Latest Post
Tampilkan postingan dengan label qaidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label qaidah. Tampilkan semua postingan

Kaidah Fiqh,SEMUA KERABAT HARAM DINIKAHI KECUALI EMPAT

Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Maret 2017 | 3/14/2017 04:06:00 PM

Kaidah Fiqh
كُلُّ أَقَارِبِ الرَّجُلِ حَرَامٌ عَلَيْهِ إِلاَّ أَربَعَةً
وَكُلُّ الأَصْهَارِ حَلاَلٌ إِلاَّ أَرْبَعَةً
SEMUA KERABAT  HARAM DINIKAHI KECUALI  EMPAT,
SEDANGKAN SEMUA IPAR HALAL
DINIKAHI KECUALI EMPAT

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini berkaitan dengan salah satu hukum pernikahan, yaitu tentang wanita-wanita yang haram dinikahi.
Ketahuilah bahwa wanita yang haram dinikahi selamanya itu ada tiga macam:
  1. Haram dinikahi karena hubungan nasab (kekerabatan)
  2. Haram dinikahi karena hubungan persusuan
  3. Haram dinikahi karena hubungan pernikahan (ipar)
Adapun tentang wanita yang haram dinikahi karena sebab nasab (kekerabatan) maka kaidahnya adalah semua wanita yang masih kerabat; baik kerabat jalur ke atas dalam artian semua wanita yang menjadi sebab Anda terlahir ke dunia ini, baik dia itu adalah ibu kandung, ataupun ibunya ibu atau ibunya bapak (nenek), atau ibu-ibunya mereka terus jalur ke atas; ataupun kerabat jalur ke bawah (keturunan), yaitu semua wanita yang mana Anda adalah sebab mereka terlahir ke dunia, baik anak perempuan, atau anak perempuannya anak perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan) dan seluruh anak keturunan mereka; ataupun kerabat jalur menyamping, yaitu anak-anak keturunan kerabat jalur atas, dalam artian anaknya bapak atau ibu, atau anaknya kakek atau nenek. Mereka adalah saudara atau paman dan bibi dan seluruh keturunan mereka.
Semua kerabat tersebut adalah haram dinikahi selamanya, kecuali empat, yaitu:
  1. Putri saudara laki-laki bapak atau kakek
  2. Putri saudara wanita bapak atau kakek
  3. Putri saudara laki-laki ibu atau nenek
  4. Putri saudara wanita ibu atau nenek
Kebalikan dari hal ini adalah wanita yang mempunyai hubungan dengan Anda karena sebab pernikahan (ipar/kerabat istri atau suami) maka semuanya halal untuk dinikahi, kecuali empat, yaitu:
  1. Istrinya bapak atau kakek (ibu atau nenek tiri)
  2. Istri anak kandung atau cucu (menantu)
  3. Ibu atau nenek istri (mertua)
  4. Putri atau cucu istri (anak atau cucu tiri)
Kaidah ini sangat jelas didasari oleh firman Allah Ta'ala:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا . حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam emeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
(QS an-Nisa' [4]: 22-24)
DALIL KAIDAH
Kaidah ini sangat jelas didasari oleh firman Allah Ta'ala:


وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا .
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي
 حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ 
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
PENJABARAN MAKNA KAIDAH
Dengan demikian maka perincian wanita yang haram dinikahi karena sebab
kekerabatan/nasab ada tujuh orang:
1. Ibu
Ibu seseorang adalah setiap wanita yang mempunyai andil dalam
kelahirannya, maka termasuk kategori ibu adalah ibu yang langsung
melahirkannya juga nenek baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak, begitu pula ibu-ibu mereka ke atas.
2. Anak perempuan
Anak perempuan seseorang adalah setiap wanita yang bernasab kepadanya
baik dekat maupun jauh. Atau dengan bahasa lain setiap wanita yang Anda
adalah sebab dia terlahir ke dunia baik secara langsung ataupun tidak. Maka
yang termasuk anak perempuan adalah putri kandungnya juga cucu perempuan
baik dari anak perempuan maupun anak laki-laki serta keturunan mereka ke
bawah.
4. Saudara perempuan bapak (bibi)
Bibi yang dimaksud di sini adalah setiap saudara perempuan bapak juga kakek baik ka-kek dekat maupun jauh, baik saudara perempuan bapak sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
5. Saudara perempuan ibu (bibi)
Sebagaimana bibi dari jalur bapak, begitu pula bibi dari jalur ibu, yaitu
setiap saudara perempuan ibu juga ibunya (nenek) baik nenek dekat maupun
jauh, baik saudara perempuan ibu sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan (keponakan)
Yang dimaksud keponakan di sini adalah semua anak perempuan saudara baik anak mereka langsung maupun anak keturunan mereka, juga baik saudara tersebut sekandung atau seibu saja maupun sebapak saja.
Ketujuh wanita tersebut haram dinikahi dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70,
al-Umm oleh Imam Syafi'i 5/32, al-Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm 9/520.)
Faedah:
Hukum ini pun berlaku bagi wanita yang mempunyai hubungan
kekeluargaan karena sebab persusuan. Karena, kaidah yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما, "Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda:


يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
'Diharamkan (untuk dinikahi) karena sebab sepersusuan
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan).'" (HR Bukhari: 2645, Muslim: 1447)
Jika demikian maka mereka adalah:
  1. Anak persusuan
    Yaitu anak yang disusui oleh istrinya dan anak keturunannya kebawah
  2. Ibu yang menyusuinya
  3. Nenek persusuan
    Yaitu ibunya ibu yang menyusuinya dan ibu-nya suami ibu susu
    serta ibu-ibu mereka ke atas.
  4. Saudara perempuan sepersusuan baik dia saudara sekandung, seibu, ataupun sebapak saja
  5. Anak perempuannya saudara sepersusuan baik saudara
    laki-laki maupun wanita serta anak keturunan mereka ke bawah
  6. Saudara perempuan ibu susu (bibi), baik bibi sekandung, sebapak saja, ataupun seibu saja
  7. Saudara perempuan suami ibu susu (bibi), baik bibi
    kandung, sebapak saja, ataupun seibu saja.
    (Lihat al-Mughni 9/519, Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq 2/157)
Corsiva" size="4" color="#000080">Adapun keluarga yang hubungan karena pernikahan, maka sebagaimana keterangan di atas, yang haram dinikahi hanya empat; 
perinciannya:
  1. Ibu istri (mertua)
Termasuk dalam kategori ibu istri adalah ibunya ibu istri maupun ibunya bapak istri dan ibu-ibu mereka seterusnya ke atas. Kalau seorang laki-laki sudah bercampur dengan istrinya maka diharamkan menikah dengan ibunya dengan kesepakatan para ulama. Adapun kalau belum bercampur dengan istrinya maka juga haram menikah dengan ibu istrinya menurut pendapat sebagian besar para ulama. Dan ini adalah pendapat yang benar karena larangan Allah untuk menikah dengan ibu istri bersifat mutlak (umum), sedangkan lafal yang mutlak harus dibawa pada kemutlakannya, kecuali kalau ada dalil yang mengkhususkan. (Lihat al-Muhalla 9/529, al-Mughni 6/569, Tafsir Ibnu Jarir 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70, Tafsir Ibnu Katsir 1/470-)
Oleh karena itu, seandainya seseorang melakukan akad nikah dengan seorang wanita lalu dia meninggal atau diceraikan sebelum sempat bercampur dengan istrinya maka haram baginya menikah dengan ibu istrinya (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/581). Hanya, dinukil dari Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما, dan Mujahid رحمه الله bahwa beliau membolehkan menikah dengan ibu istri jika belum bercampur dengan istrinya (lihat Mushannaf Abdurrazzaq 108180, Jami' Ahkamin Nisa' oleh Syaikh Mushthafa al-Adawi 3/89). Namun, yang rajih adalah pendapat jumhur ulama.



  • Anak perempuan istri (anak tiri)

  • Termasuk dalam kategori anak perempuan istri adalah anak
    perempuan istri serta anak-anaknya dan seterusnya ke bawah, baik
    dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Dan
    diharamkannya menikah dengan anak tiri apabila memenuhi dua
    syarat menurut pendapat Zhahiriyah dan sebuah riwayat dari Imam
    Malik, yaitu: (1) sudah bercampur dengan istrinya, dan (2) anak
    tiri tersebut dalam pemeliharaannya , karena Allah mensyaratkan
    dua hal tersebut dalam pengharaman anak tiri (lihat al-Muhalla
    9/527, Jami' Ahkamin Nisa' 3/93).
    Madzhab ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab رضي
    الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
    Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
    Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
    yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
    sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
    الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,'
    jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله
    عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي
    الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya,'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam pemeliharaanmu."'
    Madzhab ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab رضي
    الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
    Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
    Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
    yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
    sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
    الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,' jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya, 'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak
    perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam 
    Namun, jumhur para ulama mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dengan anak tirinya kalau sudah bercampur dengan istrinya baik anak tiri tersebut dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" yang terdapat dalam ayat tersebut bukan sebagai pengkhususan hukum karena beberapa sebab: pemeliharaanmu."'
    1. Imam Bukhari (7/6) dan Abu Dawud (1/474) meriwayatkan
      dari Ummu Habibah bahwasannya beliau berkata, "Ya Rasulullah, menikahlah dengan saudariku Azzah binti Abi Sufyan." Beliau menjawab, "Apakah engkau menginginkannya?"
      "Ya, karena tidak mungkin istrimu cuma saya sendiri, dan
      saya menginginkan bahwa orang yang menyertaiku dalam
      kebaikan (menjadi istrimu) adalah saudariku," tandasnya,
      Maka beliau bersabda, "Dia tidak halal bagiku." Berkata Ummu
      Habibah, "Kami mendengar kabar bahwa engkau akan menikah
      dengan putrinya Abu Salamah." Beliau balik bertanya,
      "Maksudmu putrinya Ummu Salamah?" "Ya," jawabnya. Maka
      beliau bersabda, "Seandainya dia itu bukan anak tiriku yang
      dalam pemeliharaanku, dia tetap tidak halal bagiku, karena
      dia adalah putri saudara sepersusuanku. Saya dan Abu Salamah
      sama-sama disusukan oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian
      menawarkan putri-putri serta saudari-saudari kalian
      kepadaku." Dalam riwayat Bukhari, "Seandainya saya tidak
      menikah dengan Ummu Salamah, dia tetap tidak halal bagiku."
      Berkata Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (1/582),
      "Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikan sebab pengharaman
      tersebut sekadar menikahnya dengan Ummu Salamah رضي الله
      عنها." (Lihat juga al-Mughni 9/516.)
    2. Bahwasanya pemeliharaan terhadap seseorang tidak
      mempunyai pengaruh atas halal dan haramnya menikah dengan
      semua wanita yang diharamkan menikah dengannya. (Lihat
      al-Mughni 9/516.)
    3. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" dalam ayat
      di atas hanya berarti bahwasanya biasanya anak tiri dalam
      pemeliharaan ayah tirinya, bukan sebagai pengkhususan hukum.
      Karena Allah Ta'ala tidak menyebutkan kebalikan dari lafal
      tersebut, berbeda dengan lafal "dari istri-istri yang telah
      kalian campuri" Allah telah menyebutkan kebalikan hukumnya
      dalam firman-Nya: "tetapi jika kamu belum campur dengan
      istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa
      kamu mengawininya." Yang mana hal ini menunjukkan bahwa
      lafal "yang dalam pemeliharaanmu" bukan dimaksudkan sebagai
      pengkhususan hukum. (Lihat al-Mughni 9/517, Tafsir
      al-Qurthubi 5/74, Fatwa Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa
      Islamiyyah kumpulan Muhammad al-Musnid 3/132.) Wallahu
      A'lam.
    3. Istri anak kandung (menantu)
    Yang termasuk dalam menantu adalah istri anak kandung, istri
    cucu baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan juga
    istri-istri keturunan mereka ke bawah. Menantu ini haram
    dinikahi dengan sekadar adanya akad pernikahan antara anaknya
    dengannya meskipun belum bercampur. Jadi, seandainya si anak
    menceraikan istrinya atau mati sebelum sempat bercampur dengan
    istrinya maka haram bagi ayahnya untuk menikah dengannya dengan
    kesepakatan seluruh para ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/583,
    Bidayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd 2/40.)
    4. Istri ayah (ibu tiri)
    Yang termasuk ibu tiri adalah istri ayah atau kakek baik
    kakek dari jalur ayah ataupun dari jalur ibu juga ayah mereka ke
    atas. Ibu tiri ini haram dinikahi dengan sekadar adanya akad
    nikah antara ayahnya dengannya dengan kesepakatan seluruh para
    ulama. (Lihat Tafsir Adhwa'ul Bayan oleh Imam Syinqithi 1/468,
    Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
    Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
    Berkata Imam Ibnu Katsir رحمه الله, "Allah mengharamkan menikahi ibu tiri untuk menghormati dan menghargai sang ayah agar jangan sampai dia mencampuri wanita yang pernah dicampuri ayahnya, karena itu diharamkan menikah dengannya hanya dengan sekadar adanya akad nikah dengan kesepakatan seluruh para ulama." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/578.)

    Faedah:
    Apakah diharamkan juga menikahi ibu tiri, anak tiri, mertua dan menantu karena sebab persusuan? Jumhur ulama mengharamkannya, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa pengharaman ini adalah ijma' ulama (lihat al-Mughni 9/515-519, Tafsir Ibnu Katsir 1/583, Tafsir Ibnu Jarir 8/149). Namun, Imam Ibnu Taimiyyah meragukan ijma' tersebut, beliau berkata, "Kalau ada seseorang yang pernah mengatakan bahwa hal tersebut tidak
    haram maka pendapat ini yang lebih kuat." Bahkan Imam Ibnul
    Qayyim menegaskan bahwa ini bukan ijma' (lihat Zadul Ma'ad
    5/557-564).
    Dalil jumhur adalah keumuman sabda Rasulullah صلى الله عليه 
    وسلم, "Diharamkan (untuk dinikahi) karena sebab sepersusuan
    sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
    kekeluargaan)." Karena itu, kalau menikah dengan ibu tiri, anak
    tiri, menantu, dan mertua dari nasab haram maka begitu pulalah
    diharamkan menikah dengan mereka karena sebab persusuan.

    Wallahu A'lam.[]

    1.Maksud Hijr adalah anak tersebut dipelihara dalam rumahnya.
    (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/582.)

    KAIDAH FIQH:
    YANG HARAM DINIKAHI
    Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf حفظه الله
    Disalin dari Majalah al-Furqon No. 135 Ed.10 Th.ke-12_1434/2013
    Disalin Dari eBook Ibnumajjah.com


    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Qawaid Fiqhiyyah,Hukuman dan Peradilan

    Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Februari 2017 | 2/27/2017 02:53:00 AM


    Hukuman dan Peradilan

    Qawaid Fiqhiyyah
    الْـحُكْمُ الْـحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْـمَعْلُوْمِ لَا إِلَى الْـمُقَدَّرِ الْـمَظْنُوْنِ

    Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui

    bukan dengan sebab yang masih diperkirakan


    KAIDAH FIKIH

    الْـحُكْمُ الْـحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْـمَعْلُوْمِ لَا إِلَى الْـمُقَدَّرِ الْـمَظْنُوْنِ

    Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui bukan dengan sebab yang masih diperkirakan
     

    MAKNA KAIDAH
    Dalam beberapa kondisi terkadang terjadi perbedaan hukum terhadap satu perkara. Perbedaan itu dipicu oleh perbedaan para Ulama dalam menetapkan sebab hukum itu sendiri. Karena setiap hukum itu pasti memiliki sebab, dan terkadang satu perkara atau kejadian memiliki sebab lebih dari satu, sehingga ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat saat menetapkan hukum kejadian tersebut.
    Kaidah di atas menjelaskan solusi apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan sebab dari suatu perkara, yang bisa dijadikan sandaran hukum. Faktor penyebab suatu kejadian bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diketahui umum. Kedua, sebab yang masih dalam bentuk dugaan atau perkiraan. Jika seperti ini keadaannya, maka hukum perkara itu, kita sandarkan kepada sebab yang zhahir, bukan kepada sebab yang masih dalam bentuk perkiraan. Karena, sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diketahui umum adalah sebab yang matayaqqan ats-tsubut (pasti keberadaannya), sedangkan sebab yang masih diperkirakan itu adalah masykukun fi tsubutihi (diragukan keberadaannya). Sedangkan kaidah umum mengatakan bahwa al-yaqin layazulu bi asy-syak (Sesuatu yang sudah diyakini tidak bisa hilang hanya karena sesuatu yang masih diragukan)
     

    DALIL KAIDAH INI
    Kaidah ini masuk dalam keumuman dalil-dalil yang menunjukkan bahwa al-yaqin layazulu biasy-syak. Diantaranya, firman Allah Azza wa Jalla:
    وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
    Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS Yunus/10:36)
    Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan berkata," Yang dimaksud kebenaran (al-haq) dalam ayat ini ialah suatu hakikat yang benar-benar terjadinya, seperti keyakinan."1
     
    Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullah:
    قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا ، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Jika salah seorong dari kalian merasakan sesuatu di perutnya, sehingga muncul keraguan apakah sudah keluar sesuatu darinya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium baunya."2
     
    Imam an-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Hadits ini adalah salah satu pokok agama Islam, dan (merupakan) salah satu kaidah penting dalam fiqih. Maksudnya, Yaitu, bahwasanya segala sesuatu itu tetap dihukumi sebagaimana asalnya sampai keberadaannya jelas menyelisihi keadaan awalnya. Dan keragu-raguan yang muncul tidak berpengaruh padanya".3
    Adapun dalil yang khusus berkaitan dengan kaidah ini di antaranya adalah hadits Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    وَإِنْ رَمَيْتَ الصَّيْدَ فَوَجَدْتَهُ بَعْدَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَيْسَ بِهِ إِلَّا أَثَرُ سَهْمِكَ فَكُلْ
     
    Dan apabila engkau memanah hewan buruan kemudian setelah sehari atau dua hari engkau temukan hewan itu mati sedangkan tidak ada pada hewan itu selain bekas luka panahmu maka engkau boleh memakannya.4
    Dalam hadits ini dijelaskan tentang hewan buruan yang dipanah kemudian lari, setelah itu ditemukan dalam keadaan mati dan tidak didapati kecuali luka bekas panah itu, maka itu boleh dimakan. Padahal ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan kematiannya. Kemungkinan pertama disebabkan luka panah. Ini adalah sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan jika ini benar, maka hewan tersebut halal dimakan; Kemungkinan yang lain, banyak sekali, misalnya karena haus, jatuh, lapar dan lain sebagainya, yang jika ini yang menyebab kematiannya. maka hewan itu haram dimakan. Meski demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ternyata memperbolehkan untuk memakan hewan tersebut. Ini menunjukkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengaitkan kematian hewan tersebut dengan sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diyakini keberadaannya. Adapun sebab-sebab yang wujud sekedar persangkaan atau perkiraan maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam abaikan.

    CONTOH PENERAPAN KAIDAH

    Berikut beberapa di antaranya :
    1. Apabila dalam suatu pernikanan disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat at-Baqarah dari si suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu si isteri menuduh suaminya belum menunaikannya hanya saja, faktanya si isteri tehah hafal surat al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan. Mungkin karena diajari suami mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah ini penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal serumah dan diajari suami, sementara penyebab yang lainnya adalah sebab yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum menunaikan mahar tersebut.
    1. Apabila ada
      seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun
      tidak mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan dalam
      keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama. Dalam hal
      ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama, sebab yang maklum
      (nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih diperkirakan, yaitu sebab-sebab
      lainnya, seperti jatuh, kelaparan dan semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas
      bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka
      berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang
      sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan
      binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.5
    1. Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian temyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut dan ini adalah sebab yang maklum (nampak); Dan mungkin juga disebabkan perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkan hukum qishosh jika hal itu terjadi karena 'amdun 'udwan (sengaja dan terencana) atau wajib diyat jika hal itu terjadi karena khatha' (tersalah), atau syibhu 'amdin (menyerupai sengaja).6 Namun, dalam kasus seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin parah.
    Wallahu a'lam.[]

    1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’anha, DR. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Cet. I. Tahun 1417 H, Dar al-Balansiyah Li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, hal. 102.
    2. HR. Muslim dalam Kitab al-Haid, Bab ad-Dalil ‘ala Anna Man Tayaqqana ath-Thaharah Tsumma Syakka fi al-Hadats Falahu an Yushalliya bi Thaharatihi Tilka, no. 803.
    3. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, al-Imam Muhyuddin an-Nawawiy, Cet. XV, Tahun 1429H/2008M, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 4/274.
    4. HR. ak-Bukhari dalam kitab adz-Dzhaba-ih wa ash-Shaid, Bab as-Shaid Idza Ghaba’anhu Yaumain aw Tsalatsah, no. 5484. Muslim dalam Kitab ash-Shaid wa adz-Dzhaba-ih wa Maa Yu’kalu min al-Hayawan, Bab as-Shaid bi al-Kilab al-Mu’ammalh, no.1929.
    5. Tentang larangan membunuh binatang buruan bagi seorang muhrim (orang yang sedang dalam keadaan berihram) dan denda yang berkaitan dengannya disebutkan dalam QS. al-Maidah/5 ayat ke-95.
    6. Tentang tiga macam pembunuhan tanpa haq dapat dilihat dalam Manhaj as-Salikin wa Taudhih al-Fiqh fi ad-Din, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1424H/2003M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, hal.263.
     

    Publication : 1436 H_2015 M
    Sumber: Majalah as-Sunnah, Ed. 3-4 Thn.XVII_1434H/2013M,
    Rubrik Qawaid Fiqhiyyah
    Disalin dari eBook Ibnumajjah.com




    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas


    Hukuman dan Peradilan
    KAIDAH FIQH
    اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ
    Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas
    Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله
     

    CONTOH PENERAPAN KAEDAH
     
    1. Kalau si A mengatakan: Saya telah berzina, maka pengakuannya ini diterima dan bisa ditegakan hujjah atas penegakan hukum rajam atau cambuk oleh sang hakim, namun kalau dia mengatakan si C telah berzina, maka dia butuh mendatangkan empat saksi, karena sekarang ucapannya itu menjadi sebuah tuduhan.
    Begitu pula kalau ada seorang laki-laki yang mengatakan: Saya telah berzina dengan si fulanah itu. Maka ucapannya ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri, adapun bagi si fulanah maka ini sifatnya tuduhan, dan harus mendatangkan empat saksi.

    Oleh karena itu Rosululloh صلى الله عليه وسلم tidak menanyakan kepada Ma'iz tatkala dia mengaku berzina: dengan siapa dia berzina.

    1. Kalau si A berkata: "si B pernah menghutangi saya juga pernah menghutangi si C, masing-masing satu juta rupiah", maka ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan bukan pada si C kecuali kalau bisa mendatangkan saksi.
     

    HUKUM MENCABUT PENGAKUAN
    Kalau seseorang mencabut kembali pengakuannya, apakah diterima?
    Pencabutan kembali sebuah pengakuan itu ada dua kemungkinan:
     

    Pertama:

    Diterima, kalau berhubungan dengan hak Allloh Ta'ala atau pengakuannya tersebut
    bertentangan dengan kenyataan yang ada.
    Seperti kalau seseorang mengaku berzina, lalu beberapa saat kemudian dia mengatakan: Saya tidak berzina, maka diterima ucapannya dan tidak dihukum zina, karena dia telah mencabut kembali pengakuanya, sedangkan hukuman zina adalah hak Alloh Ta'ala.
    Juga seperti kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa saya telah membunuh si A, temyata kemudian ditemukan bahwa si A masih hidup, maka pengakuannya bisa dicabut kembali.
     

    Kedua
    :
    Tidak dapat diterima, hal ini kalau berhubungan dengan hak sesama manusia
    Contohnya kalau ada yang berkata: Si A telah menghutangi saya sebesar satu juta rupiah dan belum saya bayar. Lalu beberapa saat kemudian dia mengatakan bahwa si A tidak menghutangi dia, maka ucapannya tidak bisa diterima, kecuali kalau si A mengakui bahwa dia memang tidak pernah menghutanginya.
     


    KAPAN PENGAKUAN SESEORANG DITERIMA?
     
    Pengakuan seseorang diterima apabila dia sudah baligh dan berakal sehat, adapun seseorang yang masih kecil atau tidak sehat akalnya maka tidak boleh untuk diterima pengakuannya.
    Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
    رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَـحْتَلِمَ، وَعَنِ الْـمَجْنُوْنِ حَتَّى يَقْقِلَ
    "Pena itu diangkat dari tiga orang, dan orang tidur sampai bangun, dari anak kecil sampai baligh, dan dari orang gila sampai sadar kembali."
    Juga disyaratkan pengakuan itu bukan karena keterpaksaan, kalau karena terpaksa maka pengakuan itu tidak bisa diterima berdasarkan pada keumuman sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
    عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي : الْـخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
    Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rosululloh bersabda: "Sesungguhnya Alloh mengampuni umatku terhadap apa yang mereka kerjakan karena salah, lupa dan terpaksa. "(HR Ibnu Majah 2043 dan Baihaqi dengan sanad shohih, lihat Misykah Mashobih: 6294)
     
    Wallohu a'lam.[]

    Publication 1437 H_2016 M



    Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah
    yang Terbatas

    Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه
    الله
    Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami
    Fiqih Islam
    Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal.
    201-206
    Disalin dari»
    eBook Ibnumajjah.com

    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Kaidah Fiqh, Hukum dan Peradilan

    Written By Rachmat.M.Flimban on 26 Februari 2017 | 2/26/2017 04:49:00 PM

    Hukuman dan Peradilan
    KAIDAH FIQH

    البَيِّنَةُ
    عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

    Bagi Yang Menuntut Wajib Membawa Bukti Sedangkan

    Yang Mengingkari Cukup Bersumpah
    Ustadz Ahmad
    Sabiq Abu Yusuf حفظه الله


    ASAL KAIDAH
    البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ


    Bagi yang menuntut wajib membawa bukti sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah


    Kaidah ini terambil
    dari nash Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas رضي
    الله عنهما:


    عَنْ عَبْدِ بْنُ
    عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَوْ
    يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ ،
    وَلَكِنْ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي ، وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ


    Dari Abdullah bin Abbas
    رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Seandainya
    orang-orang itu diberi atas pengakuan mereka, niscaya akan ada orang-orang yang
    mengaku harta dan darah orang lain. Namun bagi yang mengaku (menuntut) wajib
    membawa bukti sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah." (HR. Baihaqi dalam
    Sunan al-Kubra 10/252 no. 20990 dengan sanad hasan sebagaimana dikatakan oleh
    Imam Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath 5/283. Al-Hafizh Ibnu Rajab
    telah memaparkan semua jalan hadits ini dengan sangat bagus dalam kitab beliau,
    Jami'ul Ulum wal Hikam, hadits ke-33)



    Imam Bukhari (4552) dan Muslim (1711)juga meriwayatkan hadits yang semakna
    dengan lafazh di atas:


    عَنْ عَبْدِ بْنُ
    عَبَّاسٍ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَوْ يُعْطَى
    النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ ، وَأَمْوَالَـهُمْ
    وَلَكِنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ


    Dari Abdullah bin Abbas
    رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Seandainya
    manusia diberi atas pengakuan mereka, maka akan lenyap darah dan harta mereka.
    Namun bagi yang dituntut cukup bersumpah."

    MAKNA KAIDAH
    البَّيِّنَةُ adalah
    sesuatu yang bisa untuk membuktikan sebuah hak, dan hal ini untuk menetapkan kebenaran apa yang menjadi pengakuan seseorang. (Lihat Syarah al-Arba'in
    an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 357)


    Pada dasarnya, yang dimaksud dengan al-bayyinah adalah saksi dalam semua perkara hukum, baik
    berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal, atau lainnya. Saksi ini ada beberapa macam, yang diantaranya adalah:
    1. Harus empat orang
      laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian zina.

    2. Harus dua orang
      laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindakan kriminal kecuali zina, juga
      pernikahan, perceraian, dan lainnya.

    3. Persaksian yang bisa
      dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dua wanita atau satu
      laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang berhubungan dengan
      harta. Seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lainnya.

    4. Persaksian yang bisa
      dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah yang tidak bisa dilihat
      oleh kaum laki-laki, misalkan masalah persusuan, haidh, nifas, dan lainnya.
      (Lihat perincian masalah ini pada al-Wajiz oleh Syaikh Abdul Azhim Badawi, hal.
      376)

    Namun tidak selamanya al-bayyinah itu berupa saksi. Bisa jadi al-bayyinah itu berupa keadaan yang sangat kuat mendukung salah satu dari yang menuntut atau dituntut.


    Sebagai sebuah contoh mudah: Kalau ada suami istri yang bertengkar memperebutkan barang perkakas rumah; masing-masing mengaku bahwa barang tertentu di rumah itu miliknya. Maka
    kita melihat benda tersebut, kalau benda itu adalah benda yang biasa dipakai laki-laki saja maka yang nampak bahwa itu milik suami. Sedangkan kalau benda
    tersebut adalah benda yang biasa dipakai wanita saja maka milik istri. Sedangkan kalau dipakai laki-laki dan wanita, maka yang mengaku harus mendatangkan saksi.


    Menghukumi dengan cara mirip seperti ini juga dikisahkan oleh Alloh Ta'ala dalam kisah Nabi Yusuf عليه
    السلام:

    ... إِنْ كَانَ
    قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ. وَإِنْ كَانَ
    قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ. فَلَمَّا رَأَى
    قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ
    عَظِيمٌ.

    Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.
    Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar. Maka tatkala suami wanita itu melihat
    baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia: "Sesungguhnya kejadian ini adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar." (QS.
    Yusuf: 26-28)


    Di ayat ini tidak ada saksi yang bisa dijadian rujukan, namun qarinah atau terdapat sesuatu yang
    sangat nampak sebagai bukti, yaitu koyaknya baju. (Syarah al-Arba'in an-Nawawiyah 359)


    اليَمِيْنُ adalah
    sumpah atas nama Alloh bahwa dialah yang benar dari segala tuntutan, tuduhan, dan pengakuan, serta bahwa semua yang dilakukan oleh yang mengaku itu tidaklah
    benar. Dan para ulama sepakat bahwa sumpah yang sah adalah kalau menyebut Alloh Ta'ala atau nama dan sifat-Nya. (Lihat al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu oleh DR.
    Wahbah az-Zuhaili, 6/588 dst.)
     

    SIAPAKAH الـمُدَّعِيْ DAN الـمُدَّعَى عَلَيْهِ
    Ada sedikit perselisihan di kalangan ulama mengenai siapakah al-mudda’i dan al-mudda’a ‘alaihi, namun bisa kita ringkas menjadi dua pendapat:
    1. Mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa barangsiapa didukung oleh sesuatu yang
      menjadi pokok dan asal permasalahan maka dialah al-mudda’a ‘alaihi, sedangkan yang satunya adalah al-mudda’i.

    -->

    Berkata Imam
    al-Qarrafi, "Al-mudda’i adalah semua orang yang menyelisihi asal dan adat
    kebiasaan yang berlaku, sedangkan al-mudda’a ‘alaihi adalah semua orang yang
    sesuai dengan asal dan urf, karena pada dasarnya semua orang itu bebas dari
    tanggung jawab dan pada dasarnya semua itu sama dengan hukum sebelumnya.
    (adz-Dzakhirah 5/459)

    1. Adapun mayoritas
      ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa al-mudda’i adalah orang yang
      apabila tidak terjadi permasalahan di hadapan hakim, maka dia tidak dipaksa
      untuk melakukannya, sedangkan al-mudda’a ‘alaihi adalah seseorang yang apabila
      membiarkan permasalahan ini di hadapan hakim maka dia dipaksa untuk
      melakukannya. (al-Mabsuth 17/31, al-Mughni 9/272)

    Namun sebenarnya kedua pendapat ini sama dan bisa digabungkan, bahwa yang namanya al-mudda’i adalah orang yang mengaku sesuatu yang berselisih dengan kenyataan yang zhahir dan urf
    yang berlaku dan apabila dia tidak mempermasalahkannya kepada hakim maka dibiarkan dan tidak dipaksa untuk melakukannya. Sedangkan al-mudda’a ‘alaihi
    adalah orang yang keadaannya dikuatkan oleh zhahir keadaan dan urf yang berlaku dan apabila dia tidak mempermasalahkan di hadapan hakim namun ada pihak lain
    yang mempermasalahkannya maka dia dipaksa untuk menyelesaikannya di hadapan hakim. (Lihat Jamharatul Qawa'id Fiqhiyah 1/199 dst.)


    Dari sini, secara umum makna kaidah ini adalah wajib bagi seorang al-mudda’i dalam sebuah permasalahan
    hukum untuk mendatangkan bayyinah dalam menguatkan apa yang dia akui dan dia tuntut, kalau tidak bisa mendatangkan saksi maka tidak diakui pengakuannya.
    Sedangkan bagi pihak al-mudda'a 'alaihi, kalau al-mudda’i tidak bisa mendatangkan bayyinah cukuplah bagi dia bersumpah bahwa semua yang dikatakan
    oleh al-mudda’i itu tidak benar.



    KEDUDUKAN KAIDAH
    Hadits ini adalah sebuah kaidah yang sangat besar dalam syari'at Islam, karena merupakan pokok dasar semua permasalahan dalam menetapkan benar dan tidaknya sebuah persoalan
    hukum oleh seorang hakim. (Lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, 12/3)
    Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang penggunaan kaidah ini secara global meskipun mereka
    sedikit berselisih tentang perincian masalahnya. (Lihat 'Aridhatul Ahwadzi oleh lbnul Arabi, 6/86)


    Berkata Imam
    as-Sarakhsi, "Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda dengan dua kalimat,
    yang mana para ulama mengambil faedah hukum darinya yang bisa mencapai beberapa kitab." (al-Mabsuth 17/28)


    PENERAPAN KAIDAH
    Kaidah ini digunakan
    hampir dalam masalahan hukum untuk menetapkan siapa yang berhak atau tidak.
    Cukup di sini saya sebutkan bisa dikiaskan pada lainnya:
    1. Kalau ada orang yang
      mengaku bahwa sebuah barang yang dipegang oleh seseorang itu miliknya, dia harus
      mendatangkan bukti atau saksi. Jika dia bisa mendatangkan saksi, maka cukup bagi
      yang dituntut untuk bersaksi atas nama Alloh dan barang itu tetap miliknya.

    2. Kalau ada seseorang
      yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus mendatangkan bayyinah berupa
      empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak, maka tuduhannya tidaklah sah dan
      bahkan dia hukum delapan puluh cambukan karena menuduh berbuat zina tanpa bukti.

    3. Kalau ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku sudah membayarnya tapi
      diingkari oleh yang menghutangi, maka yang berhutang harus mendatangkan bayyinah, kalau tidak, maka yang bagi yang menghutangi untuk bersumpah. (Lihat
      al-Qawa'id wal Ushul Jami'ah, Syaikh Sa'di, hal. 38)


    FAEDAH:
    Kalau ada yang bertanya: "Kalau semacam itu sangat mungkin sekali seorang mudda'a 'alaihi bersumpah palsu sehingga dia mendapatkan keuntungan
    Jawabnya: Ya, sangat mungkin si mudda'a 'alaihi berbohong demi sedikit keuntungan duniawi. Tapi harus diingat bahwa hukum duniawi adalah hukum zhahir, adapun mengenai masalah yang
    sebenarnya hanya Alloh Ta'ala yang mengetahui.


    Kemudian harus diingat juga oleh setiap muslim bahwa hidup ini tidak hanya di alam dunia. Ada kehidupan
    dialam lain yang seseorang di sana tidak mungkin berbohong, karena hakimnya adalah Alloh Ta'ala.


    Perhatikan hadits
    berikut, "Dari Asy'ats bin Qais al-Kindi berkata, "Ada sebuah permusuhan antara saya dengan seseorang tentang masalah sumur, maka kami datang kepada Rasulullah
    صلى الله عليه وسلم. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Kamu bisa
    mendatangkan dua saksi atau cukup sumpah dia." Maka saya berkata, "Kalau begitu dia akan bersumpah dan dia tidak akan peduli dengan hal itu." Maka Rasulullah
    صلى الله عليه وسلم bersabda:
    مَنْ حَلَفَ عَلَى
    يَمِينٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ، هُوَ عَلَيْهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللَّهَ
    وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ


    Barangsiapa bersumpah untuk mendapatkan sebuah harta dengan cara yang zhalim, maka dia akan bertemu
    dengan Alloh dalam keadaan Alloh marah kepadanya.


    Kemudian Rasulullah صلى
    الله عليه وسلم membaca firman Alloh:
    إِنَّ الَّذِينَ
    يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا...


    Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya dengan Alloh dan sumpah-sumpah mereka dengan
    harga yang sedikit. (QS. Ali Imran: 77) (HR. Bukhari 2357, Muslim 138)


    Dari Ibnu Abbas رضي
    الله عنهما berkata, "Ada dua orang yang bertengkar datang kepada Rasulullah صلى
    الله عليه وسلم. Salah satu dari keduanya mengaku sebuah hak atas yang lainnya.
    Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada yang menuntut, 'Datangkan
    bayyinah-mu.' Dia berkata, 'Wahai Rasulullah, saya tidak mempunyai bayyinah.' Maka Rasulullah bersabda kepada satunya lagi, 'Bersumpahlah atas nama Alloh yang
    tiada Ilah (sesembahan) melainkan Dia, bahwa engkau tidak mempunyai tanggungan kepada dia.'" (HR. Nasa'i, Ahmad 1/253, Abu Dawud 3275 dan dishahihkan oleh
    Hakim serta disepakati oleh Dzahabi) Wallohu A'lam bish shawab.[]


    Publication 1437 H_2016 M
    Kaidah Fiqh Penuntut Wajib Mendatangkan Saksi
    dan Yang Dituntut Cukup Bersumpah

    Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله
    Disalin dari Majalah al-Furqon Ed.6 Tahun V_1427H
    Disalin dari eBook
    Ibnumajjah.com

    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     
    Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
    Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger