10. Memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
الأمر العاشر: التمسك بالكتاب والسنة
10. Memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Para penuntut ilmu wajib untuk mencurahkan perhatian dalam menerima ilmu dan menimba dari sumber-sumbernya. Seorang penuntut ilmu tidak akan sukses jika tidak mengawali dengan sumber-sumber ilmu tersebut. Sumber-sumber tersebut adalah:
Al-Qur'an Al-Karim
Seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an baik dalam membaca, menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Al-Qur'an adalah tali Allah yang kokoh dan merupakan dasar ilmu. Kaum Salafus Shalih benar-benar mencurahkan perhatian yang maksimal kepada Al-Qur'an ini. Disebutkan perkara-perkara yang menakjubkan tentang antusias (mereka) pada Al-Qur'an.
Engkau dapati salah seorang dari mereka telah hafal Al-Qur'an padahal usia mereka masih tujuh tahun. Sebagian mereka hafal Al-Qur'an dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Contoh-contoh tersebut menunjukkan besarnya antusias mereka terhadap Al-Qur'an. Maka seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya pada Al-Qur'an, menghafalnya dengan dibimbing seorang pengajar, karena Al-Qur'an diambil dari jalan talaqqiy (mengambil ilmu langsung dari seorang guru).
Di antara hal-hal yang sangat disayangkan, terkadang kila menjumpai sebagian penuntut ilmu tidak menghafal Al-Qur'an. Bahkan sebagian mereka tidak baik (lancar) dalam membacanya. Fenomena ini merupakan kesaiahan fatal pada metode pembelajaran. Oleh karenanya saya kembali mengingatkan bahwa para penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur'an, mengamalkan, mendakwahkan dan memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.
Hadits Shahih
Hadits Shahih merupakan sumber kedua dalam syari'at Islam dan merupakan penjabar Al-Qur'an Al-Karim. Seorang penuntut ilmu wajib menghimpun kedua hal tersebut dan mencurahkan perhatian kepada keduanya. Ia wajib menghafal hadits baik teks-teksnya maupun mempelajari sanad, matan-matan, dan memilah (memisahkan) antara hadits shahih dan hadits dha'if (lemah).
Demikian pula memelihara hadits dilakukan dengan cara membela dan membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan para ahli bid'ah sekitar hadits Nabi. Penuntut ilmu wajib memegang leguh Al-Qur'an dan hadits shahih. Bagi penuntut ilmu keduanya bagaikan dua sayap burung, jika salah satu sayap patah maka burung tersebut tidak bisa terbang. Oleh karena itu janganlah engkau hanya mencurahkan perhatian pada hadits (semata) namun lalai terhadap Al-Qur'an atau sebaliknya engkau mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an tapi melalaikan hadits.
Banyak di kalangan penuntut ilmu yang mencurahkan perhatiannya pada hadits beserta syarh-syarh (penjelasan), para perawi (orang-orang yang meriwayatkan hadits), dan musthalah-musthalah-nya dengan perhatian yang sempurna.
Namun jika engkau tanyakan kepadanya tentang satu ayat Al-Qur'an maka engkau akan lihat penuntut ilmu itu tidak mengetahuinya. Ini merupakan kesalahan yang besar (fatal). Al-Qur'an dan Al-Hadits harus menjadi dua sayap bagimu, wahai penuntut ilmu.
Yang penting (juga) adalah ucapan ulama.
Engkau jangan meremehkan ucapan ulama serta mengabaikannya. Sebab kedalaman ilmu mereka jauh di atasmu. Mereka memiliki kaidah-kaidah syari'at, seluk-beluknya serta garis-garis ketentuan yang tidak engkau miliki.
Oleh karena itu ulama-ulama besar yang benar-benar ahli di bidangnya, apabila mereka mempunyai pendapat yang mereka anggap unggul (kuat) mereka mengatakan,
إن كان أحد قال به وإلا فلا نقول به
"Jika ada orang yang mengucapkannya (maka kami akan mengucapkan) dan jika tidak maka kami tidak akan mengucapkannya."
Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan kedalaman ilmu dan keluasan pentelaahan beliau, apabila mengucapkan suatu perkataan yang tidak beliau ketahui orang yang mengucapkannya maka beliau berkata,
أنا أقول به إن كان قد قيل به
"Saya mengucapkan itu jika ucapan itu sudah pemah ada yang mengucapkan."
Beliau tidak mengambil (pendapat) dengan ra'yu (akal)-nya. Oleh karena itu seorang penuntut ilmu wajib merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dengan dibimbing para ulama. Merujuk kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dilakukan dengan menghafal, mempelajari, dan mengamalkan isi kandungannya.
Allah ‘Azza wa jalla berfirman,
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berfikir." (Shaad: 29)
"Supaya mereka memperhatikan ayat-ayat." Yaitu merenungi ayat-ayat tersebut yang mengantarkan pada pemahaman maknanya.
"Dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berpikir." Yaitu mendapatkan pelajaran (tadzakur) berupa beramal dengan Al-Qur'an tersebut. Dengan hikmah inilah Al-Qur'an turun.
Jika Al-Qur'an turun untuk hikmah tersebut maka kita hendaknya merujuk kepada Al-Qur'an agar bisa mempelajari kandungannya, mengetahui makna-maknanya setelah itu merealisasikan ajaran yang dibawa. Demi Allah, sungguh pada Al-Qur'an terdapat kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat kelak.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
"Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 123-124)
Oleh karena itu kita tidak mendapati satu orang pun yang lebih senang kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tentram hatinya dibandingkan seorang mukmin meskipun ia miskin. Orang mukmin adalah orang yang paling bahagia, tenang dan lapang dadanya. Bacalah jika kalian mau firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)
Apakah kehidupan yang baik itu? Jawabannya: Kehidupan yang baik adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, meskipun keadaan seseorang sangat kekurangan. Dia merasakan ketenangan dalam jiwa dan lapang dadanya. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ
"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya baik, tidaklah hal itu didapati kecuali oleh seorang mukmin, jika tertimpa musibah ia bersabar, hal itu baik baginya dan jika ia merasakan kesenangan ia bersyukur, itupun baik baginya."16
Jika orang kafir tertimpa musibah apakah ia bersabar? Jawabannya: Tidak! Dia akan sedih dan dunia terasa sempit baginya. Bisa jadi ia akan bunuh diri. Orang mukmin akan bersabar dan menikmati lezatnya kesabaran, yaitu kelapangan dan ketenangan. Oleh karena itu ia merasakan kehidupan yang baik. Maka yang dimaksudkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
"Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (An-Nahl: 97); Yakni kehidupan yang baik dalam hati dan jiwa.
Sebagian ahli sejarah menceritakan kehidupan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau adalah seorang Qadhi Mesir pada zamannya. Apabila beliau berangkat ke tempat kerja, beliau mengendarai kereta yang ditarik beberapa ekor kuda atau bighal (peranakan kuda dengan keledai) dalam suatu iring-iringan. Suatu hari beliau melintasi seorang lelaki Yahudi penjual minyak di Mesir (seorang penjual minyak biasanya berbaju kotor). Datanglah lelaki Yahudi itu lalu menghentikan iring-iringan tersebut. Dia berkata kepada Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, "Sesungguhnya Nabi kalian bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir."17
Anda adalah Qadhi bagi para Qadhi di Mesir. Anda berada dalam iring-iringan, di dalam kesenangan, sedangkan saya - yaitu seorang Yahudi - dalam keadaan tersiksa dan sengsara seperti ini."
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Saya dengan kemewahan dan kesenangan yang saya rasakan sekarang ini tergolong penjara apabila dibandingkan dengan kesenangan surga. Sedangkan engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan sekarang ini tergolong surga bila dibandingkan adzab neraka."
Lantas orang Yahudi tersebut mengucapkan "Asyhadu an laa Ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq untuk diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), akhirnya ia masuk Islam.
Orang mukmin dalam kebaikan bagaimanapun keadaannya, dialah yang bisa meraup keuntungan di dunia dan akhirat kelak. Sedangkan orang kafir berada dalam keburukan dan dialah yang mendapat kerugian di dunia ini dan di akhirat kelak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (Al-'Ashr: 1-3)
Orang-orang kafir dan orang-orang yang mengabaikan agama Allah serta orang-orang yang binasa dalam kesenangan dan kemewahan, meskipun mereka membangun dan memancang istana dengan harta benda dunia yang berkilauan, pada hakikatnya mereka berada dalam neraka.
Sampai sebagian kaum Salaf berkata,
لو يعلم الملوك وأبناء الملوك ما نحن فيه لجالدونا عليه بالسيوف
"Andai saja para raja dan anak-anak raja mengetahui kesenangan yang kita rasakan, niscaya mereka akan menyerang kita dengan pedang mereka.
Adapun orang mukmin hidup senang dengan bermunajat kepada Allah dan mengingat-Nya. Mereka meyakini ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Jika mereka ditimpa musibah, mereka bersabar dan jika mereka memperoleh kesenangan mereka bersyukur Mereka berada dalam puncak kebahagiaan. Beda halnya dengan orang-orang yang tamak pada dunia, keadaan mereka seperti digambarkan Allah dalam firman Nya,
فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
"Jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya dengan serta merta mereka menjadi marah." (At-Taubah: 58)
Adapun merujuk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah tsabit di hadapan kita -Alhamdulillah- tetap terjaga. Para ulama memaparkan hadits beliau dengan menjelaskan pula hadits-hadits yang didustakan atas nama beliau. Alhamdulillah, Sunnah tetap terang dan terpelihara. Siapapun bisa mengakses hadits Nabi, seperti dengan muraja'ah jika itu memungkinkan. Jika tidak maka dengan bertanya kepada para ulama. Apabila ada orang bertanya,
"Bagaimana caranya anda bisa memadukan antara ucapan yang anda katakan tadi dengan merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam padahal kita temui sebagian orang mengikuti kitab-kitab yang disusun dalam berbagai madzhab seraya mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B, saya bermadzhab C!!!" Sampai anda berfatwa kepada seseorang lantas anda katakan kepadanya, "Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda demikian." Lalu dia berkata, "Saya bermadzhab Hanafi, saya Maliki, saya Hanbali……” Atau dengan ungkapan yang serupa."
Jawabannya, "Kita katakan kepada mereka: Kita semua mengucapkan "Asyhadu Anlaa ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Lalu apa makna syahadat "Muhammadan Rasulullah?" Para ulama menyatakan bahwa makna syahadat tersebut adalah mentaati apa yang beliau perintahkan, membenarkan apa yang beliau beritakan dan menjauhkan diri dari apa yang beliau cegah dan larang serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syari'atkan,"
Jika ada orang yang mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B, saya bermadzhab C," Maka kita katakan kepada orang tersebut, "Ini sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah engkau membantahnya dengan ucapan siapapun."
Para imam madzhab juga melarang taqlid murni kepada mereka. Mereka berkata, "Kapanpun kebenaran tampak maka wajib rujuk kepadanya."
Setelah itu kita katakan kepada orang yang membantah kita dengan madzhab A dan B, "Kami dan anda bersyahadat bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Konsekuensi syahadat ini agar kita mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja."
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan kita jelas dan terang tapi saya tidak bermaksud dengan ungkapan ini untuk meremehkan arti penting merujuk pada kitab-kitab ahli fiqih dan kitab-kitab ulama lainnya. Bahkan (sebaliknya), merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat dari mereka. Dan untuk mengenal metode mereka dalam ber-istinbat terhadap hukum-hukum syari'at dari dalil-dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin tercapai melainkan dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.
Oleh karena kita dapati orang-orang yang tidak mendalami ilmu melalui didikan para ulama, mereka terjerumus ke dalam banyak ketergelinciran sehingga memandang suatu masalah dengan pandangan yang sempit dari apa yang selayaknya mereka telaah. Mereka mengkaji -sebagai contoh- Shahih Al-Bukhari lalu mereka berpendapat dengan hadits-hadits yang termaktub di dalamnya padahal dalam hadits-hadits tersebut terdapat hukum yang sifatnya umum dan khusus, mutlak (tidak terikat) dan muqayyad (terikat) dan apa yang telah di-mansukh (dicabut pemberlakuannya). Tapi mereka tidak mendapatkan petunjuk untuk mendapatkan hal tersebut. Maka terjadilah kesesatan yang besar.
Footnote:
16 HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud Bab: Al-mu’minu Amruhu kulluhu Khairun.
17 HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud.
Di Nukil dari eBook Ibnumajjah.com
Posting Komentar