Hukum Menghidupkan Peninggalan-Peninggalan Islam Bersejarah
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum Islam tentang menghidupkan peninggalan-peninggalan Islam bersejarah untuk mengambil pelajaran, seperti; Gua Tsur, Gua Hira, perbukitan Ummu Ma’bad, dan membuat jalan untuk mencapai tempat-tempat tersebut sehingga diketahui jihadnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberikan kesan tersendiri?
Jawaban.
Memelihara peninggalan-peniggalan dalam bentuk menghormati dan memuliakan bisa menyebabkan syirik (mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena jiwa manusia itu lemah dan cenderung menggantungkan diri kepada yang diduganya berguna, sementara mempersekutukan Allah itu banyak macamnya, dan mayoritas orang tidak mengetahuinya. Orang yang berdiri di hadapan peninggalan-peninggalan tersebut akan melihat orang jahil yang mengusap-usapnya untuk meraih debunya dan shalat di sana serta berdoa kepada orang yang meninggal di sana, karena ia mengira bahwa hal itu bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan bisa menjadi perantara kesembuhannya. Kemudian hal ini ditambah pula dengan banyaknya para penyeru kesesatan, akibatnya mereka semakin menambah volume kunjungannya, sehingga dengan begitu bisa dijadikan pencaharian. Dan biasanya, di sana tidak ada orang yang memberi tahu si pengunjung bahwa maksudnya adalah hanya untuk mengambil pelajaran, tapi malah sebaliknya.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dengan isnad shahih dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, saat itu kami baru keluar dari kekufuran. Saat itu, kaum musyrikin mempunyai tempat pohon khusus yang biasa dikunjungi dan menggantungkan senjatanya di sana, tempat itu disebut Dzatu Anwath. Saat itu kami melewatinya, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahasuci Allah, ini seperti yang diucapkan oleh kaumnya Musa, ‘Buatkan tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan. Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, (jika demikian) niscaya kalian menempuh cara orang-orang yang sebelum kalian.”[1] Ucapan para sahabat: (buatkan bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki) adalah serupa dengan ucapan Bani Israil: (Buatkan tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan). Hal ini menunjukkan, bahwa ungkapan itu bisa dengan makna dan maksud, tidak hanya dengan lafazh.
Jika menghidupkan peninggalan-peninggalan tersebut dan mengunjunginya termasuk yang disyari’atkan, tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau memerintahkannya atau telah dilakukan oleh para sahabat atau telah ditunjukkan oleh mereka, karena mereka adalah manusia yang paling mengetahui syari’at Allah dan paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi pada kenyataannya tidak ada riwayat yang menunjukkan hal itu dari beliau dan tidak pula dari para sahabat beliau, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat mengunjungi Gua Hira’ atau Gua Tsur atau mendaki perbukitan Ummu Ma’bad atau pohon tempat diselenggarakannya bai’ah, bahkan ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu, melihat sebagian orang pergi ke pohon tersebut, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibai’at di bawahnya, ia memerintahkan untuk menebangnya karena khawatir orang-orang akan berlebihan terhadap tempat tersebut dan melakukan syirik. Dengan begitu diketahui, bahwa mengunjungi peninggalan-peninggalan tersebut dan membuatkan jalan menuju ke sana adalah bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at Allah. Hendaknya para ulama kaum muslimin dan para penguasanya mencegah terjadinya faktor-faktor yang bisa mengarah kepada syirik ini demi melindungi tauhid. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari kitabAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini Lc, Penerbit Darul Haq]
Footnote
[1]. HR. At-Thirmidzi dalam Al-Fitan (2180). Ahmad (2139).
Sumber: Almanhaj.or.id
Posting Komentar