Latest Post
Tampilkan postingan dengan label almanhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label almanhaj. Tampilkan semua postingan

Jihad-Jihad Yang Fardhu 'Ain

Written By Rachmat.M.Flimban on 08 Mei 2017 | 5/08/2017 03:42:00 AM

Jihad-Jihad Yang Fardhu 'Ain
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا مُتَّفّقٌ عَلَيْه وَمَعْنَاهُ :لاَ هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلاَمِِ

“Artinya : Dari ‘Aisyah, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”[1]

Maknanya : Tidak ada hijrah dari Mekkah karena dia telah menjadi negeri Islam.[2]

Permasalahan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain merupakan permasalahan besar yang belum banyak diketahui oleh kaum muslimin. Sehingga banyak para da’i berfatwa dan menyerukan jihad yang hukumnya (dianggap) fardhu ‘ain terhadap setiap pribadi tanpa dasar kaidah yang jelas, dan terkadang dibuat dalam rangka mewujudkan keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok orang tertentu saja. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, kami merasa perlu memuat suatu penjelasan singkat tentang hal tersebut dari seorang alim ulama yang telah dikenal ilmu dan kesholehannya, agar kita semua dapat beramal diatas ilmu, dan mudah-mudahan Allah memberi taufiq-Nya kepada kita untuk berjalan di jalan yang lurus.

Syarah Hadits. Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah dengan sabdanya :

لاَ هِجْرَةَ

Tidak ada hijrah.

Peniadaan ini bukan untuk keumumannya, maknanya hijrah tersebut tidak batal dengan penaklukan kota Mekkah, karena hijrah tersebut tidak akan hilang sampai hari kiamat sebagaimana telah ada dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Artinya : Hijrah tidak terputus sampai taubat terputus, dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat” [3]

Akan tetapi yang dimaksud dengan tidak ada hijrah disini adalah tidak adanya hijrah dari Mekkah, sebagaimana dinyatakan oleh penulis (Imam Nawawi) diatas, karena setelah penaklukan kota Mekkah menjadi negeri Islam dan setelah itu tidak akan kembali menjadi negeri kafir, dengan dasar inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan Mekkah.

Mekkah dahulu di bawah kekuasaan kaum musyrikin, mereka telah mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dengan izin Rabbnya ke Madinah. Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, beliau kembali ke Mekkah dan menaklukannya sehingga kota Mekkah menjadi negeri iman dan Islam, dan dengan demikian tidak ada lagi hijrah dari sana.

Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa Mekkah tidak akan kembali menjadi negeri kafir, tetapi tetap menjadi negeri Islam sampai datang hari kiamat atau sampai waktu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.

Kemudian sabda beliau :وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ “Akan tetapi jihad dan niat”

Bermakna : Perintah setelah ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah keluar dari Makkah untuk berjihad. Dan “waniyyatun” bermakna : Niat yang baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan cara berniat adalah jihadnya untuk meningkatkan kalimat Allah.

Kemudian beliau bersabda : : وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا “Dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”.

Bermakna : Jika waliyul amri (pemerintah) meminta kalian untuk pergi berjihad di jalan Allah, maka kalian wajib berangkat berjihad, dan hukum jihad pada saat itu adalah fardhu ‘ain. Maka jangan seorangpun tidak memenuhinya, kecuali orang yang telah mendapat udzur Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dalil firman-Nya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَالَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ اْلأخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ إِلاَّ تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلاَتَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [At-Taubah : 38-39]

Ini merupakan salah satu keadaan jihad yang diuhukumi fardhu a’in.

Keadaan kedua : Jika musuh mengepung satu Negara, bermakna musuh datang menyerang Negara tersebut dan mengepungnya, maka jihad diwaktu itu menjadi fardhu ‘ain. Dalam keadaan seperti ini setiap orang wajib berperang, termasuk para wanita dan orang tua yang mampu berjihad. Karena ini merupakan jihad membela diri (jihad difa’) dan perang membela diri ini berbeda dengan perang menyerang mush (jihad tholab), sehingga dalam keadaan seperti ini seluruh orang berangkat untuk membela Negara mereka.

Keadaan ketiga : Jika terjadi pertempuran, kedua belah pihak yang berperang saling berhadapan, barisan orang-orang kafir dengan barisan kaum muslimin, maka jihad pada waktu itu hukumnya fardhu ‘ain dan tidak boleh seorangpun berpaling, sebagaimana firman Allah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار . وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [Al-Anfaal : 15-16]

Demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan kabur dari medan pertempuran termasuk dosa besar yang tujuh.[4]

Keadaan keempat : Jika seseorang dibutuhkan, contoh : tidak ada yang mengetahui penggunaan senjata kecuali hanya satu orang saja, dan orang-orang membutuhkan orang tersebut untuk menggunakan senjata baru, maka wajib atasnya untuk berjihad walaupun imam (waliyul amri) tidak memintanya berangkat dan kewajiban itu ada lantaran dia dibutuhkan.

Maka dalam empat keadaan inilah jihad menjadi fardhu ‘ain, dan yang selainnya adalah fardhu kifayah.

Ahlul Ilmi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk menjadikan sebagian dari mereka berjihad setiap tahun sekali[5], berjihad memerangi musuh-musuh Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bukan karena sekedar membela Negara. Karena membela negara, semata-mata sebagai satu negara, itu bisa dilakukan orang mukmin dan kafir. Orang-orang kafir-pun membela negara mereka. Akan tetapi seorang muslim hanya membela agama Allah, sehingga dia membela negaranya bukan karena sekedar sebagai satu negara akan tetapi karena dia adalah negara Islam, lalu dia membelanya dalam rangka menjaga Islam. Oleh karena itu wajib atas kita pada keadaan yang kita hadapi sekarang ini, untuk mengingatkan seluruh orang bahwa seruan untuk memerdekakan negara dan yang serupa dengannya adalah seruan yang tidak pas, dan wajib bagi kita untuk mendidik manusia dengan pendidikan agama. Dan hendaklah dikatakan : Kita membela agama kita sebelum yang lainnya, karena Negara kita adalah negara agama dan negara Islam yang membutuhkan perlindungan dan pembelaan, maka kita harus membelanya dengan niat tersebut.

Adapun membela dengan niat nasionalisme atau kesukuan maka ini terjadi pada orang mukmin dan kafir, dan perbuatan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat, jika terbunuh dalam keadaan membela Negara dengan niat ini maka dia tidak mati syahid ; karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena kebanggaan (gengsi) dan berperang karena keberanian saja dan berperang karena ingin memperlihatkan kehebatannya, mana yang dikatakan dijalan Allah lalu beliau berkata.

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Artinya : Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah” [6]

Perhatikan syarat ini !! Jika kamu berperang karena negara, maka kamu dan orang kafir sama, akan tetapi berperanglah karena ingin menegakkan kalimat Allah yang dilaksanakan di negara kamu, karena negara kamu adalah negara Islam, maka pada keadaan seperti ini mungkin perang tersebut dapat dikatakan perang di jalan Allah.

Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ

“Artinya : Tidak ada luka yang terluka di jalan Allah dan Allah maha tahu siapa yang terluka di jalan Allah kecuali datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengeluarkan darah, warnanya warna darah tetapi wanginya wangi misk (minyak kasturi)” [7]

Perhatikan bagaiman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan mati syahid dengan berperang hanya dijalan Allah, maka wajib atas para penuntut ilmu menjelaskan permasalahan ini kepada umat.

Wallahul Muwaffiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Footnote

[1]. [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2783 kitab al-Jihad wa as-siyar dan Muslim No. 1864 kitab al-Imaarah

[2]. Keterangan dari Imam Nawawiy penulis kitab Riyadhush Sholihin (pent)

[3]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud No. 2479 kitab Al-Jihad dan Ahmad dalam Musnadnya 4/99 dan dia ada di Shahihil Jami’ No. 7469

[4]. Isyarat kepada hadits Abi Hurairah secara marfu’ :

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Artinya : Jauhilah tujuh dosa besar, mereka bertanya : Apakah itu wahai Rasulullaj ?. Beliau menjawab : Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan kebenaran, memakan uang riba, memakan harta anak yatim dan kabur dari medan pertempuran serta menuduh kaum mukminat yang telah menikah yang lalai dengan zinah” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2766 kitab al-Washoya dan Muslim No. 89 kitab al-Iman]

[5]. Yakni suatu negara Islam wajib berjihad -paling sedikit sekali dalam satu tahun- memerangi musuh untuk meningkatkan kalimat Allah, -red

[6]. Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2810 kitab al-Jihad wa as-Siyar dan Muslim No. 1904 kitab al-Imarah

[7]. Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2803 kitab al-Jihad dan Muslim No. 1876 (105) kitab al-Imaarah


Sumber: Almanhaj.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Manhaj, Jihad Menurut Syariat Islam

Jihad Menurut Syariat Islam


Jihad

Jihad (bahasa Arab: جهاد) menurut syariat Islam adalah berjuang dengan sungguh-sungguh.[1]

Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din (atau bisa diartikan sebagai agama) Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi dengan damai dan saling mengasihi. Namun dalam berjihad, Islam melarang pemaksaan dan kekerasan, termasuk membunuh warga sipil yang tidak ikut berperang, seperti wanita, anak-anak, hingga manula.

Pelaksanaan jihad

Pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut:

  • Pada konteks diri pribadi, jihad berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
  • Komunitas jihad berusaha agar Din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan.
  • Kedaulatan jihad berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar maupun pengkhianatan dari dalam, agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Jihad ini hanya berlaku pada daulah yang menggunakan Din Islam secara menyeluruh (Kaffah).

Jihad dan perang

Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang mereka tidak mengenal prinsip-prinsip Din Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah qital, bukan jihad.

Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi umat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar).

Pada dasarnya, kata jihad berarti "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras", namun bukan harus berarti "perang dalam makna "fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik.

Jika mengartikan jihad sebagai "perjuangan membela agama", maka lebih tepat bahwa berjihad adalah perjuangan menegakkan syariat Islam. Sehingga berjihad haruslah dilakukan setiap saat selama seorang muslim masih hidup.

Etika perang Nabi Muhammad SAW

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan perang Islam Semasa kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin antara lain diriwayatkan bahwa Abu Bakar sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, memberikan pesan pada pasukannya , yang kemudian menjadi etika dasar dalam perang yaitu:

  • Jangan berkhianat.
  • Jangan berlebih-lebihan.
  • Jangan ingkar janji.
  • Jangan mencincang mayat.
  • Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita.
  • Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih binatang ternak kecuali untuk dimakan.
  • Jangan mengusik orang-orang Ahli Kitab yang sedang beribadah.


Jihad dan terorisme

Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad; Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau !".(QS 4:75)

Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan!, bukan dalam bentuk terorisme, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah<-islam), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."


1 Jihad - Macsonic.org


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sumber; id.wikipedia.org


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Al-Masaa’il : Jihad, Harus Minta Izin Kapada Orang Tua

Written By Rachmat.M.Flimban on 07 Mei 2017 | 5/07/2017 11:59:00 PM

Jihad, Harus Minta Izin Kapada Orang Tua

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sesungguhnya saya sangat ingin berjihad dan keinginan itu sudah tertanam di lubuk hati saya, saya tidak bisa bersabar lagi, saya telah meminta izin dari ibu saya akan tetapi ia tidak setuju. Hal ini berpengaruh pada diriku dan saya tidak mampu jauh dari jihad. Wahai Syaikh, keinginan saya dalam hidup ini adalah berjihad fii sabilillah akan tetapi ibu saya tidak setuju, berikanlah petunjuk kepadaku, semoga Allah membalas engkau dengan kebaikan ?

Jawaban.

Jihadmu terhadap ibumu merupakan jihad yang besar. Jagalah ibumu dan berbuat baiklah kepadanya kecuali jika diperintah oleh pemimpin untuk berjihad maka pergilah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian diperintah (untuk berperang) maka keluarlah” [Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari]

Dan selama pemimpin tidak memerintahkan kamu maka berbuat baiklah terhadap ibumu, berilah ia kasih sayang dan ketahuilah bahwa berbuat baik kepadanya merupakan jihad yang besar, yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukannya dari jihad fii sabilillah, seperti yang termaktub dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau ditanya :

“Wahai Rasulullah, perbuatan apa yang paling utama ?

Beliau bersabda : ‘Shalat pada waktunya’.

Aku berkata : Kemudian apa ?

Beliau bersabda : ‘Kemudian berbakti kepada kedua orang tua’.

Aku berkata : Kemudian apa ?

Beliau bersabda : ‘Berjihad fii sabilillah’.

Maka aku tidak bertanya lagi kepada Rasulullah jika aku minta tambah maka tentu beliau akan menambahkannya”.

Hadits ini disepakati keshahihannya maka berbakti kepada kedua orang tua lebih diutamakan dari jihad.

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata :

Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk berjihad, maka beliau bersabda :

“Artinya : Apakah kedua orangtuamu masih hidup ?

Ia berkata : Ya,

Nabi bersabda : “(berbakti) kepada keduanya merupakan jihad”

Hadits ini disepakati keshahihannya.

Pada riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‘Kembalilah kepada keduanya lalu minta izinlah, jika mereka mengizinkan maka berjihadlah, jika tidak maka berbaktilah kepada keduanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daud]

Sedangkan ini adalah seorang ibu ; maka sayangilah ia , berbuat baiklah kepadanya sampai ia memberikan izin kepadamu. Semua ini hak dalam jihad thalab (mendaftarkan diri untuk ikut dalam peperangan) yang mana pemimpin (walimatul amri) tidak memerintahkanmu berjihad..

Adapun jika datang bencana atas kamu maka belalah dirimu dan saudara-saudaramu fillah. Tidak ada daya dan upaya kecuali milik Allah, begitu pula jika pemimpin memerintahkan kamu untuk berperang maka keluarlah walaupun tanpa ridha kedua orang tua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu ? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat ? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” [At-Taubah : 38]

[Syarh kitab Al-Jihad dari Bulughul Maram (kaset yang pertama)]

[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]

Sumber: Almanhaj.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Budak-Budak Rasulullah SAW yang Beliau Bebaskan

Written By Rachmat.M.Flimban on 13 April 2017 | 4/13/2017 01:05:00 AM

Sejarah Rasulullah SAW
Budak-Budak Rasulullah SAW yang Beliau Bebaskan
IslamHouse.com

-Zaid bin Haritsah bin Surahbil al Kalbiy,
- Usamah bin Zaid, putra Zaid bin Haritsah, sehingga Usamah disebut kekasih putra kekasih.( Usamah putra Zaid, dan keduanya disayangi Rasulullah saw).
-Tsauban bin Bujdad, dia keturunan Yaman
- Abu Kabsyah, lahir di Mekah. Dalam riwayat lain, disebutkan namanya Sulaim, dan lahir di Daus.
Beliau gugur dalam Perang Badar.
- Anasah, lahir di Suroh
-Shaleh
-Sukron
-Rabah
-Aswad
-Yusar
-Nubiy
-abu Rafi, ada yang menyebut Ibrahim. Sebelumnya dia adalah budak al-Abbas, lalu dihadiahkan kepada Rasulullah SAW dan beliau bebaskan
-Abu Muwaihibah, yang lahir di Muzainah
-Fadhalah, tinggal di Syam
Rafi'.
Dahulu dia adalah budak Said bin al-As yang diwariskan kepada putra-putranya.
Di antara mereka ada yang membebaskan, ada pula yang menahannya.
Lalu datanglah Rafi kepada Rasulullah SAW meminta pertolongan untuk dibebaskan, lalu beliau bebaskan. Sehingga dia berkata: “Saya adalah budak yang dibebaskan RasulullahSAW.”
- Mid’am,
- Aswad, yang diperoleh Rasulullah SAW dari Rifa’ah bin Zaidal Judzami. Dia lahir di Hisma dan terbunuh di Lembah Qura.
- Kirkirah, dahulu ia adalah pelayan Rasulullah saw bila beliau dalam perjalanan
- Zaid, kakek Hilal bin Yasar bin Zaid
- Ubaid
- Thahman alias Kaisan alias Mihran alias Dzakwan alias Marwan
- Ma’bur al Qibti, Rasulullah saw mendapatkannya dari al Muqouqis
- Waqid, Abu Waqid, Hisyam, Abu Dhumairah, Hunain, Abu ‘Ashib( nama aslinya Ahmar), dan Abu Ubaid.
- Safinah, dulu ia budak Umi Salamah, istri Rasulullah saw. Lalu oleh Umi Salamah ia dibebaskan dengan syarat ia harus menjadi pelayan Rasulullah saw selama hidupnya.
Ia pun berkata kepada Umi Salamah: “Sekalipun Engkau tidak memeberi syarat tersebut, aku tidak ingin berpisah dengan Rasulullah saw.
Itu para budak yang dikenal dalam sejarah, bahkan ada yang menyebutkan jumlah mereka mencapai 40 orang. Sementara dari kalangan budak wanita yang beliau bebaskan, diantaranya adalah:
-Salma Ummu Rafi,
- Barakah Ummu Aiman, dia diperoleh Rasulullah saw sebagai warisan dari ayah beliau.
Dia adlah ibu Usamah bin Zaid
- Maimunah binti Saad
-Khadirah
-Radwa
Bersambung ; Beberapa Hewan Tunggangan Rasulullah SAW

الدرة المضيئة في السيرة النبوية
((با للغة الإدونيسية))
الحافظ عبدالغني بن عبدالواحد المقدسي
ترجمة : الفرسق الإندونيسي
مراجعة : إيكو ابو زياد

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Manhaj,Kembalilah Ke Tugas Utamamu

Written By Rachmat.M.Flimban on 25 Maret 2017 | 3/25/2017 06:53:00 AM


Kembalilah Ke Tugas Utamamu
Ayo kembali ke tugas kita, ilmu, amal dan dakwah.
Mari kita menghargai waktu kita, kembali membenahi hubungan kita
dengan Allah saat fitnah seperti ini
By Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi 18 January 2017

Akhir-akhir ini, banyak orang bahkan penuntut ilmu dan ustadz tersedot waktu,
energi dan pikiran untuk mengikuti berita perkembangan politik praktis negeri
ini yang semakin carut marut.
 
Beberapa penuntut ilmu bahkan ustadz mendadak berubah profesi dari pendakwah
menjadi pengamat politik bahkan politikus yang mengulas dan menganalisa peta
politik sehingga tersibukkan dari tugas mulia yang inti.
 
Lebih para lagi, para awam yang tidak mengerti thaharah (bersuci) dan shalat
pun berani berbicara masalah besar tanpa kontrol dan kendali seakan ulama kibar
dan Mufti.
Saudaraku, manhaj salaf yang saya kenal sejak dulu adalah menyibukkan diri
dengan ilmu, amal dan dakwah, bukan dengan politik praktis zaman ini yang penuh
dengan noda-noda yang bertentangan dengan syariat Islam yang mulia. Dahulu
Syaikh Albani berkata:
من السياية اليوم ترك السياية
“Termasuk politik syar’i zaman ini adalah meninggalkan politik praktis”.
Sungguh, sebuah nasehat dan ucapan yang sangat indah. Dan lebih indah lagi
jika kita mengamalkannya, lebih-lebih dalam situasi hiruk-pikuk politik yang
melelahkan saat ini.
Ayo kembali ke tugas kita, ilmu, amal dan dakwah. Mari kita menghargai waktu
kita, kembali membenahi hubungan kita dengan Allah saat fitnah seperti ini.
Bukankah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
العبادة في الهرج كهجرة إلي
“Ibadah saat kacau pahalanya sepertinya hijrah padaku” (HR. Muslim no. 2948).
Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa bisa begitu? Karena saat situasi kacau, biasanya banyak orang lalai dari ibadah kepada Allah.
Bukan berarti kita tidak memikirkan masalah negeri, tapi kita punya cara sendiri menghadapinya berdasarkan tuntunan ilahi yaitu dengan menyibukkan
ibadah. Kalaupun berbicara tentang politik, biarlah hal itu kita serahkan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dari ulama dan umara’ tanpa menyibukkan umat dan memprovokasi menuju anarkisme, demonstrasi dan pertumpahan darah.
Sekali lagi, mari bersikap tenang, jangan sibukkan diri kita dengan politik praktis.
Wahai para penuntut ilmu dan para ustadz, tolong ajarkanlah kami kembali kepada ilmu yg bermanfaat, gandenglah tangan kami menuju surga, jangan sibukkan
kami terlibat dan terjun dalam dunia politik praktis yang kotor.
Semoga Allah memperbaiki keadaan negeri ini.

Penulis: Artikel Muslim.or.id, Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Disalin dari Sumber Artikel : Muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Mengapa Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak Menempuh Solusi Politik

Written By Rachmat.M.Flimban on 20 Januari 2017 | 1/20/2017 02:26:00 AM

Mengapa Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak Menempuh Solusi Politik

dan

Revolusi dalam Perbaikan Masyarakat?[1]

Oleh

Syaikh Abdul Malik Ramadhani


 

Agama Islam telah mencakup seluruh kebutuhan makhluk, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri [An-Nahl/16:89].

Diantara kebutuhan ini adalah sisi politik yang menjadi sarana keteraturan masyarakat dan sisi jihad yang menjadi penjamin kemuliaan dan menghalangi musuh yang menyerangnya. Kemulian orang yang melaksanakan kedua hal ini dengan ilmu dan keadilan adalah perkara yang sudah masyhur.

Hal ini kami sampaikan untuk menjelaskan bahwa politik syar’i termasuk bagian agama dan jihad yang syar’i juga bagian dari agama bahkan menjadi menaranya sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Namun ketika banyak kaum Muslimin yang tidak memiliki banyak pengetahuan dari ajaran agama mereka, maka banyak musibah yang menimpa mereka. Padahal dahulu kaum Muslimin adalah umat yang satu lagi mulia dan kokoh, tiba-tiba berubah persatuannya menjadi perpecahan dan kekuatannya menjadi lemah sekali. Para aktifis dakwah Islam telah melakukan perbaikan keadaan yang ada, namun mereka berselisih dalam perbaikan ini sesuai perbedaan mereka dalam merealisasikan akar permasalahan. Mayoritas memandang semua musibah besar yang menimpa kaum Muslimin sekarang, sebabnya adalah rusaknya sistem perpolitikan. Hal ini telah menjadi hasil pemikiran para jamaah dakwah yang beragam manhajnya.

Ada dua jama’ah yang muncul di medan dakwah. Yang pertama memandang semua ini menuntut kaum Muslimin terlibat langsung ke medan politik untuk merubah program-program pemerintah; Dan yang kedua memandang tidak ada obat dalam hal ini kecuali peperangan.

Kelompok pertama meyakini semua hal ini perlu untuk berlomba-lomba meraih kekuasaan dan yang lainnya hanya memandang mengkudeta para penguasa imperalis.

Bukanlah perbedaan disini dalam masalah pengakuan tentang rusaknya keadaan masyarakat dan tidak juga tentang urgensinya berusaha memperbaiki keadaan atau tidak memperbaiki. Namun perbedaannya yaitu dalam metode memperbaikinya. Efek dari perbedaan dalam masalah ini cukup jelas; karena cara perbaikan apabila dianggap tidak ada atau dilalaikan maka pelakunya terus akan kelelahan merubah sesuatu tapi bukan pintunya. Ini seperti orang yang ingin sampai pada satu sasaran tidak melalui jalurnya, lalu kapan sampainya?!

Demikian juga masalah mencari akar masalah penyimpangan, karena tabiat terapi berbeda-beda sesuai perbedaan analisa pokok penyakit. Oleh karenanya saya ingin menjelaskan sebab utama musibah kaum Muslimin; karena pengetahuan tentang hal ini menentukan cara pengobatan yang pas. Sebab keberhasilan pengobatan seluruh penyakit berawal dari akar masalah ini.

Orang yang meneliti sejarah pelaku perbaikan –terutama para Nabi – mengetahui secara yakin bahwa dua jamaah di atas menyelisihi mereka, baik dalam melihat akar permasalahannya atau melihat cara memperbaikinya; sebab para Nabi diutus pada kaum yang memiliki semua keburukan termasuk juga buruk dalam politik, lalu tida ada dalam al-Qur`an dan as-Sunnah satu petunjukpun yang menjelaskan para Nabi pertama kali melakukan perbaikan keadaan politik dengan menjadi praktisi politik atau praktisi revolusi berdarah.

Barangsiapa meneliti dakwah para Nabi dengan niat menerima dan mencontoh tentulah akan tampak jelas dan yakin akan hal tersebut tanpa susah payah. Sebab para Nabi diajak masuk dan ikut dalam kekuasan lalu mereka menolak dengan menyatakan kepada kaum mereka:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam [Asy-Syu’ara/26:109]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus pada waktu kerusakan politik yang sudah merata. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memfokuskan pada perbaikan sistem perpolitikan, walaupun politik adalah bagian dari agama sebagaimana telah dijelaskan tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diajak oleh para pemimpin besar Quraisy untuk bersekutu dalam kekuasaan dan beliau menolaknya. Bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsîr pada awal-awal surat Fushilat dan ada juga riwayat yang semakna dengan ini bisa dilihat takhrijnya dan dihasankan oleh syaikh al-Albâni t dalam komentar beliau t pada kitab Fiqhus-Sîrah, hlm 106. Dalam sebagian jalan periwayatkannya, kaum Quraisy berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا، سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا، فَلاَ نَقْطَعْ أَمْرًا دُوْنَكَ. وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا.

Apabila kamu inginkan kehormatan maka kami jadikan kamu pemimpin kami dan kami tidak akan memutuskan satu perkarapun tanpa kamu dan bila kamu inginkan kerajaan maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami…

Bahkan orang yang membandingkan antara dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada raja-raja dan para penguasa dengan dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakay pasti mengetahui perbedaannya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menghadapi masyarakat dengan bergerak dan semangat berapi-api dalam mendakwahi mereka di tempat-tempat berkumpul mereka, pasar-pasar dan rumah-rumah serta selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi mereka, baik kabilah maupun pribadi-pribadi tanpa lelah hingga mencapai puncak kesedihan, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat [Fâthir/35: 8]

Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir bunuh diri karena itu hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran) [Al-Kahfi/18: 6]

Sedangkan terhadap para raja dan penguasa pada umumnya keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebani dirinya untuk datang menemui mereka, bahkan cukup dengan mengutus utusan kepada mereka membawa ucapan ringkas dan selesai, ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Dari Muhammad hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya kepada Hiraklius penguasa Romawi, Semoga keselamatan diberikan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Sungguh aku mengajak kamu dengan ajakan islam: Masuklah kedalam Islam niscaya kamu selamat dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kamu pahala dua kali. Apabila kamu berpaling maka kamu menanggung dosa arisiyun dan Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala “. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Ali Imrân/3:64). [HR al-Bukhari (no.7) dan Muslim (no 1773].

Bandingkanlah antara dakwah Nabi yang bijak dengan ceramah-ceramah politik yang panjang dan menghabiskan umur prkatisinya hingga jenggot mereka beruban, pasti mengetahui mana dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Bahkan waktu itu masuk islam seorang raja besar yaitu an-Najâsyî raja Habasyah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpikir untuk berhijrah kesana untuk tinggal menetap di kerajaannya atau menjadikannya sebagai awal negara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak berkata: Dari istana seperti ini dakwah akan berjalan maju; karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa masyarakat umum apabila belum menerima sepenuhnya Islam, maka keksuasan yang didapatkan tidak banyak bermanfaat. Kalau begitu, wajib bagi pengikut para Nabi untuk memperhatikan cara-cara mereka dalam perbaikan. Kalau sudah demikian maka kemenanganpun akan datang!

Pengaruh perubahan raja dalam perbaikan masyarajak sudah sangat jelas; namun ketika kebaikan dan rusaknya raja mengikuti kebaikan dan kerusakan masyarakatnya dan tidak sebaliknya. Maka perbedaan inilah yang ada dalam sejarah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara perbaikan pemimpin dan perbaikan masyarakat dan perhatian besar dalam mendakwahi masyarakat lebih banyak dari perhatian mendakwahi raja-raja.

Sebuah kepastian bahwa penyebab kerusakan keadaan kaum Muslimin di semua negara adalah kerusakan penguasa dan rakyat. Kalau sudah jelas demikian maka kerusakan penguasa banyak menyebabkan kerusakan rakyatnya dengan memasukkan kepada rakyatnya aturan-aturan yang menyelisihi syariat Rabb alam semesta. Maka perlu diketahui rusaknya penguasa disebabkan pertama kali dari rusaknya rakyat; karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan bahwa diantara takdir-Nya adalah orang zhalim menjajah orang yang zhalim juga. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan pengertian ini dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan para pemimpin yang hidup mewah dengan kedurhakan mereka menjajah penduduk negeri yang pantas dibinasakan. Tidak diragukan lagi penduduk tersebut berhak dibinasakan karena mereka zhalim, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا

Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka [Al-Kahfi/18:59].

Sebagian salaf memahami ayat ini dengan tafsir ini, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim t (6/30) dan al-Baihaqi t dalam asy-Syu’ab al-Imaan no. 7389 dan Abu Amru ad-Daani t dalam as-Sunan al-Waaridah fil Fitan no. 299 dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbâr bahwa beliau berkata:

إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ أَهْلِهِ , فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيهِمْ مُصْلِحًا , وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيهِمْ مُتْرِفًا , ثُمَّ قَرَأَ: وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Sesungguhnya setiap zaman ada raja yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala angkat sesuai hati-hati penduduknya. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala inginkan pada satu kaum kebaikan maka mengangkat pada mereka raja yang memperbaiki dan bila ingin kebinasaan maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat pemimpin yang bermewah-mewahan, kemudian beliau membaca firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadîr 1/265 berkata, “Lengkapnya adalah jika Allah Azza wa Jalla menginginkan keburukan pada satu kaum yang jelek, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat para tokoh yang bermewah-mewah sebagai pemimpin mereka karena ketidak istiqamahan rakyat tersebut.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dengan jelas bahwa kezhaliman penguasa kepada rakyatnya diawali dengan dosa-dosa mereka sendiri. Beliau bersabda:

وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.

Dan mereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali disiksa dengan kelaparan dan kesulitan hidup serta kezhaliman penguasa [HR Ibnu Majah no. 4019 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu majah].

