Hukum perbesar Alat Vital
Written By Rachmat.M.Flimban on 18 Mei 2021 | 5/18/2021 03:35:00 AM
Assalamu'alaikum….
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Deni Harianto ( denihariXXXXXX@yahoo.com )
Dalam Fatawa Islam ( islamqa.com ), pernah diajukan pertanyaan yang sama. Pembina situs tersebut, Syekh Muhammad bin Shaleh Munajid memberikan jawaban:
Bagi orang yang mengeluhkan alat vitalnya yang kecil, lebih kecil dari ukuran umumnya, sehingga mempengaruhi keharmonisan keluarga, dibolehkan untuk menggunakan obat yang bisa membantu memperbesar organ vitalnya. Ini jika mendapat rekomendasi dari dokter ahli Bahkan dibolehkan menggunakan bahan tertentu yang membungkus organ vital, seperti kondom atau semacamnya. Apabila hal ini dapat meningkatkan kepuasan bagi istrinya. Karena setiap pasangan dituntut untuk memberikan pergaulan terbaik bagi istrinya dan memenuhi kebutuhan istri dalam hubungan.
Akan tetapi, jika suatu alat tersebut hanya sebatas untuk lebih bisa menikmati organ vital ini, kami ingatkan agar penanya tidak melakukannya. Karena itu menjadi salah satu celah setan untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan yang haram.
Disadur dari: Fatawa Syabakah islamiyah, no. 111477 dan Fatwa islam, no. 101567
Sumber Artikel : www.KonsultasiSyariah.com
Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?
Written By Rachmat.M.Flimban on 02 Januari 2019 | 1/02/2019 09:36:00 PM
Manhaj, id'ah, Iadah, Dziki dan Doa
Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat? By Ustadz Ammi Nur Baits |
Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat Bolehkah menambahkan habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat… Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan. Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat? Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,
“Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan, إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً “Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146). Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai?” “Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Dari kalangan lelaki?” Tanya Amr. “Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth). Hadis ini menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan sahabatnya. Hadis-hadis ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was salam. Allah berfirman, وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا “Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (QS. an-Nisa: 125). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً “Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146) Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49) Karena itulah, dulu para sahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.” (HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani) أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ “Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’ (HR. Bukhari 1178) أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ “Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…” (HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani). Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil. Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti, اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna, اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad Allahu a’lam. Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah" |
Ahkam Adalah
Written By Rachmat.M.Flimban on 25 November 2018 | 11/25/2018 12:36:00 PM
Judul Ahkam (Arab: أحكام bentuk jama' dari Hukm/hukum Arab: حُكْم) adalah merujuk pada peraturan Islam, berasal dan dipahami dari sumber-sumber hukum agama (Arab: مَنَابِعُ الفِقْهِ). Sebuah undang-undang, nilai, peraturan atau keputusan dari syariat (hukum Islam). Untuk sampai pada suatu doktrin hukum baru, atau hukm, seseorang harus menggunakan metodologi yang sistematis yang digunakan untuk mengambil makna dari sumber-sumber. Secara tradisional, metodologi ini telah dikategorikan berdasarkan peraturan ijtihad (penalaran independen, usaha ilmiah otentik).[1] Lima Bentuk Hukum Tindakan seorang Muslim harus dilakukan sesuai dengan Hukum Islam, dikategorikan dalam lima kelompok, membentuk angka lima atau al-hukm al-khamis (Arab: الاحكام الخمسة). Mereka menunjukkan bagaimana Pertunjukan atau tidak melakukan tindakan tertentu dapat dikategorikan sebagai wajib atau dianjurkan di dalam hukum Islam. Menurut terminologi Islam angka lima yang terdiri dari:
Kondisi Darurat dan Urusan Publik Aturan/Hukum Agama bisa berubah dalam kondisi luar biasa tertentu. Sebagai contoh, meskipun muslim diwajibkan untuk berpuasa selama Ramadhan, mungkin dapat diterima untuk orang sakit untuk berbuka jika ia yakin bahwa puasa akan memperburuk penyakitnya. Perintah Islam untuk masyarakat bisa menjadi berbeda dari satu bagi seorang individu, dengan mempertimbangkan aspek sosial dan publik tindakan tertentu. Misalnya, menurut berbagai ayat Quran,[2][tak ada di rujukan] yang diperlukan untuk membawa senjata, tetapi pemerintah/negara dapat melarang atau membatasi untuk menjamin keamanan di masyarakat. Referensi 1. ^ Islamic Legal Interpretation, Harvard University Press 1996 2. ^ Sura 4, verses 71 and 102. Sumr; Id.Wikipedia.org |
Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?
Written By Rachmat.M.Flimban on 16 November 2018 | 11/16/2018 11:27:00 AM
Home MANHAJ Bid'ah Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?
MANHAJ, Bid'ah, Ibadah, Dzikir dan Doa
Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?
By Ustadz Ammi Nur Baits
Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat
Bolehkah menambahkan habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat…
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan.
Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat?
Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,
- Dari Jundab radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
- Dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan,
إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً
“Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146).
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ
“Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai?”
“Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dari kalangan lelaki?” Tanya Amr.
“Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Hadis ini menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan sahabatnya.
Hadis-hadis ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was salam.
Allah berfirman,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (QS. an-Nisa: 125).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146)
Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49)
Karena itulah, dulu para sahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,
- Pernyataan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,
- Pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
- Pernyataan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.” (HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani)
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
“Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’ (HR. Bukhari 1178)
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ
“Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…” (HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani).
Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil.
Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti,
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad
Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna,
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber Artikel; Konsultasisyariah.com
Hukum Nadzar
Written By Rachmat.M.Flimban on 02 Januari 2018 | 1/02/2018 08:22:00 PM
Hukum Nadzar
Saya pernah bernadzar untuk puasa Dawud tapi tanpa melafadzkannya secara jahr (dengan suara keras) dan tidak menentukan batas waktunya sampai kapan. Sementara orang tua saya melarang untuk melakukannya karena kondisi tubuh saya yang lemah dan saya sendiri memang merasakannya cukup berat. Apakah wajib bagi saya untuk puasa Dawud seumur hidup? Afaf
m_m…@yahoo.com
Dijawab oleh al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah. Jika keterangan yang ada pada konteks pertanyaan ‘tanpa melafadzkannya’, yang dimaksud bahwa Anda hanya bertekad dalam hati tanpa mengucapkannya sama sekali, maka tidak termasuk dalam kategori nadzar. Namun bila yang dimaksud bahwa Anda melafadzkannya secara sirr (dengan suara pelan), tidak secara jahr (dengan suara keras, didengar orang lain) maka termasuk dalam kategori nadzar karena tidak ada perbedaan antara sirr dan jahr, yang jelas sudah dilafadzkan (diucapkan).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kaset Syarh Bulughul Maram mengatakan, “Nadzar adalah meng-ilzam-kan (mewajibkan) sesuatu atas dirinya, baik dengan lafadz nadzar, ‘ahd (perjanjian), atau yang lainnya.”
Dalam kitabnya, asy-Syarhul Mumti’ (6/450—451), setelah menerangkan pengertian nadzar, beliau mengatakan, “Suatu nadzar dianggap sah (yaitu dihitung sebagai suatu nadzar) dengan ucapan (melafadzkannya) dan tidak ada konteks tertentu untuk itu. Bahkan seluruh konteks kalimat yang menunjukkan makna meng-ilzam-kan sesuatu atas dirinya maka dikategorikan sebagai nadzar, baik dengan mengucapkan:
للهِ عَلَيَّ عَهْدٌ
‘Wajib atas diri saya suatu janji karena Allah’,
mengucapkan:
لِلهِ عَلَيَّ نذَرٌ
‘Wajib atas diri saya suatu nadzar karena Allah’,
maupun lafadz-lafadz serupa yang menunjukkan ilzam, seperti:
لِلهِ عَلَيَّ أَنْ أَفْعَلَ كَذَا
‘Wajib atas diri saya untuk melakukan demikian’, meskipun tidak menyebut kata janji atau nadzar.”
Jadi, seandainya Anda sudah mengucapkan, baik dengan jahr maupun sirr, maka mohonlah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk menunaikan nadzar tersebut. Karena nadzar Anda termasuk dalam kategori nadzar ketaatan (نَذْرُ الطَّاعَةِ), dan dinamakan pula dengan nadzar tabarrur (نَذْرُ التَّبَرُّرِ) yaitu nadzar untuk melakukan suatu amalan saleh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jenis nadzar seperti ini hukumnya wajib untuk ditunaikan dan tidak bisa dibayar dengan kaffarah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barang siapa yang bernadzar untuk menaati Allah hendaklah dia melaksanakannya, dan barang siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah dia melakukannya.” (HR. al-Bukhari)
Berdasarkan hadits ini, suatu amalan yang hukumnya sunnah (mustahab) ketika dinadzarkan berubah menjadi wajib, sehingga puasa Dawud yang asalnya sunnah menjadi wajib bagi Anda. Dan karena Anda menadzarkannya secara mutlak tanpa batasan waktu maka wajib bagi Anda untuk puasa Dawud selamanya.
Adapun hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِيْنِ
“Kaffarah nadzar sama dengan kaffarah sumpah.” (Sahih, HR. Muslim)
yang menunjukkan bahwa seseorang yang bernadzar untuk suatu perkara maka dia memiliki dua pilihan yaitu melaksanakan isi nadzarnya atau membatalkannya dengan membayar kaffarah. Maka sebagian ahlul ilmi—sebagaimana dinukilkan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (11/88)—mengambil dzahir (tekstual) hadits ini yang mencakup seluruh jenis nadzar tanpa kecuali. Namun pendapat ini keliru, karena meskipun dzahir hadits menunjukkan hal itu akan tetapi dikecualikan darinya nadzar ketaatan, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah (hlm. 141), juga asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kaset Syarh Bulughul Maram.
Namun bila Anda sudah berusaha melaksanakan nadzar tersebut dan ternyata sangat menyiksa diri Anda serta mengakibatkan Anda sulit untuk menunaikan kewajiban yang lain sebagaimana biasanya, berarti Anda terhitung tidak mampu. Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Tidaklah Allah membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
maka mungkin kita dapat mengategorikannya dalam jenis bernadzar dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan (نَذْرٌ بِمَا لاَ يُطَاقُ) sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang lelaki tua dipapah oleh kedua anaknya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Ada apa dengan orang ini?”
Mereka menjawab, “Dia bernadzar untuk berjalan.” (an-Nasa’i menambahkan dalam sebuah riwayatnya, “Dia bernadzar untuk berjalan ke Baitullah.”)[1]
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Mahacukup (tidak butuh) dari perbuatan orang ini menyiksa dirinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan dia untuk berkendaraan.
Akan tetapi Anda wajib untuk membayar kaffarah berdasarkan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir yang telah disebutkan sebelumnya, dan dikuatkan dengan atsar mauquf dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya:
وَمَنْ نَذَرَ نَذْراً لاَ يُطِيْقُهُ فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ
“Barang siapa yang bernadzar dengan sesuatu yang tidak sanggup dilakukannya maka wajib atasnya membayar kaffarah sumpah.”
Sebenarnya Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkannya secara marfu’ dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun riwayatnya syadz (ganjil)[2], sebagaimana diisyaratkan oleh Abu Dawud dan dibenarkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzib Sunan Abi Dawud serta asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil (8/210—211).
Adapun kaffarah yang dimaksud sebagaimana dalam ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu adalah kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Ma’idah ayat 89:
Memberi makan sepuluh orang fakir/miskin[3] dengan makanan yang layak sebagaimana yang dihidangkan untuk keluarga. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara:
Menyediakan makanan yang sudah siap disantap kemudian mengundang sepuluh orang miskin/fakir untuk makan siang atau makan malam.
Memberikan beras atau yang semacamnya kepada sepuluh orang miskin/fakir masing-masing 1 kg, dan sebaiknya menyertakan lauk-pauknya berupa daging, telur, sayur, atau yang semacamnya.
Memberikan kepada masing-masing dari 10 orang miskin atau fakir pakaian yang layak dan sesuai dengan keadaannya, kalau laki-laki dewasa—misalnya—berupa baju dan sirwal atau sarung ukuran orang dewasa.
Membebaskan seorang budak dengan syarat mukmin menurut jumhur, dan ini yang rajih.
Berpuasa tiga hari berturut-turut menurut sebagian ulama, berdasarkan qiraah (bacaan) Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan hal ini dipilih oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Dan itu yang rajih, insya Allah.
Inilah kaffarah yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tiga perkara yang disebut pertama bebas dipilih salah satunya. Apabila tidak memungkinkan salah satu dari ketiganya, maka barulah melangkah ke perkara yang keempat. Apabila seseorang langsung melakukan perkara yang keempat padahal salah satu dari ketiga perkara yang pertama memungkinkan untuk dilakukan, maka kaffarahnya tidak sah dan dia masih dituntut kewajiban membayar kaffarah. Adapun puasanya dianggap sebagai amalan tathawwu’ (sunnah) yang dia diberi pahala atasnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, asy-Syarhul Mumti’, 6/422—428 dan kaset Syarah Bulughul Maram)
Sebagai kesempurnaan faedah, saya mengingatkan kepada Anda dan yang lainnya bahwa bukan berarti ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan nadzar ketaatan menunjukkan bahwa bernadzar adalah amalan yang terpuji yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنِ النَّذْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nadzar.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (11/578) sangat heran terhadap sebagian ulama yang berpendapat bahwa nadzar hukumnya sunnah (mustahab) seperti an-Nawawi rahimahullah, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang darinya. Maka yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa bernadzar hukumnya makruh. Ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (35/354) dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam berbagai kitabnya, di antaranya asy-Syarhul Mumti’ (6/451).
Sesungguhnya larangan yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada asalnya menunjukkan haram, melainkan jika ada qarinah (dalil) yang memalingkan dari hukum asal itu, maka hukumnya menjadi makruh. Di sini, qarinah itu adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits lain yang memerintahkan untuk menunaikan nadzar. Karena bila nadzar itu haram maka bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikannya. Bahkan ada sebagian ulama dari kalangan Hanabilah (mazhab Hambali) yang berpendapat bahwa nadzar itu haram sebagaimana dalam Fathul Bari. Bahkan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menukilkan bahwa Ibnu Taimiyah condong kepada pendapat ini. Beliau (asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) mengatakan bahwa pendapat ini kuat[4] dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Orang yang bernadzar melazimkan (mewajibkan) atas dirinya suatu amalan yang sebelumnya dia terbebas darinya. Betapa banyak orang yang bernadzar akhirnya menyesal, dan bahkan boleh jadi dia tidak menunaikannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَأَقۡسَمُواْ بِٱللَّهِ جَهۡدَ أَيۡمَٰنِهِمۡ لَئِنۡ أَمَرۡتَهُمۡ لَيَخۡرُجُنَّۖ
“Dan mereka (kaum munafikin yang tidak ikut berjihad) bersumpah demi Allah dengan penuh kesungguhan, jika engkau memerintahkan mereka (untuk keluar berperang) sungguh mereka akan melakukannya.” (an-Nur: 53)
Ayat ini menunjukkan sifat orang-orang munafik, yaitu mewajibkan atas diri mereka suatu amalan yang dipertegas dengan sumpah. Ini serupa dengan nadzar. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala membantahnya dalam lanjutan ayat tersebut:
قُل لَّا تُقۡسِمُواْۖ طَاعَةٞ مَّعۡرُوفَةٌۚ
“Katakanlah (wahai Muhammad), janganlah kalian bersumpah, (atas kalian) ketaatan yang ma’ruf.” (an-Nur: 53)
Yaitu, hendaklah kalian melaksanakan ketaatan tanpa disertai sumpah. Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa seseorang yang tidak melaksanakan ketaatan kecuali dengan bernadzar atau bersumpah atas dirinya, artinya ketaatan tersebut merupakan hal yang berat baginya.
Khususnya nadzar ketaatan yang bentuknya mu’allaq yaitu menggantungkan ketaatan dengan dihasilkannya sesuatu yang diinginkan, seakan-akan dia tidak percaya kepada Allah ‘azza wa jalla. Jadi, sepertinya dia berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memberikan kesembuhan (misalnya) kecuali jika dia memberikan sesuatu kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai balasannya. Oleh karena itu, jika mereka sudah putus asa dari kesembuhan, mereka pun bernadzar[5]. Hal yang seperti ini merupakan buruk sangka terhadap Allah ‘azza wa jalla (lihat al-Qaulul Mufid, 1/247—248).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan kaki
[1] Riwayat ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih an-Nasa’i no. 3604.
[2] Riwayat yang syadz (ganjil) bukanlah hujjah, karena tergolong riwayat yang dha’if (lemah).
[3] Dzahir ayat ini mencakup laki-laki atau perempuan, baik dewasa maupun masih kecil. (lihat asy-Syarhul Mumti’, 6/422-423)
[4] Bukan berarti bahwa Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin merajihkan haramnya nadzar. Karena sebagaimana dalam kaset Syarh Bulughul Maram, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Sulit bagi seseorang untuk mengatakan dengan tegas bahwa hukumnya (nadzar) adalah haram.”Hanya saja hal ini menunjukkan tingkat kemakruhan yang sangat.
[5] Dengan mengatakan (misalnya), “Jika saya sembuh maka saya akan berpuasa tujuh hari.”
Sumber Artikel; Majalah Islam Asy-Syareah (asysyariah.com)
Hukum Menggunakan Pelumas untuk Jimak
Written By Rachmat.M.Flimban on 09 November 2017 | 11/09/2017 09:22:00 AM
Keluarga, Soal Jawab
Hukum Menggunakan
Pelumas untuk Jimak
Setelah kajian bedah buku “Fikh Kontemporer Kesehatan Wanita”, seorang wanita yang diperkirakan berumur hampir mendekati 60 tahun bertanya langsung secara khusus,
“Apa hukum menggunakan pelumas untuk jimak?”
Jawabannya adalah: BOLEH
Selama tidak membahayakan secara medis. Hukum asal urusan dunia adalah boleh sebagaimana kaidah fiqhiyyah berikut.
الأصل في الأشياء الإباحة
“Hukum asal sesuatu (urusan dunia) adalah boleh/mubah”
Demikian juga fatwa dari Syabakah Islamiyah asuhan syaikh Abdullah Al-Faqih. Pertanyaan:
ﻫﻞ ﻫﻨﺎﻙ ﺣﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺯﻳﺖ ﺍﻟﺰﻳﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺩﻫﻦ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻟﻠﻌﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺠﻨﺴﻴﺔ ﺑﻐﺮﺽ ﺗﺴﻬﻴﻞ ﺍﻹﻳﻼﺝ ﻓﺄﺭﺟﻮ ﺍﻹﻓﺎﺩﺓ؟
“Apakah tidak boleh menggunakan minyak zaitun sebagai minyak pelumas pada kemaluan untuk mempermudah hubungan suami-istri?”
ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺰﻳﺖ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺩﻫﻦ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺑﻪ ﻟﺘﺴﻬﻴﻞ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ، ﺑﻞ ﻗﺪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺫﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻭﻻ ﻳﺘﺄﻟﻢ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﺰﻭﺟﻴﻦ . ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺣﻴﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ، ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﺍﻟﻄﺐ ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ – ﺯﻳﺖ ﺍﻟﺰﻳﺘﻮﻥ – ﻳﺴﺄﻝ ﻓﻴﻪ ﺃﻫﻞ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺹ، ﻭﻫﻞ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻳﻀﺮ ﺍﻟﺒﺪﻥ ﺃﻡ ﻻ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
“Boleh menggunakan minyak untuk melumasi kemaluan agar mempermudah jimak, bahkan terkadang disarankan agar hubungan jimak menjadi mudah dan salah satu suami-istri tidak mengalami rasa sakit. Ini dari sisi syariat, adapun dari sisi kedokteran penggunaaan minyak zaitun perlu ditanyakan kepada ahlinya, apakah penggunaan ini bisa membahayakan badan atau tidak” (Fatwa Syabakah Islamiyyah no. 17752).
Penggunaaan minyak zaitun secara medis sebagai pelumas jimak
Beberapa sumber menyebutkan bahwa beberapa minyak alami seperti minyak zaitun dan minyak kelapa bisa digunakan sebagai pelumas ketika berhubungan intim, akan tetapi kami lebih tenang untuk menganjurkannya jika sudah ada penelitian ilmiyah tentang menggunakan minyak zaitun sebagai pelumas.
Dengan penelitian ilmiyah akan menyingkirkan kemungkinan “kebetulan-kebetulan mujarabnya” dan bisa digunakan untuk berbagai keadaan dan jenis serta meneliti efek jangka panjangnya jika digunakan secara terus-menerus.
Perlu diperhatikan jika ingin menggunakan minyak zaitun sebagai pelumas ketika berhubungan intim:
Penggunanya tidak alergi atau bermasalah kulitnya dengan minyak zaitun ini.
Sehingga aman ketika digunakan sebagai pelumas.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa minyak zaitun bisa merusak kondom dan bisa membuatnya mudah robek sehingga perlu dipertimbangkan ketika mengunakannya sebagai pelumas.
Gunakan minyak zaitun yang murni. Bukan oplosan atau sudah tercampur dengan bahan lainnya.
Minyak zaitun juga bisa meninggalkan noda dan membuat pakaian terasa seperti berminyak
Minyak kelapa murni dan tidak ada tambahannya Konon, cairan pelumas dari minyak kelapa murni dianggap bisa menyebabkan alergi pada kulit serta organ kelamin.
Saran kami sebaiknya gunakan pelumas berbahan dasar air sehingga bersahabat bagi tubuh, praktis dan mudah untuk dibersihkan. Pelumas dengan bahan dasar air cukup mudah ditemukan di apotek dan pasar lainnya. Kurangnya pelumas yang keluar pada wanita bisa disebabkan beberapa hal:
Wanita belum benar-benar siap melakukan hubungan intim sehingga pelumas belum keluar dan perlu “pemanasan” yang cukup dan perlahan. Wanita merasa tidak nyaman ketika behubungan intim, merasa takut atau khawatir atau suasana tidak nyaman lainnya.
Ada penyakit tertentu yang bisa mempengaruhi keluarnya pelumas pada wanita Jika hal ini berlanjut terus-menerus, ada baiknya dibawa kedokter obstetri dan kandungan untuk diperiksakan.
Semoga bermanfaat
Narasumber; Muslim.or.id Penulis: dr. Raehanul Bahraen.
Topics: hubungan intim, Keluarga
About Author
dr. Raehanul Bahraen
Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Kedokteran Umum UGM, dosen di Universitas Mataram, kontributor majalah "Kesehatan Muslim"
Hukum dari Upah dari Membaca Al-Qur'an
Written By Rachmat.M.Flimban on 19 Oktober 2017 | 10/19/2017 03:29:00 PM
Hukum dari Upah dari Membaca Al-Qur'an
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Usaimin
Soal:
Apa yang dimaksud dengan membaca Al-Qur'an?
Jawab:
Membaca al-Qur'an dalam rentjana upah sesuai hukum haram , karena membaca Al Qur'an adalah amal shalih. Amal shalih tidak boleh dijadikan sarana untuk mencari kenikmatan dunia. Jika ia dijadikan sarana untuk mencari kenikmatan dunia, maka batal pahalanya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
من كان يريد الحياة الدنيا وزينتها نوف إليهم أعمالهم فيها وهم فيها لا يبخسون * أولئك الذين ليس لهم في الآخرة إلا النار وحبط ما صنعوا فيها وباطل ما كانوا يعملون
" Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka yang mereka inginkan di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak menghasilkan di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan "(QS Hud: 15-16).
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
من كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه
"Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya sebatas yang ia niatkan itu" (HR Bukhari - Muslim).
Maka orang yang membaca Al-Qur'an jadinya tidak ada pahalanya di sisi Allah, sehingga dia pun tidak bisa mengirimkan pahala bagi orang yang sudah mati dengan bacaannya tersebut.
***
Sumber: Majmu 'perang Fatawa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin , 12 / 165-166, Asy-Syamilah.
Penerjemah: Yulian Purnama
Sumber Artikel: Muslim.or.id
Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Anak Yatim
Written By Rachmat.M.Flimban on 22 Juli 2017 | 7/22/2017 11:09:00 PM
Dilarang Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Yatim!
By Ammi Nur Baits - Jun 22, 2017
Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Anak Yatim
Bolehkah menyerahkan zakat ke panti asuhan anak yatim?
Biasanya utk biaya operasional panti..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri untuk membersihkan orang yang yang puasa dari dosa tindakan sia-sia dan omong jorok dan sebagai makanan bagi orang miskin ….” (HR. Abu Daud 1609, Ibn Majah 1827; dihasankan al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.
Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2/7)
Allah telah menjelaskan siapa saja yang berhak zakat dalam firman-Nya,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak yatim sebagai salah satu penerima zakat. Artinya semata status yatim, bukan termasuk kriteria yang menyebabkan seseorang berhak menerima zakat.
Sebelumnya kita perlu tahu, siapakah anak yatim itu?
Dalam ensiklopedi Fiqh dinyatakan definisi anak yatim,
الْيَتِيمَ بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ”
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadis: “Tidak ada status yatim setelah baligh.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 45/254)
Berdasarkan pengertian di atas, ada dua kemungkinan anak yatim
Pertama, anak yatim yang kaya. Misalnya, dia memiliki banyak warisan dari orang tuanya. Anak yatim semacam ini, tidak berhak mendapat zakat.
Kemungkinan kedua, dia anak tidak mampu. Anak yatim yang miskin. Sehingga dia berhak menerima zakat. Bukan karena statusnya yatim, tapi karena dia orang miskin.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim berhak menerima zakat?
Jawaban beliau,
الأيتام الفقراء من أهل الزكاة فإذا دفعت الزكاة إلى أوليائهم فهي مجزئة إذا كانوا مأمونين عليها
Anak yatim yang miskin, berhak menerima zakat. Jika anda menyerahkan zakat anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah… (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/346).
Beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim,
ولكن هنا تنبيه : وهو أن بعض الناس يظن أن اليتيم له حق من الزكاة على كل حال ، وليس كذلك فإن اليتيم ليس من جهات استحقاق أخذ الزكاة ، ولا حق لليتيم في الزكاة إلا أن يكون من أصناف الزكاة الثمانية. أما مجرد أنه يتيم فقد يكون غنيًّا لا يحتاج إلى زكاة
”Ada satu catatan penting, sebagian orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah juga disebutkan,
لا يجوز صرف الزكاة إلى اليتيم إلا إذا كان من الأصناف الثمانية الذين يجوز صرف الزكاة إليهم، وهم المذكورون في قول الله تعالى – التوبة: 60 – ، ولأن اليتيم قد يكون غنيا بإرث أو هبة ونحو ذلك
Tidak boleh memberikan zakat kepada anak yatim. Kecuali jika dia termasuk salah satu dari 8 golongan yang boleh menerima zakat, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah di surat Taubah: 60. Karena anak yatim terkadang kaya dari warisan, hibah, atau yang lainnya. (Fatwa Syabakah islamiyah, no. 59155).
Karena itu, zakat tidak bisa secara penuh diserahkan ke panti asuhan anak yatim, tanpa disertai keterangan bahwa itu khusus bagi yang miskin. Kecuali jika seisi panti itu semuanya anak yatim yang miskin.
Catatan:
Anak yatim yang kaya berhak menerima santunan dari selain zakat. Seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan baku yang khusus, tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk diantaranya adalah aturan penerima zakat.
Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia orang mampu.
Allahu a’lam
Dinukil dari Sumber Artikel; Konsultasisyariah.com