بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Adab dan Pembagiannya
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali
Di dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (11/375-391), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله mengatakan:
Yang dimaksud dengan adab adalah kumpulan berbagai kriteria kebaikan pada
diri seorang hamba, la merupakan ilmu perbaikan lidah, percakapan, dan
penempatannya sesuai sasaran, perbaikan terhadap kata-kata, serta pemeliharaan
dari kesalahan dan ketergelinciran.
Adab ini terdiri dari tiga macam, yaitu: Adab kepada Allah, kepada Rasul-Nya
dan syari'at-Nya, dan adab bersama sesama makhluk.
Adab kepada Allah-pun terdiri dari tiga macam, yaitu:
Pertama : Memelihara hubungan dengan-Nya agar tidak tercampuri dengan
kekurangan.
Kedua : Memelihara hati agar tidak berpaling kepada selain Dia.
Ketiga : Memelihara keinginan agar tidak bergantung kepada hal-hal yang
memancing amarah-Nya.
Adab Kepada Allah
1
Perhatikan secara seksama keadaan para Rasul Shalawaatullaah wa salaamuhu
'alaihim dalam berhubungan dengan Allah, percakapan dan pertanyaan mereka, yang
mana Anda akan mendapatkannya sangat kental dan diwarnai dengan adab-adab
tersebut.
Al-Masih 'Isa عليه السلام telah berkata:
... إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ..
"...Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya...
(QS. Al-Maa-idah/5: 116).
Dalam ayat ini, Nabi 'Isa tidak mengatakan: "Aku belum pernah mengatakannya."
Dia membedakan antara kedua jawaban tersebut dalam hakikat adab. Kemudian dia
menyerahkan permasalahannya kepada ilmu Allah عزّوجلّ yang mengetahui keadaan
dirinya dan rahasianya. Di mana dia berkata: تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي "Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku." Setelah itu, dia melepaskan diri dari ilmu
ghaib tentang Rabb-nya yang tidak dia ketahui dan dimilikinya. Lalu dia berkata:
وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ "Dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri
Engkau." Selanjutnya, dia memuji Rabb-nya dan menyifati-Nya sebagai Pemilik
satu-satunya ilmu ghaib secara keseluruhan. Oleh karena itu, Nabi 'Isa berkata:
إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ "Sesungguhnya Engkau yang ghaib." Dan dia
menafikan diri untuk mengatakan kepada mereka selain apa yang telah
diperintahkan Rabb-nya, yaitu tauhid murni, di mana dia mengatakan:
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلاَّ مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي
وَرَبَّكُمْ...
"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau
perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu, 'Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku
dan Rabb-mu... " (QS. Al-Maa-idah/5: 117)
Setelah itu, 'Isa عليه السلام menceritakan tentang kesaksiannya pada mereka
selama keberadaannya di tengah-tengah mereka. Dan setelah diangkat, dia tidak
diberi kuasa untuk mengawasi mereka. Dan hanya Allah عزّوجلّ semata yang
berkuasa untuk mengawasi mereka. Karenanya, Nabi 'Isa berkata:
... وَكُنتُ عَلَيْهِمْ شَهِيداً مَّا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي
كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ...
"... Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara
mereka, Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi
mereka ... "(QS. Al-Maa-idah/5: 117)
Selanjutnya, 'Isa putera Maryam menyifati kesaksian Allah عزّوجلّ di atas dan
lebih umum daripada semua kesaksian, di mana dia berkata:
... وَأَنتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
"... Dan Engkau adalah Mahameyaksikan atas segala sesuatu" (QS.
Al-Maa-idah/5:117)
Kemudian, 'Isa عليه السلام berkata:
إِن تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ...
"Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba
Engkau... " (QS. Al-Maa-idah/5: 118).
Yang demikian itu merupakan adab yang paling baik dalam berhubungan dengan
Allah dalam posisi seperti itu. Artinya, posisi tuan memberikan kasih sayang
kepada hamba-hamba-nya dan berbuat baik kepada mereka. Kalau bukan karena mereka
hamba-hamba yang jahat, keji, paling membangkang dan durhaka terhadap tuannya,
niscaya tuannya tidak akan mengadzab mereka. Karena, dekatnya 'ubudiyah menuntut
diberikan perlakuan baik dan kasih sayang dari seorang tuan kepada hambanya.
Lalu mengapa Allah, Dzat yang Mahapengasih, Mahapemurah, lagi Mahabaik itu
mengadzab hamba-hamba-Nya? Hal itu tidak mungkin terjadi kalau bukan karena
kedurhakaan mereka yang telah melampaui batas dan juga karena penolakan mereka
untuk taat kepada-Nya, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab tersebut.
Engkau (Allah) lebih mengetahui apa yang tersembunyi dan tampak dari mereka.
Jika Engkau mengadzab mereka, sudah pasti hal itu didasarkan pada ilmu yang
Engkau miliki mengenai kepantasan mereka mendapatkan adzab tersebut. Mereka itu
adalah hamba-hamba-Mu, dan Engkau pasti lebih mengetahui mengenai apa yang telah
mereka lakukan dan usahakan. Dalam kalimat ini Nabi 'Isa tidak memohon belas
kasihan Allah عزّوجلّ bagi mereka, seperti yang disangka oleh orang-orang yang
tidak mengerti. Dan tidak juga menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak dan
kekuasaan yang terlepas dari kebijaksanaan, sebagaimana yang disangka oleh paham
Qadariyah. Tetapi yang demikian itu merupakan ketetapan, pengakuan, dan
sanjungan Allah عزّوجلّ akan kebijaksanaan dan keadilan-Nya, juga kesempurnaan
ilmu-Nya atas keadaan mereka, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab.
Selanjutnya, 'Isa putera Maryam mengemukakan:
... وَإِن تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"...Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Maa-idah/5: 118).
Dalam hal ini, dia tidak mengatakan: "Al-Ghafuur ar-Rahiim (Yang
Mahapengampun lagi Mahapenyayang)." Dan inipun juga merupakan satu bentuk
ketinggian adab dalam hubungan dengan Allah عزّوجلّ. Dimana dia mengatakan hal
tersebut pada saat berlangsungnya kemurkaan Rabb kepada mereka serta
diturunkannya perintah untuk memasukkan mereka ke Neraka. Dan hal itu bukan
situasi yang tepat untuk memohon kasih sayang dan juga syafa’at, tetapi sebagai
situasi untuk melepaskan diri dari mereka. Seandainya 'Isa mengatakan:
"Sesungguhnya Engkau Mahapengampun lagi Mahapenyayang," niscaya akan terasa
nuansa permohonan kasih sayang Rabb untuk musuh-musuh-Nya yang murka-Nya telah
memuncak terhadap mereka.
Dengan demikian, posisi tersebut merupakan persetujuan terhadap Rabb atas
murka-Nya terhadap mereka. Dan dia menghindari penyebutan kedua sifat yang itu
biasa dipergunakan untuk memohon kasih sayang, rahmat, dan ampunan-Nya, dan
menggantinya dengan menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan yang terkandung di
dalam kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya.
Sedangkan makna: Jika Engkau mengampuni mereka, maka pemberian ampunan-Mu itu
berdasarkan pada kesempurnaan kekuasaan dan ilmu dan bukan karena kelemahan
untuk memberikan balasan kepada mereka, juga bukan karena ketidaktahuan-Mu
mengenai tingkat kejahatan mereka. Yang demikian itu, karena seringkali
seseorang diberi maaf oleh orang lain karena ketidakmampuannya membalas dendam,
atau karena ketidaktahuannya terhadap tingkat kejahatan yang telah diperbuat
terhadap dirinya. Dan yang sempurna adalah pemberian ampunan dan maaf oleh Dzat
yang Mahakuasa lagi Mahamengetahui. Yang Dia juga Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. Penyebutan kedua sifat tersebut dalam posisi ini merupakan bentuk
adab dalam berbicara.
Disalin dari Kitab Syarah Riyadhush Shalihin Jilid 3,
Terbitan Pustaka Imam Syafi'i Jakarta, hal 1-9, Pada Kitab Adab,
Adapun Judul adalah dari kami
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar