Home » , , » Adab Kepada Allah

Adab Kepada Allah

Written By Rachmat.M.Flimban on 02 Maret 2017 | 3/02/2017 02:42:00 AM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Adab dan Pembagiannya

Oleh


Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali

Di dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (11/375-391), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله mengatakan:

Yang dimaksud dengan adab adalah kumpulan berbagai kriteria kebaikan pada diri seorang hamba, la merupakan ilmu perbaikan lidah, percakapan, dan penempatannya sesuai sasaran, perbaikan terhadap kata-kata, serta pemeliharaan dari kesalahan dan ketergelinciran.

Adab ini terdiri dari tiga macam, yaitu: Adab kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan syari'at-Nya, dan adab bersama sesama makhluk.

Adab kepada Allah-pun terdiri dari tiga macam, yaitu:

Pertama : Memelihara hubungan dengan-Nya agar tidak tercampuri dengan kekurangan.
Kedua : Memelihara hati agar tidak berpaling kepada selain Dia.
Ketiga : Memelihara keinginan agar tidak bergantung kepada hal-hal yang memancing amarah-Nya. 

Adab Kepada Allah 1
Perhatikan secara seksama keadaan para Rasul Shalawaatullaah wa salaamuhu 'alaihim dalam berhubungan dengan Allah, percakapan dan pertanyaan mereka, yang mana Anda akan mendapatkannya sangat kental dan diwarnai dengan adab-adab tersebut.

Al-Masih 'Isa عليه السلام telah berkata:

... إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ..

"...Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya... (QS. Al-Maa-idah/5: 116).

Dalam ayat ini, Nabi 'Isa tidak mengatakan: "Aku belum pernah mengatakannya." Dia membedakan antara kedua jawaban tersebut dalam hakikat adab. Kemudian dia menyerahkan permasalahannya kepada ilmu Allah عزّوجلّ yang mengetahui keadaan dirinya dan rahasianya. Di mana dia berkata: تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي "Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku." Setelah itu, dia melepaskan diri dari ilmu ghaib tentang Rabb-nya yang tidak dia ketahui dan dimilikinya. Lalu dia berkata: وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ "Dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau." Selanjutnya, dia memuji Rabb-nya dan menyifati-Nya sebagai Pemilik satu-satunya ilmu ghaib secara keseluruhan. Oleh karena itu, Nabi 'Isa berkata: إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ "Sesungguhnya Engkau yang ghaib." Dan dia menafikan diri untuk mengatakan kepada mereka selain apa yang telah diperintahkan Rabb-nya, yaitu tauhid murni, di mana dia mengatakan:
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلاَّ مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ...
"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu, 'Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb-mu... " (QS. Al-Maa-idah/5: 117)
Setelah itu, 'Isa عليه السلام menceritakan tentang kesaksiannya pada mereka selama keberadaannya di tengah-tengah mereka. Dan setelah diangkat, dia tidak diberi kuasa untuk mengawasi mereka. Dan hanya Allah عزّوجلّ semata yang berkuasa untuk mengawasi mereka. Karenanya, Nabi 'Isa berkata:

... وَكُنتُ عَلَيْهِمْ شَهِيداً مَّا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ...
"... Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka, Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka ... "(QS. Al-Maa-idah/5: 117)
Selanjutnya, 'Isa putera Maryam menyifati kesaksian Allah عزّوجلّ di atas dan lebih umum daripada semua kesaksian, di mana dia berkata:
... وَأَنتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
"... Dan Engkau adalah Mahameyaksikan atas segala sesuatu" (QS. Al-Maa-idah/5:117)

Kemudian, 'Isa عليه السلام berkata:

إِن تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ...
"Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau... " (QS. Al-Maa-idah/5: 118).

Yang demikian itu merupakan adab yang paling baik dalam berhubungan dengan Allah dalam posisi seperti itu. Artinya, posisi tuan memberikan kasih sayang kepada hamba-hamba-nya dan berbuat baik kepada mereka. Kalau bukan karena mereka hamba-hamba yang jahat, keji, paling membangkang dan durhaka terhadap tuannya, niscaya tuannya tidak akan mengadzab mereka. Karena, dekatnya 'ubudiyah menuntut diberikan perlakuan baik dan kasih sayang dari seorang tuan kepada hambanya. Lalu mengapa Allah, Dzat yang Mahapengasih, Mahapemurah, lagi Mahabaik itu mengadzab hamba-hamba-Nya? Hal itu tidak mungkin terjadi kalau bukan karena kedurhakaan mereka yang telah melampaui batas dan juga karena penolakan mereka untuk taat kepada-Nya, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab tersebut.

Engkau (Allah) lebih mengetahui apa yang tersembunyi dan tampak dari mereka. Jika Engkau mengadzab mereka, sudah pasti hal itu didasarkan pada ilmu yang Engkau miliki mengenai kepantasan mereka mendapatkan adzab tersebut. Mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan Engkau pasti lebih mengetahui mengenai apa yang telah mereka lakukan dan usahakan. Dalam kalimat ini Nabi 'Isa tidak memohon belas kasihan Allah عزّوجلّ bagi mereka, seperti yang disangka oleh orang-orang yang tidak mengerti. Dan tidak juga menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan yang terlepas dari kebijaksanaan, sebagaimana yang disangka oleh paham Qadariyah. Tetapi yang demikian itu merupakan ketetapan, pengakuan, dan sanjungan Allah عزّوجلّ akan kebijaksanaan dan keadilan-Nya, juga kesempurnaan ilmu-Nya atas keadaan mereka, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab.
Selanjutnya, 'Isa putera Maryam mengemukakan:

... وَإِن تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"...Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Maa-idah/5: 118).

Dalam hal ini, dia tidak mengatakan: "Al-Ghafuur ar-Rahiim (Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang)." Dan inipun juga merupakan satu bentuk ketinggian adab dalam hubungan dengan Allah عزّوجلّ. Dimana dia mengatakan hal tersebut pada saat berlangsungnya kemurkaan Rabb kepada mereka serta diturunkannya perintah untuk memasukkan mereka ke Neraka. Dan hal itu bukan situasi yang tepat untuk memohon kasih sayang dan juga syafa’at, tetapi sebagai situasi untuk melepaskan diri dari mereka. Seandainya 'Isa mengatakan: "Sesungguhnya Engkau Mahapengampun lagi Mahapenyayang," niscaya akan terasa nuansa permohonan kasih sayang Rabb untuk musuh-musuh-Nya yang murka-Nya telah memuncak terhadap mereka.

Dengan demikian, posisi tersebut merupakan persetujuan terhadap Rabb atas murka-Nya terhadap mereka. Dan dia menghindari penyebutan kedua sifat yang itu biasa dipergunakan untuk memohon kasih sayang, rahmat, dan ampunan-Nya, dan menggantinya dengan menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya.

Sedangkan makna: Jika Engkau mengampuni mereka, maka pemberian ampunan-Mu itu berdasarkan pada kesempurnaan kekuasaan dan ilmu dan bukan karena kelemahan untuk memberikan balasan kepada mereka, juga bukan karena ketidaktahuan-Mu mengenai tingkat kejahatan mereka. Yang demikian itu, karena seringkali seseorang diberi maaf oleh orang lain karena ketidakmampuannya membalas dendam, atau karena ketidaktahuannya terhadap tingkat kejahatan yang telah diperbuat terhadap dirinya. Dan yang sempurna adalah pemberian ampunan dan maaf oleh Dzat yang Mahakuasa lagi Mahamengetahui. Yang Dia juga Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Penyebutan kedua sifat tersebut dalam posisi ini merupakan bentuk adab dalam berbicara.

Disalin dari Kitab Syarah Riyadhush Shalihin Jilid 3, 
 Terbitan Pustaka Imam Syafi'i Jakarta, hal 1-9, Pada Kitab Adab, 
Adapun Judul adalah dari kami

Disalin dari; e-Book Ibnumajjah.com
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين


Anda Sedang membaca artikel yang berjudul Adab Kepada Allah Silahkan baca artikel dari HOSE AL ISLAM Tentang , , Yang lainnya. Dan Ingin Mengeprint klik tombol prin di Bawah, atau bookmark halaman ini dengan URL : https://baytal-islam.blogspot.com/2017/03/adab-kepada-allah.html
Klik Untuk Print Friendly and PDF
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger