Latest Post
Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan

Kenapa Dalam Ayat 14 Surat An-Nisa’ Lafadz Wasiat itu Lebih Didahulukan Daripada Hutang?

Written By Rachmat.M.Flimban on 04 Desember 2018 | 12/04/2018 05:33:00 PM


Kenapa Dalam Ayat 14 Surat An-Nisa’ Lafadz Wasiat itu Lebih Didahulukan Daripada Hutang?

Fiqih Ibadah

Narasumber; Islam Download.net fikih-ibadah



لمادا أتت لفظة الوصية في القرآن الكريم قبل الدين ونحن نعلم أن الدين ينفد قبل الوصية



Pertanyaan: Kenapa lafadz Wasiat dalam Al-Qur’an tertera sebelum lafadz Dain [hutang] sedangkan kita ketahui bahwa hutang harus diselesaikan dahulu sebelum wasiat?”

الحمد للهقال القرطبي رحمه الله : ” إن قيل : ما الحكمة في تقديم ذكر الوصية على ذكر الدَّيْن, والدين مقدم عليها بإجماع ، أي تقضى ديون الميت من تركته قبل إخراج ما أوصى به

… فالجواب من أوجه خمسة : الأول : إنما قصد تقديم هذين الفصلين على الميراث ولم يقصد ترتيبهما في أنفسهما ; فلذلك تقدمت الوصية في اللفظ . جواب ثان : لما كانت الوصية أقل لزوما من الدين قدمها اهتماما بها; كما قال تعالى: “لا يغادر صغيرة ولا كبيرة” الكهف./٤٩

Jawaban : Alhamdulillaah

Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata: “Jika dikatakan: Apakah hikmah penyebutan kata al-wasiah yang didahulukan sebelum kata ad-dain, sedangkan upara ulama sepakat bahwa ad-dain [hutang] sebenarnya lebih didahulukan daripada wasiat ?

Maka jawabannya dari 5 sisi:

Pertama: Yang dimaksud adalah bahwa dua masalah tersebut didahulukan dari masalah warisan, dan urutan di mana mereka disebutkan tidak menunjukkan mana yang lebih penting [untuk didahulukan salah satunya]. Oleh karena wasiat itu disebutkan pertama.

Kedua: Selagi wasiat itu lebih jarang dilakukan dibanding hutang, maka wasiat dikedepankan sebagai tanda adanya perhatian padanya, sebagaimana firman Allah: “tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar” [Al-Kahfi: 49]

جواب ثالث: إنما قدمت الوصية إذ هي حظ مساكين وضعفاء , وأخَّر الدَّيْن إذ هو حظ غريم يطلبه بقوة وسلطان وله فيه مقال . جواب رابع : لما كانت الوصية ينشئها من قبل نفسه قدَّمها , والدين ثابت مؤدّى ذكره أو لم يذكره. ” انظر الجامع لأحكام القرآن للقرطبي ج/٥ص/٧٤

Ketiga: Sesungguhnya wasiat didahulukan karena ia adalah bagian untuk orang-orang miskin dan lemah. Sedangkan hutang didahulukan karena ia adalah bagian untuk orang yang memintanya dengan adanya kekuatan dan daya.

Keempat: Karena warisan adalah sesuatu yang dimulai oleh orang tersebut, maka disebutkan pertama, sedangkan utang adalah sesuatu yang mapan dan jelas entah dia menyebutkan atau tidak.” [Al-Jaami' li Ahkaam Al-Qur'aan 5/74]

وزاد بعض العلماء وجهين آخرين

” وإنما قدّمت الوصيّة على الدَّين في الذكر لأن الوصية إنما تقع على سبيل البر والصلة بخلاف الدَّين فإنه إنما يقع غالباً بنوع تفريط فوقعت البداءة بالوصية لكونها أفضل

Dan sebagian ulama menambahkan dua sisi lain:

Warisan ini disebutkan pertama karena warisan adalah tindakan kebaikan dan menjunjung tinggi ikatan manusia, tidak seperti hutang yang biasanya hasil dari semacam pengabaian. Jadi dimulainya dengan warisan karena itu adalah kebajikan yang lebih besar dan baik.

وقيل قدمت الوصية لأنها شيء يؤخذ بغير عوض والدَّين يؤخذ بعوض فكان إخراج الوصية أشقُّ على الوارث من إخراج الدَّيْن وكان أداؤها مظنّة للتفريط بخلاف الدَّيْن فإن الوارث مطمئن بإخراجه فقدّمت الوصية لذلك ” . انظر التحقيقات المرضية في المباحث الفرضية للشيخ صالح للفوزان ص/٢٧

Dan dikatakan oleh sebagian ulama bahwa warisan disebutkan pertama karena itu adalah sesuatu yang diberikan tanpa adanya imbalan, sedangkan utang diberikan sebagai imbalan atas sesuatu. Jadi pembayaran warisan lebih sulit bagi ahli waris dari pembayaran utang,. Dan membayar warisan bisa dianggap bahwa ia akan diabaikan. Tidak seperti hutang yang ahli waris akan membayar dengan tenang.

”[lihat At-Tahqiiqaat Al-Mardhiyyah fi Al-Mabaahits Al-Fardhiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzaan 27]

Wallahu a’lam


Sumber; Islam-qa.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Berhubungan Badan Suami-Istri Itu Sedekah

Written By Rachmat.M.Flimban on 18 November 2018 | 11/18/2018 12:32:00 AM


Fiqh, Ibadah, Keluarga

Berhubungan Badan Suami-Istri Itu Sedekah


dr. Raehanul Bahraen

Narasumber MUSLIM.or.id



Berhubungan badan suami-istri adalah sedekah dan merupakan suatu kebaikan yang diberi ganjaran pahala.

Dari Abu Dzar Al-Ghifari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »

“Hubungan badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.’”[1]

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa berhubungan badan/jima’ suami-istri memberikan keuntungan yang sangat banyak baik dunia maupun akhirat. Di akhirat mendapatkan pahala, sedangkan di dunia mendapatkan berbagai kebaikan-kebaikan termasuk kebaikan kesehatan fisik dan psikologis. Beliau berkata,

اعلم أن شهوة الجماع شهوة أحبها الأنبياء و الصالحون, قالوا لما فيها من المصا لح الدينية و الدنيوية, و من غض البصر, و كسر الشهوة عن الزنا, و حصول النسل الذي تتم به عمارة الدنيا و تكثر به الأمة إلى يوم القيامة. قالوا: و سائر الشهوات يقسي تعاطيهم القلب, إلا هذه فإنها ترقق القلب

“Ketahuilah bahwa syahwat jima’ (yang halal) adalah syahwat yang disukai oleh para nabi dan orang-orang shalih. Mereka berkata demikian karena padanya terdapat berbagai mashalat agama dan dunia berupa menundukkan pandangan, meredam syahwat dari zina dan memperoleh keturunan, yang dengannya menjadi sempurna bangunan dunia serta memperbanyak jumlah umat islam. Mereka berkata juga bahwa semua syahwat bisa mengeraskan hati jika ditunaikan kecuali syahwat ini, karena bisa melembutkan hati.”[2]

Dari segi kesehatan, jima’ memberikan beberapa manfaat, yaitu termasuk olah raga, latihan pernapasan, memperkuat tulang dan otot, menurunkan kolesterol, bisa meredakan nyeri, melindungi prostat serta mengeluarkan hormon-hormon alami yang bermanfaat bagi tubuh.

Untuk kesehatan psikologis, jima’ juga memberikan banyak manfaat seperti membuat pikiran menjadi fresh dan lebih bersemangat. Perhatikan beberapa nukilan berikut,

Ibnu ‘Uqail Al-Hambil berkata,

كنت إذا استغلقت على مسألة، دعوت زوجتي إلى الفراش,فإذا فرغت من أمرها قمت إلى قراطيس أصب العلم صبا. لأن الجماع يصفى الذهن ويقوى الفهم.

“Ketika aku terkunci (mentok) pada suatu permasalahan (ilmu), maka aku panggil istriku untuk berhubungan badan. Ketika aku selesai, maka aku ambil kertas dan aku tuangkan ilmu padanya (mulai menulis)”, karena jima’ dapat membersihkan fikiran dan menguatkan pemahaman.”[3]

Al-Junaid berkata,

وكان الجنيد يقول : أحتاج الى الجماع كماأحتاج الى القوت. فالزوجة على التحقيق قوت وسبب لطهارة القلب. ولذللك أمر رسول الله كل من وقع نظره على إمرأة فتاقت اليها نفسه ان يجامع أهله.

“Aku membutuhkan jima’ sebagaimana aku membutuhkan makanan. Istri itu hakikatnya adalah asupan badan dan menjadi sebab bersihnya hati. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan kepada setiap lelaki yang melihat perempuan lalu bersyahwat, maka Hendaknya ia menggauli istrinya.”[4]

Laki-laki yang sudah menikah dan mendapatkan istri untuk menyalurkan hasrat syahwatnya akan memiliki pikiran yang tenang dan tentram serta produktif. Ini yang dimaksud dengan menyempurnakan setengah agama sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.”[5]

Maksud menyempurnakan agama adalah telah lebih terlindungi dari fitnah ujian syahwat dan zina, karena ia sudah menyalurkannya kepada yang halal, seorang wanita yang ia cintai yaitu istrinya.

Al-Qurthubi menjelaskan maksud hadits,

“Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertakwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.” Makna hadis ini bahwa nikah akan melindungi orang dari zina. Sementara menjaga kehormatan dari zina termasuk salah satu yang mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Beliau mengatakan, ‘Siapa yang dilindungi Allah dari dua bahaya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, yaitu dilindungi dari dampak buruk mulutnya dan kemaluannnya.’[6]

Demikian semoga bermanfaat


Catatan Kaki;

[1] HR. Muslim no. 1006

[2] Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah hal 91, Darul Aqidah, Koiro

[3] Quwwatul Qulub karya syaikh Abu Thalib Al-Makkiy

[4] Ihya ‘ulumuddin hal. 389

[5] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625

[6] Tafsir al-Qurthubi, 9/327


Nara Sumber; "Muslim.or.id "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Manfaat Jima’

Written By Rachmat.M.Flimban on 17 November 2018 | 11/17/2018 10:28:00 PM


Fiqih, Ibadah, Keluarga, Sedekah

Manfaat Jima’

Oleh

Ustadz Ashim bin Musthofa حفظه الله




Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berpikir. (QS. Ar-Rum/30:21)

Melakukan jima’ (hubungan badan) dengan pasangan yang sah akan mendatangkan berbagai manfaat dan kebaikan dan sekaligus menjauhkan seseorang dari keburukan-keburukan hubungan di luar nikah, eBook berikut membahas manfaat jima’ (berhubungan badan), dilaman muka ini kami sebutkan bahwa imam Ibnu Qayyim menyebutkan beberapa manfaat jima’ diantaranya:

  1. Menjaga kelangsungan keturunan (manusia) dan eksistensi bangsa manusia hingga angka yang Allah tetapkan di alam ini.
  2. Mengeluarkan cairan yang akan mendatangkan kemadharatan pada keadaan badan bila cairan itu tertahan

    Pemenuhan kebutuhan biologis, pencapaian kenikmatan dan menggapai kesenangan. Tujuan inilah yang akan dinikmati di surga, sebab di sana tidak ada kelahiran keturunan dan juga tidak ada sesuatu tertahan yang harus dikeluarkan.



Catatan Kaki;


Sumber Artikel ; "IbnuMajjah.com"


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?

Written By Rachmat.M.Flimban on 16 November 2018 | 11/16/2018 11:27:00 AM

Home MANHAJ Bid'ah Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?

MANHAJ, Bid'ah, Ibadah, Dzikir dan Doa

Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?

By Ustadz Ammi Nur Baits


 




small rss seocips Audio MP3




Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat

Bolehkah menambahkan habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan.

Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat?

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,

  1. Dari Jundab radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
  2. “Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan,

    إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً

    “Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146).

    Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.

  3. Dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ

“Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai?”

“Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Dari kalangan lelaki?” Tanya Amr.

“Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Hadis ini menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan sahabatnya.

Hadis-hadis ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was salam.

Allah berfirman,

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (QS. an-Nisa: 125).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146)

Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49)

Karena itulah, dulu para sahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,

  1. Pernyataan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,
  2. أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ

    Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.” (HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani)

  3. Pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
  4. أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

    “Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’ (HR. Bukhari 1178)

  5. Pernyataan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ

“Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…” (HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani).

Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil.

Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti,

اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ

Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad

Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna,

اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ

Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Sumber Artikel; Konsultasisyariah.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Inilah Istighfar Terbai

Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Oktober 2018 | 10/27/2018 11:47:00 PM

Ibadah Dzikir dan Doa Inilah Istighfar Terbai

Inilah Istighfar Terbaik

By Ustadz Ammi Nur Baits - Feb 20, 2018





small rss seocips Audio MP3
Ayo bro dengerin !!!


Inilah Istighfar Terbaik

Ada sebuah amalan doa istighfar yg kami dengar, mengapa dinamakan sayyidul istighfar?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dzikir sayyidul istighfar disebutkan dalam hadis dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Sayidul Istighfâr (pemimpin istighfar) adalah seseorang hamba mengucapkan,

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU A’ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA’TU ABÛ`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA

(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyebutkan keutamaan sayyidul istighfar,

مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga. (Muttafaq alaih).

Mengapa Disebut Sayyidul Istighfar (istighfar terbaik)?

Dzikir ini disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyidul istighfar, yang artinya pemimpinnya istighfar. Dan yang namanya pemimpin, berarti dia lebih unggul dibandingkan yang lainnya.

Imam al-Bukhari menyebutkan lafal istighfar ini dalam judul bab di kitab shahihnya,

باب أَفْضَلِ الاِسْتِغْفَارِ

“Bab, Istighfar yang paling utama.”

Menunjukkan bahwa Imam Bukhari menilai ini adalah lafazh Istighfar terbaik.

Jika kita perhatikan makna dari istighfar ini, ada banyak ungkapan yang menunjukkan kerendahan diri kita di hadapan Allah dan pengagungan kepada Allah semata. Kita merendahkan diri kita sebagai hamba, dengan memuji Allah yang Maha Sempurna sifat-Nya.

Kita akan melihat lebih dekat,

  1. Allahumma anta rabbii, laa ilaaha illaa anta, khalaqtanii
  2. [اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ]

    –Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah yang telah menciptakanku, dan aku hamba-Mu…

    Demikianlah kalimat pembuka dzikir ini… dibuka dengan pengakuan bahwa kita adalah hamba, dan Allah yang menciptakan kita, artinya Dialah yang memiliki kita dan mengatur kita. Hamba yang lemah sedang menghadap kepada Pemiliknya, satu-satunya yang bisa mengampuni dosanya. (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’I, 8/280).

  3. Wa ana ‘ala ahdika wa wa’dika mas-tatha’tu
  4. [وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ]

    “Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku”

    Hamba yang lemah ini menyatakan bahwa dirinya tetap setiap dengan janjinya kepada rabnya, janji untuk selalu tunduk dan taat kepada-Nya, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, semaksimal kemampuan hamba. Disertai keyakinan akan janji yang Allah berikan kepadanya, bahwa siapa yang taat akan mendapatkan surga. Sehingga dia beribadah dengan semangat husnudzan kepada Allah, bahwa Dia akan memberikan balasan atas ketaatan hamba-Nya.

  5. A-‘udzu bika min syarri maa shana’tu
  6. [أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ]

    “Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku.”

    Hamba mengakui setiap maksiat dan kedurhakaan murni karena kejahatan kita, artinya tidak kita nisbahkan kepada yang lain, apalagi kepada Allah. Dan hamba menyadari setiap maksiat itu akan mendatangkan keburukan baginya dunia dan akhirat, sehingga hamba hanya bisa berlindung kepada Allah dari potensi keburukan itu.

  7. Abuu-u laka bi ni’matika ‘alayya
  8. [أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ]

    “aku mengakui nikmat-Mu kepadaku”

    Pengakuan hamba bahwa semua kelebihan yang dia miliki, murni dari Allah, bukan dari hasil jasanya, bukan pula dari kemampuannya, tapi murni dari Allah, sehingga hamba tidak ujub dengan nikmat itu.. namun meskipun demikian, hamba tidak pandai bersyukur, sehingga masih sering menggunakan semua nikmat itu untuk durhaka kepada-Mu..

  9. Wa abuu-u bi dzambii
  10. [وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ]

    “aku mengakui semua dosa-dosaku”

    Hamba mengakui banyak dosanya yang dia lakukan dengan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Hamba terjerumus ke dalamnya, meskipun bisa jadi hamba tidak menyukainya, akan tetapi hamba tidak mampu untuk melepaskan diri dari dosa tersebut.

  11. Faghfir-lii fa innahuu laa yaghfirud dzunuuba illaa anta

[فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ]

“Karena itu, ampunilah aku, sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”

Ampunilah semua dosa hamba, sebanyak apapun dosa itu.. meskipun Allah tidak membutuhkan hamba-Nya.

Karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah… sehingga kepada siapa lagi harus harus minta ampunan untuk dosa hamba, jika Allah tidak berkenan mengampuni hamba…

Subhanallah… banyak sekali pengakuan hamba akan kelemahan dirinya dan peng-agungan hamba kepada Rabnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.Download Sekarang !!

Dinukil dari Sumber Artikel; KonsultasiSyariah.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kisah Itsar Para Salaf, Sudahlah Biarkan Dia Duluan!

Written By Rachmat.M.Flimban on 07 April 2018 | 4/07/2018 08:49:00 PM

Akhlaq

[Booklet] Kisah Itsar Para Salaf, Sudahlah Biarkan Dia Duluan!

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc



Itsar itu apa? Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan dunia walau kita pun sebenarnya butuh.

Secara bahasa itsar bermakna mendahulukan, mengutamakan. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud itsar adalah mendahulukan yang lain dari diri sendiri dalam urusan duniawiyah berharap pahala akhirat. Itsar ini dilakukan atas dasar yakin, kuatnya mahabbah (cinta) dan sabar dalam kesulitan.

Contohnya dapat dilihat pada orang Muhajirin dan Anshar dalam ayat,

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).

Yang dimaksudkan ayat ini adalah ia mendahulukan mereka yang butuh dari kebutuhannya sendiri padahal dirinya juga sebenarnya butuh. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:229.

Dalam masalah dunia, kita bisa mendahulukan orang lain, itu memang yang lebih baik. Karena dalam masalah dunia, kita harus memperhatikan orang di bawah kita agar kita bise mensyukuri nikmat Allah.

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan penampilan, maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari, no. 6490 dan Muslim, no. 2963)

Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al-Khats’ami, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdal. Jawab beliau,

جَهْدُ الْمُقِلِّ

“Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. An-Nasa’i, no. 2526. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kisah Itsar #01: Menyambut Tamu, Padahal Hanya Punya Makanan untuk Bayi

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali air”.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru, “Saya.”

فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي

Lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.”

فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا

Orang Anshar itu berkata, “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.

ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ

Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar.

فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malam ini Allah tertawa atau takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9). (HR Bukhari, no. 3798). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Anshar yang melayani tamu tersebut adalah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu. Istri Abu Thalhah adalah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha (Rumaysho atau Rumaisha).

Kisah Itsar #02: Abu Bakar Bersedekah dengan Seluruh Harta

Sifat ini juga dimiliki oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah bersedekah dengan seluruh hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya kepadanya,

« مَا أَبْقَيْتَ لأَهْلِكَ ». قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ. قُلْتُ لاَ أُسَابِقُكَ إِلَى شَىْءٍ أَبَدًا

“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku titipkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Umar bin Khattab lantas mengatakan, “Itulah mengapa aku tidak bisa mengalahkanmu selamanya.” Sebelumnya Umar bersedekah dengan separuh hartanya dan menyisakan separuhnya untuk keluarganya. (HR. Abu Daud, no. 1678 dan Tirmidzi, no. 3675. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kisah Itsar #03: Abu Thalhah Bersedekah dengan Kebun Kurma Terbaik

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia sukai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.”

Anas berkata, “Ketika turun ayat,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara.

Pelajaran dari hadits:

  • Keutamaan menafkahi dan memberi sedekah kepada kerabat, istri, anak, dan orang tua walau mereka musyrik. Sebagaimana Imam Nawawi membuat judul bab untuk hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim.
  • Kerabat harusnya lebih diperhatikan dalam silaturahim. Abu Thalhah akhirnya memberikan kebunnya kepada Ubay bin Ka’ab dan Hassan bin Tsabit.
  • Bersedekah kepada kerabat punya dua pahala yaitu pahala menjalin hubungan kerabat dan pahala sedekah.

Kisah Itsar #04: Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari Membagi Harta dan Istrinya pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Ketika itu Sa’ad Al-Anshari memiliki dua orang istri dan memang ia terkenal sangat kaya. Lantas ia menawarkan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk berbagi dalam istri dan harta. Artinya, istri Sa’ad yang disukai oleh ‘Abdurrahman akan diceraikan lalu diserahkan kepada ‘Abdurrahman setelah ‘iddahnya. ‘Abdurrahman ketika itu menjawab,

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِى أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، دُلُّونِى عَلَى السُّوقِ

“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Cukuplah tunjukkan kepadaku di manakah pasar.”

Lantas ditunjukkanlah kepada ‘Abdurrahman pasar lalu ia berdagang hingga ia mendapat untung yang banyak karena berdagang keju dan samin. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat pada ‘Abdurrahman ada bekas warna kuning pada pakaiannya (bekas wewangian dari wanita yang biasa dipakai ketika pernikahan, pen.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Apa yang terjadi padamu wahai ‘Abdurrahman?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, saya telah menikahi seorang wanita Anshar.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Berapa mahar yang engkau berikan kepadanya?” ‘Abdurrahman menjawab, “Aku memberinya mahar emas sebesar sebuah kurma (sekitar lima dirham).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika itu,

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Lakukanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari, no. 2049, 3937 dan Muslim, no. 1427. Lihat Syarh Shahih Muslim, 7:193)

Pelajaran dari hadits:

  • Boleh seorang imam bertanya tentang keadaan jamaahnya yang sudah lama tak terlihat.
  • Boleh seorang wanita memakai wewangian untuk suaminya, bahkan dianjurkan untuk tampil wangi di hadapan suami, lebih-lebih lagi di malam pertamanya.
  • Tidak masalah jika ada bekas wewangian istri ada pada baju suami kalau memang tidak disengaja walau yang terkena sebenarnya adalah syi’ar khas para wanita. Namun asalnya tetap tidak boleh laki-laki tasyabbuh (menyerupai) wanita.
  • Disunnahkan mendoakan berkah. Contoh, doa kepada pengantin.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberikan ucapan selamat pada seseorang yang telah menikah, beliau mendoakan,

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika susah dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud, no. 2130; Tirmidzi, no. 1091. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

  • Yang dimaksud walimah adalah makanan yang disajikan ketika resepsi nikah. Walimah itu berarti berkumpul karena ketika itu kedua pasangan telah menyatu menjadi suami-istri.
  • Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum walimah. Ada yang mengatakan wajib dan ada yang sunnah. Menurut ulama Syafi’iyah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah, hukum walimah adalah sunnah mustahab. Kata perintah dalam hadits ini dipahami sunnah (anjuran).
  • Sebagian ulama menyatakan bahwa walimah itu diadakan sesudah dukhul (jima’ atau malam pertama) seperti pendapat Imam Malik dan selainnya. Sedangkan sekelompok ulama Malikiyah menyatakan bahwa walimah diadakan ketika akad itu berlangsung.
  • Bagi orang yang mudah mengadakan walimah, maka tetaplah mengadakan walimah jangan sampai kurang dari seekor kambing. Namun untuk acara walimah tadi tidak ada batasan tertentu, bentuk makanan apa pun yang dibuat untuk walimah tetap dibolehkan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyyah, walimahnya tidak dengan daging. Ketika menikahi Zainab disediakan untuk walimah dengan roti dan daging. Yang tepat, semuanya disesuaikan dengan kemampuan pengantin.
  • Pelajaran dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari adalah saling mendahulukan yang lain (itsar). Lihatlah sikap Sa’ad yang sampai mendahulukan ‘Abdurrahman dalam hal harta dan dua istrinya.
  • ‘Abdurrahman mengajarkan pada kita tidak bergantung pada pemberian orang lain yang didapat secara gratis. Mendapatkan hasil dari bekerja walau dengan berdagang itu lebih baik.
  • Hendaknya mendoakan kebaikan kepada siapa saja yang ingin berbuat baik kepada kita.

Bagaimana kita bisa itsar?

  1. Memperhatikan kewajiban, anggap selalu kurang ketika melakukan yang wajib sehingga kehati-hatiannya ia mendahulukan orang lain walau ia pun butuh.
  2. Meredam sifat pelit.
  3. Semangat punya akhlak yang mulia karena itsar adalah tingkatan akhlak yang paling mulia. Sampai-sampai Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Diin menyatakan bahwa itsar adalah tingkatan dermawan (as-sakha’) yang paling tinggi. (Nudhrah An-Na’im fii Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, 3:630, 639)

Faedah dari Itsar

  1. Menunjukkan iman yang sempurna dan kebagusan Islam seseorang.
  2. Ini adalah jalan mudah untuk menggapai ridha dan cinta Allah.
  3. Akan timbul rasa cinta dan sayang antar sesama manusia.
  4. Menunjukkan begitu dermawannya seseorang karena sampai ia butuh pun dikorbankan.
  5. Punya sifat husnuzhan yang tinggi kepada Allah.
  6. Menunjukkan amalan yang baik di penghujungnya (husnul khatimah).
  7. Menunjukkan seseorang memiliki semangat yang tinggi dan terjauhkan dari sifat tercela.
  8. Itsar membuahkan keberkahan.
  9. Itsar memudahkan seseorang masuk surga dan terbebas dari neraka.
  10. Itsar mengantarkan kepada keberuntungan (falah) karena telah mengalahkan sifat pelit (syuhh).

Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan Pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Nudhrah An-Na’im fi Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim. Dikumpulkan oleh para ahli dengan pembimbingan: Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid (Imam dan Khatib Al-Haram Al-Makki). Penerbit Dar Al-Wasilah. 3:629-640.


Disalin dari Sumber Artikel; Rumaysho.Com




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger