بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Kaidah Fiqh
كُلُّ أَقَارِبِ
الرَّجُلِ حَرَامٌ عَلَيْهِ إِلاَّ أَربَعَةً
وَكُلُّ الأَصْهَارِ
حَلاَلٌ إِلاَّ أَرْبَعَةً
SEMUA KERABAT HARAM DINIKAHI KECUALI EMPAT,
SEDANGKAN SEMUA IPAR HALAL
DINIKAHI KECUALI EMPAT
DINIKAHI KECUALI EMPAT
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini berkaitan dengan salah satu hukum pernikahan, yaitu tentang wanita-wanita yang haram dinikahi.
Ketahuilah bahwa wanita yang haram dinikahi selamanya itu ada tiga macam:
- Haram dinikahi karena hubungan nasab (kekerabatan)
- Haram dinikahi karena hubungan persusuan
- Haram dinikahi karena hubungan pernikahan (ipar)
Adapun tentang wanita yang haram dinikahi karena sebab nasab (kekerabatan) maka kaidahnya adalah semua wanita yang masih kerabat; baik kerabat jalur ke atas dalam artian semua wanita yang menjadi sebab Anda terlahir ke dunia ini, baik dia itu adalah ibu kandung, ataupun ibunya ibu atau ibunya bapak (nenek), atau ibu-ibunya mereka terus jalur ke atas; ataupun kerabat jalur ke bawah (keturunan), yaitu semua wanita yang mana Anda adalah sebab mereka terlahir ke dunia, baik anak perempuan, atau anak perempuannya anak perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan) dan seluruh anak keturunan mereka; ataupun kerabat jalur menyamping, yaitu anak-anak keturunan kerabat jalur atas, dalam artian anaknya bapak atau ibu, atau anaknya kakek atau nenek. Mereka adalah saudara atau paman dan bibi dan seluruh keturunan mereka.
Semua kerabat tersebut adalah haram dinikahi selamanya, kecuali empat, yaitu:
- Putri saudara laki-laki bapak atau kakek
- Putri saudara wanita bapak atau kakek
- Putri saudara laki-laki ibu atau nenek
- Putri saudara wanita ibu atau nenek
Kebalikan dari hal ini adalah wanita yang mempunyai hubungan dengan Anda karena sebab pernikahan (ipar/kerabat istri atau suami) maka semuanya halal untuk dinikahi, kecuali empat, yaitu:
- Istrinya bapak atau kakek (ibu atau nenek tiri)
- Istri anak kandung atau cucu (menantu)
- Ibu atau nenek istri (mertua)
- Putri atau cucu istri (anak atau cucu tiri)
Kaidah ini sangat jelas didasari oleh firman Allah Ta'ala:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا . حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam emeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam emeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
Kaidah ini sangat jelas didasari oleh firman Allah Ta'ala:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا .
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
PENJABARAN MAKNA KAIDAH
Dengan demikian maka perincian wanita yang haram dinikahi karena sebab
kekerabatan/nasab ada tujuh orang:
kekerabatan/nasab ada tujuh orang:
1. Ibu
Ibu seseorang adalah setiap wanita yang mempunyai andil dalam
kelahirannya, maka termasuk kategori ibu adalah ibu yang langsung
melahirkannya juga nenek baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak, begitu pula ibu-ibu mereka ke atas.
kelahirannya, maka termasuk kategori ibu adalah ibu yang langsung
melahirkannya juga nenek baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak, begitu pula ibu-ibu mereka ke atas.
2. Anak perempuan
Anak perempuan seseorang adalah setiap wanita yang bernasab kepadanya
baik dekat maupun jauh. Atau dengan bahasa lain setiap wanita yang Anda
adalah sebab dia terlahir ke dunia baik secara langsung ataupun tidak. Maka
yang termasuk anak perempuan adalah putri kandungnya juga cucu perempuan
baik dari anak perempuan maupun anak laki-laki serta keturunan mereka ke
bawah.
baik dekat maupun jauh. Atau dengan bahasa lain setiap wanita yang Anda
adalah sebab dia terlahir ke dunia baik secara langsung ataupun tidak. Maka
yang termasuk anak perempuan adalah putri kandungnya juga cucu perempuan
baik dari anak perempuan maupun anak laki-laki serta keturunan mereka ke
bawah.
4. Saudara perempuan bapak (bibi)
Bibi yang dimaksud di sini adalah setiap saudara perempuan bapak juga kakek baik ka-kek dekat maupun jauh, baik saudara perempuan bapak sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
5. Saudara perempuan ibu (bibi)
Sebagaimana bibi dari jalur bapak, begitu pula bibi dari jalur ibu, yaitu
setiap saudara perempuan ibu juga ibunya (nenek) baik nenek dekat maupun
jauh, baik saudara perempuan ibu sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
setiap saudara perempuan ibu juga ibunya (nenek) baik nenek dekat maupun
jauh, baik saudara perempuan ibu sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan (keponakan)
Yang dimaksud keponakan di sini adalah semua anak perempuan saudara baik anak mereka langsung maupun anak keturunan mereka, juga baik saudara tersebut sekandung atau seibu saja maupun sebapak saja.
Ketujuh wanita tersebut haram dinikahi dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70,
al-Umm oleh Imam Syafi'i 5/32, al-Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm 9/520.)
ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70,
al-Umm oleh Imam Syafi'i 5/32, al-Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm 9/520.)
Faedah:
Hukum ini pun berlaku bagi wanita yang mempunyai hubungan
kekeluargaan karena sebab persusuan. Karena, kaidah yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما, "Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
perinciannya:
kekeluargaan karena sebab persusuan. Karena, kaidah yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما, "Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
'Diharamkan (untuk dinikahi) karena sebab sepersusuan
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan).'" (HR Bukhari: 2645, Muslim: 1447)
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan).'" (HR Bukhari: 2645, Muslim: 1447)
Jika demikian maka mereka adalah:
- Anak persusuan
Yaitu anak yang disusui oleh istrinya dan anak keturunannya kebawah - Ibu yang menyusuinya
- Nenek persusuan
Yaitu ibunya ibu yang menyusuinya dan ibu-nya suami ibu susu
serta ibu-ibu mereka ke atas. - Saudara perempuan sepersusuan baik dia saudara sekandung, seibu, ataupun sebapak saja
- Anak perempuannya saudara sepersusuan baik saudara
laki-laki maupun wanita serta anak keturunan mereka ke bawah - Saudara perempuan ibu susu (bibi), baik bibi sekandung, sebapak saja, ataupun seibu saja
- Saudara perempuan suami ibu susu (bibi), baik bibi
kandung, sebapak saja, ataupun seibu saja.
(Lihat al-Mughni 9/519, Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq 2/157)
perinciannya:
- Ibu istri (mertua)
Termasuk dalam kategori ibu istri adalah ibunya ibu istri
maupun ibunya bapak istri dan ibu-ibu mereka seterusnya ke atas.
Kalau seorang laki-laki sudah bercampur dengan istrinya maka
diharamkan menikah dengan ibunya dengan kesepakatan para ulama.
Adapun kalau belum bercampur dengan istrinya maka juga haram
menikah dengan ibu istrinya menurut pendapat sebagian besar para
ulama. Dan ini adalah pendapat yang benar karena larangan Allah
untuk menikah dengan ibu istri bersifat mutlak (umum), sedangkan
lafal yang mutlak harus dibawa pada kemutlakannya, kecuali kalau
ada dalil yang mengkhususkan. (Lihat al-Muhalla 9/529, al-Mughni
6/569, Tafsir Ibnu Jarir 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70, Tafsir
Ibnu Katsir 1/470-)
Oleh karena itu, seandainya seseorang melakukan akad nikah
dengan seorang wanita lalu dia meninggal atau diceraikan sebelum
sempat bercampur dengan istrinya maka haram baginya menikah
dengan ibu istrinya (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/581). Hanya,
dinukil dari Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, Jabir bin Abdillah
رضي الله عنهما, dan Mujahid رحمه الله bahwa beliau membolehkan
menikah dengan ibu istri jika belum bercampur dengan istrinya
(lihat Mushannaf Abdurrazzaq 108180, Jami' Ahkamin Nisa' oleh
Syaikh Mushthafa al-Adawi 3/89). Namun, yang rajih adalah
pendapat jumhur ulama.
Termasuk dalam kategori anak perempuan istri adalah anak
perempuan istri serta anak-anaknya dan seterusnya ke bawah, baik
dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Dan
diharamkannya menikah dengan anak tiri apabila memenuhi dua
syarat menurut pendapat Zhahiriyah dan sebuah riwayat dari Imam
Malik, yaitu: (1) sudah bercampur dengan istrinya, dan (2) anak
tiri tersebut dalam pemeliharaannya , karena Allah mensyaratkan
dua hal tersebut dalam pengharaman anak tiri (lihat al-Muhalla
9/527, Jami' Ahkamin Nisa' 3/93).
perempuan istri serta anak-anaknya dan seterusnya ke bawah, baik
dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Dan
diharamkannya menikah dengan anak tiri apabila memenuhi dua
syarat menurut pendapat Zhahiriyah dan sebuah riwayat dari Imam
Malik, yaitu: (1) sudah bercampur dengan istrinya, dan (2) anak
tiri tersebut dalam pemeliharaannya , karena Allah mensyaratkan
dua hal tersebut dalam pengharaman anak tiri (lihat al-Muhalla
9/527, Jami' Ahkamin Nisa' 3/93).
Madzhab ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab رضي
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,'
jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله
عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي
الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya,'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam pemeliharaanmu."'
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,'
jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله
عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي
الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya,'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam pemeliharaanmu."'
Madzhab ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab رضي
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,' jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya, 'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak
perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam Namun, jumhur para ulama mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dengan anak tirinya kalau sudah bercampur dengan istrinya baik anak tiri tersebut dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" yang terdapat dalam ayat tersebut bukan sebagai pengkhususan hukum karena beberapa sebab: pemeliharaanmu."'
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,' jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya, 'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak
perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam Namun, jumhur para ulama mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dengan anak tirinya kalau sudah bercampur dengan istrinya baik anak tiri tersebut dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" yang terdapat dalam ayat tersebut bukan sebagai pengkhususan hukum karena beberapa sebab: pemeliharaanmu."'
- Imam Bukhari (7/6) dan Abu Dawud (1/474) meriwayatkan
dari Ummu Habibah bahwasannya beliau berkata, "Ya Rasulullah, menikahlah dengan saudariku Azzah binti Abi Sufyan." Beliau menjawab, "Apakah engkau menginginkannya?"
"Ya, karena tidak mungkin istrimu cuma saya sendiri, dan
saya menginginkan bahwa orang yang menyertaiku dalam
kebaikan (menjadi istrimu) adalah saudariku," tandasnya,
Maka beliau bersabda, "Dia tidak halal bagiku." Berkata Ummu
Habibah, "Kami mendengar kabar bahwa engkau akan menikah
dengan putrinya Abu Salamah." Beliau balik bertanya,
"Maksudmu putrinya Ummu Salamah?" "Ya," jawabnya. Maka
beliau bersabda, "Seandainya dia itu bukan anak tiriku yang
dalam pemeliharaanku, dia tetap tidak halal bagiku, karena
dia adalah putri saudara sepersusuanku. Saya dan Abu Salamah
sama-sama disusukan oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian
menawarkan putri-putri serta saudari-saudari kalian
kepadaku." Dalam riwayat Bukhari, "Seandainya saya tidak
menikah dengan Ummu Salamah, dia tetap tidak halal bagiku."
Berkata Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (1/582),
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikan sebab pengharaman
tersebut sekadar menikahnya dengan Ummu Salamah رضي الله
عنها." (Lihat juga al-Mughni 9/516.) - Bahwasanya pemeliharaan terhadap seseorang tidak
mempunyai pengaruh atas halal dan haramnya menikah dengan
semua wanita yang diharamkan menikah dengannya. (Lihat
al-Mughni 9/516.) - Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" dalam ayat
di atas hanya berarti bahwasanya biasanya anak tiri dalam
pemeliharaan ayah tirinya, bukan sebagai pengkhususan hukum.
Karena Allah Ta'ala tidak menyebutkan kebalikan dari lafal
tersebut, berbeda dengan lafal "dari istri-istri yang telah
kalian campuri" Allah telah menyebutkan kebalikan hukumnya
dalam firman-Nya: "tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa
kamu mengawininya." Yang mana hal ini menunjukkan bahwa
lafal "yang dalam pemeliharaanmu" bukan dimaksudkan sebagai
pengkhususan hukum. (Lihat al-Mughni 9/517, Tafsir
al-Qurthubi 5/74, Fatwa Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa
Islamiyyah kumpulan Muhammad al-Musnid 3/132.) Wallahu
A'lam.
3. Istri anak kandung (menantu)
Yang termasuk dalam menantu adalah istri anak kandung, istri
cucu baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan juga
istri-istri keturunan mereka ke bawah. Menantu ini haram
dinikahi dengan sekadar adanya akad pernikahan antara anaknya
dengannya meskipun belum bercampur. Jadi, seandainya si anak
menceraikan istrinya atau mati sebelum sempat bercampur dengan
istrinya maka haram bagi ayahnya untuk menikah dengannya dengan
kesepakatan seluruh para ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/583,
Bidayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd 2/40.)
cucu baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan juga
istri-istri keturunan mereka ke bawah. Menantu ini haram
dinikahi dengan sekadar adanya akad pernikahan antara anaknya
dengannya meskipun belum bercampur. Jadi, seandainya si anak
menceraikan istrinya atau mati sebelum sempat bercampur dengan
istrinya maka haram bagi ayahnya untuk menikah dengannya dengan
kesepakatan seluruh para ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/583,
Bidayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd 2/40.)
4. Istri ayah (ibu tiri)
Yang termasuk ibu tiri adalah istri ayah atau kakek baik
kakek dari jalur ayah ataupun dari jalur ibu juga ayah mereka ke
atas. Ibu tiri ini haram dinikahi dengan sekadar adanya akad
nikah antara ayahnya dengannya dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Adhwa'ul Bayan oleh Imam Syinqithi 1/468,
Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)kakek dari jalur ayah ataupun dari jalur ibu juga ayah mereka ke
atas. Ibu tiri ini haram dinikahi dengan sekadar adanya akad
nikah antara ayahnya dengannya dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Adhwa'ul Bayan oleh Imam Syinqithi 1/468,
Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
Berkata Imam Ibnu Katsir رحمه الله, "Allah mengharamkan menikahi ibu tiri untuk menghormati dan menghargai sang ayah agar jangan sampai dia mencampuri wanita yang pernah dicampuri ayahnya, karena itu diharamkan menikah dengannya hanya dengan sekadar adanya akad nikah dengan kesepakatan seluruh para ulama." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/578.)
Faedah:
Apakah diharamkan juga menikahi ibu tiri, anak tiri, mertua dan menantu karena sebab persusuan? Jumhur ulama mengharamkannya, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa pengharaman ini adalah ijma' ulama (lihat al-Mughni 9/515-519, Tafsir Ibnu Katsir 1/583, Tafsir Ibnu Jarir 8/149). Namun, Imam Ibnu Taimiyyah meragukan ijma' tersebut, beliau berkata, "Kalau ada seseorang yang pernah mengatakan bahwa hal tersebut tidak
haram maka pendapat ini yang lebih kuat." Bahkan Imam Ibnul
Qayyim menegaskan bahwa ini bukan ijma' (lihat Zadul Ma'ad
5/557-564).
Dalil jumhur adalah keumuman sabda Rasulullah صلى الله عليه haram maka pendapat ini yang lebih kuat." Bahkan Imam Ibnul
Qayyim menegaskan bahwa ini bukan ijma' (lihat Zadul Ma'ad
5/557-564).
وسلم, "Diharamkan (untuk dinikahi) karena sebab sepersusuan
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan)." Karena itu, kalau menikah dengan ibu tiri, anak
tiri, menantu, dan mertua dari nasab haram maka begitu pulalah
diharamkan menikah dengan mereka karena sebab persusuan.
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan)." Karena itu, kalau menikah dengan ibu tiri, anak
tiri, menantu, dan mertua dari nasab haram maka begitu pulalah
diharamkan menikah dengan mereka karena sebab persusuan.
Wallahu A'lam.[]
1.Maksud Hijr adalah anak tersebut dipelihara dalam rumahnya.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/582.)
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/582.)
KAIDAH FIQH:
YANG HARAM DINIKAHI
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf حفظه الله
Disalin dari Majalah al-Furqon No. 135 Ed.10 Th.ke-12_1434/2013
Disalin Dari eBook Ibnumajjah.com
YANG HARAM DINIKAHI
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf حفظه الله
Disalin dari Majalah al-Furqon No. 135 Ed.10 Th.ke-12_1434/2013
Disalin Dari eBook Ibnumajjah.com
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar