Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Ali Al-Ghasun ditanya : Dua tahun yang lalu kami mendengar ceramah sebagian da’i membahas metode-metode dakwah dan cara mengingkari kemungkaran, di dalam metode-metode tersebut mereka masukkan demonstrasi, pembunuhan dan barangkali sebagian mereka memasukkan hal tersebut dalam bab jihad Islam.
Kami mohon penjelasan Anda, apakah hal tersebut termasuk metode-metode dakwah yang syar’i ataukah termasuk bentuk bid’ah yang tercela dan tidak diperbolehkan ?
Kami mohon penjelasan, bagaimana cara bermuamalah yang sesuai dengan syari’at terhadap orang yang mengajak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, dan berpendapat seperti itu serta menyeru kepadanya ?
Jawaban
Alhamdulillah. Telah jelas bahwasanya amar ma’ruf dan nahi mungkar, berdakwah dan memberikan petunjuk merupakan dasar agama Allah (Islam), akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di kitabNya yang mulia.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-Nahl/16 : 125]
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun maka Allah berfirman.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. [Thaha/20 : 44]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan hikmah serta memerintahkan untuk berdakwah dengan hikmah dan sabar, hal ini terdapat pada Al-Qur’an Al-Karim pada surat Al-Ashr : Bismillahirrahmanirrahim.
وَالْعَصْرِ﴿١﴾إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menatapi kesabaran”. [Al-Ashr/103 : 1-3]
Hendaklah seorang da’i di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan penyeru amar ma’ruf dan nahi mungkar senantiasa menghiasi diri dengan kesabaran, mengharapkan pahala serta lapang, menerima apa yang didengar atau apa yang didapatkan ketika berdakwah fi sabilillah.
Adapun manusia yang meniti jalan yang keras -semoga Allah melindungi kita-, menyakiti manusia, menempuh jalan yang penuh kebingungan atau jalan perselisihan dan memecah belah persatuan, semua itu merupakan perkara-perkara syaithaniyah (perilaku setan), juga menjadi dasar pemikiran khawarij, mereka melakukan pembunuhan sebagai cara mengingkari kemungkaran terhadap perkara-perkara yang tidak mereka sukai dan menyelisihi aqidah mereka, menumpahkan darah, mengkafirkan orang serta masih banyak lagi.
Perbedaan cara dakwah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pendahulu kita dengan dakwah Khawarij serta orang-orang yang sejalan dengan aqidah mereka adalah bahwasanya para sahabat berdakwah dengan hikmah dan memberikan pelajaran yang baik, menjelaskan kebenaran, sabar, menerima apa yang terjadi, serta mengharapkan balasan dan pahala. Sedangkan metode dakwah Khawarij adalah dengan melakukan pembunuhan terhadap manusia, menumpahkan darah, mengkafirkan, memecah belah persatuan, menghancurkan kesatuan kaum muslimin yang kesemuanya jelas perbuatan yang amat hina dan diada-adakan.
Orang-orang seperti itu sebaiknya dijauhi, menjaga jarak dari mereka, berhati-hati terhadap mereka karena merekalah yang memecah belah kaum muslimin yang merupakan jama’ah penuh rahmat, mereka ini kelompok yang pantas mendapat murka dan siksa -semoga Allah melindungiku-, seandainya penduduk negeri berkumpul melakukan kebajikan, membentuk satu kesatuan maka mereka akan jaya dan berwibawa.
Jika penduduk suatu negeri berpecah belah, saling menghancurkan, berselisih serta saling memusuhi, maka yang demikian ini adalah perkara bid’ah lagi keji dan seperti jalannya orang yang terdahulu. Mereka datang dari kelompok orang-orang yang memisahkan diri dari jama’ah, yang telah membunuh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya yang ikut dalam bai’at ridwan.
Mereka membunuh karena memimpikan kebaikan padahal mereka adalah dedengkotnya keburukan, kebid’ahan, perselisihan dan perpecahan. Merekalah yang telah menghancurkan dan melemahkan kesatuan kaum muslimin. Begitu juga jika mendapati seseorang yang berkata seperti mereka, mengambilnya serta berprasangka baik terhadap mereka (Khawarij), maka wajib untuk menjauhinya karena dia adalah bahaya bagi kaumnya, dan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Yang benar, bahwasanya seorang muslim itu harus selalu bekerja keras, mengajak kepada kebaikan dan mengerjakannya dengan sempurna, berkata yang benar, berdakwah dengan lemah lembut, berprasangka baik kepada saudara-saudaranya dan menyadari bahwasanya kesempurnaan merupakan sesuatu yang sulit, dan yang ma’shum hanyalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya mereka lenyap maka tidak akan muncul yang lebih baik dari mereka. Sekiranya manusia-manusia itu lenyap apakah itu para pemimpin, pemegang pemerintahan, penuntut ilmu atau suatu bangsa maka akan muncul yang lebih buruk daripada mereka, karena tidaklah datang suatu masa kecuali lebih buruk dari yang sebelumnya. Siapa saja yang menginginkan agar manusia mencapai tingkat kesempurnaan atau bersih dari segala kesalahan dan kekhilafan maka ia telah sesat dan termasuk Khawarij yang telah memecah belah umat, serta menindas mereka.
Hal inilah yang ditentang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Rafidhah, Khawarij, Mu’tazilah serta seluruh cabang dari keburukan dan kebid’ahan.
(Majalah Safinah An-Najah edisi 2 Januari 1991)
[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Penerjemah Andi Masyudin, Terbitan Pustaka At-Tazkia, Juni 2004]
Sumber: Almanhaj.or.id
Posting Komentar