Latest Post
Tampilkan postingan dengan label syarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syarah. Tampilkan semua postingan

PENGERTIAN AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA AH

Written By Rachmat.M.Flimban on 20 November 2020 | 11/20/2020 02:39:00 AM

Kitab,Aqidah,Syarah

PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
  1. Definisi ‘Aqidah

‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan,

at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat,  al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan),  dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi):

‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]

  • Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]

  • ‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

    Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

    • Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
    • Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

    1. Al-Iman

    ‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]

  • ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
  • Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]
  • Dinamakan Tauhid
  • ‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]

  • As-Sunnah
  • As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]

  • Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
  • Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]

  • Al-Fiqhul Akbar
  • Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]

  • Asy-Syari’ah

  • Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]

    Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

    • Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:

    Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

    1. Ilmu Kalam

    Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka.

    Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

    Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

  • Filsafat
  • Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

  • Tashawwuf

    Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka.

  • Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan.

    Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

    Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

    Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”[13]

    Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah.

    Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul).

    Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[14]

    Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela.

    Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

  • Ilaahiyyat (Teologi)

    Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.

  • Kekuatan di Balik Alam Metafisik

  • Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.

    Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli.

    Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

    [Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,

    Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,

    Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]


    Bookmark/Penanda Buku

    [1]. Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614: عقد). [2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.

    [3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.

    [4]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).

    [5]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H),

    رحمهم الله . [6]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H),

    رحمهم الله. [7]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H),

    رحمهم الله. [8]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H),

    رحمهم الله. [9]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H),

    رحمهم الله. [10]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th. 150)

     [11]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.

    [12]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).

    [13]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).

    [14]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.

    [15]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H. Home /Kitab : Aqidah (Syarah.../Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah..

    Reference: https://almanhaj.or.id/3429-pengertian-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

     
    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Syarah Keutamaan Dzikir

    Written By Rachmat.M.Flimban on 06 Oktober 2017 | 10/06/2017 12:22:00 AM


    Syarah Keutamaan Dzikir

    Syarah Keutamaan Dzikir 1-13

    Syarah Keutamaan Dzikir (1)

    Allah Ta'ala berfirman,

    فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ

    "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (QS. Al-Baqarah/2: 152)

    Dengan kata lain, ingatlah kepada-Ku dengan ketaatan, maka Aku akan mengingatmu dengan ampunan. Hak Allah Ta'ala mengingatkan orang agar berdzikir kepada-Nya. Siapa saja yang dzikir kepada-Nya dengan ketaatan, maka Allah akan ingat kepadanya dengan kebaikan. Sedangkan siapa yang ingat kepada-Nya dengan berbagai kemaksiatan, maka dia akan diingat Allah dengan laknat dan tempat kembali yang sangat buruk.

    Dikatakan, "Ingatlah kepada-Ku ketika dalam kebahagiaan, maka Aku ingat kepadamu ketika dalam bala."

    Syarah Keutamaan Dzikir (2)

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً

    "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya." (QS. Al-Ahzab/33: 41)

    Dengan kata lain dzikirlah kepada Allah dengan lisan, dzikirlah kepada-Nya dalam segala keadaan, karena manusia tidak akan lepas, apakah dalam keadaan taat ataupun maksiat, nikmat ataupun sangat sulit. Jika dalam keadaan taat, maka dia harus dzikir kepada Allah Ta'ala dan tetap dengan ikhlas dan memohon kepada-Nya penerimaan dan taufik-Nya. Sedangkan jika dalam keadaan maksiat, maka dia harus dzikir kepada Allah Ta'ala dengan memohon taubat dan ampunan kepada-Nya. Sedangkan jika dalam keadaan nikmat, maka dia harus dzikir kepada-Nya dengan syukur kepada-Nya. Sedangkan jika dalam keadaan yang sangat sulit, maka dia harus dzikir kepada Allah dengan sabar.

    Dikatakan, اذْكُرُوا اللَّهَ 'berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah' adalah pujilah Dia dengan berbagai macam pujian, baik berupa pensucian, pemuliaan, tahlil, pengagungan, dan semua pujian yang layak bagi-Nya. Dan perbanyaklah semua itu.

    Bisa saja yang dimaksud dengan dzikir dan memperbanyaknya adalah memperbanyak semangat untuk beribadah. Sesungguhnya semua ketaatan dan semua kebaikan adalah bagian dari dzikir.

    Syarah Keutamaan Dzikir (3)

    وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

    "... Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS. Al-Ahzab/33: 35)

    Dengan kata lain, mereka yang dzikir kepada Allah Ta’ala dengan lisan, baik laki-laki atau perempuan. Ungkapan ini dalam kapasitas pujian bagi laki-laki dan perempuan yang dzikir kepada Allah.

    Siapa saja yang banyak berdzikir kepada Allah sehingga hatinya nyaris tidak pernah kosong dari dzikir kepada Allah, demikian juga lisannya atau keduanya.

    Banyak membaca Al-Qur’an dan sibuk dengan ilmu dan dzikir.

    Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

    مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

    "Barangsiapa bangun dari tidurnya, lalu membangunkan istrinya, kemudian keduanya melakukan shalat dua rakaat berjama'ah, maka keduanya telah tertulis sebagai laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah."1

    Jika seseorang merutinkan berbagai dzikir yang ma’tsur pada waktu pagi dan sore dan dalam setiap waktu dan kondisi yang bermacam-macam di malam dan siang hari, maka dia termasuk orang yang banyak berdzikir kepada Allah.

    Syarah Keutamaan Dzikir (4)

    وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

    "Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan sore, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raf/7: 205)

    Dengan kata lain: bacalah, wahai Muhammad jika engkau menjadi imam dalam dirimu; تَضَرُّعاً 'dengan merendahkan diri', dengan kata lain, dengan tenang; وَخِيفَةً 'dan rasa takut' adalah takut dari adzab-Nya.

    Adh-Dhahhak berkata, "Artinya jaharkanlah (mengeraskan suara) dalam membaca pada shalat shubuh, maghrib, dan isya."

    وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ 'dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai', dengan kata lain, jangan lupa membaca dalam shalat dzuhur dan ashar, karena engkau menyembunyikan bacaan dalam kedua shalat itu.

    Az-Zamakhsyari Rahimahullah berkata, "Firman Allah Ta'ala وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً 'dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri' bersifat umum dan berkaitan dengan semua macam dzikir berupa bacaan Al-Qur’an, do'a, tasbih, tahlil, dan lain sebagainya. تَضَرُّعاً وَخِيفَةً 'dengan merendahkan diri dan rasa takut', dengan penuh rasa harap dan rasa takut. وَدُونَ الْجَهْرِ 'dan dengan tidak mengeraskan suara', dengan berbicara menggunakan suara yang tidak terlalu keras. Karena dengan menyernbunyikan lebih dalam masuk ke dalam wilayah keikhlasan dan lebih dekat kepada tafakur yang baik. بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ 'di waktu pagi dan sore', karena kesibukan yang padat pada dua waktu tersebut atau menghendaki untuk dijadikan rutin. Makna بِالْغُدُوّ 'di waktu pagi' adalah pada waktu-waktu di pagi hari. Itulah waktu-waktu yang disebut ghadawaat. وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ 'dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai', dari golongan mereka yang lalai untuk dzikir kepada Allah dan melupakannya.

    بِالْغُدُوّ 'di waktu pagi' adalah permulaan siang hari.

    Ungkapan وَالآصَالِ 'di waktu sore' adalah bentuk jamak dari ashiil, yaitu waktu antara ashar dan maghrib.

    Syarah Keutamaan Dzikir (5)

    Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

    مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

    "Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir kepada Rabbnya adalah seperti orang hidup dan orang mati." (Muttafaq alaih)1

    Shahabi hadits di atas adalah Abu Musa Al-Asyari Abdullah bin Qais Radhiyallahu Anhu.

    Ungkapan مَثَلُ الَّذِيْ 'perumpamaan orang yang' adalah perumpamaan orang yang يَذْكُرُ رَبَّهُ 'berdzikir kepada Rabbnya' dengan suatu macam dari berbagai macam dzikir.

    Wajh tasybiih 'bentuk keserupaan' antara orang mati dan orang lalai adalah masing-masing keduanya tiada manfaat dan pemanfaatan. Bisa juga yang dimaksud ungkapan الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ 'orang hidup dan orang mati' adalah yang ada dan yang tiada. Sehingga orang yang berdzikir sama dengan orang yang ada; sedangkan orang yang lalai sama dengan orang yang tiada. Sebagaimana halnya yang ada memiliki buah-buahnya, maka demikian juga orang yang berdzikir memiliki buah-buahnya di dunia dan di akhirat. Dan sebagaimana yang tiada tidak memiliki sesuatu apa-pun, maka sedemikian pula orang yang lalai tidak memiliki sesuatu apa pun, baik di dunia ataupun di akhirat.

    Kemudian perumpamaan pada perkataan mereka itu berarti perbandingan.

    Syarah Keutamaan Dzikir (6)

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

    أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى

    '"Maukah kusampaikan kepada kalian semua sebaik-baik amal kalian, sesuci-sucinya menurut Penguasa kalian, yang paling tinggi derajatnya bagi kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, lebih baik bagi kalian daripada kalian bertempur dengan pasukan musuh sehingga kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?' Mereka menjawab, 'Ya'. Beliau bersabda, 'Dzikir kepada Allah Ta'ala'."1

    Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Ad-Darda Uwaimir bin Amir Radhiyallahu Anhu.

    Sesungguhnya dzikir kepada Allah Azza wa Jalla adalah lebih utama dari segala macam amal. Bahkan merupakan amal yang paling suci. Paling tinggi derajatnya. Dan dia lebih utama daripada sedekah. Di mana beliau bersabda,

    وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ

    "... Dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak..."

    Dzikir lebih utama daripada jihad, di mana beliau bersabda,

    وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ

    "... Dan lebih baik bagi kalian daripada kalian bertempur dengan pasukan musuh sehingga kalian menebas leher mereka ..."

    Menebas leher para musuh adalah jihad. Bahkan lebih utama daripada kesyahidan, hingga beliau bersabda,

    وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ

    "... Dan mereka menebas leher kalian."

    Karena kesyahidan yang utama adalah terpenggalnya leher-leher oleh tangan-tangan para musuh di jalan Allah Ta'ala.

    Ungkapan أَلاَ 'maukah' atau 'ketahuilah' adalah ungkapan yang berfungsi untuk menarik perhatian. Seakan-akan pembicara mengingatkan dan menarik perhatian orang kedua karena adanya perkara yang agung keadaannya dan jelas dalilnya.

    Ungkapan أُنَبِّئُكُمْ 'kusampaikan kepada kalian semua', dari kata an-naba` yang artinya berita atau kabar. Dari kata itu pula muncui kata jadian nabi 'orang yang diberi kabar dari Allah Ta'ala'.

    Ungkapan وَخَيْرٍ 'dan sebaik-baik' di sini artinya 'lebih baik'. Lafazh خير dan شر dipakai untuk bentuk dengan wazan أفْعَلُ untuk arti 'lebih' (tafdhil) sesuai dengan bentuk keduanya yang demikian.

    Ungkapan وَأَزْكَاهَا 'sesuci-sucinya', dengan kata lain, adalah lebih suci yang berasal dari akar kata زَكَاةٌ yang artinya bersuci. Allah Ta'ala berfirman,

    قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى

    "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)." (Al-A'la/87: 14)

    Dengan kata lain, telah bersuci. Atau dari akar kata النّمَاءُ 'pertumbuhan'. Dikatakan زَكَى الزَّرْعُ jika tanaman itu tumbuh.

    Ungkapan اَلْـمَلِيْكُ adalah salah satu nama di antara nama-nama Allah ta'ala. اَلْـمَلِيْكُ, اَلْـمَلِكُ, dan اَلْـمَالِكُ semuanya adalah dari akar kata اَلْـمَلِكُ.

    Ungkapan الْوَرِقِ adalah perak.

    Ungkapan بَلَى 'ya', dengan kata lain, adalah 'ya sampaikan kepada kami'. Karena kata بَلَى adalah khusus untuk menjawab pertanyaan dalam bentuk penafian, baik peniadaan itu dalam bentuk pertanyaan atau bentuk kabar. Terhadap orang yang mengatakan: لَـمْ يَقُمْ زَيْدٌ أَوْ أَلَـمْ يَقُمْ زَيْدٌ؟ 'Zaid belum bangun' atau 'bukankah Zaid belum bangun?' Maka jawabnya adalah بَلَى 'ya', dengan kata lain, 'ya dia telah bangun'. Yang demikian pula firman Allah Ta'ala.

    أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى

    '"Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami)'." (Al-A'raf/7: 172)

    Dengan kata lain, benar Engkau adalah Tuhan kami. Jika mereka mengatakan نَعَمْ 'ya', maka jadilah mereka itu kafir, karena نَعَمْ akan menetapkan apa-apa sebelumnya, apakah dalam bentuk penafian atau pun positif, kecuali jika dibawa kepada tradisi.

    Syarah Keutamaan Dzikir (7)

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

    يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

    "Allah Ta'ala berfirman, 'Aku sesuai dengan anggapan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersamanya jika dia berdzikir kepada-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya, maka Aku ingat kepadanya dalam diri-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku di tengah orang banyak, maka Aku ingat kepadanya di tengah orang banyak yang lebih baik daripada mereka. Jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Sedangkan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari kecil."1

    Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Hurairah. Namanya berbeda-beda sehingga menjadi banyak pendapat. Sedangkan yang paling kuat adalah sebagaimana dikatakan oleh sebagian mereka: Abdurrahman bin Shakhr Radhiyallahu Anhu.

    Ungkapan يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ 'Allah Ta'ala berfirman, 'Aku sesuai dengan anggapan hamba-Ku kepada-Ku", dengan kata lain, bahwa Allah Ta'ala sesuai dengan anggapan hamba-Nya terhadap-Nya. Jika dia menganggap-Nya baik, maka itulah baginya. Sedangkan jika seseorang menyangka yang lain kepada-Nya, maka itulah baginya pula.

    Dalam suatu riwayat:

    إِنَّ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، إِنْ خَيْرًا فَخَيْرٌ، وَإِنْ شَرًّا فَشَرٌّ

    "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Aku sesuai dengan anggapan hamba-Ku kepada-Ku. Jika baik, maka baik; dan jika buruk, maka buruk'."2

    Makna: ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ 'anggapan hamba-Ku kepada-Ku' adalah anggapan ijabah ketika berdo'a, anggapan diterima ketika bertaubat, anggapan mendapatkan ampunan ketika beristighfar, dan anggapan telah terpenuhi semua pahala ketika melakukan ibadah dengan syarat-syaratnya, dengan dasar berpegang kepada janji-Nya, dan dengan kejujuran-Mya. Hal itu dikuatkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

    اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مَوْقِنُوْنَ بِالْإِجَابَةِ

    "Berdo'alah kalian semua kepada Allah dan kalian semua yakin akan diijabah."3

    Oleh sebab itu, setiap orang harus bersungguh-sungguh ketika melakukan apa-apa yang harus dia lakukan dengan keyakinan bahwa Allah Ta'ala pasti menerimanya dan mengampuninya; karena Dia berjanji yang demikian, sedangkan Dia tidak pernah mengingkari janji. Jika seseorang yakin atau menyangka bahwa Allah tidak menerimanya, dan bahwa semua itu tidak bermanfaat baginya, maka yang demikian adalah keputusasaan dari rahmat Allah. Perbuatan seperti itu adalah bagian dari berbagai macam dosa besar. Siapa saja yang mati dalam keadaan yang demikian, maka dia akan dikembalikan kepada apa yang menjadi anggapannya. Sedangkan persangkaan adanya ampunan dengan terus-menerus, maka yang demikian adalah kebodohan yang sesungguhnya dan kelengahan.4

    Ungkapan وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ 'dan Aku bersamanya jika dia berdzikir kepada-Ku' adalah sebagaimana firman Allah Ta'ala,

    إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

    "Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (An-Nahl/16: 128)

    Kebersamaan di sini adalah khusus bagi kaum Mukminin yang berkonsekuensi adanya penjagaan, pemeliharaan, taufik, dan dukungan ..., hal itu bukan kebersamaan yang bersifat umum yang mencakup semua makhluk dan harus dengan ilmu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

    أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا

    "Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada." (Al-Mujadilah/58: 7)

    Ungkapan فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ 'jika dia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya, maka Aku ingat kepadanya dalam diri-Ku', dengan kata lain, jika dia berdzikir kepada-Ku dengan menjauhkan segala sifat kurang dari-Ku, dengan pensucian, dengan pengagungan secara rahasia, dengan rasa takut ketika sendirian, maka Aku akan ingat kepadanya dalam diri-Ku, suatu ingatan kepadanya yang berkonsekuensi adanya pahala, pemberian nikmat, penjagaan, dan pemeliharaan.

    Ungkapan وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلأٍ 'jika dia berdzikir kepada-Ku di tengah orang banyak', dengan kata lain, dalam suatu jama'ah; ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ 'maka Aku ingat kepadanya di tengah orang banyak yang lebih baik daripada mereka', dengan kata lain, dalam jama'ah para malaikat yang lebih daripada jama'ahnya yang mana Aku diingat di tengah-tengah mereka.

    Ungkapan وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا...الخ 'jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta ... ' dst., makna ungkapan itu jika seorang hamba mendekat kepada Allah Ta'ala dengan suatu ketaatan, atau dengan melaksanakan apa-apa yang Dia perin-tahkan kepadanya dengan ukuran tertentu, baik sedikit atau banyak, maka Allah Ta'ala akan mendekat kepadanya dengan segala pahala, pemberian nikmat, dan rahmat yang lebih agung dan lebih cepat.

    Ungkapan بَاعًا 'sedepa' adalah ukuran panjang seukuran dua tangan yang direntangkan.

    Ungkapan هَرْوَلَةً 'lari kecil' adalah semacam jalan cepat.

    Syarah Keutamaan Dzikir (8)

    Dari Abdullah bin Busr Radhiyallahu Anhu bahwa seorang pria berkata,

    يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ اْلإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ: لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

    "'Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam telah banyak atas diriku, maka sampaikan kepadaku sesuatu yang aku harus selalu terikat dengannya? "Beliau menjawab, 'Hendaknya selalu lisanmu basah karena dzikir kepada Allah'."1

    Ungkapan إِنَّ شَرَائِعَ اْلإِسْلاَمِ 'sesungguhnya syariat Islam telah banyak atas diriku' adalah bentuk jamak dari kata syariah, yaitu 'jalan yang diridhai', dengan kata lain, bahwa semua perkara islam telah banyak pada diriku, seperti: shalat, zakat, haji, puasa, jihad, dan lain sebagainya berupa berbagai macam amal badaniah dan yang berkaitan dengan harta serta menahan diri dari berbagai macam larangan, dan meninggalkan apa-apa yang di dalamnya berbagai macam hukuman dan kafarah ... dan lain sebagainya.

    Ungkapan فَأَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ 'maka sampaikan kepadaku sesuatu yang aku harus selalu terikat dengannya?', dengan kata lain, ketika aku tidak mampu untuk keluar dari ikatan perkara-perkara syariat sebagaimana semestinya syariat itu, dan aku tidak mampu untuk merutinkannya dan melanggengkannya dalam sepanjang waktu, maka sampaikan kepadaku tentang sesuatu yang aku harus mengikatkan diri dengannya sehingga semoga aku beruntung dengan hal itu. Dan akhirnya hal itu menjadi sesuatu yang sangat banyak dalam timbangan dan ringan dalam pelaksanaan.

    التَّشَبُّثُ adalah التَّعَلُّقُ, dengan kata lain, berpegang-teguh kepadanya dan selalu berkaitan dengannya. Maka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya,

    لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

    "Hendaknya lisanmu selalu basah karena dzikir kepada Allah."

    Dengan kata lain, kebasahan lisanmu akan terus-menerus karena dzikir. Saya katakan demikian karena kebasahan lisan adalah kata kiasan (kinayah), yang artinya 'sibuk dengan dzikir'.

    Syarah Keutamaan Dzikir (9)

    Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallarn juga bersabda,

    مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ: {الـم} حَرْفٌ؛ وَلَـكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ

    "Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah, maka baginya dengan membaca satu huruf satu kebaikan. Dan satu kebaikan dengan (sepuluh kali) lipat darinya. Aku tidak mengatakan, " الـم adalah satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf."1

    Perawi hadits ini adalah Shahabat Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu.

    Ungkapan مَنْ قَرَأَ حَرْفًا 'barangsiapa membaca satu huruf', dengan kata lain, huruf apa pun juga.

    مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا 'dari Kitabullah, maka baginya dengan membaca satu huruf satu kebaikan. Dan satu kebaikan dengan (sepuluh kali) lipat darinya', dengan kata lain, dilipatgandakan (sepuluh kali).

    Ungkapan, لاَ أَقُوْلُ: {الـم} حَرْفٌ 'aku tidak mengatakan الـم adalah satu huruf', ini adalah penegas dan penjelas bahwa setiap huruf dari sisi Allah Ta'ala memberikan pahala dengan membacanya. Bahkan tidak bisa orang menyangka bahwa الـم adalah satu huruf, tetapi أَلِفٌ حَرْفٌ 'alif adalah satu huruf' dan dengan membacanya orang mendapatkan sepuluh kebaikan. وَلاَمٌ حَرْفٌ 'laam satu huruf' dan dengan membacanya orang mendapatkan sepuluh kebaikan. Kemudian وَمِيْمٌ حَرْفٌ 'miim satu huruf' dan dengan membacanya orang mendapatkan sepuluh kebaikan.

    Dalam hal ini, perintah untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an dan dzikir yang agung yang akan mendatangkan pahala berlipat ganda.

    Syarah Keutamaan Dzikir (10)

    Dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

    خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِيْ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِيْ غَيْرِ اِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ نُحِبُّ ذَلِكَ. قَالَ: أَفَلاَ يَغْدُوْ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ، أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ اْلإِبِلِ

    "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ketika kami sedang berada di suatu tempat di belakang masjid, lalu beliau bersabda, 'Siapakah di antara kalian yang mau pergi setiap hari menuju Buthhan atau Aqiq sehingga dari sana dia mendapatkan dua ekor unta berpunuk besar selama tidak untuk suatu dosa atau pemutusan silaturrahim? Kami menjawab, 'Wahai Rasulullah, kami suka yang demikian' Beliau bersabda, 'Apakah kalian semua tidak segera pergi ke masjid di pagi hari sehingga mengetahui atau membaca dua buah ayat dari Kitabullah Azza wa Jalla adalah lebih baik daripada dua ekor unta. Tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor dan empat ayat lebih baik daripada empat ekor. Jumlah berapa pun ayat adalah lebih baik daripada sejumlah yang sama daripada unta."'1

    Ungkapan وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ 'ketika kami sedang berada di suatu tempat di belakang masjid', الصُّفَّة adalah suatu tempat yang ada di belakang masjid yang disediakan untuk persinggahan bagi orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki keluarga.

    Ungkapan يَغْدُوَ 'berangkat' adalah bepergian di awal siang hari.

    Ungkapan إِلَى بُطْحَانَ 'menuju Buthhan' adalah nama suatu lembah di Madinah. Dinamakan demikian dikarenakan wilayahnya yang luas dan datar. Berasal dari akar kata بطح yang berarti 'datar'.

    Ungkapan أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ 'atau ke Aqiq', dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Aqiq adalah 'yang paling kecil'. Yaitu suatu tempat yang berjarak kira-kira tiga kilometer atau dua kilometer dari kota Madinah.

    Ungkapan أَوْ 'atau' bisa menunjukkan keraguan pada diri perawi atau menunjukkan permacaman, karena keduanya, yakni Bathhan dan Aqiq adalah tempat yang paling dekat. Keduanya menjadi tempat terselenggaranya pasar unta di Madinah.

    Ungkapan كَوْمَاوَيْنِ 'berpunuk besar' adalah bentuk mutsanna dari kata كَوْمَاء -hamzah dibalik menjadi wawu- yaitu unta yang memiliki punuk besar. Hal itu merupakan harta orang Arab yang paling baik.

    Ungkapan فِيْ غَيْرِ اِثْمٍ 'selama tidak untuk suatu dosa', seperti mencuri dan merampas.

    Ungkapan وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ 'dan tidak pula untuk pemutusan silaturrahim', dengan kata lain, tidak dengan keha-rusan memutuskan silaturrahim.

    Ungkapan وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ 'jumlah berapa pun ayat', dengan kata lain, bahwa dua ayat itu lebih baik daripada dua ekor unta dan sesuai jumlah unta berapa pun dengan ayat itu. Tiga lebih baik daripada tiga bilangan ayat pula dari unta. Demikian juga empat....

    Alhasil, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak menghimbau mereka untuk banyak membaca Al-Qur’an dan menjadikan mereka zuhud dari segala kekayaannya.

    Syarah Keutamaan Dzikir (11)

    Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

    مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ

    "Barangsiapa duduk di suatu tempat dan tidak dzikir kepada Allah, maka atas dirinya kekurangan dari Allah. Dan barangsiapa berbaring di atas pembaringan dan tidak berdzikir kepada Allah, maka atas dirinya kekurangan dari Allah."1

    Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.

    Dengan kata lain, siapa saja yang duduk pada suatu majelis dengan tidak berdzikir kepada Allah dalam majelis itu, maka atas dirinya kekurangan yang datang dari sisi Allah, dengan kata lain, kekurangan, karena berasal dari kata: وَتَرَ-يَتِرُ-تِرَةٌ. Sebagaimana firman Allah, وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ 'dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu' (Muhammad/47: 35).

    Az-Zamakhsyari Rahimahullah berkata, مَن وَتَرْتَ artinya apabila engkau membunuh salah seorang dari anak, saudara, atau teman dekatnya. Hakikatnya adalah orang yang engkau asingkan dari kerabatnya atau hartanya. Berasal dari kata اَلْوَتَر yang artinya 'sendiri'. Maka, penghilangan amal dan pahala seseorang serupa dengan penghilangan orang (disebabkan pembunuhan) sehingga menjadi sendiri. Kata itu bagian dari ungkapan yang fasih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

    مَنْ فَاتَتْهُ صَلاَةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلُهُ وَمَالُهُ

    "Orang yang ketinggalan shalat ashar bagaikan orang yang dipisahkan dari keluarga dan hartanya."2

    Dengan kata lain, bagaikan dipisahkan dari keduanya karena keluarganya dibunuh dan hartanya dirampas.

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan yang demikian karena seorang hamba harus menggunakan seluruh waktunya dalam semua keadaan untuk dzikir kepada Allah Ta'ala dan tidak mengurangi hal itu, karena meninggalkannya adalah penyesalan.

    Ungkapannya مَضْجَعًا 'pembaringan'; مَضْجَعٌ adalah tempat untuk tidur, berasal dari akar kata اَلْاِضْطِجَاعُ yang artinya 'tidur'.

    Syarah Keutamaan Dzikir (12)

    Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

    مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ

    "Tidaklah suatu kaum duduk dalam suatu majelis dengan tidak dzikir kepada Allah dalam majelis itu atau tidak bershalawat kepada Nabi mereka, melainkan atas mereka kekurangan. Maka, jika Allah menghendaki menyiksa mereka; dan jika Dia menghendaki mengampuni mereka."1

    Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.

    Ungkapan تِرَةٌ adalah kekurangan, kerugian, dan penyesalan.

    Ungkapan فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ 'maka jika Allah menghendaki menyiksa mereka', dengan kata lain, karena kekurangan mereka dengan tidak dzikir kepada Allah Ta'ala atau bershalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam majelis-majelis mereka yang mana mereka duduk di dalamnya."

    Ungkapan وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ 'dan jika Dia menghendaki mengampuni mereka', sebagai karunia dan rahmat dari-Nya.

    Dalam hadits ini isyarat bahwa jika mereka dzikir kepada Allah Taala, maka pasti Dia tidak akan menyiksa mereka, tetapi pasti mengampuni mereka.

    Syarah Keutamaan Dzikir (13)

    Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

    مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

    "Tiada suatu kaum berdiri dari majelis mereka tidak dzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan berdiri menjauh dari semacam bangkai keledai dan bagi mereka penyesalan."1

    Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.

    Ungkapan عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ 'dari semacam bangkai keledai dan bagi mereka penyesalan', dengan kata lain, orang-orang yang berdiri meninggalkan majelis yang di dalamnya ada bangkai keledai, tiada yang mereka dapatkan melainkan bau busuk, dibenci, dan berbahaya. Mereka tidak berdiri menjauh melainkan pada mereka kerugian dan penyesalan karena hal itu. Demikian juga kaum yang berdiri meninggalkan majelis yang tiada dzikir kepada Allah Ta'ala di dalamnya, tiada yang mereka dapatkan melainkan dosa-dosa dari cerita-cerita bohong dan omongan yang sia-sia serta hal-hal yang membahayakan di akhirat dan mereka akan tetap dalam penyesalan.[]


    1-3. Abu Dawud, no. 1309, dan lain-lainnya. Kemudian dishahihkan Al-Albani. Lihat Shahih Abu Dawud.

    1-5. Al-Bukhari dalam Fathul Bari, (11/208), hadits ini darinya no. 6407; dan Muslim, (1/539), no. 779, dengan lafazh:

    مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لاَ يُذْكَرُ الله فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

    "Perumpamaan rumah yang di dalamnya dzikir kepada Allah dan rumah yang di dalamnya tiada dzikir kepada Allah adalah seumpama orang hidup dan orang mati.".

    1-6 At-Tirmidzi, (5/459), no. 3377; Ibnu Majah, (2/1246), no. 3790. Juga lihat Shahih Ibnu Majah, (2/316); dan Shahih At-Tirmidzi, (3/139).

    1-7. Al-Bukhari, (8/171), no. 7405; dan Muslim, (4/2061), no. 2675 sedangkan lafazhnya dari Al-Bukhari.

    2-7. Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, no. 1663.

    3.7. At-Tirmidzi, no. 3479. Dan lihat Shahih Al-Jami’ no. 243.

    4-7. Lihat Fathul Bari, 13/387.

    1-8. At-Tirmidzi, (5/458), no. 3375; Ibnu Majah, (2/1246), no. 3793. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi, (3/139); dan Shahih Ibnu Majah, (2/317).

    1-9. At-Tirmidzi, (5/175), no. 2910. Dan lihat Shahih At-Tirmidzi, (3/9) dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, (5/340), no. 6469.

    1-10. Muslim, (1/553), no. 803.

    1-11. Abu Dawud, (4/264), no. 4856, dan selainnya. Lihat Shahih Al-Jami’, (5/342), no. 6477.

    2-11. Al-Bukhari, no. 522; dan Muslim, no. 626.

    1-12. At-Tirmidzi, no. 3380. Dan lihat Shahih At-Tirmidzi, (3/140).

    1-13. Abu Dawud, (4/264), no. 4855; Ahmad, (2/389), dan lihat Shahih Al-Jami’ (5/176), no. 5750.


    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     
    Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
    Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger