Home » , , » Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 8-9

Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 8-9

Written By Rachmat.M.Flimban on 17 April 2017 | 4/17/2017 01:05:00 AM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Berdakwah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin


الأمر الثامن: أن يكون الطالب صابراً على العلم
8. Bersabar dalam menuntut ilmu.
Maksudnya terus (tekun) belajar, tidak berhenti, tidak pula merasa jemu, namun dia harus terus belajar disesuaikan dengan kemampuan yang ia miliki. la pun harus sabar dengan ilmu (yang ia cari) dan tidak merasa bosan. Seseorang terkadang merasa letih dan meninggalkan suatu pekerjaan apabila ia terhinggapi rasa jemu. Namun jika ia tetap menekuni ilmu maka ia akan meraih pahala orang-orang yang sabar di satu sisi. Dan ia akan mendapatkan kesudahan yang baik pada sisi lainnya. Simaklah firman Allah ‘Azza wa jalla kepada Nabi-Nya,
تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ
"Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaum sebelum ini. Maka bersabarlah sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (Hud: 49)
الأمر التاسع : احترام العلماء وتقديرهم
9. Menghormati dan menghargai ulama.
Para penuntut ilmu berkewajiban menghormati dan menghargai para ulama dan hendaknya mereka berlapang dada terhadap munculnya perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dan orang-orang selain mereka. Hendaknya pula menanggapi hal itu dengan memberikan udzur kepada orang yang menempuh jalan keliru menurut pandangan mereka. Ini merupakan titik point yang sangat penting, sebab sebagian orang ada yang berusaha mencari-cari kesalahan dan kekeliruan orang lain.
Sehingga mereka dapat mengambil sesuatu yang tidak pantas pada hak orang tersebut dengan cara mencemarkan nama baiknya di hadapan manusia. Ini termasuk kesalahan besar. Jika ghibah yang dilakukan kepada orang awam saja tergolong dosa besar, maka dosa ghibah yang dilakukan terhadap seorang ulama jauh lebih besar. Sebab dampak negatif perbuatan ghibah tersebut tidak hanya dirasakan oleh ulama yang bersangkutan saja, tetapi juga terhadap diri pribadinya sekaligus ilmu syari'at yang ia bawa.
Apabila orang-orang telah meremehkan seorang ulama yang menyebabkan namanya jatuh dalam pandangan masyarakat, maka akan jatuh pula ucapan ulama tersebut. Jika ulama tersebut mengucapkan al-haq (hakikat kebenaran) dan menunjukkan kepadanya, maka orang yang melakukan ghibah terhadap ulama tersebut akan menghalangi manusia dari ucapan ulama tersebut. Perkara ini bahayanya besar sekali.
Saya katakan, para pemuda harus menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dengan niat yang baik dan kesungguhan.
Mereka pun hendaknya dapat memaklumi kesalahan dan kekeliruan yang telah mereka lakukan. Tidak ada penghalang kalau mereka melakukan perbincangan dengan ulama-ulama tersebut dalam persoalan yang mereka yakini bahwa hal itu adalah suatu kekeliruan, sehingga mereka dapat menjelaskan kepada ulama tersebut apakah kekeliruan tersebut berasal dari mereka atau berasal dari orang-orang yang menyatakan bahwa ulama-ulama tersebut yang keliru?!
Seseorang terkadang mengira bahwa ucapan ulama tersebut keliru, setelah dilakukan diskusi akhirnya ia menerima kejelasan tentang kebenarannya. Kita adalah manusia biasa.
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
"Setiap anak (keturunan) Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat."13
Adapun orang-orang yang senang dengan ketergelinciran dan kekeliruan ulama sehingga ia dapat mempublikasikan kepada manusia agar terjadi perpecahan, sungguh perbuatan ini bukan jalan kaum Salaf. Demikian pula kesalahan dan kekeliruan yang muncul dari para penguasa, kita tidak diperbolehkan untuk menjadikan kesalahan dan kekeliruan tersebut sebagai dalih untuk mencela mereka dalam segala hal lalu kita menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil." (Al-Maidah: 8)
Yaitu janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyeretmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil hukumnya wajib. Seseorang tidak dihalalkan untuk mengambil ketergelinciran seorang penguasa, ulama atau selain mereka, lalu menyebarluaskan kekeliruan tersebut kepada khalayak manusia. Setelah itu ia membisu tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Sungguh ini bukan tindakan yang adil.
Coba bandingkan hal di atas pada dirimu. Andaikan ada seseorang dikuasakan kepadamu, kemudian orang itu menyebarluaskan ketergelinciran dan kejelekanmu tapi menyembunyikan kebaikan-kebaikan dan jasamu. Tentunya engkau akan menganggap orang tersebut telah berbuat jahat kepadamu.
Jika engkau telah melihat hal tersebut pada dirimu, maka wajib pula melihat hal itu pada orang lain. Sebagaimana yang telah saya isyaratkan tadi, bahwa terapi dari yang engkau kira sebagai suatu kesalahan adalah dengan jalan menghubungi orang yang engkau pandang salah agar engkau bisa melakukan diskusi dengan orang itu. Setelah diskusi maka akan jelas penyikapan yang harus dilakukan. Betapa banyak manusia setelah diadakan diskusi ternyata ucapannya benar yang kita telah mengira sebelumnya itu merupakan suatu kekeliruan.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
"Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan bangunan, satu sama lainnya saling menguatkan."14
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
"Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaklah (ketika) datang kematiannya dia berada dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan hendaklah ia mendatangi manusia dari hal-hal yang ia pun suka kalau hal itu didatangkan pada dirinya."15
Inilah tindakan adil dan istiqamah.

Footnote:

13 HR. Imam Ahmad juz 3 hal. 198 dan At-Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah juz 4 hal. 569 no. 2499, Ibnu Majah dalam Kitabuz Zuhud Bab: Dzikru Taubat, Ad-Darimi dalam Kitab Ar-Riqaq Bab Fit Taubah, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah juz 5 hal. 92, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah juz 6 hal. 332, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 4 hal. 273, Al-'Ajluni dalam Kasyful Khafa' juz 2 hal. 120. Al-Hakim berkata: "Sanad hadits ini shahih namun Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya." (Al-Mustadrak juz 4 hal. 273). Berkata Al-‘Ajluni: "Sanadnya kuat." Juz hal. 120.

14 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Masajid Bab: Tasybiqul Ashabi'i fil Masjidi wa Ghairihi dan Muslim Kitabul Birri wa Shilah Bab: Tarahumil Mu'minin wa Ta'athufihim wa Ta'adhudihim.

15 Telah lewat takhrij-nya (lihat footnote no. 8).

Di Nukil dari eBook Islam Ibnumajjah.com
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين


Anda Sedang membaca artikel yang berjudul Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i 8-9 Silahkan baca artikel dari HOSE AL ISLAM Tentang , , Yang lainnya. Dan Ingin Mengeprint klik tombol prin di Bawah, atau bookmark halaman ini dengan URL : https://baytal-islam.blogspot.com/2017/04/adab-dalam-menuntut-ilmu-syari-8-9.html
Klik Untuk Print Friendly and PDF
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger