Latest Post
Tampilkan postingan dengan label sirah-nabawiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sirah-nabawiyah. Tampilkan semua postingan

Faedah Sirah Nabi: Membangun Kabah dengan Harta Halal

Written By Rachmat.M.Flimban on 03 April 2018 | 4/03/2018 05:08:00 PM

Fiqh, fiqh Nabawiyah, Sirah Nabi

Faedah Sirah Nabi: Membangun Kabah dengan Harta Halal

Oleh ; Muhammad Abduh Tuasikal, MSc



Membangun Ka’bah dengan harta halal, inilah yang dilakukan dahulu di masa silam.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Abdur Razaq, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani bahwa Ka’bah pada zaman jahiliyah dibangun dengan batu-batu yang bertumpukan tanpa ada tanah liat atau semacam semen yang mengikat batu-batu itu. Ia seukuran apa yang dimasuki oleh anak kambing, berbentuk seperti lingkaran huruf D.”

Ka’bah pada waktu itu (tidak diberi atap), kainnya ditutupkan di atasnya lalu terurai ke bawah, dan memiliki dua sudut. Rumah-rumah penduduk mengelilingi Ka’bah. Pada riwayat Bukhari dari Amr bin Dinar dan Ubaidillah bin Abi Yazid berkata, “Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ka’bah tidak memiliki tembok yang mengelilinginya, hingga tibalah masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dan membangun sekelilingnya tembok penghalang. Ubaidillah berkata, “Dinding Ka’bah pendek kemudian dibangun oleh Ibnu Az-Zubair.” Oleh karena itu, apabila hujan datang, maka selalu berhadapan dengan air deras yang mengalir dari gunung Mekah, karena tidak ada tembok di sekelilingnya yang bisa menghalaunya.

Ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai 35 tahun datanglah banjir besar yang menyebabkan dinding-dinding Ka’bah rusak dan meluluhkan pondasinya. Pada saat itulah, orang-orang Quraisy bermaksud merobohkannya, tetapi takut terjadi apa-apa karena mereka sangat mencintai Ka’bah. Oleh karena itu, datanglah Al-Walid dengan membawa kampak sambil berkata, “Apakah kalian menghancurkan Ka’bah karena bermaksud memperbaiki atau merusak?” Mereka berkata, “Kita ingin memperbaikinya.” Dia berkata, “Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan membinasakan orang yang berbuat baik dan kemudian mulai menghancurkan bagian tertentu darinya.” Malam itu berlalu dalam penantian tentang apakah akan terjadi sesuatu terhadap Al-Walid. Kalau ternyata terjadi apa-apa, maka mereka akan mengembalikan seperti semula dan apabila tidak terjadi apa-apa, maka perobohan akan dilanjutkan karena ternyata Allah meridhainya.

Oleh karena itu, pada pagi hari, Al-Walid kembali melanjutkan pekerjaannya dan diikuti oleh yang lainnya, hingga dinding Ka’bah roboh dan sampai pada pondasi (yang telah dibangun oleh) Ibrahim ‘alaihis salam. Mereka membiarkan pondasinya seperti semula dan mulai membangun kembali dinding-dindingnya dengan harta infak bersama dengan syarat bukan dari hasil prostitusi, bukan dari hasil transaksi riba, dan bukan karena hasil kezaliman terhadap orang lain, semua harus bersumber dari harta yang halal.

Orang-orang Quraisy berhasil menunaikan tugas dengan membangun Ka’bah berdasarkan jatah Kabilah masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terlibat dalam pembangunan Ka’bah.

Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tatkala Ka’bah dibangun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu. Mereka berdua mengangkat batu, kemudian Al-Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Letakkan sarungmu di atas pundakmu agar batu tidak melukaimu.’ Tetapi tiba-tiba dia terjatuh ke tanah dan matanya melihat ke langit, dan setelah tersadar ia berkata, ‘Sarungku, sarungku, kemudian Al-Abbas menutupkan kembali sarugnya.’” (HR. Bukhari, Fath Al-Bukhari, 7:145)

Pelajaran Penting Mengenai Menginfakkan Harta Halal

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).” (HR. Muslim, no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim no. 1014)

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

  1. Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
  2. Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
  3. Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 92-93.

Jika Diberi Harta Riba

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, harta riba masuk dalam kaedah,

أَنَّ مَا حُرِّمَ لِكَسْبِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الكَاسِبِ فَقَطْ، دُوْنَ مَنْ أَخَذَهُ مِنْهُ بِطَرِيْقٍ مُبَاح

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh).” (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, pertemuan kedua, pertanyaan no. 59, 1:102)

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Masih bersambung ke bahasan berikutnya tentang pembangunan Ka’bah. Moga Allah mudahkan.


Sumber Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Bukti Penjagaan Allah pada Muhammad Sebelum Menjadi Nabi

Fiqh, fiqh Sirah Nabi

Faedah Sirah Nabi: Bukti Penjagaan Allah pada Muhammad Sebelum Menjadi Nabi

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc




Kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum masa kenabian adalah mulia dan gemilang.

Beliau semenjak masa kecil hidup dalam akidah yang benar, tidak terpengaruh dengan akidah dan moral jahiliyah, walaupun dikelilingi oleh agama dan budaya.

Berikut di antara beberapa bukti penjagaan Allah sebelum beliau diangkat menjadi seorang Nabi.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah Menyentuh Patung Berhala

Beliau tidak menyetujui patung-patung yang disembah oleh kaumnya. Beliau mengetahui bahwa patung-patung tersebut tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Suatu hari, dia bersama bekas budaknya, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, dan ada patung bernama Isaf dan Nailah. Patung-patung itu diusap oleh orang-orang musyrik ketika mereka thawaf. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf, Zaid berkata, “Saya pun thawaf bersamanya. Setelah saya melewatinya, maka saya pun mengusap patung itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan menyentuhnya!” Saya berkata pada diri saya, “Saya akan tetap menyentuhnya hingga saya lihat apa yang akan terjadi.” Kemudian saya tetap mengusapnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah aku telah melarangmu?” Demi Allah yang telah memuliakan beliau dan menurunkan risalahnya kepadanya, dia tidak pernah menyentuh patung hingga Allah memuliakannya dan menurunkan Al-Qur’an (Al-Kitab) kepadanya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, 2:34; Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 3:447-448)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah Minum Khamar dan Main Judi

Beliau sama sekali belum pernah meminum khamar dan tidak pernah mendekati kemaksiatan, dan tidak terlibat dalam permainan judi, atau permainan tidak berguna, walaupun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa bergaul bersama masyarakatnya, hidup dengan mereka, dan menemani mereka dalam aktivitas keseharian yang dibolehkan.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dijaga dari Kesalahan Moral Termasuk dari Mendengar Musik

Ada ke-ma’shum-an yang menjaganya dari kesalahan-kesalahan moral. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Tatkala Ka’bah dibangun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu bersama ‘Abbas memindahkan batu, kemudian ‘Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Letakkan sarungmu di atas pundakmu agar menjaga kamu dari batu.’ Kemudian tiba-tiba beliau terjatuh ke tanah dan matanya memandang ke langit kemudian setelah tersadar, beliau berkata, ‘Sarungku, sarungku.’ Kemudian sarungnya itu ditutupkan kembali kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 3829, Fath Al-Bari, 7:145, pada Bab “Pembangunan Ka’bah”)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku tidak pernah berniat melakukan sesuatu pada zaman jahiliyah dari keinginan untuk mendengarkan hiburan nyanyian kecuali pada dua malam saja yang kedua-duanya Allah menjagaku dari menyaksikannya. Suatu malam, aku berkata kepada temanku sesama penggembala kambing, ‘Tolong jaga kambing-kambingku, aku ingin masuk ke Kota Makkah untuk menyaksikan hiburan seperti yang disaksikan oleh anak-anak muda lainnya.’ Kawanku itu berkata, ‘Silakan.’ Maka aku masuk kota Makkah, hingga ketika aku sampai di rumah pertama dari rumah-rumah yang ada di Makkah, aku mendengar suara ‘azfan—yaitu suara nyanyian dan musik–. Aku lantas bertanya, ‘Ada acara apa ini?’ Maka ada yang mengatakan kepadaku saat itu, ‘Ada acara nikah si fulan dengan fulanah.’ Akhirnya aku duduk, maka Allah pun menutup pendengaranku dan membuatku tertidur, kemudian aku baru terbangun ketika mentari pagi bersinar dan mengenaiku. Kemudian aku kembali kepada kawanku. Dia bertanya kepadaku, ‘Apa yang engkau saksikan semalam?’ Aku jawaba, ‘Aku tidak melakukan apa-apa.’ Kemudian aku ceritakan kejadian semalam.

Pada malam berikutnya, aku berkata lagi kepadanya, ‘Tolong jaga kambingku, aku akan menyaksikan hiburan nyanyian di kota Makkah. Setelah aku tiba di Makkah, aku mendengar seperti apa yang kudengar pada malam sebelumnya, lalu aku bertanya seperti sebelumnya. Lalu ada yang menjawab, ‘Ada pernikahan lagi si fulan dengan fulanah.’ Akhirnya aku duduk melihat dan Allah pun menutup pendengaranku. Demi Allah, aku tidak terbangun dari tidur kecuali setelah mentari pagi bersinar dan menyengat badanku. Kemudian aku kembali kepada kawanku, dia bertanya lagi, ‘Apa yang telah engkau saksikan semalam?’ Aku jawab, ‘Aku tidak melakukan apa-apa.’ Kemudian aku ceritakan kejadian sebenarnya yang terjadi semalam. Demi Allah, setelah itu aku tidak pernah lagi menyaksikan pertunjukkan (nyanyian seperti itu) dan aku tidak pernah lagi mengulanginya hingga Allah memuliakanku dengan kenabian.” (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, 2:33-34 dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 3:446-447)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Wukuf di Arafah Sedangkan Orang Quraisy Wukuf di Muzdalifah

Jubair bin Muth’im berkata,

أَضْلَلْتُ بَعِيرًا لِى ، فَذَهَبْتُ أَطْلُبُهُ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَرَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَاقِفًا بِعَرَفَةَ ، فَقُلْتُ هَذَا وَاللَّهِ مِنَ الْحُمْسِ فَمَا شَأْنُهُ هَا هُنَا

“(Pada hari Arafah), aku kehilangan unta dan aku mencarinya. Ketika itu aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wukuf di Arafah. Demi Allah ini dari kelompok Hums (Quraisy), mengapa beliau berkumpul di sini (yaitu di Arafah), sedangkan orang Quraisy malah wukuf di Muzdalifah.” (HR. Bukhari, no. 1664).

Orang-orang Quraisy kala itu enggan melakukan wukuf di Arafah karena Arafah sudah keluar dari tanah haram (tanah suci dan mulia). Kejadian itu menunjukkan bimbingan Allah kepada Nabi-Nya dengan memberinya taufik untuk berdiri di tempat yang benar sebelum masa kenabian.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dikenal Sangat Jujur

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى صَعِدَ الصَّفَا فَهَتَفَ « يَا صَبَاحَاهْ » . فَقَالُوا مَنْ هَذَا ، فَاجْتَمَعُوا إِلَيْهِ . فَقَالَ « أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلاً تَخْرُجُ مِنْ سَفْحِ هَذَا الْجَبَلِ أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِىَّ » . قَالُوا مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ كَذِبًا . قَالَ « فَإِنِّى نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَىْ عَذَابٍ شَدِيدٍ » . قَالَ أَبُو لَهَبٍ تَبًّا لَكَ مَا جَمَعْتَنَا إِلاَّ لِهَذَا ثُمَّ قَامَ فَنَزَلَتْ ( تَبَّتْ يَدَا أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ ) وَقَدْ تَبَّ هَكَذَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar lantas beliau naik ke bukit Shafa kemudian memanggil manusia, ‘Wahai orang-orang berkumpullah!’ Mereka pun berkata, ‘Siapa yang memanggil seperti itu?’ Lantas orang-orang berkumpul di hadapan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun berkata, ‘Bagaimana pandangan kalian kalau aku kabarkan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda muncul dari lereng gunung, apakah kalian akan membenarkanku?’ Mereka semua berkata, ‘Kami belum pernah menemukan engkau berbohong.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu, aku ingatkan kalian bahwa aku adalah pemberi peringatan yang diutus kepada kalian sebelum datang hari pembalasan yang pedih.’ Lantas Abu Lahab berkata, ‘Celaka engkau, kenapa engkau mengumpulkan kami hanya bertujuan untuk menjelaskan seperti itu?’ Hingga turunlah ayat ‘tabbat yadaa abii lahabiwwatab’. Dan benar-benar Abu Lahab jadinya binasa.” (HR. Bukhari, no. 4971)

Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua dan semakin yakin akan benarnya kenabian Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Referensi:

1. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan Tahun 1436 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin At-Turky. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.

2. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.

 

Referensi Terjemahan:

Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.

Disusun di Perpus Rumaysho, 21 Jumadats Tsaniyyah 1439 H (9 Maret 2018), Jumat pagi

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Penjagaan Allah yang Luar Biasa

Fiqh, Fikih Sirah Nabawiyah

Faedah Sirah Nabi: Penjagaan Allah yang Luar Biasa

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc



Pada edisi sebelumnya telah dibahas bagaimanakah bentuk penjagaan Allah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diangkat menjadi seorang Nabi.

Apa hikmah dan pelajaran yang diambil dari kisah yang lalu:  

Pada edisi sebelumnya telah dibahas bagaimanakah bentuk penjagaan Allah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diangkat menjadi seorang Nabi.

Apa hikmah dan pelajaran yang diambil dari kisah yang lalu:

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik kemanusiaan yang sempurna. Beliau adalah anak muda seperti anak muda lainnya. Beliau bersosialisasi dengan masyarakat dan bekerjasama dengannya. Beliau merasakan seperti yang dirasakan oleh anak muda lainnya, dan jiwanya memiliki kecenderungan seperti kecenderungan anak muda lainnya dalam masalah yang lumrah.
  2. Allah Ta’ala telah menjaganya dari segala fenomena yang miring. Selain ma’shum dengan cara mendapatkan wahyu, beliau juga telah dijaga oleh Allah Ta’ala dari kesesatan, dari kehendak nafsunya, atau dari tekanan masyarakatnya, hingga beliau terhindar dari pelanggaran itu sebelum terjadi atau sebelum tersentuh.
  3. Beliau telah hidup pada masa mudanya dengan akhlak yang terpuji, fitrah yang bersih, jauh dari sentuhan berhala, kemusyrikan, dan khurafat, hingga beliau tumbuh dan besar dengan suci bersih, dan terkenal dengan sifat jujur dan amanah. Semua itu sebagai pengantar menuju risalah kenabian yang akan diembannya.
  4. Adanya sifat-sifat yang terpuji itu dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan‘inayah ilahiyyah (bimbingan Allah), dan eratnya kaitan sifat-sifat tersebut dengan kenabiannya shallallahu ‘alaihi wa sallam, menunjukkan kepada kita tentang pentingnya akhlak tersebut bagi seorang da’i. Oleh karena itu, keistiqamahn da’i dan penjagaannya untuk selalu jujur dan berakhlak mulia adalah sangat penting dalam rangka menjadikan manusia simpati kepadanya, sehingga tidak menemukan pendengki atau pengkritik yang mencibirnya dengan sesuatu dari masa lalunya.
  5. Sebenarnya mudah bagi Allah untuk melahirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi tanpa adanya keinginan seperti kebiasaan anak muda dari senda gurau, menganggap enteng masalah aurat, dan sebagainya. Namun, bila itu terjadi, maka bisa saja dipahami bahwa itu adalah sebuah tindakan menjauh dari masyarakat dan termasuk sisi kelemahan sebagai seorang manusia biasa. Lain halnya bila kecenderungan seperti itu memang ada dalam benak sanubarinya, tetapi terjaga dari melakukannya. Di situlah akan nampak keistimewaan kepribadiannya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  6. Ulama mengingkari kebenaran riwayat yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan acara-acara pertunjukan orang-orang musyrik bersama mereka. Para ulama menyatakan bahwa seperti itu tidak benar.

Penjagaan Allah yang Luar Biasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.” (HR. Tirmidzi, no. 2516 dan Ahmad, 1:293. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan larangan-larangan Allah. Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala. Inilah yang dimaksud al-jazaa’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan sesuai dengan amal perbuatan.

Jika seseorang menjaga hak-hak Allah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka Allah pun akan selalu menjaganya. Bentuk penjagaan Allah ada dua macam, yaitu:

Penjagaan pertama:

Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga, dan harta. Bentuknya di antaranya adalah:

  1. Penjagaan melalui malaikat Allah
  2. Di antara bentuk penjagaan Allah adalah ia akan selalu mendapatkan penjagaan dari malaikat Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

    لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ

    “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar-Ra’du: 11).

  3. Penjagaan di kala usia senja
  4. Ada cerita mengenai Al-Qadhi Abu Syuja’ (Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Asy-Syafi’i rahimahullah) yang menulis kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Perlu diketahui bahwa beliau adalah di antara ulama yang mati pada usia sangat tua. Umur beliau ketika meninggal dunia adalah 160 tahun (433-596 Hijriyah). Beliau terkenal sangat dermawan dan zuhud. Beliau sudah diberi jabatan sebagai qadhi pada usia belia yaitu 14 tahun. Keadaan beliau di usia senja (di atas 100 tahun), masih dalam keadaan sehat wal afiat. Begitu pula ketika usia senja semacam itu, beliau masih diberikan kecerdasan. Tahukah Anda apa rahasianya? Beliau tidak mempunyai tips khusus untuk rutin olahraga atau yang lainnya. Namun perhatikan apa tips beliau, “Aku selalu menjaga anggota badanku ini dari bermaksiat pada Allah di waktu mudaku, maka Allah pun menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.”

  5. Penjagaan pada keturunan dan keluarga
  6. Di antaranya kita dapat melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat penjagaan Allah karena ayahnya adalah orang yang sholih. Allah Ta’ala berfirman,

    وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

    “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (QS. Al-Kahfi: 82).

    ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan, “Barangsiapa seorang mukmin itu mati (artinya: ia selalu menjaga hak Allah, pen), maka Allah akan senantiasa menjaga keturunan-keturunannya.”

    Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah mengatakan pada anaknya, “Wahai anakku, aku selalu memperbanyak shalatku dengan tujuan supaya Allah selalu menjagamu.” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467.

    Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”

  7. Dirinya dijaga oleh Allah

Ada orang yang ingin diganggu oleh hewan lantas dijaga oleh Allah. Sebagaimana terjadi pada Safinah–bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam–ketika kendaraannya (perahunya) rusak dan ia terdampar di suatu pulau. Ketika itu ia melihat seekor singa. Singa itu malah jalan bersamanya hingga ditunjukkan jalan keluar. Lantas hewan tersebut seperti menyampaikan perpisahan dengannya lantas kembali. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:468.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya.

Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467.

Penjagaan kedua:

Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan. Inilah penjagaan yang lebih luar biasa dari penjagaan pertama tadi. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:468.

Semoga kita senantiasa dijaga oleh Allah ketika kita menjaga aturan-aturan-Nya.


Referensi:


1. Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah;


2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.


Sumber Artikel; Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Sejarah Kelam Maulid Nabi

Written By Rachmat.M.Flimban on 07 Februari 2018 | 2/07/2018 08:55:00 PM

Sejarah Kelam Maulid Nabi

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal



Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.

Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut ini.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)

Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab sampai Fatimah?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah.
Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)

Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)

Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua:
Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga:
Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.


Sumber Artikel Rumaysho.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Tanggal Lahir Nabi Belum Jelas

Faedah Sirah Nabi: Tanggal Lahir Nabi Belum Jelas

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


Kapan Nabi kita lahir? Apa benar 12 Rabi’ul Awwal seperti yang diperingati?

Para ulama sepakat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir pada hari Senin.

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim, no. 1162)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Adapun tempat kelahirannya di Mekkah, ada yang mengatakan di sebuah rumah yang ada di Syi’ib Bani Hasyim. Ada yang mengatakan di sebuah rumah dekat Shafa. Selain itu, orang yang bertindak sebagai bidannya adalah ibunda ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu wa ‘anha.

Pendapat yang benar adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan di bulan Rabi’ul Awwal. Adapun tanggal lahirnya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan tanggal 2, tanggal 8, tanggal 9, tanggal 10, tanggal 12, tanggal 17, atau tanggal 22 Rabi’ul Awwal.

Adapun tahun kelahiran beliau adalah di tahun Gajah, yaitu tahun 571 Miladiyah.

Setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibunya mengirimkan beliau ke kakeknya, ‘Abdul Muthallib. Dia menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah. Setelah sampai pada hari yang ketujuh, dia memotong kambing dan mengundang orang-orang Quraisy. Setelah mereka selesai makan, mereka bertanya, “Wahai ‘Abdul Muthallib, siapa nama anak kamu yang karenanya kamu memanggil kami?”

‘Abdul Muthallib berkata, “Saya namakan dia Muhammad.”

Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kamu menamakan anakmu dengan nama yang bukan nama dari kakek kamu dan juga bukan nama yang dikenal pada kaummu?”

‘Abdul Muthallib berkata, “Saya berharap penduduk bumi memujinya dan pendudukan langit pun memujinya.” [Muhammad berarti yang terpuji]

Nama Muhammad adalah nama langka di kalangan Arab Jahiliyah, kecuali beberapa orang tua yang mengetahui bahwa Nabi akhir zaman adalah bernama Muhammad dan berharap anaknya menjadi nabi, maka dia pun menamakan anaknya dengan Muhammad.

Selain itu, Allah Ta’ala, menjaga setiap orang yang bernama Muhammad pada waktu itu dari mengaku sebagai nabi, atau seorang menganggapnya sebagai nabi, atau bahkan menampakkan masalah yang membuat orang lain bertanya-tanya.

Beberapa faedah yang bisa diambil dari tanggal kelahiran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

  1. Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada kaitannya dengan ibadah tertentu dan tidak disyariatkan melakukan ibadah tertentu di dalamnya, baik peringatan kelahiran atau yang lainnya. Seandainya dianjurkan memeringati perayaan tertentu, tentu akan ditentukan tanggal pasti kelahiran beliau sebagaimana kalau mau memasuki Ramadhan atau keluar dari Ramadhan, penentuannya dilihat dengan penglihatan hilal awal bulan.
  2. Hari Senin merupakan hari istimewa dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istimewanya, hari Senin dianjurkan untuk berpuasa. Pada hari Senin, beliau dilahirkan, diangkat menjadi Nabi dan hari meninggal dunia.
  3. Kalau ada yang mengatakan bahwa puasa hari Senin sebagai peringatan kelahiran Nabi, maka kita jawab bahwa puasa hari Senin bukan karena hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Apalagi ditambahkan hari Senin disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hari diangkatnya beliau menjadi nabi.
  4. Tanggal 12 Rabiul Awwal tidak bisa dipastikan sebagai tanggal kelahiran Nabi sebagaimana yang diperingati kaum muslimin saat ini sebagai Maulid Nabi.

Kapan perayaan Maulid Nabi mulai muncul?

Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al-Ibda’ fi Madhor Al-Ibtida’ (hlm. 251) dan Al-Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al-Muhadhorot Al-Fikriyah (hlm. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al-Maulid, hlm. 20)

Empat Kenyataan Perayaan Maulid Nabi

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al-Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Baca selengkapnya tentang Sejarah Kelam Maulid Nabi:



Sejarah Kelam Maulid Nabi

Ini bukti sejarah kelam Maulid Nabi menurut pakar sejarah.

Semoga bahasan ini menjadi pelajaran berharga. Ya Allah, tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus.

Referensi:

Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.


Sumber Artikel; Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Zainab binti Jahsy

Written By Rachmat.M.Flimban on 31 Januari 2018 | 1/31/2018 10:22:00 PM

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Zainab binti Jahsy

Sekarang kita melihat istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya yaitu

Zainab binti Jahsy.



Zainab binti Jahsy

Nama aslinya adalah Barrah. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Zainab. Nama kunyahnya adalah Ummul Hakam. Ibu dari Zainab adalah Umayyah binti ‘Abdul Muthallib bin Hasyim bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Ibunya berarti bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur bapak Nabi. Kita simpulkan berarti Zainab binti Jahsy masih berhubungan kerabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sebagai sepupu beliau.

Zainab binti Jahsy masuk Islam dari dulu. Ia pernah berhijrah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suaminya terdahulu bernama Zaid bin Haritsah (bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Zaid mentalak Zainab dan setelah masa ‘iddahnya selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab. Umur Zainab ketika dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 53 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada bulan Dzulqa’dah tahun 5 Hijriyah sebagaimana pendapat Al-Waqidi dan Ibnu Katsir. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Zainab binti Jahsy meninggal dunia pada tahun 20 Hijriyah.

Keutamaan Zainab binti Jahsy

  1. Allah memuliakannya dengan penyebutan pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ditalak Zaid sebagaimana disebut dalam ayat,
  2. فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

    “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)

  3. Ayat hijab turun berkenaan dengan pernikahan Zainab binti Jahsy yaitu firman Allah,
  4. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)

  5. Ia sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedudukan Zainab binti Jahsy begitu mulia di sisi Nabi karena ia adalah satu-satunya istri beliau yang paling dekat dengan beliau dari sisi kekerabatan, Zainab adalah puteri dari bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ibnatu ‘ammatihi).
  6. Zainab binti Jahsy sangat terkenal dengan banyaknya ibadah beliau. Sampai-sampai Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat wanita yang sangat baik agamanya, paling bertakwa kepada Allah, paling jujur perkataannya dan paling penyayang selain Zainab binti Jahsy.
  7. Zainab binti Jahsy sangat terkenal wara’. Ketika Zainab ditanya tentang Aisyah mengenai fitnahan selingkuh (haditsul ifki), Zainab menjawab, “Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
  8. Zainab binti Jahsy sangat semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dibuktikan bahwa Zainab tidaklah berhaji lagi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terakhir bersama beliau dalam haji wada’. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta istri-istri beliau untuk menetap di rumah sepeninggal beliau. Hanya Saudah binti Zam’ah dan Zainab binti Jahsy yang tidak berhaji bersama istri-istri Nabi lainnya di masa Umar bin Al-Khattab.
  9. Bukti lain kalau Zainab sangat ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidak mau mengenakan wewangian ketika masa berkabung saat meninggal saudara laik-lakinya. Ia mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berbicara di mimbar,

    لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

    “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kalau ditinggal mati suami, maka berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335)

  10. Zainab binti Jahsy sangat senang berinfak atau bersedekah. Setiap harta yang sampai di tangannya, ia gunakan untuk berinfak kepada lainnya. Ketika ia meninggal dunia, ia tidaklah meninggalkan satu dirham atau dinar karena ia telah gunakan semuanya untuk bersedekah. Sampai kain kafan untuknya yang akan diberi oleh Umar, ia wasiatkan untuk disedekahkan. Ketika meninggal dunia, yang ia tinggalkan adalah rumahnya. Ini menandakan banyaknya harta yang telah beliau infakkan. Beliau disebut juga dengan Ma’wal Masakin (tempat kembalinya orang-orang miskin).

Semoga pelajaran dari Zainab binti Jahsy menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber Artikel Rumaysho.Com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Ummu Habibah

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Ummu Habibah


Ummu Habibah adalah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya setelah sebelumnya kita mengenal Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah binti Abu Bakr, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan Juwairiyah binti Al-Harits. Berarti dengan pembahasan Ummu Habibah kali ini sudah sembilan istri yang kita pelajari.

Siapa Ummu Habibah?

Ummu Habibah adalah di antara istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ketika beliau meninggal dunia.

Nama lengkap beliau adalah Ummu Habibah binti Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik Al-Qurasyiyah Al-Umawiyah. Ibunya adalah Shafiyah binti Abul’Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams, merupakan bibi dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Adapun nama aslinya, ada beda pendapat di kalangan para ulama, ada yang menyatakan Hindun dan ada yang menyatakan Ramlah. Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa yang masyhur, nama asli Ummu Habibah adalah Ramlah. Inilah yang menjadi pendapat yang dianggap shahih oleh jumhur ulama berdasarkan penelitian nasab, sejarah, dan hadits. Sebagaimana Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa nama asli Ummu Habibah yang lebih shahih adalah Ramlah. Namun Ummu Habibah lebih masyhur dengan nama kunyah-nya dibanding dengan nama aslinya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 4:305.

Ummu Habibah dilahirkan 17 tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Ummu Habibah termasuk puteri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang punya kedekatan nasab dengan beliau seperti Zainab binti Jahsy dari jalur ibunya (ibu Zainab adalah bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur bapaknya).

Suami Ummu Habibah sebelum menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Ubaidullah bin Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah bin Katsir bin Ghanm bin Dawdan bin Asad bin Khuzaimah.

Ummu Habibah adalah di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam, ia beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan ajaran beliau.

Ia dan suaminya pernah berhijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dari kejahatan kaum musyrikin di Makkah yang dipimpin oleh bapaknya sendiri, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya Abu Sufyan sangat marah sekali ketika mengetahui puterinya masuk Islam dan meninggalkan ajaran nenek moyang mereka. Ketika berhijrah ke Habasyah, Ummu Habibah ditakdirkan hamil dan melahirkan anaknya saat perjalanan di jalan Allah. Ia dikaruniakan rezeki dengan lahirnya anaknya bernama Habibah (akhirnya ia berkunyah dengan nama anak ini), yang merupakan anak yang pertama ketika berada di Habasyah. Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa anak itu dilahirkan di Makkah.

Ketika di Habasyah suaminya ‘Ubaidullah murtad, masuk Nashrani dan ingin mengajak istrinya pula untuk memeluk ajaran Nashrani. Namun ajakan itu tidak berhasil. Suaminya pun mati dalam keadaan Nashrani dalam keadaan sebelumnya mabuk karena minum khamar. Akhirnya, Ummu Habibah hidup seorang diri bersama puterinya (Habibah) sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri kepada Raja Najasyi agar meminta kepada raja tersebut untuk menikahkan Ummu Habibah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang menjadi wali nikahnya adalah putera dari pamannya yaitu Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash bin Umayyah, demikian pendapat yang terkuat. Sedangkan raja Najasyi mewakili Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun akad nikahnya, ada yang menyatakan berlangsung di Madinah setelah Ummu Habibah pulang dari Habasyah, ada pula yang menyatakan di Habasyah. Maharnya ketika itu adalah 400 dinar (kalau dirupiahkan saat ini sekitar 800 juta rupiah, pen.).

Dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maharnya paling mahal adalah Ummu Habibah. Pernikahan beliau yang paling jauh tempatnya adalah dengan Ummu Habibah. Pernikahan tersebut berlangsung pada tahun enam Hijriyah. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaulinya baru pada tahun tujuh Hijriyah.

Ummu Habibah meninggal dunia di Madinah pada tahun 44 Hijriyah pada masa khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagaimana hal ini ditegaskan oleh kebanyakan ulama.

Keutamaan Ummu Habibah

1- Ummu Habibah sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buktinya adalah hadits berikut, di mana Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِى بِنْتَ أَبِى سُفْيَانَ فَقَالَ « أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكَ » . فَقُلْتُ نَعَمْ ، لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ ، وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِى فِى خَيْرٍ أُخْتِى .فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ ذَلِكَ لاَ يَحِلُّ لِى » . قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِى سَلَمَةَ . قَالَ « بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ » . قُلْتُ نَعَمْ . فَقَالَ « لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِى فِى حَجْرِى مَا حَلَّتْ لِى إِنَّهَا لاَبْنَةُ أَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ ، أَرْضَعَتْنِى وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلاَ تَعْرِضْنَ عَلَىَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ »

“Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau senang akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan Abu Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab, pen.). Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku.” )HR. Bukhari, no. 5101 dan Muslim, no. 1449)

2- Ummu Habibah sangat ittiba’ (mengikuti petunjuk) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buktinya adalah tentang hadits shalat rawatib dalam sehari berikut ini. Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah (rawatib) dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Coba kita lihat, bagaimana keadaan para periwayat hadits ini ketika mendengar hadits tersebut. Di antara periwayat hadits di atas adalah An-Nu’man bin Salim, ‘Amr bin Aws, ‘Ambasah bin Abi Sufyan dan Ummu Habibah yang mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.

Ummu Habibah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Ambasah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.”

‘Amr bin Aws mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.”

An-Nu’man bin Salim mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.” (HR. Muslim, no. 728)

Bukti lainnya yang menunjukkan Ummu Habibah sangat ittiba’ adalah ketika menyikapi ayahnya yang meninggal dunia. Dari Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata, “Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)

3- Ummu Habibah meminta maaf sebelum ia meninggal dunia

Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal dunia. Ia berkata, ‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku dan engkau dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu Habibah lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, moga Allah juga memberikan kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu Salamah seperti itu pula. Ia pun meninggal dunia pada tahun 44 Hijriyah pada masa Khalifah Mu’awiyah binti Abi Sufyan. (HR. Abu Sa’ad, 8:100 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasq, 69:152, Al-Hakim, 4:22. Walau sanad hadits ini dha’if sekali dari jalur Al-Waqidi dan Abu Sabrah, keduanya perawi yang matruk).

Semoga kisah Ummu Habibah menjadi pelajaran berharga.


Referensi:

Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger