Latest Post
Tampilkan postingan dengan label tauhid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tauhid. Tampilkan semua postingan

Memahami Makna “Laa Ilaaha Illallah”

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 April 2023 | 4/25/2023 10:02:00 PM

Memahami Makna “Laa Ilaaha Illallah”

© 2023 muslim.or.id

Kalimat laa ilaaha Illallah (لآ إِلَهَ إِلاَّ الله) adalah kalimat yang agung. Ia adalah inti dan pokok dari Islam. Maka, dengan mengucapkan ini, seseorang nonmuslim menjadi seorang muslim. Kalimat inilah yang membedakan antara muslim dan kafir. Kalimat ini juga disebut dengan kalimat tauhid, juga disebut dengan kalimat ikhlas, juga disebut dengan ‘urwatul wutsqa.
Kalimat ini adalah salah satu dari rukun Islam yang lima. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت
“Islam dibangun di atas lima perkara: (1) syahadat ‘an laa ilaaha illallah wa anna muhammadan rasuulullah’, (2) mendirikan salat, (3) menunaikan zakat, (4) puasa Ramadan, dan (5) berhaji ke Baitullah.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Kalimat ini juga yang menjadi prioritas dan inti dari dakwah Islam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma, ia berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum Ahlul Kitab. Maka, hendaknya yang engkau dakwahkan pertama kali adalah agar mereka men-tauhid-kan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka salat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mengerjakan itu (salat), maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka untuk membayar zakat dari harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir. Jika mereka menyetujui hal itu (zakat), maka ambillah zakat harta mereka, namun jauhilah dari harta berharga yang mereka miliki.” (HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19)

Daftar Isi
Makna laa ilaaha illallah yang benar

Kekeliruan memaknai laa ilaaha illallah

Pertama: laa ilaaha illallah dimaknai “tidak ada sesembahan, kecuali Allah”
Kedua: laa ilaaha illallah dimaknai “tidak ada Rabb selain Allah”

Makna laa ilaaha illallah yang benar
Dalam kalimat ( لآ إِلَهَ إِلاَّ الله ) terdapat empat komponen, yaitu:
Pertama: Laa (لآ) yang artinya: tidak ada; meniadakan; menafikan.
Kedua: ilaah ( إِلَهَ) artinya: sesuatu yang disembah; sesuatu yang menjadi tujuan ibadah.
Ketiga: illa (إِلاَّ ) artinya: kecuali.
Keempat: Lafadz jalalah Allah (الله ), yaitu nama Allah Ta’ala.
Maka, memang makna dari laa ilaaha illallah secara sekilas adalah ‘tidak ada sesembahan, kecuali Allah’. Namun, ini makna yang belum sempurna dan belum tepat. Belum tepat secara bahasa Arab maupun secara syar’i.
Secara bahasa, pada kata لآ إِلَهَ, Huruf laa ( لآ)  di sini disebut dengan laa nafiyah lil jinsi. Dia memiliki dua komponen setelahnya: [1] isim laa dan [2] khabar laa. Sedangkan kata ilaah ( إِلَهَ) di sini adalah sebagai isim laa. Adapun khabar laa-nya tidak disebutkan, maka perlu kita taqdir (diperkirakan) agar mendapatkan makna yang sempurna.
Maka, khabar laa yang tepat untuk membentuk makna yang sempurna dari “Laa ilaaha illallah” adalah kata حَقً atau بِحَقٍ sehingga maknanya:

لآ إِلَهَ حَقٌ إِلاَّ الله
atau
لآ إِلَهَ بِحَقٍ إِلاَّ الله
Yang artinya:
Tidak ada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah.
atau
Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Allah.

Ini dalam tinjauan bahasa Arab. Demikian juga dalam tinjauan syari’at, makna dari laa ilaaha illallah adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah. Berdasarkan banyak dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.“ (QS. Yunus: 106)
Dan ayat-ayat lainnya yang menetapkan adanya penyembahan kepada selain Allah, namun semua itu penyembahan yang batil, hanya penyembahan kepada Allah satu-satunya yang haq.

Baca Juga: Kalimat Tauhid, Bukan Sembarang Kalimat

Kekeliruan memaknai laa ilaaha illallah
Di antara kesalahan dalam memaknai laa ilaaha illallah:
Pertama: laa ilaaha illallah dimaknai “tidak ada sesembahan, kecuali Allah”
Ini adalah batil, karena bisa berujung kepada dua makna yang keliru:
Pertama: “Tidak ada sesembahan, kecuali Allah” bermakna “Tidak ada sesembahan, kecuali itu semua adalah Allah”. Sehingga semua yang disembah oleh manusia hakikatnya adalah Allah atau bagian dari Allah. Maka, berhala itu Allah, pohon keramat itu Allah, kuburan keramat itu Allah, dewa itu Allah, dan seterusnya. Ini adalah keyakinan wihdatul wujud atau hululiyyah yang berkeyakinan bahwa Allah itu bersatu dengan makhluk-Nya. Dan para ulama telah menyatakan kufurnya keyakinan seperti ini. 
Allah berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)
Kedua: “Tidak ada sesembahan, kecuali Allah” bermakna “Hal-hal yang disembah selain Allah, itu tidak ada”. Maka, ini bertentangan dengan realita. Karena realitanya banyak sesembahan yang disembah selain Allah. Ada orang yang menyembah matahari, menyembah bulan, menyembah nabi, menyembah malaikat, menyembah orang saleh, menyembah kuburan, menyembah pohon keramat, dan lainnya. Contohnya disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an tentang orang-orang yang menyembah bulan dan matahari,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, jika Dialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fussilat: 37)

Kedua: laa ilaaha illallah dimaknai “tidak ada Rabb selain Allah”
Yaitu, laa ilaaha illallah dimaknai tidak ada pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam semesta, penguasa alam semesta, kecuali Allah. Sebenarnya ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi, bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup. Andaikan ini makna laa ilaaha illallah tentu orang musyrikin dahulu tidak akan menolak mengucapkannya. Karena mereka pun menyembah Allah dan meyakini bahwa Allah satu-satunya Rabb, yang menciptakan dan menguasai dan mengelola alam semesta. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka, betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (QS. Al-Ankabut: 61)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.’“ (QS. Az-Zukhruf: 9)
Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka, mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka, katakanlah ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?’” (QS. Yunus: 31)
Maka, kaum musyrikin mengenal Allah dan menyembah Allah. Namun, yang menjadi masalah adalah mereka tidak mau menyembah hanya kepada Allah semata. Mereka mengatakan,
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5)
Dengan demikian, makna yang benar dari kalimat ( لآ إِلَهَ إِلاَّ الله ) adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah”, atau “tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Allah”.
Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.
*** Disalin dari
Sumber Artikel: Muslim.or.id
Baca Juga: Salah Paham tentang Tauhid
Penulis; H.Rachmat.Flimban

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

YANG BOLEH TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Written By Rachmat.M.Flimban on 10 Juni 2017 | 6/10/2017 04:32:00 AM

YANG BOLEH TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

At Tauhid edisi V/33

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Golongan manusia di bulan Ramadhan dapat dibagi menjadi tiga golongan: [1] Golongan yang boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa, [2] Golongan yang wajib tidak berpuasa, dan [3] Golongan yang wajib berpuasa.

GOLONGAN YANG BOLEH BERPUASA DAN BOLEH TIDAK BERPUASA

Pertama: Orang sakit

Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.

Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum.

Nanti ketika sembuh, dia mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Untuk orang sakit ada tiga kondisi:

Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.

Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

Kedua: Orang yang bersafar

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.

Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.

Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115).

Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan.

Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan,

“Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114).

Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho bagi mereka. Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).

Cara menunaikan fidyah

Adapun ukuran fidyah adalah setengah sho’ kurma, gandum atau beras sebagaimana yang biasa dimakan oleh keluarganya (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ no. 2772, 2503, 2689). Sedangkan ukuran satu sho’ adalah sekitar 2,5 atau 3 kg. Jika kita ambil satu sho’ adalah 3 kg (untuk kehati-hatian) berarti ukuran fidyah adalah sekitar 1,5 kg. Cara menunaikannya adalah:

Pertama, memberi makanan pokok tadi kepada orang miskin. Misalnya memiliki utang puasa selama 7 hari. Maka caranya adalah tujuh orang miskin masing-masing diberi 1,5 kg beras.

Kedua, membuat suatu hidangan makanan seukuran fidyah yang menjadi tanggungannya. Setelah itu orang-orang miskin diundang dan diberi makan hingga kenyang. Misalnya memiliki 10 hari utang puasa. Maka caranya adalah sepuluh orang miskin diundang dan diberi makanan hingga kenyang. Bahkan lebih bagus lagi jika ditambahkan daging, dll. (Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majelis Syahri Ramadhan dan beberapa fatwa beliau)

Keempat: Wanita Hamil dan Wanita Menyusui

Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Namun apakah mereka memiliki kewajiban qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)

Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam.

GOLONGAN YANG WAJIB TIDAK BERPUASA

Pertama, Wanita yang Mengalami Haidh dan Nifas

Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak sah untuk berpuasa dan mereka haram untuk puasa. Dan setelah kembali suci, dia wajib mengqodho puasanya. Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ketika haidh, wanita itu tidak shalat dan juga tidak puasa. Inilah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 1951). ‘Aisyah mengatakan, “Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.” (HR. Muslim no. 335)

Bagaimanakah Puasa untuk Wanita Istihadhoh (Darahnya bukan darah haidh dan nifas, namun darah yang tidak normal)? Wanita istihadhoh tetap memiliki kewajiban berpuasa, begitu pula shalat berdasarkan kesepakatan para ulama.

Kedua, Orang yang khawatir jika berpuasa dirinya akan mati. Orang seperti ini wajib tidak puasa.

GOLONGAN YANG WAJIB BERPUASA

Yaitu setiap muslim, baligh, berakal, sehat (tidak sakit), bermukim (bukan musafir), wanita yang suci dari haidh dan nifas.

Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima.


[Sumber Rujukan: Shahih Fiqih Sunnah, Al Mughni, dll. Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]

https://buletin.muslim.or.id/fiqih/yang-boleh-tidak-berpuasa-di-bulan-ramadhan


eBook Word Download


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Makna Tauhid

Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Mei 2017 | 5/30/2017 11:11:00 PM


Makna Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid),
yang artinya menjadikan sesuatu satu saja.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: …
By Yulian Purnama

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.
Pentingnya mempelajari tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).
Sumber Artikel Muslim.or.id
Aqidah - akidah- makna tauhid - Tauhid

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah, Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid

Written By Rachmat.M.Flimban on 24 April 2017 | 4/24/2017 01:15:00 AM

Aqidah Imam Empat


Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid


  • Di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya tentang tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.”1


  • Di dalam kitab al-Mihnah terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman. Al-Qur’an adalah firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.”2


  • Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat Allah, Isra’, dan kisah ‘Arsy, yang ditolak oleh kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau, hadits-hadits tersebut shahih, dan beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.”3


  • Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.”4


  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad رحمه الله tentang ru’yah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban beliau: “Hadits-Hadits mengenai ru’yah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dari Nabiصلي الله عليه وسلم dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya dan menetapkan keshahihannya.”5


  • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri.”6


  • Di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad رحمه الله, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, maka orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).”7


  • Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Dar’u Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad رحمه الله: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.”8


  • Imam Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan mendustakan Al-Qur’an.”9


  • Imam Ibnu Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai apa adanya.”10


  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Kalamullah itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut makhluk.”11


Footnote;

1 Thabaqat al-Hanabilah, I/416

2 as-Sunnah, hal. 68

3 Thabaqat al-Hanabilah, I/56

4 as-Sunnah, hal. 71

5 Syarah I’tiqad Ahl as-Sunnah, II/507

6 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221

7 ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, hal. 104

8 Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30

9 Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145

10 Ibid, I/185

11 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/157


Menukil dari Sumber eBook, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Baktimu, Kepada Orang Tua!

Written By Rachmat.M.Flimban on 15 April 2017 | 4/15/2017 03:43:00 AM

Baktimu, Kepada Orang Tua!
Adab dan Etika
Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

TAUHID DAN BAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA,
DUA SAYAP YANG HARUS SALING BERSANDING
Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu. (QS. Al Isra`/17: 23)
Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka dengan sikap yang ma'ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik". (QS. Luqman/31: 15)
Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari'at, Nabi صلى الله عليه وسلم mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu Mas'ud رضي الله عنه berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, "Amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab, "Mendirikan shalat pada waktunya." Aku bertanya kembali, "Kemudian apa?" Jawab Beliau, "Berbakti kepada ke orang tua," lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, "Kemudian?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." (HR. Bukhari no. 5.970)
Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah عزّوجلّ merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin… (QS. Al Baqarah/2:83)
Demikian juga Allah عزّوجلّ menyanjung para nabi karena telah berbuat baik dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah عزّوجلّ menyebut nama Nabi Yahya عليه السلام atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta. Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat, anak-anaknya. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَبَرَّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. (QS. Maryam/19:14)
Begitu pula Allah memuji Nabi Isa عليه السلام, lantaran beliau telah melayani sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan dengan sikapnya itu. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS. Maryam/19:32)

Disalin dari; eBook Ibnumajjah.com
Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aqidah,Pendapat Imam Syafi’i Tentang Tauhid

Written By Rachmat.M.Flimban on 05 April 2017 | 4/05/2017 01:19:00 AM

Aqidah Imam Empat رحمهم الله
Pendapat Imam Syafi’i Tentang Tauhid
Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله mengatakan:
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah عزّوجلّ, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebutkan selain Allah عزّوجلّ, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”
Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffara. Namun, bersumpah dengan menyebut selain Allah عزّوجلّ adalah haram, dan dilarang berdasarkan Hadits Nabi صلي الله عليه وسلم, “Sesungguhnya Allah عزّوجلّ melarang kami untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, atau lebih baik diam saja.” 1
Imam Syafi’i رحمه الله beralasan bahwa asma’-asma’ Allah عزّوجلّ itu bukan makhluk, karenanya siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah عزّوجلّ, kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.2
Imam Ibn al-Qayyim رحمه الله menuturkan dalam kitabnya Ijtima’ al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah عزّوجلّ, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah عزّوجلّ, serta bersaksi bahwa Allah عزّوجلّ di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah عزّوجلّ berkehendak.” 3
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani رحمه الله, katanya:
“Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i رحمه الله.”
Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya yang ada pada diri Anda?
Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya:
“Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini adalah tempat di mana Allah عزّوجلّ menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya, kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.
Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang masalah wudhu’, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah عزّوجلّ ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah عزّوجلّ :
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu. Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)
“Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i رحمه الله, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah عزّوجلّ, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.” 4
Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya:
“Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq”
Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
“Segala puji bagi Allah عزّوجلّ yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”
Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i رحمه الله, kata beliau:
“Kita menerapkan sifat-sifat Allah عزّوجلّ ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah عزّوجلّ juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura : 11)5
Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata tentang firman Allah عزّوجلّ :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin : 15)
Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah عزّوجلّ dengan jelas.” 6
Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam Syafi’i رحمه الله, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau:
“Apakah pendapat Anda tentang firman Allah عزّوجلّ dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.”
Imam Syafi’i رحمه الله menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat melihat Allah عزّوجلّ karena dimurkai Allah عزّوجلّ, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah عزّوجلّ akan dapat melihat-Nya.”
Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah عزّوجلّ”, begitu jawab Imam Syafi’i رحمه الله.7
Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i رحمه الله ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayah. Kemudian Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
“Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah عزّوجلّ”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa, Allah عزّوجلّ menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).” 8
Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله mengatakan:
“Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.”9
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله, “Benarkah al-Qur’an itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله.
Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk?”. Imam Syafi’i رحمه الله kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Qur’an itu Kalam Allah عزّوجلّ?”. “Ya, mau”, kata orang tadi.
Kemudian Imam Syafi’i رحمه الله berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
Dan jika di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah عزّوجلّ.” (At-Taubah : 6)
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah عزّوجلّ telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (An-Nisa’ : 164)
Imam Syafi’i رحمه الله kemudian berkata lagi kepada orang tersebut:
“Maukah kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah عزّوجلّ itu ada, sedangkan Kalam-Nya belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah عزّوجلّ ada, begitu pula Kalam-Nya.”
Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i رحمه الله tersenyum, lalu berkata:
“Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah عزّوجلّ atau bukan Allah عزّوجلّ?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i رحمه الله itu, orang tadi terdiam, kemudian keluar.10
Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i رحمه الله dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
“Imam Syafi’i رحمه الله pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah عزّوجلّ, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau, “Allah عزّوجلّ Tabaraka wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah عزّوجلّ itu tidak mungkin dilakukan oleh akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah عزّوجلّ. Bahwa Allah عزّوجلّ itu mendengar, Allah عزّوجلّ mempunyai dua tangan:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Tetapi kedua tangan Allah عزّوجلّ itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)
Dan Allah عزّوجلّ itu mempunyai tangan kanan:
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah عزّوجلّ”. (az-Zumar: 67)
Dan Allah عزّوجلّ juga punya wajah:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah عزّوجلّ.” (al-Qashash : 88)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27)
Allah عزّوجلّ juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :
حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا قَدْمَهُ
"Sehingga Allah عزّوجلّ meletakkan telapak kaki-Nya di Jahanam.”11
Allah عزّوجلّ tertawa terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ tertawa kepadanya.” 12
Allah عزّوجلّ turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم tentang hal itu. Mata Allah عزّوجلّ tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak mata-Nya.” 13
Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah عزّوجلّ pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah عزّوجلّ juga punya jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi صلي الله عليه وسلم :
مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah ar-Rahman.” 14
Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah عزّوجلّ telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan fikiran.
Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah عزّوجلّ tidak menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)15

1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafi’i, I/405
2 Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i, hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28
3 kk
4 Siyar A’lam an-Nubala’, X/31
5 Siyar A’lam an Nubula’, XX/341
6 al-Intiqa’, hal.79
7 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sunnah, II/506
8 al-Intiqa’, hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, I/35
9 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/252
10 Manaqib asy-Syafi’i, I/407-408
11 Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab Al-Jannah, IV/2187
12 Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab al-Imarat, III/1504
13 Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab al-Fitan, IV/2248
14 Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah, I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syari’ah hal. 317. Ibn Mandah, ar-Radd.
15 Aqidah Imam Syafi’i رحمه الله ini dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas Leiden, Belanda.
Sumber; Ibnu Majjah.com
Disalin dari eBook, Ibnumajjah
4 Umat Muslim
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger