Ancaman bagi yang Malas Shalat Berjamaah
Written By Rachmat.M.Flimban on 23 November 2023 | 11/23/2023 11:44:00 PM
Hadits dari Bulughul Maram kali ini menerangkan tentang ancaman bagi yang malas shalat berjamaah.
Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
Kitab Shalat
فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ
Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam
Hadits #400
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْتَطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤذَّن لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيؤمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفُ إِلَى رِجَالٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ، فَأُحَرِّقُ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ. وَالذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقاً سَمِيناً أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاء». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، واللَّفْظ لِلْبُخَارِيِّ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya ingin rasanya aku menyuruh mengumpulkan kayu bakar hingga terkumpul, kemudian aku perintahkan shalat dan dikumandangkan azan untuknya, kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang itu, lalu aku mendatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah itu dan aku bakar rumah mereka. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan mendapatkan tulang berdaging gemuk atau tulang paha yang baik niscaya ia akan hadir berjamaah dalam shalat Isyak itu.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya menurut riwayat Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651]
Faedah hadits
- Kesimpulan dari hadits ini, hukum shalat berjamaah itu fardhu ‘ain. Namun, jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa hukumnya bukan fardhu ‘ain. Mereka berselisih pendapat apakah hukum shalat berjamaah adalah sunnah ataukah fardhu kifayah. Namun, ulama madzhab Syafii berpendapat (pendapat mu’tamad atau resmi madzhab) bahwa hukum shalat berjamaah adalah fardhu kifayah. Sedangkan hadits ini yang dimaksud dengan mereka yang tidak mengerjakan shalat di sini adalah orang-orang munafik karena konteks hadits memahaminya seperti itu. Lalu kalau shalat berjamah itu fardhu ‘ain, tak mungkin ada maksud untuk meninggalkan shalat berjamaah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidaklah menjelaskan siapa yang tidak shalat berjamaah tidaklah sah shalatnya. Ancaman dalam hadits adalah untuk mereka yang tidak shalat berjamaah sama sekali.
-
Sebagian ulama berdalil bahwa hukuman ini terjadi pada masa awal dengan harta karena membakar rumah adalah hukuman terkait harta. Ulama lainnya mengatakan bahwa hukuman dengan membakar ini hanya terjadi pada dua masalah yaitu karena enggan shalat dan harta rampasan perang yang diambil diam-diam (ghulul). Jumhur ulama melarang membakar harta. Masalah ini pun terjadi pada orang-orang munafik.
- Hadits ini membicarakan shalat Isyak, juga dikaitkan dengan shalat Shubuh karena waktu itu orang pada bermalas-malasan.
- Hadits ini menetapkan tangan bagi Allah.
- Ulama yang menyatakan wajibnya shalat berjamaah adalah kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagian ulama Syafiiyah yaitu Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Mundzir, juga pendapat dalam madzhab Hambali.
- Perintah memulai shalat berjamaah (dikumandangkannya iqamah) adalah dari imam, dengan imam itu hadir atau dekat dengan masjid.
- Jika imam punya kesibukan, maka ia boleh meminta yang lain untuk menggantikan sebagai imam. Lalu imam yang belum mengerjakan ini akan mengerjakan shalat dengan jamaah lainnya.
Referensi:
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:353-356.
- Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:9-10.
Sumber https://rumaysho.com/37407-ancaman-bagi-yang-malas-shalat-berjamaah.html
DZIKIR SETELAH SHALAT FARDHU
Written By Rachmat.M.Flimban on 01 November 2023 | 11/01/2023 03:04:00 AM
Dikutip dari Buku Dzikir PAGI PETANG dan Setelah Sholat Fardhu
oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
حفظه الله
Page PAGE \* Arabic \* MERGEFORMAT 1 of NUMPAGES \* Arabic \* MERGEFORMAT 3
أَسْتَغْفِرُ اللهَ (٣٣) اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّـلاَمُ، وَمِنْكَ السَّـلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَ لِ وَالإِكْرَامِ
"Aku memohon ampun kepada Allah (3x). Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dari-Mu keselamatan, Mahasuci Engkau, wahai Rabb Pemilik keagungan dan kemuliaan." (Dibaca setiap selesai shalat wajib lima waktu). [1]
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِـمَ أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُذَا الْـجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau beri dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalih). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan." [2]
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ. لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِ لاَّ بِا اللهِ، لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهُ الْكَافِرُونَ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah. Kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujian yang baik. Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah, dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya."[3]
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُـحْيِى وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, dan bagi-Nya segala pujian. Dia-lah yang menghidupkan (orang yang sudah mati atau memberi ruh janin yang akan dilahirkan) dan yang mematikan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu." (Dibaca 10x setiap selesai shalat Maghrib dan Shubuh). [٤ ]
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَدَتِكَ
"Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu."[٥]
سُبْحَانَ اللهِ (٣٣ x) الْـحَمْدُ اللهِ (٣٣ x) اللهُ اَكْبَرُ (٣٣x)
"Mahasuci Allah." (33x) "Segala puji bagi Allah." (33x) "Allah Mahabesar." (33x)
Kemudian untuk melengkapinya menjadi seratus, membaca:
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala puji. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu."[6]
Kemudian membaca surat al-Ikhlash, al-Falaq dan an-Naas setiap selesai shalat (fardhu) [7]
Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat (fardhu). [8]
Setelah selesai shalat Shubuh membaca:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نِافِعًا،وَرِزْقً طَيِّبًا،وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amal yang diterima."[9]
[1] Muslim no. 591 (135), Ahmad (V/275, 279), Abu Dawud no. 1513, an-Nasa-i III/68,
Ibnu Khuzaimah no.737, ad-Darimi I/311 dan Ibnu Majah no. 928 dari Sahabat Tsauban رضي الله عنه.
Penjelasan: Tidak boleh ditambah-tambah dengan kata:
وَ إِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِا السَّلاَمِ وَ أَدْخِلْنَا جَنَّةَ دَارُ
السَّلاَم bacaan ini tidak ada asalnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم (Lihat Misykaatul Mashaabiih 1/303)
[2] HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593, Abu Dawud no. 1505, Ahmad IV/245, 247,
250, 254, 255, Ibnu Khuzaimah no. 742, ad-Darimi I/311, dan an-Nasa-i III/70,71 dari
Mughirah bin Syu’hah رضي الله عنه.
[3] HR. Muslim no. 594, Ahmad IV/4, 5, Abu Dawud no. 1506, 1507, an-Nasa-i III/59, Ibnu Khuzaimah no. 740, 741.
hasan gharib shahih." (Lihat Shahiih at Targhiib wat Tarhiib I/322-323 no. 474, 475, dan no. 477, Zaadul Ma'aad I/300-301, dan Silsilah al-Al-Haadiits ash-Shahiihah no. 113, 114 dan no. 2563)).
[4] Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Barangsiapa setelah shalat Maghrib dan Shubuh membaca:
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ
Allah akan tulis setiap satu kali 10 kebaikan, dihapus 10 kejelekan, diangkat 10 derajat, Allah lindungi dari setiap kejelekan, dan Allah lindungi dari godaan syaitan yang terkutuk." (HR. Ahmad IV/227, at-Tirmidzi no. 3474). At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini
[5] 5. HR. Abu Dawud no. 1522, an-Nasa-i III/53, Ahmad V/ 245 dan al-Hakim (1/273 dan III/273) dan dishahihkan-nya, juga disepakati oleh adz-Dzahabi, yang mana kedudukan hadits itu seperti yang dikatakan oleh keduanya, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah memberikan wasiat kepada Mu'adz agar dia mengucapkannya di setiap akhir shalat.
[6] “Barangsiapa membaca kalimat tersebut setiap selesai shalat, akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih di lautan." (HR. Muslim no. 597, Ahmad II/371, 483, Ibnu Khuzaimah no. 750 dan al-Baihaqi II/187)
[7] HR. Abu Dawud no. 1523, an-Nasa-i III/68, Ibnu Khuzaimah no. 755 dan Hakim I/253. Lihat pula Shahiih at-Tirmidzi II/8. Ketiga surat tersebut dinamakan al-Mu'awwidzaat, lihat pula Fat-hul Baari IX/62.
[8] "Barangsiapa membacanya setiap selesai shalat, tidak ada yang menghalanginya masuk Surga selain kematian." HR. An-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no. 100 dan Ibnus Sunni no. 124, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah II/697 no. 972.
[9] HR. Ibnu Majah no. 925, Shahiih Ibni Majah I/152 no. 753 dan Ibnus Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah, dan ahli hadits yang lain. Lihat kitab Shahiih Ibni Majah I/152 dan Majma'uz Zawaa-id X/111, shahih.
Article Author'Rachmat.M
Quoted from the source
أَسْتَغْفِرُ اللهَ (٣٣) اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّـلاَمُ، وَمِنْكَ السَّـلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَ لِ وَالإِكْرَامِ
"Aku memohon ampun kepada Allah (3x). Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dari-Mu keselamatan, Mahasuci Engkau, wahai Rabb Pemilik keagungan dan kemuliaan." (Dibaca setiap selesai shalat wajib lima waktu). [1]
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِـمَ أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُذَا الْـجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau beri dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalih). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan." [2]
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ. لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِ لاَّ بِا اللهِ، لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهُ الْكَافِرُونَ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah. Kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujian yang baik. Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah, dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya."[3]
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُـحْيِى وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, dan bagi-Nya segala pujian. Dia-lah yang menghidupkan (orang yang sudah mati atau memberi ruh janin yang akan dilahirkan) dan yang mematikan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu." (Dibaca 10x setiap selesai shalat Maghrib dan Shubuh). [٤ ]
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَدَتِكَ
"Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu."[٥]
سُبْحَانَ اللهِ (٣٣x) الْـحَمْدُ اللهِ (٣٣ x) اللهُ اَكْبَرُ (٣٣x)
"Mahasuci Allah." (33x) "Segala puji bagi Allah." (33x) "Allah Mahabesar." (33x)
Kemudian untuk melengkapinya menjadi seratus, membaca:
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ
"Tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan hanya Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala puji. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu."[6]
Kemudian membaca surat al-Ikhlash, al-Falaq dan an-Naas setiap selesai shalat (fardhu) [7]
Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat (fardhu). [8]
Setelah selesai shalat Shubuh membaca:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نِافِعًا،وَرِزْقً طَيِّبًا،وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amal yang diterima."[9]
[1] Muslim no. 591 (135), Ahmad (V/275, 279), Abu Dawud no. 1513, an-Nasa-i III/68,
Ibnu Khuzaimah no.737, ad-Darimi I/311 dan Ibnu Majah no. 928 dari Sahabat Tsauban رضي الله عنه.
Penjelasan: Tidak boleh ditambah-tambah dengan kata:
وَ إِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِا السَّلاَمِ وَ أَدْخِلْنَا جَنَّةَ دَارُ
السَّلاَم bacaan ini tidak ada asalnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم (Lihat Misykaatul Mashaabiih 1/303)
[2] HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593, Abu Dawud no. 1505, Ahmad IV/245, 247,
250, 254, 255, Ibnu Khuzaimah no. 742, ad-Darimi I/311, dan an-Nasa-i III/70,71 dari
Mughirah bin Syu’hah رضي الله عنه.
[3] HR. Muslim no. 594, Ahmad IV/4, 5, Abu Dawud no. 1506, 1507, an-Nasa-i III/59, Ibnu Khuzaimah no. 740, 741.
hasan gharib shahih." (Lihat Shahiih at Targhiib wat Tarhiib I/322-323 no. 474, 475, dan no. 477, Zaadul Ma'aad I/300-301, dan Silsilah al-Al-Haadiits ash-Shahiihah no. 113, 114 dan no. 2563)).
[4] Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Barangsiapa setelah shalat Maghrib dan Shubuh membaca:
لاَإِلَهَ إِ لاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَديْرٌ
Allah akan tulis setiap satu kali 10 kebaikan, dihapus 10 kejelekan, diangkat 10 derajat, Allah lindungi dari setiap kejelekan, dan Allah lindungi dari godaan syaitan yang terkutuk." (HR. Ahmad IV/227, at-Tirmidzi no. 3474). At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini
[5] 5. HR. Abu Dawud no. 1522, an-Nasa-i III/53, Ahmad V/ 245 dan al-Hakim (1/273 dan III/273) dan dishahihkan-nya, juga disepakati oleh adz-Dzahabi, yang mana kedudukan hadits itu seperti yang dikatakan oleh keduanya, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah memberikan wasiat kepada Mu'adz agar dia mengucapkannya di setiap akhir shalat.
[6] “Barangsiapa membaca kalimat tersebut setiap selesai shalat, akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih di lautan." (HR. Muslim no. 597, Ahmad II/371, 483, Ibnu Khuzaimah no. 750 dan al-Baihaqi II/187)
[7] HR. Abu Dawud no. 1523, an-Nasa-i III/68, Ibnu Khuzaimah no. 755 dan Hakim I/253. Lihat pula Shahiih at-Tirmidzi II/8. Ketiga surat tersebut dinamakan al-Mu'awwidzaat, lihat pula Fat-hul Baari IX/62.
[8] "Barangsiapa membacanya setiap selesai shalat, tidak ada yang menghalanginya masuk Surga selain kematian." HR. An-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no. 100 dan Ibnus Sunni no. 124, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah II/697 no. 972.
[9] HR. Ibnu Majah no. 925, Shahiih Ibni Majah I/152 no. 753 dan Ibnus Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah, dan ahli hadits yang lain. Lihat kitab Shahiih Ibni Majah I/152 dan Majma'uz Zawaa-id X/111, shahih.
Article Author'Rachmat.M
Quoted from the source
Arti Syafakillah dan Syafakallah
Written By Rachmat.M.Flimban on 03 April 2023 | 4/03/2023 02:43:00 AM
Doa Untuk Orang Sakit Sesuai Sunnah yang Dianjurkan
Kata Syafakillah dan Syafakallah kerap diucapkan seseorang ketika mendengar atau menjenguk orang sakit.
Kedua kata tersebut merupakan sebuah doa yang ditujukan kepada orang sakit agar segera diberikan kesembuhan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Syafakillah dan Syafakallah tercantum dalam hadis shahih yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim yang bunyinya:
Allahumma rabban naas mudzhibal ba'si isyfi antasy-syaafii laa syafiya illaa
anta syifaa'an laa yughaadiru saqoman
Artinya: "Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembukanlah ia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun sebenarnya ada penggunaan khusus untuk kedua kata tersebut, sehingga maksud dan tujuan ucapan tersebut bisa lebih selaras. Berikut penjelasan mengenai arti Syafakillah dan Syafakallah beserta penggunaannya.
Arti Syafakillah dan Penggunaannya
Kata Syafakillah (bahasa Arab: شفاك الله ) memiliki arti "Semoga Allah memberikan kesembuhan kepadamu (perempuan)."
Adapun tulisan lengkap doa kesembuhan tersebut, bunyinya adalah: Syafakillah
syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba'dahu saqaman
Artinya: "Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang
tiada sakit selepasnya."
Penggunaan Syafakillah ditujukan apabila orang yang sedang sakit adalah seorang
perempuan. Doa ini juga mengandung
harapan tidak akan ada sakit yang datang kembali di tubuh perempuan tersebut.
Arti Syafakallah dan Penggunaannya
Sebenarnya ucapan Syafakillah dan Syafakallah memiliki arti yang sama. Yang membedakan keduanya adalah kepada siapa ucapan ini ditujukan.
Syafakallah (bahasa Arab: شفاك الله ) artinya "Semoga Allah memberikan kesembuhan kepadamu (lelaki)."
Untuk doa lengkapnya berbunyi: Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba'dahu saqaman
Artinya: "Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang tiada sakit selepasnya."
Ucapan Syafakallah digunakan apabila yang sedang sakit adalah seorang laki-laki. Bahkan ucapan doa ini juga mengandung harapan bahwa setelah kesembuhannya, tidak akan ada penyakit yang datang kembali.
Kata Syafakillah maupun Syafakallah merupakan ucapan sehari-hari yang mengandung makna baik. Seseorang harus tetap mendoakan orang yang sedang sakit dengan doa-doa yang telah diajarkan Rasulullah SAW agar Allah SWT senantiasa segera mengangkat penyakit yang diderita orang tersebut.
Doa untuk Orang Sakit Sesuai Sunnah yang Dianjurkan
Disalin dari Sumber kumparan.com
Penulis Salinan ; Rachmat.M.Ma,
Doa untuk Pemimpin Negeri Akhi, ukhti,
Written By Rachmat.M.Flimban on 16 Oktober 2019 | 10/16/2019 12:54:00 AM
Amalan untuk Orang tua yang Sudah Meninggal
Written By Rachmat.M.Flimban on 07 Januari 2019 | 1/07/2019 09:53:00 PM
Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita
Written By Rachmat.M.Flimban on 04 Januari 2019 | 1/04/2019 10:24:00 PM
Bahasan Utama, Manhaj
Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita Oleh; Muhammad Saifudin Hakim |
Akhir-akhir ini, banyak kita jumpai saudara-saudara kita kaum muslimin yang tanpa sadar banyak menghujat dan mendoakan jelek para pemimpin di negeri ini. Ketika mereka melihat (menganggap) pemimpin atau pemerintah melakukan kesalahan atau kekeliruan (menurut prasangka mereka), begitu mudahnya kata-kata celaan, hujatan, bahkan doa jelek pun keluar dari ucapan mereka. Padahal sebagai seorang muslim, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimanakah sikap yang benar sebagai rakyat kepada para pemimpin dan pemerintah. Melalui tulisan singkat dan sederhana ini, kami bermaksud untuk mengingatkan diri kami sendiri dan juga saudara-saudara kami kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka, bukan menghujat dan mendoakan kejelekan bagi mereka. Ketaatan pada Pemimpin, Salah Satu Prinsip Penting Aqidah Ahlus Sunnah Ketika menjelaskan prinsip-prinsip pokok aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321H) berkata dalam kitab beliau, Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا “Dan kami (ahlus sunnah) tidak berpendapat (bolehnya) keluar (memberontak) dari pemimpin dan penguasa kami (yaitu kaum muslimin, pen.)”. Ini adalah salah satu prinsip aqidah ahlus sunnah, yaitu tidak boleh keluar (memberontak) dari penguasa dan pemerintah kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 59) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي “Dan barangsiapa yang menaati pemimpin, maka sungguh dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835) Oleh karena itu, tidak boleh durhaka (memberontak) kepada mereka, meskipun mereka adalah pemimpin yang jahat atau zalim sekalipun. Bersabar, Itu yang Utama Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah melanjutkan prinsip aqidah ahlus sunnah berikutnya, وإن جاروا “Meskipun mereka (pemimpin) itu (berbuat) zalim.” Maksudnya, meskipun pemimpin itu zalim dan melampaui batas, misalnya dengan mengambil harta atau membunuh kaum muslimin, maka ahlus sunnah tidaklah berpendapat bolehnya keluar dari ketaatan kepada mereka. Hal ini berdasarkan perintah tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ “Engkau mendengar dan Engkau menaati pemimpinmu. Meskipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul. Dengarlah dan taatilah (pemimpinmu)” (HR. Muslim no. 1847). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersabar, bukan memberontak mengangkat senjata atau melakukan demonstrasi. Karena dengan memberontak dan demonstrasi, akan menimbulkan (lebih) banyak kerusakan. Inilah aqidah ahlus sunnah, yaitu senantiasa menimbang dengan mengambil bahaya yang lebih ringan dibandingkan dua bahaya yang ada. Janganlah Mendokan Mereka dengan Kejelekan Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah melanjutkan lagi prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah, ولا ندعوا عَلَيْهِمْ “Dan tidak mendoakan kejelekan bagi mereka (pemimpin atau pemerintah).” Maka jelaslah bahwa aqidah ahlus sunnah menyatakan, tidak boleh mendoakan kejelekan bagi pemimpin atau pemerintah, tidak boleh menghujatnya, menjelek-jelekkannya di muka umum, dan sebagainya. Karena pada hakikatnya, hal ini sama halnya dengan durhaka dan memberontak secara fisik. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah mengatakan, “Tidak boleh mendoakan kejelekan bagi pemimpin. Karena ini adalah pemberontakan secara abstrak, semisal dengan memberontak kepada mereka dengan menggunakan senjata (pemberontakan secara fisik, pen.). Yang mendorongnya untuk mendoakan jelek bagi penguasa adalah karena dia tidak mengakui (menerima) kekuasaannya. Maka kewajiban kita (rakyat) adalah mendoakan pemimpin dalam kebaikan dan agar mereka mendapatkan petunjuk, bukan mendoakan jelek mereka. Maka ini adalah salah satu prinsip di antara prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Jika Engkau melihat seseorang yang mendoakan jelek untuk pemimpin, maka ketahuilah bahwa aqidahnya telah rusak, dan dia tidak di atas manhaj salaf. Sebagian orang menganggap hal ini sebagai bagian dari rasa marah dan kecemburuan karena Allah Ta’ala, akan tetapi hal ini adalah rasa marah dan cemburu yang tidak pada tempatnya. Karena jika mereka lengser, maka akan timbul kerusakan (yang lebih besar, pen.).” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 171) Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, لو أني أعلم أن لي دعوة مستجابة لصرفتها للسلطان “Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang dikabulkan), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.” Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata, “Maka orang-orang yang mendoakan jelek pemimpin kaum muslimin, maka dia tidaklah berada di atas madzhab ahlus sunnah wal jama’ah. Demikian pula, orang-orang yang tidak mendoakan kebaikan bagi pemimpinnya, maka ini adalah tanda bahwa mereka telah menyimpang dari aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 172). Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah juga berkata, “Maka kesemburuan bukanlah dengan mendoakan kejelekan atas pemerintah, meskipun Engkau menghendaki kebaikan. Maka doakanlah bagi mereka agar mendapatkan kebaikan. Allah Ta’ala Maha Kuasa untuk memberikan hidayah kepada mereka dan mengembalikan mereka kepada jalan yang benar. Maka Engkau, apakah Engkau berputus asa dari (turunnya) hidayah untuk mereka? Ini adalah berputus asa dari rahmat Allah.” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 173). Selain Berdoa, Apalagi yang Harus Kita Lakukan (sebagai Rakyat)? Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata ketika memberikan komentar terhadap kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, وفي هذا بيان لطريق الخلاص من ظلم الحكام الذين هم ” من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا ” وهو أن يتوب المسلمون إلى ربهم ويصححوا عقيدتهم ويربوا أنفسهم وأهليهم على الإسلام الصحيح تحقيقا لقوله تعالى: (إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم) [الرعد: ١١] وإلى ذلك أشار أحد الدعاة المعاصرين (اا) بقوله: ” أقيموا دولة الإسلام في قلوبكم تقم لكم على أرضكم “. وليس طريق الخلاص ما يتوهم بعض الناس وهو الثورة بالسلاح على الحكام. بواسطة الانقلابات العسكرية فإنها مع كونها من بدع العصر الحاضر فهي مخالفة لنصوص الشريعة التي منها الأمر بتغيير ما بالأنفس وكذلك فلا بد من إصلاح القاعدة لتأسيس البناء عليها (ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوي عزيز) [الحج: ٤٠] “Maka poin ini merupakan penjelasan (tentang) jalan keluar dari kedzaliman penguasa, yang mereka itu pada hakikatnya adalah berasal dari kulit-kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (maksudnya, pemimpin itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, pen.), yaitu hendaknya kaum muslimin bertaubat kepada Allah dan memperbaiki aqidahnya, dan mendidik dirinya sendiri dan keluarganya di atas agama Islam yang shahih. Hal ini untuk mewujudkan firman Allah Ta’ala yang artinya,”Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah suatu kaum, sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11) Atas dasar ini, salah seorang juru dakwah di zaman ini mengisyaratkan dalam sebuah perkataannya,”Tegakkanlah negara (daulah) Islam dalam diri (dada) kalian, niscaya akan tegak (daulah Islam) di negeri kalian.” Dan bukanlah jalan untuk keluar dari kedzaliamn penguasa adalah memberontak kepada penguasa, dengan jalan kudeta (militer). Maka hal ini di samping bid’ah pada zaman ini, juga merupakan tindakan yang menyelisihi dalil-dalil syari’at, yang di antaranya memerintahkan untuk memperbaiki (mengubah) diri sendiri (terlebih dahulu). Demikian pula, wajib untuk memperbaiki pondasi kaidah agar kuatlah bangunan di atasnya. (Allah Ta’ala berfirman yang artinya),”Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 40)” (Takhrij Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 69) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada pemimpin dan pemerintah kaum muslimin. Catatan Kaki;
Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah" Sumber Artikel; "Artikel Muslim.Or.Id" |
Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?
Written By Rachmat.M.Flimban on 02 Januari 2019 | 1/02/2019 09:36:00 PM
Manhaj, id'ah, Iadah, Dziki dan Doa
Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat? By Ustadz Ammi Nur Baits |
Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat Bolehkah menambahkan habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat… Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan. Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat? Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,
“Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan, إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً “Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146). Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai?” “Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Dari kalangan lelaki?” Tanya Amr. “Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth). Hadis ini menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan sahabatnya. Hadis-hadis ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was salam. Allah berfirman, وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا “Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (QS. an-Nisa: 125). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً “Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146) Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49) Karena itulah, dulu para sahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.” (HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani) أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ “Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’ (HR. Bukhari 1178) أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ “Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…” (HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani). Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil. Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti, اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna, اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad Allahu a’lam. Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) Dinukil dari eBook Pengertian Do'a dan Dzikir Karya Ibnumajjah" |