Wanita Tua Yang Tidak Wajib Berhijab
Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc MA
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ ۖ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi), mereka tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [An-Nûr/24:60]
TAFSIR RINGKAS
(Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti), maksudnya adalah para wanita yang tidak lagi memiliki niat untuk berhubungan suami istri dan tidak bersyahwat, (yang tidak ingin kawin lagi), yaitu mereka yang tidak berkeinginan untuk menikah ataupun dinikahi (oleh lelaki), dikarenakan dia sangat tua dan tidak bersyahwat atau sudah terlihat jelek rupanya sehingga tidak bersyahwat dan tidak diingini lagi (oleh kaum lelaki), (mereka ini tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka), yaitu pakaian luar yang tampak seperti khimâr (kerudung) dan sejenisnya, yaitu yang seperti Allâh firmankan tentang para wanita (dalam al-Qur’an):
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dada mereka … [An-Nûr/24:31]
Mereka diperboleh untuk membuka wajah mereka kepada orang yang dirasa aman dan tidak membahayakannya.
Ketika Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa mereka (kaum wanita seperti di atas-red) tidak berdosa jika mereka menanggalkan pakaian luar mereka, bisa jadi ada yang menyangka bahwa mereka diperbolehkan untuk menggunakan segala bentuk pakaian. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menolak prasangka tersebut dengan mengatakan, “(dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan),” yaitu mereka tidak menampakkan perhiasannya kepada manusia, baik dengan menghiasai pakaiannya yang tampak (oleh orang lain), atau menghentak-hentak tanah dengan kakinya agar diketahui ada perhiasan yang disembunyikan olehnya. Meskipun dia tidak menarik, tetapi dia bisa menimbulkan fitnah dan lelaki yang melihatnya bisa terjerumus ke dalam dosa.
“(Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka),” yaitu menjaga kesucian diri mereka dengan mengerjakan sebab-sebab untuk menjaganya, seperti menikah dan meninggalkan hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah. Itu lebih baik bagi mereka.
(Dan Allâh Maha Mendengar) segala suara, dan Allâh (Maha Mengetahui) segala niat dan maksud. Oleh karena itu, mereka harus berhati-hati dalam berkata dan berniat buruk, dan hendaklah mereka mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla akan membalas seluruh apa yang mereka kerjakan.”[1]
PENJABARAN AYAT
Lafaz ayat:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا
Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi)
Al-Qawâ-’id (القواعد) adalah bentuk jamak dari al-qâ’id (القاعد) dan bukan al-qâ’idah. Wanita tua disebut sebagai al-qâ’id (orang yang duduk) karena dia banyak duduk di rumahnya.[2]
Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikannya, di antara pendapat yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:[3]
Dia adalah wanita tua yang sudah tidak bisa melakukan banyak hal karena umurnya yang telah tua sehingga dia tidak bisa haid dan tidak bisa mengandung lagi. Ini adalah pendapat sebagian besar ahli ilmu.
Dia adalah wanita yang jika engkau melihatnya engkau tidak berminat kepadanya karena umurnya yang telah tua. Ini adalah pendapat Rabi’ah.
Dia adalah wanita yang terhenti dari mengandung. Ini adalah pendapat Abu ‘Ubaidah.
Pendapat yang ketiga ini dilemahkan oleh Imam Al-Qurthubi, karena wanita walaupun dia terhenti dari mengandung, lelaki masih bisa bersenang-senang dengannya. Dengan demikian, wanita yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah seperti yang disebutkan dalam pendapat pertama. Apabila seorang wanita sudah tidak bisa melakukan apa-apa, maka para lelaki pun tidak akan memiliki rasa ketertarikan kepada wanita tersebut.
BEBERAPA ISTILAH TERKAIT PAKAIAN WANITA DI KALANGAN SAHABAT, TABI’IN DAN TABBI’UT TABI’IN
Sebagian kata dalam Bahasa Arab mengalami perubahan makna, sehingga memiliki makna yang berbeda dengan yang dipahami oleh orang Arab saat ini. Oleh karena itu, ketika kita membaca tafsir atau nukilan-nukilan para Ulama tafsir di zaman dahulu, kita harus menyesuaikan dengan makna yang mereka pahami pada saat itu. Termasuk beberapa istilah yang digunakan untuk menamai pakaian wanita.
Berikut ini adalah istilah-istilah pakaian wanita yang berkaitan dengan tafsir ayat ini:
Ad-Dir’u
(الدِرْع
)
Ismâ’îl al-Jauhari rahimahullah mengatakan bahwa ad-Dir’u bagi wanita adalah
gamisnya (bajunya).[4] Begitu pula
yang dikatakan oleh Ibnu Mandzhûr dan al-Fairuz Abadi.[5]
Al-Khimâr
(الخِمَار
)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa al-khumur adalah bentuk jama’ (plural)
dari khimâr. Al-khimâr adalah yang dipakai untuk untuk menutupi kepala.[6]
Ibnu Mandzhûr rahimahullah mengatakan bahwa al-khimâr adalah kaian yang dipakai oleh wanita untuk menutupi kepalanya.[7]
Dalam bahasa kita, al-khimâr berarti kerudung, baik yang kecil ataupun yang besar atau lebar.
Al-Jilbâb
(الجِلْبَاب
)
Al-Fairuz Abadi rahimahullah mengatakan, “Dia adalah baju dan pakaian lebar yang
dipakai oleh wanita yang ada di bawah milhafah (kain) atau apa-apa yang dipakai
untuk menutupi pakaiannya dari atas, seperti kain, atau dia adalah al-khimâr (kerudung).[8]
Al-khimâr
yang dimaksud oleh beliau adalah al-khimâr (kerudung) yang besar atau lebar.
Al-Jauhari rahimahullah mengatakan, “Al-Jilbâb adalah al-milhafah (kain).”[9]
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Jilbab adalah kain penutup yang menutupi wanita di atas ad-dir’u (baju) dan al-khimâr (kerudung).”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Al-Jilbâb adalah ar-ridâ’ (kain atau pakaian lebar) yang dipakai di atas al-khimâr (kerudung). Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ‘Ubaidah, Qatâdah, al-Hasan al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrâhîm an-Nakhâ’i, Atha’ al-Khurasaani dan yang lainnya.”[10]
Dengan demikian kita ketahui bahwa pengertian jilbab yang kita pahami berbeda dengan jilbab yang dipahami di zaman Sahabat dan tabi’in. Sehingga kita simpulkan, jilbab adalah kain lebar yang dipakai oleh wanita untuk menutupi bagian atas kerudung dan gamisnya.
Al-Qinâ’
atau al-Qanâ’ (القنَاع
)
Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah mengatakan dalam kitab Fat-hul Bâri yaitu
ketika membahas hadits:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مُقَنَّعٌ بِالْحَدِيدِ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki dengan muqanna’ (mengenakan qinâ’) dengan besi.
Dibaca dengan memfat-hahkan huruf qâf dan nûn yang di-tasydîd, (yaitu muqanna’). Ini adalah bahasa kiasan yang berarti menutupi wajah dengan alat perang.”
Syaikh Dr. Luthfullah bin Mula ‘Abdil ’Azhim mengatakan, “Dan kenyataannya, semua orang yang melihat berbagai jenis qina’, dia akan memahami bahwa qina’ adalah penutup wajah. Dan qina’ itu menutupi wajah sehingga tidak terlihat kecuali hanya mata untuk melihat, seperti bentuk niqab (cadar), dengan demikian dia bisa berjalan dan berperang. Dan perkataan Ibnu Hajar di atas sangat jelas, yang dimaksud dengan qinâ’ adalah penutup wajah.[11]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Dulu wanita yang merdeka memakai pakaian seperti pakaian budak wanita. Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada para wanita untuk menurunkan jilbab-jilbab mereka ke tubuhnya. Maksud dari menurunkan jilbab adalah jilbab tersebut dijadikan qina’ dan diikat di atas dahi.”[12]
Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah juga meriwayatkan, “Ya’qûb telah memberitahu kami, (dia berkata), ‘Kami dikabari oleh Ibnu ‘Ulaiyah dari Ibnu ‘Aun dari Muhammad dari ‘Ubaidah tentang firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
(Ibnu ‘Ulaiyah berkata), kemudian Ibnu ‘Aun mempraktikkan cara memakainya di hadapan kami, dan dia mengatakan bahwa Muhammad telah mempraktikkan cara memakainya di hadapan kami dan Muhammad mengatakan bahwa ‘Ubaidah telah mempraktikkan cara memakainya di sisiku. Kemudian Ibnu ‘Aun menggunakan kainnya dan ber-qinâ’, kemudian beliau menutup hidungnya dan mata kirinya, kemudian menampakkan mata kanannya, kemudian menurunkan kainnya dari atas sampai menjadikannya dekat dengan alisnya atau di atas alisnya.”[13]
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-qinâ’ adalah kain yang dililitkan dan ditutupkan untuk menutupi wajah dan hanya menampakkan mata.
Penulis sengaja menyebutkan makna al-qinâ’ secara bahasa dan apa yang dipahami oleh para Sahabat dan Tâbi’în, karena sebagian Ulama ada yang mengingkari bahwa al-qinâ’ memiliki makna yang berbeda dengan apa yang telah penulis sebutkan atau mengartikannya hanya sebagai penutup kepala.
Al-Milhafah
(المِلْحَفَة
)
Al-Milhafah adalah kain yang dipakai untuk menutupi seluruh pakaian.[14]
Ar-Ridâ’ (الرِدَاء
)
Pakaian yang menutupi bagian atas pakaian, seperti jubah, gamis atau kain yang
diselendangkan di atas tubuh bagian atas.[15]
Tetapi makna ar-ridâ’ yang sering digunakan dalam tafsir dan hadits adalah kain
yang menutupi bagian atas tubuh. Al-Fairuz Abadi rahimahullah mengatakan,
“Ar-Ridâ’ adalah al-milhafah.”[16]
Dengan memahami istilah-istilah di atas, maka kita bisa memahami perkataan para Ulama dalam menafsirkan ayat ini. Dengan demikian, setelah penulis menyebutkan arti istilah-istilah di atas, maka penulis akan menyebutkan perkataan para salaf (kaum terdahulu) dalam menafsirkan ayat ini tanpa harus menerjemahkan arti dari perkataan mereka. Jadi, agar tidak terjadi kesalahpahaman, pembaca diharapkan selalu merujuk ke istilah di atas ketika membaca perkataan-perkataan setelah ini.
Firman Allâh Ta’ala:
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ
Mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka
Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka” tidak berarti mereka berhak memakai pakaian yang mereka inginkan dan menampakkan apa saja yang mereka ingin tampakkan. Di dalam qiraah (bacaan) ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhuma, beliau membacanya dengan:
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ مِنْ ثِيَابٍ
Mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan sebagian dari pakaian mereka.[17]
Para Ulama berbeda pendapat tentang apa saja yang boleh ditanggalkan oleh para wanita yang sudah tua ketika mereka berhadapan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Pendapat mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Yang
boleh ditanggalkan adalah al-khimâr (yaitu kerudung yang digunakan wanita saat
ini), sehingga diperbolehkan untuk menampakkan kepala dan rambutnya.
Yang boleh ditanggalkan adalah al-jilbâb (kain tambahan yang menutupi kerudung
dan baju) atau al-qinâ’ (kain tambahan yang menutupi wajah) dan tidak boleh
menanggalkan al-khimâr, sehingga yang diperbolehkan hanyalah menampakkan wajah
dan tidak boleh menampakkan kepala dan rambutnya.
Untuk menilai pendapat mana yang kuat, sebaiknya kita jangan tergesa-gesa
mengambil kesimpulan, apalagi kesimpulan tersebut hanya dipengaruhi oleh
perasaan, hawa nafsu, budaya dan ikut-ikutan. Kita harus menumbuhkan sifat
ilmiyah dalam memahami permasalahan-permasalahan agama dan tidak mudah untuk
taqlîd atau mengikuti pendapat ustadz, kiyai, tuan guru atau tokoh masyarakat.
PEMBAHASAN TENTANG KEDUA PENDAPAT DI ATAS
Pendapat pertama, yaitu yang membolehkan menampakkan kepala dan rambut.
Di antara Ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin ‘Umar
Radhiyallahu anhuma, ‘Ikrimah, Sulaiman bin Yasar, ‘Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam.[18]
‘Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Yaitu menanggalkan al-jilbâb dan al-khimâr.”[19]
‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullah mengatakan, ”Dan yang dimaksud al-isti’fâf (menjaga kesucian jiwa) yaitu memakai kerudung di kepalanya.”[20]
Maksud perkataan ‘Abdurrahman bin Zaid adalah wanita yang telah tua boleh menanggalkan khimâr-nya, akan tetapi, jika dia memakai al-khimâr. Itu lebih utama untuk menjaga kesucian jiwanya.
Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang hanya boleh menampakkan wajah
Pendapat ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhûr al-mufassirîn (sebagian
besar ahli tafsir) di zaman dahulu. Di antara Ulama yang berpendapat demikian
adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu
anhu, Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu, Ibrâhîm an-Nakhâ’i rahimahullah ,
Mujâhid rahimahullah , Ibnu Juraij, Muqatil, al-Hasan al-Bashri, Qatâdah,
adh-Dhahhak, az-Zuhri, al-Auza’i, al-Baghawi[21],
al-Qurthubi[22], Ibnu Katsir[23],
dll. Bahkan di dalam tafsir Ibni Abi Hatim, beliau menyebutkan terdapat riwayat
dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan Sulaiman bin Yasar yang
mengatakan seperti pendapat kedua ini.
Berikut ini adalah nukilan-nukilan dari sebagian perkataan mereka:
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Dia adalah wanita yang tidak berdosa jika duduk di rumahnya dengan mengenakan dir’u dan khimâr dan menanggalkan al-jilbâb, selama dia tidak bersolek yang dibenci oleh Allâh.”[24]
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma mengatakan, “menanggalkan pakaiannya, maksudnya adalah ar-ridâ’.” dalam riwayat lain ‘Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “(Yaitu menanggalkan) jilbâb-jilbâb mereka.”[25] Dan dalam riwayat lain beliau mengatakan, “yaitu al-milhafah.”[26]
Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Dia adalah al-jilbâb yang dipakai di atas al-khimâr. Tidak mengapa dia menanggalkan al-jilbâb di hadapan orang asing atau selain orang asing setelah dia memakai al-khimâr yang kuat (tidak mudah terlepas).”[27]
Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan, “Dan diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar dalam salah satu riwayat darinya, Sulaiman bin Yasar dalam salah satu riwayat darinya, Said bin Jubair, Jabir bin Zaid, Ibrahim An-Nakha’i dan Mujahid, bahwa yang ditanggalkan adalah al-jilbâb.”[28]
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa dan tidak ada dosa untuk mereka menanggalkan pakaian mereka, yaitu jilbâb-jilbâb mereka. Yang dimaksud jilbâb di sini adalah al-qinâ’ yang diletakkan di atas al-khimâr dan juga ar-ridâ’ yang diletakkan di atas pakaian. Tidak mengapa bagi mereka untuk menanggalkannya di hadapan mahram-mahramnya atau selain mahram-mahramnya dari kalangan orang-orang asing, dengan tidak berhias dengan perhiasan.”[29]
Pendapat yang kuat dari kedua pendapat
Allâhu a’lam bishshawaab. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, karena nukilan-nukilan yang menguatkan pendapat tersebut sangat banyak. Oleh karena itu, al-Qurthubi t mengatakan di dalam tafsirnya,
“Sebagian kaum mengatakan bahwa wanita yang sudah tidak ingin menikah lagi jika rambutnya ditampakkan maka tidak mengapa. Oleh karena itu, (berdasarkan pendapat itu) dia diperbolehkan untuk melepas khimâr-nya. Dan (pendapat) yang benar, wanita tersebut hukumnya seperti wanita muda di dalam menutupi (tubuhnya). Hanya saja, wanita yang tua menanggalkan jilbâb-nya yaitu yang dipakai di atas ad-dir’u dan al-khimâr. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Jarir dan yang lainnya.”[30]
Firman Allâh Ta’ala:
غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan
Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Dia tidak berhias ketika menanggalkan al-jilbâb agar tampak pada dirinya perhiasannya.”[31]
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Tanpa bermaksud untuk menampakkan perhiasannya dengan melepaskan jilbâb-nya dan ridâ’-nya. Dan ber-tabarrauj (berhias) adalah seorang wanita menampakkan hal-hal yang bagus dari dirinya yang seharusnya dia tidak melakukannya.”[32]
Menampakkan perhiasan baik wanita yang muda maupun yang sudah tua hukumnya haram, apabila ditampakkan kepada orang yang bukan mahramnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya [An-Nûr/24:31]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَ
Dua golongan ahli neraka yang saya belum melihat mereka, yaitu: (pertama) suatu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi, mereka menggunakannya untuk memukul manusia, dan (kedua) para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menampakkan pundak-pundaknya dan berjalan berlenggak-lenggok. Kepala-kepala mereka seperti punuk onta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan aroma surga. Sesungguhnya aroma surga tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.”[33]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka
‘Athiyyah rahimahullah berkata, “Terus-menerus memakai al-qinâ’ lebih baik bagi mereka.”
Mujahid t berkata, “Mereka memakai jilbâb-jilbâb mereka.” Dan diriwayatkan juga dari al-Hasan (al-Bashri) dan Qatâdah seperti perkataan Mujâhid.[34]
Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Tidak menanggalkan al-jilbâb dari atas khimâr mereka ketika bertemu selain mahram itu lebih baik bagi mereka daripada menanggalkannya.”[35]
‘Ashim al-Ahwal berkata, “Dulu kami pernah masuk ke rumah Hafshah binti Sirin, dan dia menjadikan jilbâb-nya seperti ini dan dia menutupi wajahnya dengan jilbâb tersebut. Kami pun berkata kepada beliau, ‘Yarhamukillah (Semoga Allâh merahmatimu), Allâh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya-red), “Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi), mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” Maka beliau (Hafshah) pun berkata kepada kami, ‘Apa kelanjutan dari ayat tersebut?’ Lalu kami membaca, “Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka.” Dan beliau berkata, ‘Maksudnya adalah tetap memakai jilbâb.’”[36]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Imam Thabari rahimahullah mengatakan, “Allâh Maha Mendengar apa yang kalian katakan dengan lidah-lidah kalian dan Maha Mengetahui apa-apa yang disembunyikan dalam hati kalian. Oleh karena itu, takutlah kalian kepada Allâh, (jangan) kalian mengucapkan dengan lidah kalian hal-hal yang Allâh larang kalian untuk mengucapkannya atau kalian menyembunyikan di hati kalian apa-apa yang Allâh benci untuk kalian lakukan. Jika kalian lakukan itu, maka kalian telah menyebabkan diri kalian mendapatkan hukuman.”[37]
Dengan melihat penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa pakaian yang dipakai oleh sebagian besar kaum Muslimat sekarang, sangat jauh berbeda dengan apa yang dipakai oleh para wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Bahkan di zaman sekarang ini, al-khimâr yang besar dianggap asing, apalagi ar-ridâ’, al-jilbâb, al-qinâ’ dan al-milhafah sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa pembahasan ayat ini tidak berbicara tentang hukum menutupi wajah bagi wanita. Permasalahan tersebut dibahas di ayat lain dalam tafsir-tafsir al-Qur’an seperti: An-Nûr/24:31 dan Al-Ahzâb/33:59.
Permasalahan apakah menutup wajah bagi wanita hukumnya wajib ataukah sunnah adalah permasalahan yang diperselisihkan para Ulama sejak lama. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa wanita yang menutupi wajahnya lebih utama daripada tidak menutupi wajahnya.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan keteguhan hati dan keistiqamahan kepada ibu kita, istri kita, anak perempuan kita, saudari-saudari kita dan seluruh kaum Muslimat untuk memakai pakaian yang sesuai syariat agama kita. Amin.
KESIMPULAN
Maksud wanita tua pada ayat di atas adalah wanita yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa, dan para lelaki pun tidak tertarik kepada wanita tersebut.
Ketika kita membaca tafsir atau nukilan-nukilan para Ulama tafsir di zaman dahulu, kita harus menyesuaikan dengan makna yang mereka pahami pada saat itu. Termasuk di dalamnya, berbagai istilah yang digunakan untuk menamai pakaian-pakaian wanita.
Pendapat yang kuat adalah wanita yang tua hanya diperbolehkan menampakkan wajah dan tidak boleh menampakkan kepala dan rambutnya.
Meskipun boleh menampakkan wajah, wanita tua tersebut tidak boleh menampakkan perhiasan atau keindahan tubuhnya.
Wanita tua yang tetap memakai pakaiannya dengan sempurna lebih baik baginya daripada menampakkan wajahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dalâlah Al-Muhkamah Li Âyatil-Jilbâb ‘Ala Wujûb Ghithâ’il-Wajh. Dr. Luthfullah bin Mula. saaid.net.
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Al-Mu’jam Al-Wasîth. Tahqiiq: Majma’ Al-Lughah Al-’Arabiyah. Darud-Da’wah.
Al-Qâmûs Al-Muhîth. Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi.
Ash-Shihâh Fil Lughah. Abu Nashr Isma’il bin Hammad Al-Jauhari.
Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Jilbâb Al-Mar-ah Al-Muslimah Fil-Kitâb Was-Sunnah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani.1413. Al-Maktabah Al-Islamiyah.
Lisânul-’Arab. Muhammad bin Mandzhuur. Beirut: Daar Ash-Shaadir.
Ma’âlimut Tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Tafsîr Ibni Abi Hâtim. Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Beirut: Al-Maktabah Al-’Ashriyah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1437H/2016M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.
Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Lihat Tafsîr As-Sa’di hlm. 574.
[2] Ini adalah pendapat Ibnu Qutaibah sebagaimana dinukil oleh Al-Baghawi dalam Tafsîrnya VI/62.
[3] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/62 dan Tafsîr Al-Qurthubi XII/309.
[4] Ash-Shihâh fil lughah I/203.
[5] Lisânul-’Arab VIII/81 dan Al-Mu’jam Al-Muhith, hlm. 923.
[6] Tafsîr Ibni Katsîr VI/46.
[7] Lisaanul-’Arab IV/254.
[8] Al-Qâmûs Al-Muhîth hlm. 88.
[9] Ash-Shihaah fil lughah I/95.
[10] Tafsîr Ibni Katsîr VI/481.
[11] Dalam makalah beliau yang berjudul ‘Ad-Dalâlah Al-Muhkamah Li-Âyatil-Jilbâb ‘Ala Wujûbi Ghithâil-Wajh.’
[12] Tafsîr Ath-Thabari XX/325.
[13] Tafsîr Ath-Thabari XX/325.
[14] Lihat Lisânul-’Arab IX/314.
[15] Al-Mu’jam Al-Wasîth I/340.
[16] Al-Qâmûs Al-Muhîth, hlm. 1661.
[17] Tafsîr Ath-Thabari XIX/217.
[18] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641.
[19] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641.
[20] Lihat Tafsîr Ath-Thabari XIX/218.
[21] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/62.
[22] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi 12/309.
[23] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI/83-84.
[24] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641 dan Tafsîr Ath-Thabari XIX/216.
[25] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2640.
[26] Tafsîr Ath Thabari XIX/217
[27] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641.
[28] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2640.
[29] Tafsîr Al-Qurthubi XIX/216.
[30] Tafsîr Al-Qurthubi XII/309.
[31] Tafsîr Ibni Katsîr VI/82.
[32] Tafsîr Al-Baghawi VI/62.
[33] HR. Muslim 2128.
[34] Lihat Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2642.
[35] Lihat Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2643.
[36] As-Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi VII/93. Di-shahiih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbâb al-Mar-ah al-Muslimah hlm. 110.
[37] Tafsîr At-Thabari XIX/218.
Sumber Artikel: almanhaj.or.id
Posting Komentar