Fatwa Dewan Fatwa Internasional Mengenai Vaskin
Written By Rachmat.M.Flimban on 21 Maret 2018 | 3/21/2018 06:53:00 AM
Berikut kami sajikan fatwa-fatwa dewan fatwa internasional mengenai bolehnya vaksin, bahkan ada yang fatwanya berisi motivasi dan anjuran agar melakukan vaksin.
FATWA ULAMA, KESEHATAN ISLAMI
Fatwa Dewan Fatwa Internasional Mengenai Vaksin
dr. Raehanul Bahraen
Kami cukupkan 3 fatwa Dewan Fatwa yang cukup diakui lintas internasional.
- Fatwa Majma’ Fiqih Al-Islami
- Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami atau Liga Muslim Sedunia adalah organisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam
Dewan fatwa di Saudi Arabia yang fatwanya sering dipakai mayoritas kaum muslimin di dunia.
Fatwa Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European Council for Fatwa and Research
Lembaga ini berkedudukan di Republik Irlandia. Majelis ini mulai didirikan dari sebuah pertemuan yang diadakan di London di Inggris pada 29-30 Maret 1997, yang dihadiri lebih dari lima belas ulama dunia, atas prakarsa dari Ittihad Munazhzhamah fi Uruba (Persatuan Organisasi Islam di Eropa).
Perlu diketahui bahwa ulama tidak gegabah berfatwa, mereka juga perlu tahu fikhul waqi’ (realita), karenanya mereka sebelum berfatwa mencari tahu hakikat persoalan. Misalnya majma’ fiqh Al-Islami , terkait vaksinasi, maka mereka mengundang para ahli vaksin dan dokter untuk dihadirkan dalam muktamar dan diminta menjelaskan mengenai hakikat dan cara pembuatan vaksin serta hal-hal terkait vaksin
Karena jika salah memahami fikhul waqi’, maka salah juga mengeluarkan fatwa, sebagaimana dikenal dalam kaidah
الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
“Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”
Artinya: Jika informasi yang sampai ke pemberi fatwa salah, maka salah juga fatwanya (dalam hal ini bukan salah ustadz/ulamanya).
Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz, apa hukum vaksin yang MENGANDUNG babi dan berbahaya.”
Ustadz menjawab: Haram
Maka menyebarlah fatwa “vaksin haram”
Padahal: Faktanya TIDAK demikian, program vaksinasi di Indonesia tidak ada satupun yang mengandung babi.[1]
Mohon maaf, ada sebagian orang yang bukan ahli fikh bukan juga ahli kesehatan tapi berani bicara vaksin dan hukumnya (ada juga ustadz yang selama ini jadi panutannya dan diikuti segala hal fikhnya, tiba-tiba ustadznya bicara vaksin berdasarkan fakta yang benar mengenai mubahnya vaksin, tiba-tiba ia tolak dan tidak terima, kemudian hilang lah sisi ilmiah pada dirinya).
Ini bentuk hati-hati para ulama sebelum berfatwa, jika saja para ulama sudah diragukan fatwanya, tentu kurang baik.
- Fatwa Majma’ Fiqih Al-Islami
Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul
(بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال)
“Penjelasan untuk MEMOTIVASI gerakan imunisasi memberantas penyakit POLIO
Berikut isi fatwanya:
إن دفع الأمراض بالتطعيم لا ينافي التوكل؛ كما لا ينافيه دفع داء الجوع والعطش والحر والبرد بأضدادها، بل لا تتم حقيقة التوكل إلا بمباشرة الأسباب الظاهرة التي نصبها الله تعالى مقتضيات لمسبباتها قدرا وشرعا، وقد يكون ترك التطعيم إذا ترتب عليه ضرر محرما.
“Mencegah penyakit dengan imunisasi tidak menafikkan tawakkal, sebagaimana mencegah lapar, haus, panas dan dingin. Bahkan tidak sempurna hakikat tawakkal kecuali dengan melakukan sebab-sebab nyata yang telah Allah tetapkan sebagai penyebabnya baik sebagai sebab qadariyah (sebab-akibat, pent) atau sebagai sebab syar’i. Dan bisa jadi tidak melakukan imunisasi kemudian muncul bahaya, maka ini hukumnya haram.”[2]
Vaksin mubah dan termasuk perkara yang disyariatkan menempuh sebab secara ilmiah.
وبعد دراسة اللجنة للمعاملة أفتت: بأن استعمال اللقاح المذكور في السؤال وغيره من الأدوية المباحة أمر مشروع وهو من عمل الأسباب المشروعة التي يدفع الله بها الأمراض، ويحصن بها الإنسان أطفاله لما يرجى من النفع في التحصن من الأمراض الخطيرة كالشلل وغيره لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: من تصبح بسبع تمرات عجوة لم يضره ذلك اليوم سم ولا سحر أخرجه البخاري ومسلم في (صحيحيهما).
وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه، وهو لا ينافي التوكل؛ لأنه من فعل الأسباب المشروعة للتوقي من الأدواء والأمراض التي يخشى نزولها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: اعقلها وتوكل أخرجه الترمذي في (جامعه) من حديث أنس رضي الله عنه، والحاكم في (المستدرك) من حديث عمرو بن أمية الضمري، كما أخرجه الطبراني من طرق، وقال الذهبي في (تلخيص المستدرك): (سنده جيد).
Setelah al-Lajnah Lil Muammalah menelaah (program imunisasi), maka al-Lajnah berfatwa:
“Penggunaan vaksin yang telah disebutkan (oleh Kementerian Kesehatan Saudi Arabia) ataupun vaksin/obat lainnya yang mubah, maka ini termasuk perkara yang disyariatkan dan merupakan bentuk menempuh sebab yang disyariatkan, yang dengannya Allah akan menghindarkan hambanya dari berbagi macam penyakit.
Masyarakat bisa melindungi anak-anaknya, karena adanya manfaat yang diharapkan dengan imunitas tubuh dari bermacam-macam penyakit yang berbahaya. Misalnya Polio, atau penyakit lainnya yang timbul karena adanya wabah ataupun sebab-sebab lainnya yang dikhawatirkan timbulnya penyakit karenanya.
Hal ini berdasarkan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang pada pagi hari memakan tujuh butir kurma ajwah, maka tidak ada satupun racun dan sihir yang akan membahayakannya pada hari tersebut” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dalam kitab Shahihnya).
Hal ini termasuk dalam kategori mencegah bahaya sebelum terjadinya, dan tidak bertemtangan dengan tawakal, karena merupakan upaya yang disyariatkan untuk melindungi diri dari bermacam-macam penyakit dan akibatnya yang dikhawatirkan terjadi.”[3]
Isinya menjelasakan kehalalan vaksin dan memotivasi penggunaan vaksin
Berikut fatwanya, terkait vaksin, memutuskan dua hal:
أولا: إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية
Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer, dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).[4]
Jika ada yang berkata: “Pegangan kita adalah Al-Quran dan As-sunnah, bukan fatwa”
Jawab: Ulama juga berfatwa berdasarkan Al-Quran dan sunnah dan ulama lebih paham mengenai hal ini
Demikian semoga bermanfaat
NOTE:
Vaksin Saudi dimpor juga dari Indonesia, Indonesia Eksport banyak sekali vaksin ke berbagai negara, termasuk 30 lebih negara Islam, memenuhi kebutuhan Asia Tenggara, karena vaksin Indonesia buatan dalam negeri oleh PT biofarma sejak zaman belanda, bukan buatan Yahudi atau Amerika bahkan sebelum negara Israel ada.
Baca Indonesia ekspor vaksin ke Saudi:djpen.kemendag.go.id/…/view/519c8380-5f98-4990-b57e-6f220a1…
m.republika.co.id/…/nmofq4-bio-farma-penuhi-kebutuhan-vaksi…
Catatan kaki:
[1] Silahkan baca tulisan kami: Semua Bisa Ngomong Tentang Vaksin?
Iya semua bisa, siapapun itu, akan tetapi akan terlihat mana yang ilmiah dan mana yang tidak. Beredar broadcast bantahan review kajian tentang vaksin Rodja TV dengan menghadirkan parah Ahli. Kami pun ingin membantahnya kembali terlebih, akan tetapi ternyata kami yakin ini tidak akan habis-habis karena tidak perlu melayanani yang tidak paham vaksin Permasalahan vaksin sederhana, … Continue reading
[2] Silahkan baca selengkapnya: Sumber: http://www.fiqhacademy.org.sa/bayanat/30.htm
[3] Silahkan baca lengkapnya: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=15445&PageNo=1&BookID=3
[4] Silahkan baca: Sumber:http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203
Artikel muslim.or.id
Bolehkah Wali Nikah Diwakilkan?
Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Januari 2018 | 1/30/2018 04:41:00 PM
Bolehkah Wali Nikah Diwakilkan?
Bolehkan bagi seorang wali nikah mengutus wakil bagi dirinya sebagai wali bagi
mempelai yang berada dalam perwaliannya sementara dia, misalnya si paman, masih hidup dan ada?
By Yulian Purnama
Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
Soal:
Bolehkah bagi seorang wali nikah mengutus wakil bagi dirinya sebagai wali bagi mempelai yang berada dalam perwaliannya sementara dia, misalnya si paman, masih hidup dan ada?
Jawab:
Tidak mengapa perwakilan dari si wali menikahkan mempelai tersebut. Misalnya ayah seorang wanita menikahi anaknya dengan diwakilkan oleh pamannya si wanita, atau diwakilkan oleh salah seorang anak pamannya yang ditunjuk untuk menggantikan si ayah dalam pernikahan. Ini tidak mengapa. Boleh bagi seorang wali untuk menunjuk wakil dalam pernikahan anaknya, saudara perempuannya, atau keponakan perempuannya. Boleh diwakilkan oleh orang yang tepat untuk berperan sebagai wali nikah jika dia memang ditunjuk, semisal pamannya, atau saudaranya atau paman dari pihak ibu jika mereka ditunjuk. Ini boleh.
Demikian juga si calon suami boleh diwakilkan. Ia boleh diwakilkan oleh orang lain yang nantinya menerima akad nikah. Misalnya diwakilkan oleh ayahnya, oleh saudaranya, ia nantinya berperan menerima akad nikah dari Fulanah. Contohnya dengan berkata: “saya terima nikahnya atas nama saudara saya, si Fulan..“, atau “atas nama paman saya..” atau “atas nama keponakan saya..” atau “atas nama anak saya..“, ini tidak mengapa.
Perwakilan dalam pernikahan itu boleh, baik bagi wali maupun bagi calon suami, baik mereka sedang ada atau sedang tidak ada.
Narasumber: binbaz.org.sa
Dinukil dari Sumber Artikel Muslimah.Or.Id
Penerjemah: Yulian Purnama
10 Kiat Istiqamah (16)
Written By Rachmat.M.Flimban on 07 November 2017 | 11/07/2017 05:50:00 PM
tazkiyatun-nufus, nasehat, fatwa, kaidah,
10 Kiat Istiqomah (16)
Oleh Sa'id Abu ukkasya
Gambar
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqamah (15)
Dalil tentang kekuatan hati
Banyak dalil yang menunjukkan adanya kekuatan hati berupa kekuatan ilmiah dan amaliah, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 1-5, 186, dan 177, Al-A‘raaf: 157, serta surat Al-Ashr. Berikut ini penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang surat Al-Ashr,
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
“Dengan hanya menyebut setiap nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
وَالْعَصْرِ
(1) Demi masa.
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan surat tersebut,
فأقسم سبحانه وتعالى بالدهر الذى هو زمن الأعمال الرابحة والخاسرة، على أن كل واحد فى خسر، إلا من كمل قوته العلمية بالإيمان بالله، وقوته العملية بالعمل بطاعته. …… فكمل نفسه بالعلم النافع والعمل الصالح، وكمل غيره بتعليمه إياه ذلك، ووصيته له بالصبر عليه
Allah subhanahu wa ta‘ala (dalam surat ini) bersumpah dengan masa yang merupakan waktu untuk beramal, baik amal yang menguntungkan maupun yang merugikan (pelakunya) bahwa setiap orang berada dalam kerugian, kecuali orang yang menyempurnakan kekuatan ilmiah dengan beriman kepada Allah dan menyempurnakan kekuatan amaliah dengan taat kepada-Nya. Maka ia menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih, serta menyempurnakan orang lain dengan mengajarkan kepadanya hal itu, dan berwasiat kepadanya dengan bersabar atas hal itu.
Ucapan emas bagi orang yang menyayangi hatinya agar bisa istiqamah
Ibnul Qayyim rahimahullah bertutur dalam Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan, hal. 22, “Hendaknya (seorang hamba) ketahui bahwa kedua kekuatan (hati) ini tidak pernah berhenti beraktifitas, bahkan (kemungkinan yang ada) yaitu:
Jika tidak ia gunakan kekuatan ilmiahnya untuk mengenal kebenaran dan mencarinya, maka ia akan gunakan kekuatan tersebut untuk mengetahui sesuatu yang selaras dan cocok dengan kebatilan. Begitu pula, jika tidak ia gunakan kekuatan kehendak amalnya untuk beramal shalih, maka ia akan gunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan amal shalih. Jadi, (Kesimpulannya) bahwa manusia itu, secara tabiat, disifati dengan harits dan hammam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ta’ala ‘alaihi wa alihi wa sallam,
أَصْدَقُ الأَسْمَاءِ: حَارِثٌ وَهَمَّامٌ
“Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam.”
Harits adalah orang yang (suka) beraktifitas. Sedangkan hammam adalah orang yang banyak berkeinginan/selera ham. Karena sesungguhnya jiwa itu sifatnya dinamis dan gerakannya sesuai kehendak jiwa itu. Hal ini adalah bagian dari konsekuensi dzatnya.”
Sedangkan kehendak itu mengharuskan bahwa sesuatu yang dikehendaki akan tergambar pada jiwanya dan memiliki keistimewaan tersendiri menurut jiwanya. Jadi, jika jiwa (manusia) tidak menggambarkan kebenaran, mencarinya dan menghendakinya, maka akan menggambarkan kebatilan, mencarinya dan menghendakinya. Dan itu pasti!”
Setelah kita mengetahui penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah maka dapat disimpulkan bahwa keistiqamahan seorang hamba dipengaruhi oleh dua kekuatan hati tersebut, karena apabila kekuatan hati itu baik, maka baik pula ucapan dan amalan seluruh anggota tubuh lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati” (Hadits dalam Shahihain).
Sebaliknya, apabila dua kekuatan hati itu rusak, maka hal itu akan merusak keistiqamahan seorang hamba, dan ketahuilah bahwa syahwat dan syubhat adalah induk penyakit yang merusak dua kekuatan hati.
(Bersambung)
Narasumber Sumber:Muslim.or.id
Artikel Terkait ; 10 Kiat Istiqomah (17)
About Author
Sa'id Abu Ukkasyah
Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta
10 Kiat Istiqomah (15)
tazkiyatun-nufus, nasehat, fatwa, fatwa-ulama, kaidah,
10 Kiat Istiqomah (15)
Oleh Sa'id Abu ukkasya
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (14)
Kiat Kesembilan
Penghalang istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan”
Seorang hamba yang meniti jalan lurus akan menyimpang dari jalan tersebut dengan salah satu dari dua perkara, yaitu syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan, karena keduanya merupakan penghalang keistiqamahan seseorang. Perhatikanlah. Bahwa setiap orang yang menyimpang dalam beragama Islam, pastilah karena penyakit mengikuti syahwat atau tekena penyakit syubhat.
Dua Kekuatan Hati yang Harus Dijaga
Hati memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan ilmu, dan kekuatan kehendak yang membuahkan amal. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan,
لما كان فى القلب قوتان: قوة العلم والتمييز، وقوة الإرادة والحب. كان كماله وصلاحه باستعمال هاتين القوتين فيما ينفعه، ويعود عليه بصلاحه وسعادته.
Tatkala dalam hati terdapat dua kekuatan hati, yaitu:
Kekuatan mengetahui dan membedakan (quwwatul ‘ilmi wat tamyiz). Kekuatan kehendak dan cinta (quwwatul iradah wal hubb). maka kesempurnaan dan kebaikan hati itu diperoleh dengan menggunakan dua kekuatan ini dalam perkara yang bermanfaat bagi hati dan dalam perkara yang kebaikan dan kebahagiaan hati tersebut kembali kepadanya”.
Lalu beliau rahimahullah menyatakan,
أن حياة القلب وصحته لا تحصل إلا بأن يكون مدركا للحق مريدا له، مؤثرا له على غيره.
“Bahwa kehidupan hati dan kesehatannya tidak akan diperoleh kecuali dengan mengenal kebenaran (kekuatan ilmiyah) lagi menginginkannya serta memilihnya, mengalahkan selainnya (kekuatan kehendak atau kekuatan amaliah).”
Oleh karena itu selayaknyalah seorang hamba yang ingin istiqamah dalam meniti jalan yang lurus benar-benar menggunakan kekuatan hatinya dengan sebaik-baiknya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kepada kita bagaimana cara menggunakan kekuatan hati pertama, yaitu kekuatan mengetahui dan membedakan (quwwatul ‘ilmi wat tamyiz).
فكماله باستعمال قوة العلم فى إدراك الحق، ومعرفته، والتمييز بينه وبين الباطل
“Kesempurnaan hati diperoleh dengan menggunakan kekuatan ilmu untuk menemukan dan mengenal kebenaran (dengan baik) serta membedakan antara kebenaran dengan kebatilan (dengan baik).”
Adapun tentang cara menggunakan kekuatan hati kedua:
kekuatan kehendak dan cinta (quwwatul iradah wal hubb),
وباستعمال قوة الإرادة والمحبة فى طلب الحق ومحبته وإيثاره على الباطل
“(Kesempurnaan hati diperoleh) dengan menggunakan kekuatan kehendak dan cinta dalam mencari kebenaran dan mencintainya serta memilihnya, mengalahkan selainnya.”
(Bersambung)
Narasumber Sumber:Mmuslim.or.id
Artikel Terkait ; 10 Kiat Istiqomah (16)
About Author
Sa'id Abu Ukkasyah
Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta
10 Kiat Istiqomah (14)
Written By Rachmat.M.Flimban on 06 November 2017 | 11/06/2017 09:59:00 PM
tazkiyatun-nufus, nasehat, fatwa, fatwa-ulama, kaidah,
10 Kiat Istiqomah (14)
Oleh Sa'id Abu ukkasya
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (13)
(Lewat kaedah kedelapan)
Apa yang disampaikan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin, apakah tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam ruangan Ash-Shirath (Jembatan) pada hari kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahannya dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia, hal ini sesuai dengan kandungan hadits berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وترسل الأمانة والرحم فتقومان جنبتي الصراط يمينا وشمالا فيمر أولكم كالبرق )) , قال: قلت بأبي أنت وأمي أي شيء كمر البرق? قال: ((ألم تروا إلى البرق كيف يمر ويرجع في طرفة عين ثم كمر الريح ثم كمر الطير وشد الرجال تجري بهم أعمالهم ونبيكم قائم على الصراط يقول رب سلم سلم حتى تعجز أعمال العباد حتى يجيء الرجل فلا يستطيع السير إلا زحفا قال وفي حافتي الصراط ? كلاليب معلقة مأمورة بأخذ من أمرت به فمخدوش ناج ومكدوس في النار)) رواه مسلم.
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu , dia mengatakan, Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam telah bersabda, 'Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan). Terserah berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat. ' Aku bertanya, 'Dengan bapak dan ibu (aku korban) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat? ' Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,' Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana dia lewat dalam sekejap mata? ' Maka ada yang melewatinya seperti angin, lalu seperti burung, dan seperti larinya orang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka.Nabi kalian saat itu berdiri di atas shirath sambil berkata, 'Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah. Maka ada para hamba yang lemah amalannya, sampai-sampai datang seseorang yang tidak bisa lewat kecuali dengan merangkak. ' Dia menuturkan (lagi), 'Di kedua sisi shirath ada besi pengait yang bergantungan untuk disambar yang dipersambar siapa saja yang diperuntukkan untuk dirambar. Maka ada yang terkoyak namun selamat dan ada pula yang dijerumuskan ke dalam neraka '"(HR. Muslim).
Pada Dua Sisi Ash-Shirath Tergantung Banyak Pengait Yang Menyambar Orang-Orang yang Sewaktu Di Dunia Tersambar Syubhat dan Syahwat
Ketahuilah yang kedua sisi Ash-Shirath tergantung banyak pengait-pengait yang menyambar. Bentuknya seperti batang besi pengait daging, berujung bengkok, dan berkawat duri yang ada dalam hadits Muttafaqun 'alaihi di atas. Karena hal itu sama dengan amalan, maka pengait-pengait di kedua sisi Ash-Shirat (jembatan) itu pun akan menyambar orang-orang yang sedang di dunia tersambar oleh syubhat dan syahwat. Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Abdur Razzaq rahimahullah mengutarakan,
من كان في هذه الحياة الدنيا تخطفه الشبهات عن الصراط المستقيم, وتخطفه الشهوات عن الصراط المستقيم, فأيضا الكلاليب التي على جنبتي الصراط يوم القيامة تخطفه مثل ما خطفته الشبهات والشهوات في هذه الحياة الدنيا
"Maka barangsiapa yang di kehidupan dunia ini disambar oleh syubhat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus, dan disambar oleh syahwat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus (pula), maka pengait-pengait yang berada di atas sisi jembatan ( Ash-Shirath ) pada hari Kiamat itu akan menyambarnya semisal sambaran syubhat dan syahwat yang menyambarnya di dunia kehidupan ini. "
(Bersambung)
Narasumber Sumber:Mmuslim.or.id
Artikel Terkait ; 10 Kiat Istiqomah (15)
About Author
Sa'id Abu Ukkasyah
Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta
10 Kiat Istiqomah (13)
tazkiyatun-nufus, nasehat, fatwa, fatwa-ulama, kaidah,
10 Kiat Istiqomah (13)
Oleh Sa'id Abu ukkasya
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (12)
KAEDAH KEDELAPAN
“Buah Istiqamah di Dunia adalah Istiqamah di atas Jembatan (Ash-Shirath) pada Hari Kiamat”
“Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat”, maksudnya adalah barangsiapa yang diberi petunjuk sewaktu di dunia hingga ia berhasil meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) dan istiqamah di atasnya, maka ia akan berhasil meniti jembatan (Ash-Shirath) di akhirat.”
Hal ini sesuai dengan kaidah dalam Al-Qur`an Al-Jaza` min jinsil ‘Amal bahwa balasan itu sejenis dengan amal yang diperbuat. Tatkala amalan seseorang adalah istiqamah di dunia, maka iapun memetik buahnya berupa istiqamah di akhirat. Ketika ia berhasil meniti Ash-Shirath yang lurus di dunia, maka iapun berhasil meniti Ash-Shirath di akhirat.
Di akhirat kelak, akan dibentangkan jembatan (Ash-Shirath) di atas neraka Jahannam. Ciri khas jembatan tersebut lebih tajam daripada pedang dan lebih tipis daripada rambut. Manusia diperintahkan melewatinya. Berhasil atau tidaknya seseorang dalam melewatinya sesuai dengan tingkatan istiqamahnya meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) sewaktu di dunia, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ
“Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana (bentuk) jembatan itu?’ Jawab beliau, ‘Licin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa’dan …’” (Muttafaqun ‘alaih).
Sebagaimana pula hadits tentang macam-macam nasib orang yang melewati jembatan (Ash-Shirath) di akhirat,
فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ ، وَمَخْدُوشٌ مُرْسَلٌ ، وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Maka ada yang selamat tanpa luka, namun ada yang terkoyak lalu selamat, dan adapula yang jatuh kedalam neraka Jahannam” (H.R. Muslim).
Kecepatan Melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada Hari Kiamat Berbanding Lurus dengan Keistiqamahan di Dunia
Adapun tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (jembatan) pada hari Kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahan dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin 1/10 berkata,
فمَنْ هُدِي في هذه الدَّار إلى صراطِ الله المستقيمِ الَّذي أرسَل به رسُلَه وأنْزَل به كُتبَه هُدِيَ هُناك إلى الصِّراط المستقيم الموصِل إلى جنَّتِه ودار ثَوابِه ، وعلى قَدر ثُبوتِ قَدمِ العبدِ على هذا الصِّراط الَّذي نَصبَه الله لعبادِه في هذه الدَّار يكونُ ثُبوت قدمِه على الصِّراط المنصُوب على مَتنِ جهنَّم ، وعلى قَدر سَيْره على هذه الصِّراط يكونُ سَيْرُه على ذاك الصِّراط
“Maka barangsiapa yang diberi petunjuk ke jalan Allah yang lurus di dunia ini -yang para rasul-Nya diutus dengannya dan Allah turunkan Kitab-Kitab-Nya dengan sebabnya, maka ia akan diberi petunjuk di (akharat) sana kepada jalan lurus yang menghantarkan kepada surga-Nya dan tempat pahala-Nya.”
Sekadar tegarnya kaki seorang hamba meniti jalan yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya di dunia ini, maka sekadar itu pulalah tegarnya kaki seorang hamba meniti jembatan yang dibentangkan di atas Jahannam. Dan sesuai dengan kadar perjalanan seorang hamba meniti jalan lurus (Ash-Shirathul Mustaqim di dunia ini), maka sekadar itu pulalah kadar perjalanannya di atas jalan Ash-Shiroth (jembatan pada hari Kiamat).”
(Bersambung)
Narasumber Sumber:Mmuslim.or.id
Artikel Terkait ; 10 Kiat Istiqomah (14)
About Author
Sa'id Abu Ukkasyah
Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta
10 Kiat Istiqomah (12)
tazkiyatun-nufus, nasehat, fatwa, fatwa-ulama, kaidah,
10 Kiat Istiqomah (12)
Oleh Sa'id Abu ukkasya
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (11)
KIAT KETUJUH:
"Seorang hamba, meski tingkatnya tinggi istiqomahnya, maka dia tidak boleh bersandar ke amalnya"
Kewajiban seorang hamba tidak bersandar kepada amalnya, meski tingkatnya tinggi istiqomahnya, meski demikian tingkat keshalehannya.
Jangan sampai ia tertipu dan silau dengan ibadahnya, shalatnya, puasanya, dzikirnya atau ketaatan lainnya yang ia lakukan.
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan :
والمطلوب من العبد الاستقامة وهي السداد, فإن لم يقدر عليها فالمقاربة, فإن نزل عنها فالتفريط والإضاعة,
"Yang tertuntut dari seorang hamba adalah istiqomah, yaitu sadaad , jika dia tidak mampu maka bersikaplah muqaarabah . Seperti jika melakukan di bawah muqaarabah, berarti terjerumus ke dalam mengurangi batasan (syar'i) dan menelantarkan nya "nya.
Dalam Ash-Shahihain dari hadits A'isyah radhiyallahu 'anha dari Nabi shallallahu' alaihi wa sallam, dia bersabda:
سددوا وقاربوا وأبشروا, فإنه لن يدخل الجنة أحدا عمله, قالوا: ولا أنت يا رسول الله !? قال: ولا أنا; إلا أن يتغمدني الله منه بمغفرة ورحمة
"Bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, juga bergaransi, karena sesungguhnya amal seseorang yang memasukkannya dalam surga". Para sahabat bertanya: "Tidak pula Anda wahai Rasulullah?", Dia menjawab: "Tidak pula saya, hanya saja Allah melimpahkan kepadaku ampunan dan rahmat dari-Nya".
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bergeser semua kedudukan-dalam agama islam ini, beliau shallallahu' alaihi wasallam perintah (umatnya) untuk istiqomah, yaitu: lurus dan benar dalam keseluruhan niat, ucapan dan perbuatan.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan dalam hadits Tsauban, yaitu:
استقيموا ولن تحصوا, واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة
"Istiqomahlah dan kalian akan akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), dan ketahuilah sebaik-baiknya amal kalian adalah shalat" (HR Imama Malik dalam Al-Muwaththa` dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Al- Albani).
Tidak mereka bisa tidak (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beralih ke muqaarabah, yaitu: agar mereka yang sesuai dengan istiqomah sesuai dengan kemampuan mereka, seperti orang yang membenarkannya, maka jika tidak tepat mengenai sasaran, target sasaran! (Madarijus Salikin: 2/105).
Selanjutnya, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kandungan lain dari hadits A'isyah radhiyallahu 'anha dalam Ash-Shahihain di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :
فأخبرهم أن الاستقامة والمقاربة لا تنجي يوم القيامة, فلا يركن أحد إلى عمله, ولا يعجب به, ال إنما نجاته برحمة الله وعفوه وفضله
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun mengabarkannya istiqomah (sadaad) dan muqaarabah hukum keselamatan (pelakunya) pada hari kiamat kelak, maka janganlah seseorang bersandar ke amalnya (merasa aman) dan janganlah ia tangkap / silau dengan amalannya, dan janganlah dia memandang haknya keselamatan dirinya ditentukan oleh amalnya, akankah hakekatnya keselamatan dirinya adalah karena rahmat Allah, maaf-Nya dan karunia-Nya "(Madarijus Salikin: 2/105).
(Bersambung)
Narasumber: Muslim.or
Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqomah (13)"
About Author
Sa'id Abu Ukkasyah
Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta
10 Kiat Istiqomah (11)
Tazkiyatun Nufus, Nasehat, fatwa-ulama, kaidah
10 Kiat Istiqomah (11)
Oleh Sa'id Abu ukkasya
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (10)
KIAT KEENAM:
“Istiqomah tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah dan dengan pertolongan Allah, serta sesuai dengan perintah Allah”
Keistiqomahan seorang hamba tidaklah terwujud kecuali dengan tiga perkara, yaitu:
Dengan ikhlas karena Allah (Lillah), maksudnya: seorang hamba dalam beristiqomah meniti jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala yang lurus dan melaksanakan agama Islam ini haruslah ikhlas karena Allah Tabaraka wa Ta’ala, dalam rangka melaksanakan perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala, mengharap perjumpaan dengan-Nya, pahala-Nya dan ridho-Nya. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 6).
Faidah:
Seorang hamba yang ikhlas karena Allah dalam beristiqomah dan meniti jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala yang lurus, maka terhindar dari riya’ dan seluruh bentuk kesyirikan.
Dengan pertolongan Allah (Billah), maksudnya: seorang hamba dalam merealisasikan istiqomah dalam niat, ucapan maupun perbuatan serta agar tetap terjaga keistiqomahannya haruslah memohon pertolongan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala semata. Sesungguhnya hal ini adalah pengamalan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Hud: 123).
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بالله
“Semangatlah mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah.”
Faidah:
Seorang hamba dalam beribadah dan menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala berarti telah menggabungkan dua perkara yang termulia dan teragung, yaitu:
Pertama, beribadah kepada Allah Ta’ala yang merupakan tujuan termulia bagi seorang hamba.
Kedua, memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya semata yang merupakan sarana yang teragung.
Dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam beribadah kepada-Nya, maka seorang muslim akan terjaga dari ‘ujub, membangga-banggakan amalannya dan merendahkan saudaranya.
Sesuai dengan perintah Allah (‘Ala amrillah), maksudnya: hati dan anggota tubuh lahiriyah dalam berucap dan berbuat dan dalam beristiqomah haruslah sesuai dengan syariat Allah dan sesuai dengan Ash-Shirooth Al-Mustaqiim. Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap firman Allah:
ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“…kemudian mereka istiqomah…”, beliau berkata:
أي استَقاموا في أداءِ الفَرائض
“Maksudnya: istiqomah dalam menunaikan kewajiban”.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan:
استقاموا على أمْر الله فعَملُوا بطاعتِه، واجتَنبوا معصيتَه
“Mereka istiqomah di atas perintah Allah sehingga mereka mengamalkan amalan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya”.
Dan maksud dari “perintah Allah” di dalam ucapan Al-Hasan rahimahullah tersebut adalah syariat-Nya (agama Islam) yang Dia utus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengannya.
Faidah:
Tatkala seorang hamba meniti Ash-Shirooth Al-Mustaqiim sesuai dengan perintah Allah, maka akan terhindar dari kebid’ahan dan terhindar dari melakukan ibadah dengan tata cara selain ajaran Islam.
(Bersambung)
Narasumber dari: Muslim.or
Artikel Terkait; "10-Kiat Istiqomah (12)"
About Author
Sa'id Abu Ukkasyah
Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta
10 Kiat Istiqomah (9)
Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Oktober 2017 | 10/30/2017 08:55:00 PM
10 Kiat Istiqomah (9)
Nasehat Ulama
Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah
Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (8)
“Istiqomah yang tertuntut adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya”, kaidah ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. (QS. Fushshilat: 6), karena di dalam ayat ini terdapat penyebutan istigfar setelah perintah istiqomah yang mengandung isyarat bahwa seorang hamba pastilah ada kekurangannya, meskipun ia telah bersungguh-sungguh untuk istiqomah.
Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menjelaskan ayat di atas:
وفي قوله عز وجل {فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ}إشارةٌ إلى أنَّه لابُدَّ من تقصيرٍ في الاستقامةِ المأمورِ بها ، فيُجبَرُ ذلكَ بالاستغفارِ المقتَضِي للتَّوبة، والرُّجوعِ إلى الاستقامَةِ
“Di dalam firman-Nya Azza wa Jalla: “Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya” terdapat isyarat bahwa pastilah (seorang hamba) ada kekurangannya dalam beristiqomah yang diperintahkan, maka hal itu ditutup dengan istigfar yang mengantarkan kepada taubat dan mengantarkan kepada kemampuan beristiqomah kembali”.
Oleh karena itu di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اِستَقِيمُوا وَلَن تُحصُوا
“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah)” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hadits di atas:
وقد أخبر النَّبيُّ- صلى الله عليه وسلم- أنَّ الناس لن يُطيقوا الاستقامةَ حقَّ الاستقامةِ، كما خرَّجه الإمام أحمد وابن ماجه من حديثِ ثوبانَ عن النَّبيِّ -صلى الله عليه وسلم-
قال: ((استَقيموا ولن تُحْصوا))
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia tidaklah mampu untuk istiqomah dengan sebenar-benar istiqomah sebagaimana hadits yang dikeluarkan (diriwayatkan) oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:
اِستَقِيمُوا وَلَن تُحصُوا
“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah).”
Dalam hadits riwayat Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali radhiyallahu ‘anhu tatkala Ali radhiyallahu ‘anhu meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajarkan kepadanya sebuah doa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«قُلْ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي»
“Ucapkanlah: “Allahummah dinii wa saddidnii” (Ya Allah berilah aku petunjuk dan jadikanlah aku benar dan lurus dalam seluruh perkaraku).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan Ali radhiyallahu ‘anhu:
وَاذْكُرْ بِالهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ، وَالسَّدَادِ سَدَادَ السَّهْمِ
“Dan ingatlah petunjuk (yang anda ucapkan dalam doamu) adalah sebagaimana anda mendapatkan petunjuk ketika meniti jalan dan ingatlah kelurusan (yang anda ucapkan dalam doamu) adalah ibarat lurusnya anak panah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi petunjuk berupa sebuah doa:
قُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
“Ucapkanlah: “Allahumma innii as`alukal hudaa was sadaad” (Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk dan kebenaran/kelurusan)” (H.R. Muslim).
Kesimpulan
:
Seorang hamba di dalam niat, ucapan dan perbuatannya tertuntut untuk bersungguh-sungguh sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (As-Sadaad) sebagaimana orang yang meniti sebuah jalan berusaha untuk melaluinya dengan sesuai rambu-rambu penunjuk jalan, dan iapun berusaha meluruskan niat, ucapan dan perbuatannya sebagaimana seorang pemanah berusaha untuk membidikkan anak panah dengan lurus sehingga tepat sasaran.
Namun apabila ia tidak mampu untuk meraih hal itu, maka hendaklah ia berupaya untuk Muqaarabah dengan meraih target yang mendekati kelurusan dan kesempurnaan yang tertinggi.
Dinukil dari Narasumber; "Muslim.or.id"