Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 11-12
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
11.Tatsabut (meneliti kebenaran) dan Tsabat (konsisten)
Diantara adab yang seorang penuntut ilmu wajib berhias dengannya adalah tatsabut dengan berita-berita yang akan dirujuk. Demikian pula dengan hukum hukum yang akan ditetapkan. Apabila mengambil sebuah berita maka engkau harus mengkonfirmasinya secara teliti lebih dahulu, apakah berita yang kau ambil itu shahih atau tidak. Jika berita itu shahih, jangan lantas engkau menetapkannya akan tetapi periksa dahulu hukumnya dengan teliti.
Boleh jadi berita yang engkau dengar dilandasi suatu kaidah ushul yang tidak engkau ketahui, lantas engkau menghukumi bahwa itu keliru, padahal pada kenyataannya hal itu bukan suatu kekeliruan. Lalu bagaimana solusi situasi semacam ini? Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang dinisbatkan sebagai nara sumber berita itu, lalu engkau katakan, "Dinukil dari anda (berita) ini dan itu, apakah ini benar?" Setelah itu engkau berdialog langsung dengannya. Boleh jadi pada awalnya engkau tidak menyukai karena engkau tidak mengetahui sebab penukilannya. Sehingga,
إذا علم السبب بطل العجب
"Jika diketahui sebab, hilanglah keheranan (kebingungan)."
Maka terlebih dahulu harus dilakukan tatsabut (terhadap sumber berita), baru kemudian menghubungi sumber berita itu. Engkau tanyakan kepadanya apakah berita itu benar atau tidak, setelah itu berdiskusi dengan orang itu. Bisa jadi dia yang benar maka engkau bisa merujuk kepadanya atau bisa jadi engkau yang benar sehingga dia bisa merujuk kepadamu.
Ada perbedaan antara Tsabat dan tatsabut. Secara lafadz dua kata ini memiliki kemiripan, namun berbeda dari segi makna.
Tsabat maknanya sabar dan tekun, tidak merasa jemu, tidak gelisah dan tidak mengambil sedikit-sedikit dari setiap kitab atau sepotong-potong dari setiap disiplin ilmu lalu meninggalkannya. Karena hal ini (justru) akan merugikan penuntut ilmu itu sendiri. la menghabiskan waktu tanpa mendapat satu manfaat. Contohnya, sebagian penuntut ilmu membaca pembahasan ilmu nahwu, kadang dia membaca Al-Jurumiyah, kadang membaca kitab Qatrunada, kadang membaca kitab Al-Alfiah. Demikian pula dengan pelajaran Al-Musthalah (ilmu istilah-istilah hadits), sesekali membaca An-Nukhbah, sesekali membaca Al-Alfiah Al-Iraqi.
Demikian pula dalam masalah fiqih, sesekali membaca Zaadul Mustaqni, sesekali membaca Umdatul Fiqih, sesekali membaca Al-Mughni dan sesekali membaca Syarah Al-Muhadzab. Demikian seterusnya pada seluruh kitab (padahal belum ada yang diselesaikan secara tuntas).
Orang tipe ini sering kali tidak akan memperoleh ilmu. Kalaupun memperolehnya, ilmu yang diperoleh adalah ilmu masa'il (yang berkaitan dengan pembahasan masalah/kasus) bukan dalam hal ushul (konsep dasar ilmu). Dan perolehan berbagai permasalahan bagaikan orang yang mengumpulkan belalang satu demi satu.
Jadi, ta'sil (pengambilan konsep dasar ilmu), keteguhan serta kemantapan pada suatu ilmu adalah sesuatu yang penting, lebih mantap dalam hubungannya dengan kitab yang dibaca dan di-muraja'ah. Demikian juga lebih mantap dalam hubungannya dengan para syaikh yang engkau ambil ilmunya.
Janganlah engkau menjadi pencicip ilmu (yang mengambil ilmu sepotong-potong) pada tiap pekan sekali atau sebulan sekali dari seorang syaikh. Tentukan terlebih dahulu syaikh (guru) yang akan engkau timba ilmunya. Setelah engkau mengambil keputusan maka sabar dan tekunilah. Janganlah engkau mengambil syaikh lain pada setiap bulan atau pekan. Sama saja apakah engkau ambil syaikh itu dalam pelajaran fiqih dan terus kontinyu belajar bersamanya dalam pelajaran fiqih, (engkau belajar) dengan syaikh yang lain dalam pelajaran nahwu dan terus bersamanya dalam pelajaran nahwu.
Atau dengan syaikh lainnya dalam pembahasan aqidah dan tauhid dan terus belajar bersamanya. Hal yang penting, hendaknya engkau terus belajar dan jangan hanya menjadi sekedar pencicip (berbagai macam ilmu), seperti halnya seorang lelaki yang hobi cerai. Setiap kali menikahi seorang wanita setelah hidup bersamanya 7 hari, kemudian dia mentalaknya dan pergi mencari wanita lain.
Tatsabut juga merupakan perkara yang penting, sebab terkadang orang yang menukil berita mempunyai kehendak yang tidak baik. Dia menukil suatu berita yang dapat mencemarkan nama baik orang yang diambil beritanya baik dengan sengaja atau dengan tendensi tertentu. Terkadang mereka tidak berniat jahat namun mereka memahaminya dengan sesuatu yang berbeda dengan makna yang diinginkan. Oleh karena itu wajib tatsabut.
Apabila sesuatu yang dinukil tersebut telah tsabit dengan penyebutan sanadnya maka sampailah giliran untuk berdiskusi dengan orang yang menukilkannya sebelum menghukumi pernyataan tersebut, apakah hal itu benar atau tidak. Sebab boleh jadi akan tampak kebenaran bagimu setelah dilakukan diskusi, bahwa kebenaran berada di pihak orang yang dinukil ucapannya.
الأمر الثاني عشر: الحرص على فهم مراد الله تعالى ومراد رسوله صلى الله عليه وسلم
12. Berantusias memahami makna yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Masalah pemahaman termasuk perkara penting dalam menuntut ilmu. Maksudnya pemahaman seperti yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Pasalnya banyak orang yang diberi ilmu namun mereka tidak diberi kepahaman.
Tidaklah cukup engkau menghafal Al-Qur'an dan menghafal beberapa hadits Rasulullah yang ringan (dalam menghafal) tanpa dibarengi dengan pemahaman. Maka mau tidak mau engkau harus memahami sesuai dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyak terjadi kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang. Mereka berdalil dengan nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidak dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya sehingga muncul kesesatan.
Di sini saya ingin menegaskan suatu poin penting, yaitu bahwa kesalahan dalam pemahaman boleh jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan kesalahan karena kejahilan (kebodohan). Sebab orang yang berbuat salah lantaran kebodohan dia akan sadar bahwa dia bodoh sehingga dia akan belajar.
Tetapi orang yang pemahamannya salah dia meyakini bahwa dirinya adalah orang pandai yang mencocoki kebenaran. Dia meyakini bahwa inilah yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Kami akan sajikan beberapa contoh agar jelas bagi kila tentang pentingnya pemahaman.
Contoh pertama:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Anbiya' ayat 78-79,
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ. فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
"Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya."
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutamakan Sulaiman di atas Dawud dalam perkara ini karena pemahaman yang beliau miliki.
"Maka kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman." Tetapi tidak ditemukan kekurangan ilmu (yang dimiliki) Dawud.
"Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu."
Perhatikanlah ayat yang mulia ini tatkala Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Sulaiman yaitu berupa pemahaman. Allah juga menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Dawud dalam Firman-Nya, "Dan Kami telah tundukkan gunung-gunung, semua bertasbih kepada Dawud."
Penyebutan tersebut bermaksud agar terwujud keseimbangan (dari segi keistimewaan atau keutamaan) dari tiap Nabi tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hukum dan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya.
Kemudian Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki masing-masing dibanding yang lainnya. Perkara tersebut menunjukkan kepada kita betapa pemahaman memiliki kedudukan yang sangat urgen dan bahwa ilmu bukanlah segalanya.
Contoh kedua:
Apabila engkau memiliki dua bejana, salah satu berisi air hangat sedangkan bejana lain berisi air dingin membeku. Saat itu musim dingin. Lalu datanglah seorang lelaki yang ingin mandi janabat (mandi besar). Ada sebagian orang berkata, yang lebih utama adalah engkau memakai air dingin sebab memakai air dingin terdapat kesulitan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ، قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ
"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?" Mereka berkata, "Mau, ya Rasululluh." Beliau bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."18
Maksudnya adalah menyempurnakan wudhu pada musim dingin. Apabila engkau telah menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama daripada wudhu dengan air hangat, yang sesuai dengan keadaan cuaca.
Seseorang telah berfatwa bahwa menggunakan air dingin lebih utama. Dia berdalil dengan hadits di atas. Apakah kesalahan tersebut terletak pada ilmunya ataukah pada pemahamannya? Jawabannya, kesalahan itu terjadi pada pemahaman karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ
"Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit". Beliau tidak mengatakan, "Engkau pilih air dingin untuk berwudhu." Bedakan kedua ungkapan tersebut. Kalau saja yang diungkapkan dalam hadits tersebut adalah ungkapan kedua, tentunya kita katakan, "Ya, pilihlah air dingin." Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."
Maksudnya, dinginnya air tidak menghalangi seseorang untuk menyempurnakan wudhu. Selanjutnya kita katakan, "Apakah Allah menghendaki kemudahan atau kesulitan bagi hamba-Nya?" Jawabannya terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Al-Baqarah: 185)
Dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
"Sesungguhnya agama itu mudah."19
Saya katakan kepada penuntut ilmu, sesungguhnya perkara pemahaman ini sangat penting. Kita wajib memahami apa yang Allah kehendaki dari para hambanya. Apakah Allah hendak menyulitkan hamba-hamba-Nya dalam pelaksanaan ritual ibadah ataukah Allah menghendaki kemudahan bagi mereka?! Tidak disangsikan lagi bahwa Allah ‘Azza wa jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kita.
Inilah sebagian adab santun dalam menuntut ilmu. Adab-adab Ini seyogyanya bisa memberikan pengaruh bagi ilmu yang dimiliki seorang pelajar sehingga ia menjadi qudwah (teladan) yang baik dan menjadi da'i yang mengajak kepada kebaikan dan bisa menjadi contoh dalam agama Allah ‘Azza wa jalla. Dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan meraih keimaman (kepemimpinan) dalam agama ini. Sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa jalla,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24)
Footnote:
18 HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah Bab: Fadlu Isbaghil Wudhu ‘alal Makarih.
19 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Ad-Dinu Yusrun.
Di Nukil dari eBook Ibnumajjah.com
Posting Komentar