar Islam tampak semarak di seluruh belahan bumi!
* Sikap Rakyat Menghadapi Khilaf
Dalam konteks cakupan masyarakat dalam sebuah negara, terkadang kita menemui adanya sebagian pemerintah yang bersikeras dalam menentukan awal Romadhon dan hari raya, tanpa mau menoleh kepada negara Islam lainnya yang telah melihat hilal (bulan sabit) sebagai tanda masuknya Romadhon dan berakhirnya.
Seiiring dengan hal itu, muncul sebuah pertanyaan : "Apa kewajiban dan sikap kita dalam hal ini? Apakah mengikuti negara kita ataukah mengikuti negara lain yang telah melihat hilal?"
Jawabannya,
Walaupun kaum muslimin telah berusaha mengawasi, dan melihat hilal dengan berbagai macam sarana, tapi masih tetap saja kita akan melihat adanya keanehan berupa perselisihan pendapat diantara kaum muslimin antara satu negara dengan negara lainnya, bahkan di negeri yang sama; si fulan berpuasa, dan si fulan lainnya masih tetap belum berpuasa.
Padahal di dalam Islam, Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk bersatu dalam beribadah, termasuk diantaranya berpuasa dan berhari raya.
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
"(Waktu)Puasa pada hari kalian berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada hari kalian berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari kalian berkurban".[HR. At-Tirmidziy (697). Lihat Ash-Shohihah (224)]
Jadi, kewajiban kaum muslimin, dan pemerintahnya adalah memperhatikan, dan mengawasi dengan sungguh-sungguh hilal Romadhon demi menyatukan langkah ibadah, dan menyebarkan berita puasa, dan waktu hari raya melalui berbagai sarana ke tempat-tempat yang dekat, maupun yang jauh.
Namun seyogyanya kaum muslimin tidak menyelisihi penguasa, dan pemerintahnya dalam masalah penetapan puasa dan hari raya, sehingga tidak menjadi sebab terciptanya kebencian antara rakyat dengan pemerintahnya. [Lihat Majalah Al-Ishlah (edisi IV/hal.38), Rajab, 1428 H][1]
Al-Imam Abu Isa At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata usai membawakan hadits di atas,
"وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ ، فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ." اهـ من سنن الترمذي - (3 / 80)
"Sebagian ahlul ilmi (ulama') menafsirkan hadits ini seraya berkata,"Puasa dan berbuka ini maknanya bersama jama'ah, dan kebanyakan orang". [Lihat Sunan At-Tirmidziy (3/80)]
Maka seorang harus berpuasa bersama jama'ah, dan orang banyak yang berada dalam pengaturan dan pimpinan seorang penguasa. Bukan berpuasa sendiri-sendiri atau bersama kelompok dan organisasinya. Tapi berpuasa bersama penguasa dan orang banyak.
Al-Imam Ash-Shon'aniy -rahimahullah- berkata,
"فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ، وَيَلْزَمُهُ حُكْمُهُمْ فِي الصَّلَاةِ، وَالْإِفْطَارِ، وَالْأُضْحِيَّةِ." اهـ من سبل السلام - (1 / 425)
"Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa yang dijadikan standar dalam hal penetapan hari raya adalah kecocokan dengan manusia (orang banyak), dan bahwa seorang yang bersendirian dalam mengetahui hari ied melalui hasil ru'yah adalah wajib baginya mencocoki orang lain (masyarakat banyak), dan keputusan orang banyak akan mengharuskan orang yang bersendirian (mengikuti orang banyak) dalam hal sholat, berbuka (baca: berhari raya), dan berkurban". [Lihat Subulus Salam (1/425)]
Abul Hasan As-Sindiy berkata dalam Hasyiyah Sunan Ibn Majah,
"وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ." اهـ من حاشية السندي على ابن ماجه - (3 / 431) حسب نسخة الشاملة
"Lahiriahnya hadits ini, bahwa maknanya: sesungguhnya perkara-perkara ini (yakni, puasa, dan hari raya) tak ada campur tangan di dalamnya bagi orang perorangan; tak boleh sendiri-sendiri di dalamnya. Bahkan urusannya kembali kepada penguasa, dan jama'ah (masyarakat banyak). Wajib bagi orang perorangan mengikuti penguasa, dan jama'ah. Berdasarkan hal ini, jika seorang ada yang melihat hilal, sedang penguasa menolak persaksiannya, maka seyogyanya tidak menetapkan perkara seperti ini sedikitpun bagi dirinya. Wajib baginya mengikuti jama'ah dalam hal itu". [Lihat Al-Hasyiyah ala Sunan Ibni Majah (3/431)]
* Menyamakan langkah dengan Menyatukan Mathla'
Memang para ulama ahli fikih berbeda pendapat: jika hilal terlihat pada suatu negeri, maka apakah hal itu mengharuskan negeri lain untuk mengikuti hasil ru'yah (penglihatan) negeri itu? Ataukah negeri lain memiliki ru'yah sendiri.
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat dengan perselisihan yang kuat; masing-masing pendapat memiliki hujjah, dan kemungkinan untuk benar, karena tak adanya nash khusus yang menetapkan salah satunya.
Namun pendapat yang terkuat adalah wihdatul matholi' (kesatuan hilal). Maksudnya, jika suatu negeri telah melihat hilal, maka yang lainnya harus ikut kepadanya. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh qowa'id syar'iyyah (kaedah-kaedah syari'at).
[Lihat Nailul Author: Kitab Ash-Shiyam, bab: Al-Hilal Idza Ro'aahu Ahlu Baldah, hal Yalzamu Baqiyyah Al-Bilad Ash-Shoum (4/267)]
Namun apabila suatu negeri, penguasanya menetapkan pendapat lain yang menyatakan bahwa setiap negeri memiliki mathla' (waktu) terbitnya hilal, sehingga negerinya tak mesti mengikuti negeri lain yang telah melihat hilal, maka rakyat dalam hal ini harus mengikuti keputusan pemerintahnya masing-masing.
Karena, keputusan pemerintah adalah ijtihad yang menghilangkan dan menghapus khilaf dan perselisihan antara penduduk satu negeri.
Rakyat dalam hal itu tak boleh menyelisihinya demi mentaati Allah, Rasul-Nya, dan penguasa muslim; demi menyatukan langkah. [Lihat Majallah Al-Ishlah (edisi IV/hal.39)]
Jadi, seseorang tak boleh menyelisihi pemerintahnya dalam masalah-masalah umum yang memiliki kemaslahatan yang kembali kepada jama'ah (masyarakat).
Itulah rahasia dan hikmahnya Allah mensyari'atkan adanya pengangkatan pemimpin (pemerintah) agar mereka mengurus, mengatur, dan menetapkan kemaslahatan masyarakat banyak sesuai tuntunan Allah.
Diantara perkara-perkara yang mengandung kemaslahatan orang banyak, dan pemerintahlah yang harus menanganinya: mu'amalah (semisal, niaga), pernikahan, jihad, hukum hadd, qishoh, penampakan syi'ar Islam di hari raya, sholat Jum'at, berpuasa, dan lainnya.
Seorang ulama Syafi'iyyah yang bernama Adhuddin Abdur Rahman bin Ahmad Al-Ijiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan hikmah pengangkatan seorang pemimpin (pemerintah),
"مقصود الشارع فيما شرع من المعاملات والمناكحات والجهاد والحدود والمقاصات وإظهار شعار الشرع في الأعياد والجمعات إنما هو مصالح عائدة إلى الخلق معاشا ومعادا، وذلك لا يتم إلا بإمام يكون من قبل الشارع يرجعون إليه فيما يعن لهم، فإنهم مع اختلاف الأهواء وتشتت الآراء وما بينهم من الشحناء، قلما ينقاد بعضهم لبعض فيفضي ذلك إلى التنازع والتواثب، وربما أدى إلى هلاكهم ___جميعا، ويشهد له التجربة." اهـ من المواقف - (3 / 575)
"Maksud Penetap Syari'at (Allah) dalam perkara-perkara yang ia syari'atkan berupa mu'amalah, pernikahan, jihad, hukum hadd, qishoh, penampakan syi'ar Islam di hari raya, sholat Jum'at; maksud tersebut hanyalah merupakan kemaslahatan yang kembali kepada makhluk di dunia, dan akhirat. Sedang maksud tersebut tak akan sempurna, kecuali dengan adanya pemimpin (pemerintah) dari arah Penetap syari'at.
Mereka (rakyat) kembali kepada pemimpin itu dalam hal-hal yang terjadi pada mereka. Karena –disamping adanya perselisihan hawa nafsu, dan perbedaan pemikiran, serta hal-hal yang terdapat diantara mereka berupa permusuhan dan cekcok-, maka jarang sekali ada sebagian orang mau patuh kepada yang lainnya.
Hal seperti itu bisa mengantarkan kepada pertengkaran, dan perkelahian. Terkadang juga menyebabkan kehancuran bagi mereka semuanya". [Lihat Kitab Al-Mawaqif (3/575-576)]
Perselisihan kaum muslimin dalam menetapkan puasa, dan hari raya, tak seyogyanya muncul karena perbedaan dan perselisihan politik, atau pemikiran-pemikiran batil.
Sebab masalah seperti ini adalah agama, dan ketaatan kepada Allah Robbul almain; tak ada campur tangan politik dan pemikiran di dalamnya.
Tapi masalah seperti ini berkaitan dengan masalah melihat hilal yang Allah jadikan sebagai tanda wajibnya berpuasa dan berhari raya. Jika terlihat, maka wajib berpuasa, karena taat kepada Allah Robb alam semesta, dan mengamalkan perintah-Nya.
Maka hendaknya setiap muslim, baik penguasa maupun rakyat, semuanya berusaha menyatukan kata dan langkah dalam beribadah. Sebab perselisihan dalam beragama adalah tercela.
* Persatuan adalah Rahmat & Perselisihan adalah Adzab
Allah -Ta'ala- mengutus Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- sebagai rasul pembawa agama sempurna yang memiliki tujuan-tujuan mulia (maqoshidusy syari'ah).
Diantara tujuan-tujuan mulia itu, Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Kitab dan As-Sunnah memerintahkan agar senantiasa berjama'ah, dan bersatu. Sebaliknya, Allah -Ta'ala- dan Rasul-Nya melarang tafarruq (perpecahan), dan ikhtilaf (berselisih).
Allah -Ta'ala- berfirman dalam memerintahkan kita bersatu di atas agama-Nya,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [آل عمران : 103]
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk". (QS. Ali Imran: 103).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata saat menafsiri ayat ini,
"أمَرَهُم بالجماعة ونهاهم عن التفرقة وقد وردت الأحاديثُ المتعددة بالنهي عن التفرق والأمر بالاجتماع والائتلاف." اهـ من تفسير ابن كثير / دار طيبة - (2 / 89)
"Allah -Ta'ala- memerintahkan mereka berjama'ah (bersatu), dan melarang mereka dari perpecahan. Berbagai macam hadits telah datang membawa larangan berpecah (bercerai-berai), dan perintah berkumpul, dan bersatu". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/514)]
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ [آل عمران : 105]
"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat". (QS. Ali Imran: 105).
Al-Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata memaknai ayat ini,
"يقول جل ثناؤه: فلا تتفرقوا، يا معشر المؤمنين، في دينكم تفرُّق هؤلاء في دينهم، ولا تفعلوا فعلهم، وتستنوا في دينكم بسنتهم، فيكون لكم من عذاب الله العظيم مثل الذي لهم." اهـ من جامع البيان - (7 / 92)
"Allah –Jalla Tsana'uh- berfirman, "Janganlah kalian berpecah-belah –wahai orang-orang beriman- dalam hal agama kalian, seperti berpecahnya mereka itu dalam agamanya; janganlah kalian melakukan perbuatan mereka, dan (jangan pula) mencontoh jalan hidup mereka dalam agama kalian. Lantaran itu kalian mendapatkan adzab Allah yang besar, seperti yang mereka dapatkan". [Lihat Jami' Al-Bayan (3/385)]
Berangkat dari ayat semisal ini, Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- dalam segala kesempatan dan waktunya berusaha memerintahkan agar menjaga jama'ah, dan persatuan, serta melarang perpecahan, dan segala wasilah dan sebab yang mengantarkan kepada perpecahan.
Ambil saja sebagai contoh, kisah yang dituturkan oleh Sahabat Wahsyi bin Harb -radhiyallahu 'anhu-,
أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّنَا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ: فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُوْنَ ؟ قَالُوْا: نَعَمْ. قَالَ: فَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَامِكُمْ, وَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ, يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ
"Para sahabat Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa makan, tapi tidak kenyang!? Beliau bersabda, "Barangkali kalian bercerai-berai? Mereka bilang, "Ya". Beliau bersabda, "Berkumpullah (berjama'ahlah) kalian pada makananmu, sebutlah nama Allah (baca bismillah, pent.) padanya, niscaya kalian akan diberi berkah padanya". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3764), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3286)]
Demikian pula, Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- mensyari'atkan bagi ummatnya –khususnya pria- untuk menghadiri sholat lima waktu secara berjama'ah (bersama dan berkumpul).
Hikmahnya, untuk menghilangkan sebab-sebab perselisihan, dan mempererat tali persatuan diantara kaum muslimin.
Inilah sebabnya Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- pernah bersabda,
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِيْ قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيْهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ , فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ, قَالَ زَائِدَةُ : قَالَ السَّائِبُ يَعْنِيْ بِالْجَمَاعَةِ الصلاةُ فِي الْجَمَاعَةِ
"Tak ada tiga orang di suatu kampung, maupun pedalaman; tidak ditegakkan diantara mereka sholat, kecuali setan sungguh akan menguasai mereka. Lazimilah jama'ah, karena serigala hanyalah memangsa kambing yang jauh (dari kelompoknya, -pent.)".
Za'idah berkata, "As-Sa'ib berkata,"Beliau memaksudkan dengan jama'ah adalah sholat bersama jama'ah". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (547), dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (847)]
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- pernah melihat para sahabat berpencar ketika singgah, dan tidur.
Ketika berpencar dan bercerai-berai dalam kondisi seperti itu adalah salah satu sebab setan akan melahirkan perpecahan, dan perselisihan diantara mereka, maka Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- melarang mereka berpencar saat tidur.
Abu Tsa'labah Al-Khusyaniy -radhiyallahu 'anhu- berkata,
كَانَ النَّاسُ إِذَا نَزَلُوْا مَنْزِلاً تَفَرَّقُوْا فِي الشِّعَابِ وَاْلأَوْدِيَةِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِيْ هَذِهِ الشِّعَابِ وَاْلأَوْدِيَةِ إِنَّمَا ذَلِكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ. فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَ ذَلِكَ مَنْزِلاً إِلاَّ انْضَمَّ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ حَتَّى يُقَالَ لَوْ بُسِطَ عَلَيْهِمْ ثَوْبٌ لَعَمَّهُمْ
"Dahulu manusia (para sahabat) jika singgah pada suatu tempat, maka mereka berpencar di jalan-jalan setapak, dan lembah-lembah. Maka Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya berpencarnya kalian di jalan-jalan setapak, dan lembah-lembah ini, itu hanyalah dari setan. Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- tak pernah singgah setelah itu, kecuali, sebagian mereka bergabung dengan yang lainnya sampai dikatakan,"Andaikan dihamparkan pada mereka suatu pakaian, niscaya pakaian itu akan meliputi mereka". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (2628)]
Di dalam hadits-hadits ini, Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- memerintahkan kita bersatu, dan berjama'ah; jangan bercerai-berai, walaupun dalam perkara makan, tidur, sholat lima waktu, dan lainnya.
Karena hal-hal remeh seperti ini akan melahirkan perpecahan, dan perselisihan, bahkan kebencian jika dilalaikan.
Jadi, bersatu, dan berjama'ah adalah perkara yang amat signifikan dan urgen.
Tanpa jama'ah, dan persatuan, maka kehidupan akan terasa susah, dan sempit.
Persatuan dan jama'ah adalah rahmat yang akan mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat. Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
"Berjama'ah adalah rahmat, dan berpecah adalah adzab". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/102/no. 4419)]
Perpecahan, dan perselisihan akan menimbulkan kebencian, permusuhan, putusnya hubungan baik, kecurigaan, sikap acuh tak acuh, kurangnya kekompakan diantara kaum muslimin, sehingga tidur tak jadi enak; makan pun tak sedap; aktifitas tak konsen, tapi disibukkan oleh berbagai macam pikiran.
Abdullah bin Abbas -radhiyallahu 'anhu- berkata,
قَضْمُ الْمِلْحِ فِي الْجَمَاعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَكْلِ الْفَالُوْذَجِ فِي الْفُرْقَةِ
"Mengisap garam dalam kondisi berjama'ah (bersatu) lebih aku cintai dibandingkan makan kue Faludzaj (kue paling enak, pent.) dalam kondisi berpecah". [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (7521), dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (10/305)]
Jadi, perselisihan, dan perpecahan dalam beragama adalah perkara yang tercela, termasuk di dalamnya berselisih dalam menetapkan awal Romadhon, dan hari raya sehingga lahir jurang, dan pemisah antara rakyat dan penguasanya.
Jika seorang dicela karena bercerai-berai ketika makan, dan tidur, maka tentunya lebih layak ia tercela jika bercerai berai ketika berpuasa, dan berhari raya.
* Fatwa Ahlul Ilmi tentang Penetapan Awal Romadhon
Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon.
Karenanya, kita akan menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak-kotak, dan terpecah dalam urusan ibadah mereka.
Ada yang berpuasa –misalnya- tanggal 2 September karena mengikuti negeri lain
Ada yang puasa tanggal 1 karena mengikuti pemerintah. Ada lagi yang berpuasa tanggal 3, karena mengikuti negeri yang lain lagi, sehingga terkadang muncul beberapa versi.
Semua ini timbul karena jahilnya kaum muslimin tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada ahli ilmu.
Jika memang terjadi khilaf dan perbedaan antara rakyat dan pemerintahnya dalam menetapkan awal Romadhon, dan hari raya, nah manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim dalam menghadapi khilaf seperti ini?
Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama' kita, karena merekalah yang lebih paham agama.
Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama' Islam yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta', yang beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani' (Staf), dan Abdullah bin Qu'ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul "Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah", (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.
ý Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah (no. 10973)
Soal, "Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari setelah (masuknya) hari raya…"
Al-Lajnah Ad-Da'imah menjawab, "Wajib mereka berpuasa bersama manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-,
صُوْمُوْا لِِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya'ban 30 hari, pen)".Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)]
Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata adanya ru'yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan alat yang membantu ru'yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
"(Waktu)Puasa pada hari kalian berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada hari kalian berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari kalian berkurban".[HR. At-Tirmidziy (697). Lihat Ash-Shohihah (224)]
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu 'alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya". E
ý Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah (no. 313)
Soal, "Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat hilal. Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami ada yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran radio, namun jumlah mereka sedikit.diantara kami; Ada yang menunggu sampai la melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah-Subhanahu wa Ta'la-,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"; sabda Nabi--Shollallahu 'alaihi wasallam-
صُوْمُوْا لِِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya";
sabda Nabi--Shollallahu 'alaihi wasallam-,
"Bagi setiap daerah ada ru'yahnya".
Sungguh telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal tersebut.
Al-Lajnah Ad-Da'imah menjawab,
"Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidaknya kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian.
Jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan menghilangkan adanya perselisihan di dalam masalah seperti ini. Atas dasar ini, pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan.
Adapun kalimat yang berbunyi, "bagi setiap tempat memiliki ru'yah", ini bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu 'alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan kelompok yang menganggap berbedanya matla' (waktu & tempat munculnya) hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta--Shollallahu 'alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya". P
ý Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah (no. 313)
Soal : Diantara perkara yang tak mungkin untuk melihat hilal dengan mata telanjang sebelum umurnya mencapai 30 jam.
Setelah itu, tidak mungkin melihatnya, karena kondisi cuaca. Dengan memandang kondisi seperti ini, apakah mungkin bagi penduduk Inggris untuk menggunakan ilmu falak bagi negeri ini dalam menghitung waktu yang memungkinkan untuk melihat bulan baru (hilal), dan waktu masuknya bulan Romadhon, ataukah wajib bagi kami melihat bulan baru (hilal) sebelum kami memulai puasa Ramadhan yang penuh berkah?
Jawab,
"Boleh menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepada ilmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta'la- tidak men-syari'at-kan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu 'alaihi wasallam-.
Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa;
Demikian pula melihat hilal Syawwal untuk berbuka dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri.
Allah--Subhanahu wa Ta'la- telah menjadikan bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menenntukan waktu ibadah dengan cara apapun, selain dengan melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan, hari 'ied, ibadah haji, puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah zhihar, dan lain sebagainya.
Allah -Ta'ala-' berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ [البقرة : 185]
"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". [(QS. Al-Baqoroh: 185)]
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ [البقرة : 189]
"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji".[(QS. Al-Baqoroh: 189)]
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,
صُوْمُوْا لِِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya'ban) 30 hari”.
Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal.
Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang perbedaan tempat atau tidak". H
ý Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah (no. 388)
Soal,
"Bagaimana pandangan Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha.
Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya?
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah".
Jawab,
"Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya.
Jika penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka".
ý Fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah-
Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal. 398-399), "Sampai nanti negeri-negeri Islam bisa bersatu di atas hal itu (puasa & hari raya, ed), maka sesungguhnya sekarang aku memandang wajib bagi rakyat di setiap negara untuk berpuasa bersama negara (pemerintah)nya; tidak berpuasa sendiri-sendiri. Akhirnya, sebagian rakyat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain"; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta'an". B
Demikianlah sikap seorang muslim dalam menghadapi khilaf seperti ini; ia mengikuti pemerintahnya, tanpa yang lainnya ketika terjadi khilaf dalam menetapkan awal puasa. Masruq berkata,
"Aku pernah masuk menemui A'isyah pada hari Arafah, maka A'isyah berkata, "Berilah minuman sawiq kepada Masruq, dan perbanyaklah kuenya". Masruq berkata, "Aku berkata, "Sesungguhnya tak ada yang menghalangi aku berpuasa hari ini. Cuman aku khawatir jika hari ini adalah hari raya kurban".
Maka A'isyah berkata,
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
"Hari raya kurban adalah hari manusia berkurban, dan hari raya iedul fitri pada hari manusia telah berbuka puasa". [HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (7998)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy berkata dalam mengomentari atsar ini,
قلت : و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة رأي الفرد - و لو كان صوابا في وجهة نظره - في عبادة جماعية كالصوم و التعبيد و صلاة الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان يصلي بعضهم وراء بعض و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من نواقض الوضوء ، و منهم من لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ، فلم يكن اختلافهم هذا و غيره ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام الواحد ، و الاعتداد بها ،و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض الآراء ، و لقد بلغ الأمر ببعضهم في عدم الإعتداد بالرأي المخالف لرأى الإمام الأعظم في المجتمع الأكبر كمنى ، إلى حد ترك العمل برأيه إطلاقا في ذلك المجتمع فرارا مما قد ينتج من الشر بسبب العمل برأيه ، فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ،
فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين .
فليتأمل في هذا الحديث و في الأثر المذكور أولئك الذين لا يزالون يتفرقون في صلواتهم ، و لا يقتدون ببعض أئمة المساجد ، و خاصة في صلاة الوتر في رمضان ، بحجة كونهم على خلاف مذهبهم ! و بعض أولئك الذين يدعون العلم بالفلك ، ممن يصوم و يفطر وحده متقدما أو متأخرا عن جماعة المسلمين ، معتدا برأيه و علمه ، غير مبال بالخروج عنهم ، فليتأمل هؤلاء جميعا فيما ذكرناه من العلم ، لعلهم يجدون شفاء لما في نفوسهم من جهل و غرور ، فيكونوا صفا واحدا مع إخوانهم المسلمين فإن يد الله مع الجماعة .
"Inilah yang layak bagi syari'at mudah ini, yang diantara tujuannya adalah mengumpulkan manusia, dan menyatukan barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang memecah belah persatuan mereka berupa pendapat-pendapat pribadi.
Maka syari'at tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu adalah kebenaran menurut sudut pandangnya- dalam hal ibadah jama'iyyah (kolektif), seperti puasa, penentuan hari raya, sholat jama'ah.
Tidakkah Anda melihat para sahabat -radhiyallahu 'anhum-; dahulu sebagian mereka sholat di belakang yang lainnya.
Padahal diantara mereka ada yang memandang bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah termasuk pembatal wudhu'. Diantara mereka juga ada yang berpendapat selain itu.
Diantara mereka ada yang menyempurnakan sholatnya dalam safar, dan ada yang meng-qoshor-nya. Tapi perbedaan mereka ini, dan lainnya menghalangi mereka untuk bersatu dalam sholat di belakang seorang imam, dan menganggap sholatnya sah.
Demikian itu, karena mereka tahu bahwa perpecahan dalam beragama lebih jelek dibandingkan berbeda pandangan dalam sebagian pendapat.
Sungguh perkara itu membuat sebagian diantara mereka untuk tidak menganggap pendapat yang menyelisihi pendapat kholifah dalam pertemuan akbar (haji), seperti Mina.
Sehingga mereka tidak mengamalkan pendapat pribadinya dalam pertemuan itu, dalam rangka menjauhi kejelekan yang diakibatkan karena menerapkan pendapat pribadinya.
Abu Dawud meriwayatkan (1/307) bahwa Utsman pernah melaksanakan sholat empat raka'at di Mina.
Maka Abdullah bin Mas'ud berkata mengingkarinya, "Aku telah sholat bersama Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- sebanyak dua raka'at, bersama Abu Bakr dua raka'at, bersama Umar dua raka'at, dan bersama Utsman dua raka'at di awal pemerintahannya, lalu ia sempurnakan (menjadi empat raka'at, -pent.). Kemudian jalan-jalan telah mencerai-beraikan kalian. Aku amat ingin dari empat raka'at ada dua raka'at yang maqbul. Lalu Ibnu Mas'ud sholat empaat raka'at.
Kemudian beliau ditanyai, "Anda telah menyalahkan Utsman, lalu Anda sendiri sholat empat raka'at?!" Ibnu Mas'ud menjawab, "Perselisihan itu tercela". Sanadnya shohih.
Ahmad (5/155) meriwayatkan sejenis hadits ini dari Abu Dzarr -radhiyallahu 'anhum ajma'in-.
Hendaknya hadits ini, dan atsar tersebut direnungi oleh orang-orang yang senantiasa bercerai-berai dalam sholat-sholatnya, dan tak mau mengikuti sebagian imam-imam masjid –khususnya, ketika sholat witir di bulan Romadhon- dengan alasan bahwa imam itu berbeda madzhabnya-; serta sebagian orang yang mengaku punya ilmu tentang ilmu falaq dari kalangan orang yang berpuasa dan berbuka (berhari raya) sendiri, baik ia awal atau belakangan dibandingkan jama'ah kaum muslimin, karena bersandar kepada pendapatnya, dan ilmunya, tanpa peduli terhadap pembelotannya dari pemerintah.
Hendaknya mereka ini semua merenungi sesuatu yang telah kami sebutkan berupa ilmu.
Semoga mereka mendapatkan obat bagi sesuatu yang terdapat dalam hati mereka berupa kejahilan, dan ketertipuan.
Lantaran itu mereka menjadi satu barisan bersama saudara-saudara mereka yang muslim. Sesungguhnya Tangan Allah di atas jama'ah". [Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (1/1/444-445)]
Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Inilah manhaj (jalan hidup) Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama'.
Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy -rahimahullah- berkata,
وَيَرَوْنَ إِقَامَةَ الْحَجِّ وَالْجِهَاِد وَالْجُمَعِ وَاْلأَعْيَادِ مَعَ اْلأُمَرَاءِ أَبْرَاراً كَانُوْا أَوْ فُجَّاراً وَيُحَافِظُوْنَ عَلَى الْجَمَاعَاتِ وَيَدِيْنُوْنَ بِالنَّصِيْحَةِ لِلأُمَّةِ
"Mereka (Ahlus Sunnah) memandang harusnya melaksanakan haji, jihad, sholat Jum'at, hari raya bersama pemerintah yang baik baik, maupun yang fajir. Mereka (Ahlus Sunnah) juga menjaga sholat-sholat jama'ah, dan memberikan nasihat bagi ummat". [Lihat Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 32)]
Semoga tulisan ringkas ini bisa menyatukan langkah kita, dan menguatkan persatuan kita di atas al-haq. -
[1] Bukan Majalah Ishlah yang dahulu diterbitkan oleh kaum hizbiyyun, tapi majalah yang kami nukil adalah Majalah Al-Ishlah yang terbit dari Timur Tengah.
Sumber dari Artikel; abufaizah75.blogspot.co.id