Demikianlah efek dosa, tidak dilanggar peringatan Allah di satu kaum kecuali akan tertimpa mala petaka, sehingga mereka terjajah, dirampas rezeki mereka, dilecehkan kehormatan dan hilang kebebesan mereka. Kemungkaran menimpa mereka sesuai kadar kejelekan yang mereka perbuat dan hilang dari mereka kebahagian sesuai dengan yang mereka hilangkan dari ketaatan.

Ketika ini semua adalah sebab utama, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan perbaikan individu sebagai cara satu-satunya dalam perbaikan penguasa dan rakyat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [Ar-Ra’d/13:11]

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dalam Khutbah beliau dari berlindung dari keburukan jiwa , beliau berkata:

وَنَعُوذُ بهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيئاتِ أعْمَالِنَا

Dan kami berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa dan kejelakan amalan kami. (HR ash-Habus sunan dan dishahihkan al-Albani ).

Mengapa banyak para dai yang berpaling dari ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini?

Yang mendorong saya untuk menyampaikan tulisan ini adalah rasa sayang kepada usaha besar yang telah dikeluarkan dalam dakwah islam yang habis tanpa faedah yang dapat dikenang, lebih-lebih lagi usaha-usaha ini mencakup medan luas dari medan-medan dakwah yang menyita banyak waktu praktisinya. Seandainya mereka mengambil petunjuk al-Qur`an dan Sunnah dan meneliti sirah para Nabi dengan niyat ittiba’ pastilah sampai dengan izin Allah pada tujuan dengan waktu yang singkat. Namun yang menyimpang dari hal ini dari dua kelompok yang telah diisyaratkan diatas dikhawatirkan tidak mendapatkan bagian dari amalannya ini kecuali seperti yang disampaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ

Bekerja keras lagi kepayahan. [Al-Ghâsyiyah/88:3]

Inilah keadaan orang-orang yang berlebihan dalam praktek politik dan revolusi berdarah.


 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015.

Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, J

l. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183

Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.

Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,

Redaksi 08122589079]


Footnote

[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi? dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40


Dikutib dari Asali; Sumber: almanhaj.or.id

Blog Duta Asri Palem 3

Al-Islam

Mushola Nurul Iman

author; Rachmat. Flimban


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Politik Ahlus Sunnah Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslim

Written By Rachmat.M.Flimban on 18 Januari 2017 | 1/18/2017 07:50:00 PM

AHLUS SUNNAH TAAT KEPADA PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiyatan, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena mentaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wajib.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kalian.” [An-Nisaa/4: 59]

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَطاَعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [1]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.”[2]

Apabila mereka memerintahkan perbuatan maksiyat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ آمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ…

“…Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam…“[3]

Ahlus Sunnah memandang bahwa maksiat kepada seorang amir (pemimpin) yang muslim merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.”[4]

Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” [Asy-Syuraa/42: 30]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [Al-An’aam/6: 129]

Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.”[5]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan lisan kita’ karena itu agar umat Islam selamat:

Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hendaklah mereka memperbaiki ‘aqidah mereka.

Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d/13: 11]

Ada seorang da’i berkata:

أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ اْلإِسْلاَمِ فِي قُلُوْبِكُمْ، تُقَمْ لَكُمْ فِيْ أَرْضِكُمْ

“Tegakkanlah negara Islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak Islam di negaramu.”

Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“… Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj/: 40][6]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menganjurkan agar menasihati ulil amri dengan cara yang baik serta mendo’akan amir yang fasiq agar diberi petunjuk untuk melaksanakan kebaikan dan istiqamah di atas kebaikan, karena baiknya mereka bermanfaat untuk ia dan rakyatnya.

Imam al-Barbahari (wafat tahun 329 H) rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.”

Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan bukan keburukan meskipun ia seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin akan merasakan manfaat dari do’anya.” [7]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]


Footnote

[1] HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa-i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1/351 no. 181) oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah

[2] HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah (no. 2864), an-Nasa-i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Saha-bat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini adalah lafazh Muslim

[3] HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan di-sepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh ini milik al-Hakim

[4] HR. Al-Bukhari (no. 7137), Muslim (no. 1835 (33)), Ibnu Majah (no. 2859) dan an-Nasa-i (VII/154), Ahmad (II/252-253, 270, 313, 511), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/41, no. 2450-2451), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[5] Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 543) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki

[6] Al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah (hal. 69), tahqiq Syaikh al-Albani, cet. II/Maktab al-Islami, th. 1414 H.

[7] Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahari

Dikutib dari Asali : almanhaj.or.id

Blog Duta Asri Palem 3

Al-Islam

Mushola Nurul Iman

author; Rachmat. Flimban


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger