Kaidah Fiqh,SEMUA KERABAT HARAM DINIKAHI KECUALI EMPAT
Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Maret 2017 | 3/14/2017 04:06:00 PM
DINIKAHI KECUALI EMPAT
- Haram dinikahi karena hubungan nasab (kekerabatan)
- Haram dinikahi karena hubungan persusuan
- Haram dinikahi karena hubungan pernikahan (ipar)
- Putri saudara laki-laki bapak atau kakek
- Putri saudara wanita bapak atau kakek
- Putri saudara laki-laki ibu atau nenek
- Putri saudara wanita ibu atau nenek
- Istrinya bapak atau kakek (ibu atau nenek tiri)
- Istri anak kandung atau cucu (menantu)
- Ibu atau nenek istri (mertua)
- Putri atau cucu istri (anak atau cucu tiri)
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam emeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
kekerabatan/nasab ada tujuh orang:
kelahirannya, maka termasuk kategori ibu adalah ibu yang langsung
melahirkannya juga nenek baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak, begitu pula ibu-ibu mereka ke atas.
baik dekat maupun jauh. Atau dengan bahasa lain setiap wanita yang Anda
adalah sebab dia terlahir ke dunia baik secara langsung ataupun tidak. Maka
yang termasuk anak perempuan adalah putri kandungnya juga cucu perempuan
baik dari anak perempuan maupun anak laki-laki serta keturunan mereka ke
bawah.
setiap saudara perempuan ibu juga ibunya (nenek) baik nenek dekat maupun
jauh, baik saudara perempuan ibu sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70,
al-Umm oleh Imam Syafi'i 5/32, al-Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm 9/520.)
kekeluargaan karena sebab persusuan. Karena, kaidah yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما, "Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan).'" (HR Bukhari: 2645, Muslim: 1447)
- Anak persusuan
Yaitu anak yang disusui oleh istrinya dan anak keturunannya kebawah - Ibu yang menyusuinya
- Nenek persusuan
Yaitu ibunya ibu yang menyusuinya dan ibu-nya suami ibu susu
serta ibu-ibu mereka ke atas. - Saudara perempuan sepersusuan baik dia saudara sekandung, seibu, ataupun sebapak saja
- Anak perempuannya saudara sepersusuan baik saudara
laki-laki maupun wanita serta anak keturunan mereka ke bawah - Saudara perempuan ibu susu (bibi), baik bibi sekandung, sebapak saja, ataupun seibu saja
- Saudara perempuan suami ibu susu (bibi), baik bibi
kandung, sebapak saja, ataupun seibu saja.
(Lihat al-Mughni 9/519, Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq 2/157)
perinciannya:
- Ibu istri (mertua)
perempuan istri serta anak-anaknya dan seterusnya ke bawah, baik
dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Dan
diharamkannya menikah dengan anak tiri apabila memenuhi dua
syarat menurut pendapat Zhahiriyah dan sebuah riwayat dari Imam
Malik, yaitu: (1) sudah bercampur dengan istrinya, dan (2) anak
tiri tersebut dalam pemeliharaannya , karena Allah mensyaratkan
dua hal tersebut dalam pengharaman anak tiri (lihat al-Muhalla
9/527, Jami' Ahkamin Nisa' 3/93).
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,'
jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله
عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي
الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya,'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam pemeliharaanmu."'
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,' jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya, 'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak
perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam Namun, jumhur para ulama mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dengan anak tirinya kalau sudah bercampur dengan istrinya baik anak tiri tersebut dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" yang terdapat dalam ayat tersebut bukan sebagai pengkhususan hukum karena beberapa sebab: pemeliharaanmu."'
- Imam Bukhari (7/6) dan Abu Dawud (1/474) meriwayatkan
dari Ummu Habibah bahwasannya beliau berkata, "Ya Rasulullah, menikahlah dengan saudariku Azzah binti Abi Sufyan." Beliau menjawab, "Apakah engkau menginginkannya?"
"Ya, karena tidak mungkin istrimu cuma saya sendiri, dan
saya menginginkan bahwa orang yang menyertaiku dalam
kebaikan (menjadi istrimu) adalah saudariku," tandasnya,
Maka beliau bersabda, "Dia tidak halal bagiku." Berkata Ummu
Habibah, "Kami mendengar kabar bahwa engkau akan menikah
dengan putrinya Abu Salamah." Beliau balik bertanya,
"Maksudmu putrinya Ummu Salamah?" "Ya," jawabnya. Maka
beliau bersabda, "Seandainya dia itu bukan anak tiriku yang
dalam pemeliharaanku, dia tetap tidak halal bagiku, karena
dia adalah putri saudara sepersusuanku. Saya dan Abu Salamah
sama-sama disusukan oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian
menawarkan putri-putri serta saudari-saudari kalian
kepadaku." Dalam riwayat Bukhari, "Seandainya saya tidak
menikah dengan Ummu Salamah, dia tetap tidak halal bagiku."
Berkata Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (1/582),
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikan sebab pengharaman
tersebut sekadar menikahnya dengan Ummu Salamah رضي الله
عنها." (Lihat juga al-Mughni 9/516.) - Bahwasanya pemeliharaan terhadap seseorang tidak
mempunyai pengaruh atas halal dan haramnya menikah dengan
semua wanita yang diharamkan menikah dengannya. (Lihat
al-Mughni 9/516.) - Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" dalam ayat
di atas hanya berarti bahwasanya biasanya anak tiri dalam
pemeliharaan ayah tirinya, bukan sebagai pengkhususan hukum.
Karena Allah Ta'ala tidak menyebutkan kebalikan dari lafal
tersebut, berbeda dengan lafal "dari istri-istri yang telah
kalian campuri" Allah telah menyebutkan kebalikan hukumnya
dalam firman-Nya: "tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa
kamu mengawininya." Yang mana hal ini menunjukkan bahwa
lafal "yang dalam pemeliharaanmu" bukan dimaksudkan sebagai
pengkhususan hukum. (Lihat al-Mughni 9/517, Tafsir
al-Qurthubi 5/74, Fatwa Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa
Islamiyyah kumpulan Muhammad al-Musnid 3/132.) Wallahu
A'lam.
cucu baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan juga
istri-istri keturunan mereka ke bawah. Menantu ini haram
dinikahi dengan sekadar adanya akad pernikahan antara anaknya
dengannya meskipun belum bercampur. Jadi, seandainya si anak
menceraikan istrinya atau mati sebelum sempat bercampur dengan
istrinya maka haram bagi ayahnya untuk menikah dengannya dengan
kesepakatan seluruh para ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/583,
Bidayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd 2/40.)
kakek dari jalur ayah ataupun dari jalur ibu juga ayah mereka ke
atas. Ibu tiri ini haram dinikahi dengan sekadar adanya akad
nikah antara ayahnya dengannya dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Adhwa'ul Bayan oleh Imam Syinqithi 1/468,
Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
Faedah:
haram maka pendapat ini yang lebih kuat." Bahkan Imam Ibnul
Qayyim menegaskan bahwa ini bukan ijma' (lihat Zadul Ma'ad
5/557-564).
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan)." Karena itu, kalau menikah dengan ibu tiri, anak
tiri, menantu, dan mertua dari nasab haram maka begitu pulalah
diharamkan menikah dengan mereka karena sebab persusuan.
Wallahu A'lam.[]
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/582.)
YANG HARAM DINIKAHI
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf حفظه الله
Disalin dari Majalah al-Furqon No. 135 Ed.10 Th.ke-12_1434/2013
Disalin Dari eBook Ibnumajjah.com
Qawaid Fiqhiyyah,Hukuman dan Peradilan
Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Februari 2017 | 2/27/2017 02:53:00 AM
Hukuman dan Peradilan
Qawaid Fiqhiyyah
Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui
bukan dengan sebab yang masih diperkirakan
KAIDAH FIKIH
الْـحُكْمُ الْـحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْـمَعْلُوْمِ لَا إِلَى الْـمُقَدَّرِ الْـمَظْنُوْنِ
MAKNA KAIDAH
DALIL KAIDAH INI
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut beberapa di antaranya :
- Apabila dalam suatu pernikanan disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat at-Baqarah dari si suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu si isteri menuduh suaminya belum menunaikannya hanya saja, faktanya si isteri tehah hafal surat al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan. Mungkin karena diajari suami mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah ini penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal serumah dan diajari suami, sementara penyebab yang lainnya adalah sebab yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum menunaikan mahar tersebut.
- Apabila ada
seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun
tidak mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan dalam
keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama. Dalam hal
ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama, sebab yang maklum
(nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih diperkirakan, yaitu sebab-sebab
lainnya, seperti jatuh, kelaparan dan semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas
bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka
berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang
sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan
binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.5
- Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian temyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut dan ini adalah sebab yang maklum (nampak); Dan mungkin juga disebabkan perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkan hukum qishosh jika hal itu terjadi karena 'amdun 'udwan (sengaja dan terencana) atau wajib diyat jika hal itu terjadi karena khatha' (tersalah), atau syibhu 'amdin (menyerupai sengaja).6 Namun, dalam kasus seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin parah.
Publication : 1436 H_2015 M
Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas
Hukuman dan Peradilan KAIDAH FIQH اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله |
CONTOH PENERAPAN KAEDAH
- Kalau si A mengatakan: Saya telah berzina, maka pengakuannya ini diterima dan bisa ditegakan hujjah atas penegakan hukum rajam atau cambuk oleh sang hakim, namun kalau dia mengatakan si C telah berzina, maka dia butuh mendatangkan empat saksi, karena sekarang ucapannya itu menjadi sebuah tuduhan.
- Kalau si A berkata: "si B pernah menghutangi saya juga pernah menghutangi si C, masing-masing satu juta rupiah", maka ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan bukan pada si C kecuali kalau bisa mendatangkan saksi.
HUKUM MENCABUT PENGAKUAN
Pertama:
Diterima, kalau berhubungan dengan hak Allloh Ta'ala atau pengakuannya tersebut
bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Kedua:
Tidak dapat diterima, hal ini kalau berhubungan dengan hak sesama manusia
KAPAN PENGAKUAN SESEORANG DITERIMA?
Publication 1437 H_2016 M Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal. 201-206 Disalin dari» eBook Ibnumajjah.com |
Kaidah Fiqh, Hukum dan Peradilan
Written By Rachmat.M.Flimban on 26 Februari 2017 | 2/26/2017 04:49:00 PM
Hukuman dan Peradilan KAIDAH FIQH البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ Bagi Yang Menuntut Wajib Membawa Bukti Sedangkan Yang Mengingkari Cukup Bersumpah Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله |
dari nash Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas رضي
الله عنهما:
عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَوْ
يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ ،
وَلَكِنْ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي ، وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Seandainya
orang-orang itu diberi atas pengakuan mereka, niscaya akan ada orang-orang yang
mengaku harta dan darah orang lain. Namun bagi yang mengaku (menuntut) wajib
membawa bukti sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah." (HR. Baihaqi dalam
Sunan al-Kubra 10/252 no. 20990 dengan sanad hasan sebagaimana dikatakan oleh
Imam Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath 5/283. Al-Hafizh Ibnu Rajab
telah memaparkan semua jalan hadits ini dengan sangat bagus dalam kitab beliau,
Jami'ul Ulum wal Hikam, hadits ke-33)
Imam Bukhari (4552) dan Muslim (1711)juga meriwayatkan hadits yang semakna
dengan lafazh di atas:
عَبَّاسٍ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَوْ يُعْطَى
النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ ، وَأَمْوَالَـهُمْ
وَلَكِنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Seandainya
manusia diberi atas pengakuan mereka, maka akan lenyap darah dan harta mereka.
Namun bagi yang dituntut cukup bersumpah."
sesuatu yang bisa untuk membuktikan sebuah hak, dan hal ini untuk menetapkan kebenaran apa yang menjadi pengakuan seseorang. (Lihat Syarah al-Arba'in
an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 357)
berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal, atau lainnya. Saksi ini ada beberapa macam, yang diantaranya adalah:
Harus empat orang
laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian zina.Harus dua orang
laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindakan kriminal kecuali zina, juga
pernikahan, perceraian, dan lainnya.Persaksian yang bisa
dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dua wanita atau satu
laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang berhubungan dengan
harta. Seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lainnya.Persaksian yang bisa
dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah yang tidak bisa dilihat
oleh kaum laki-laki, misalkan masalah persusuan, haidh, nifas, dan lainnya.
(Lihat perincian masalah ini pada al-Wajiz oleh Syaikh Abdul Azhim Badawi, hal.
376)
kita melihat benda tersebut, kalau benda itu adalah benda yang biasa dipakai laki-laki saja maka yang nampak bahwa itu milik suami. Sedangkan kalau benda
tersebut adalah benda yang biasa dipakai wanita saja maka milik istri. Sedangkan kalau dipakai laki-laki dan wanita, maka yang mengaku harus mendatangkan saksi.
السلام:
... إِنْ كَانَ
قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ. وَإِنْ كَانَ
قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ. فَلَمَّا رَأَى
قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ
عَظِيمٌ.
Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar. Maka tatkala suami wanita itu melihat
baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia: "Sesungguhnya kejadian ini adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar." (QS.
Yusuf: 26-28)
sangat nampak sebagai bukti, yaitu koyaknya baju. (Syarah al-Arba'in an-Nawawiyah 359)
sumpah atas nama Alloh bahwa dialah yang benar dari segala tuntutan, tuduhan, dan pengakuan, serta bahwa semua yang dilakukan oleh yang mengaku itu tidaklah
benar. Dan para ulama sepakat bahwa sumpah yang sah adalah kalau menyebut Alloh Ta'ala atau nama dan sifat-Nya. (Lihat al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu oleh DR.
Wahbah az-Zuhaili, 6/588 dst.)
SIAPAKAH الـمُدَّعِيْ DAN الـمُدَّعَى عَلَيْهِ
Mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa barangsiapa didukung oleh sesuatu yang
menjadi pokok dan asal permasalahan maka dialah al-mudda’a ‘alaihi, sedangkan yang satunya adalah al-mudda’i.
Berkata Imam
al-Qarrafi, "Al-mudda’i adalah semua orang yang menyelisihi asal dan adat
kebiasaan yang berlaku, sedangkan al-mudda’a ‘alaihi adalah semua orang yang
sesuai dengan asal dan urf, karena pada dasarnya semua orang itu bebas dari
tanggung jawab dan pada dasarnya semua itu sama dengan hukum sebelumnya.
(adz-Dzakhirah 5/459)
Adapun mayoritas
ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa al-mudda’i adalah orang yang
apabila tidak terjadi permasalahan di hadapan hakim, maka dia tidak dipaksa
untuk melakukannya, sedangkan al-mudda’a ‘alaihi adalah seseorang yang apabila
membiarkan permasalahan ini di hadapan hakim maka dia dipaksa untuk
melakukannya. (al-Mabsuth 17/31, al-Mughni 9/272)
yang berlaku dan apabila dia tidak mempermasalahkannya kepada hakim maka dibiarkan dan tidak dipaksa untuk melakukannya. Sedangkan al-mudda’a ‘alaihi
adalah orang yang keadaannya dikuatkan oleh zhahir keadaan dan urf yang berlaku dan apabila dia tidak mempermasalahkan di hadapan hakim namun ada pihak lain
yang mempermasalahkannya maka dia dipaksa untuk menyelesaikannya di hadapan hakim. (Lihat Jamharatul Qawa'id Fiqhiyah 1/199 dst.)
hukum untuk mendatangkan bayyinah dalam menguatkan apa yang dia akui dan dia tuntut, kalau tidak bisa mendatangkan saksi maka tidak diakui pengakuannya.
Sedangkan bagi pihak al-mudda'a 'alaihi, kalau al-mudda’i tidak bisa mendatangkan bayyinah cukuplah bagi dia bersumpah bahwa semua yang dikatakan
oleh al-mudda’i itu tidak benar.
KEDUDUKAN KAIDAH
hukum oleh seorang hakim. (Lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, 12/3)
sedikit berselisih tentang perincian masalahnya. (Lihat 'Aridhatul Ahwadzi oleh lbnul Arabi, 6/86)
as-Sarakhsi, "Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda dengan dua kalimat,
yang mana para ulama mengambil faedah hukum darinya yang bisa mencapai beberapa kitab." (al-Mabsuth 17/28)
hampir dalam masalahan hukum untuk menetapkan siapa yang berhak atau tidak.
Cukup di sini saya sebutkan bisa dikiaskan pada lainnya:
Kalau ada orang yang
mengaku bahwa sebuah barang yang dipegang oleh seseorang itu miliknya, dia harus
mendatangkan bukti atau saksi. Jika dia bisa mendatangkan saksi, maka cukup bagi
yang dituntut untuk bersaksi atas nama Alloh dan barang itu tetap miliknya.
Kalau ada seseorang
yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus mendatangkan bayyinah berupa
empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak, maka tuduhannya tidaklah sah dan
bahkan dia hukum delapan puluh cambukan karena menuduh berbuat zina tanpa bukti.
Kalau ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku sudah membayarnya tapi
diingkari oleh yang menghutangi, maka yang berhutang harus mendatangkan bayyinah, kalau tidak, maka yang bagi yang menghutangi untuk bersumpah. (Lihat
al-Qawa'id wal Ushul Jami'ah, Syaikh Sa'di, hal. 38)
FAEDAH:
sebenarnya hanya Alloh Ta'ala yang mengetahui.
dialam lain yang seseorang di sana tidak mungkin berbohong, karena hakimnya adalah Alloh Ta'ala.
berikut, "Dari Asy'ats bin Qais al-Kindi berkata, "Ada sebuah permusuhan antara saya dengan seseorang tentang masalah sumur, maka kami datang kepada Rasulullah
صلى الله عليه وسلم. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Kamu bisa
mendatangkan dua saksi atau cukup sumpah dia." Maka saya berkata, "Kalau begitu dia akan bersumpah dan dia tidak akan peduli dengan hal itu." Maka Rasulullah
صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَمِينٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ، هُوَ عَلَيْهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللَّهَ
وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
dengan Alloh dalam keadaan Alloh marah kepadanya.
الله عليه وسلم membaca firman Alloh:
يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا...
harga yang sedikit. (QS. Ali Imran: 77) (HR. Bukhari 2357, Muslim 138)
الله عنهما berkata, "Ada dua orang yang bertengkar datang kepada Rasulullah صلى
الله عليه وسلم. Salah satu dari keduanya mengaku sebuah hak atas yang lainnya.
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada yang menuntut, 'Datangkan
bayyinah-mu.' Dia berkata, 'Wahai Rasulullah, saya tidak mempunyai bayyinah.' Maka Rasulullah bersabda kepada satunya lagi, 'Bersumpahlah atas nama Alloh yang
tiada Ilah (sesembahan) melainkan Dia, bahwa engkau tidak mempunyai tanggungan kepada dia.'" (HR. Nasa'i, Ahmad 1/253, Abu Dawud 3275 dan dishahihkan oleh
Hakim serta disepakati oleh Dzahabi) Wallohu A'lam bish shawab.[]
Publication 1437 H_2016 M Kaidah Fiqh Penuntut Wajib Mendatangkan Saksi dan Yang Dituntut Cukup Bersumpah Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله Disalin dari Majalah al-Furqon Ed.6 Tahun V_1427H Disalin dari eBook Ibnumajjah.com |
Translate To your langgued
Recent Post
-
Do'a yang diajarkan Jibril kepada Nabi Muhammad untuk membakar jin jahil Katakanlah Muhammad, Bagi segenap orang-orang yang beriman A...
-
Perlu diketahui bahwa jin -termasuk pula setan- melakukan aktivitas makan dan minum. Beberapa dalil membuktikan hal ini. Dalam Sh...
-
Serial 9 Alam Jin: Hewan Tunggangan Jin Jin juga ternyata memiliki kendaraan atau tunggangan sebagaimana manusia pun demikian. Dalam riwayat...
-
Hukuman dan Peradilan KAIDAH FIQH البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ B...
-
Dengan Ayat Kursi dan Do'a dari Jibril ini, Jin Ifrit pun Terbakar Ifrit, nama itu terkadang kita dengan sewaktu seseorang mengumpat at...
-
Ada lagi di antara kemampuan yang Allah berikan pada jin yaitu kemampuan mereka mendirikan gedung atau bangunan yang tinggi bahkan dibuat de...
-
Serial 6 Alam Jin: Perkawinan Jin By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Yang Nampak Memang jin Perkawinan also melakukan. Sebagian ulama berdali...
-
Serial 7 Alam Jin: Umur Jin By Muhammad Abduh Tuasikal Sebagian orang mungkin mengira bahwa jin TIDAK Bisa Mati, Begitu pula setan. Padahal ...
-
Serial 12 Alam Jin: Kemampuan Mencuri Berita Langit Di antara kemampuan yang Allah berikan pada jin atau setan adalah kemampuan mencuri...
-
Manusia Lebih, Mulia Daripada Jin, Jadi Mengapa Takut? Allah has menjelaskan bahwa Manusia Adalah Makhluk pagar mulia di Muka bumi DENGAN ke...
Pengunjung
Pengikut
Hijriyah dan Masehi Hari ini
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved