Adab dan Pembagiannya
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali
Adab Kepada Rasulullah 1
Adapun adab yang berkenaan dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, maka al-Qur’an
cukup penuh dalam menerangkan adab tersebut. Puncak adab yang berkenaan dengan
beliau adalah kesempurnaan penyerahan diri kepadanya dan tunduk kepada
perintahnya, serta menerima dan membenarkan apa yang disampaikannya, tanpa
terbawa oleh penentangan imaginatif bathil, yang disebut sebagai logika, atau
terbawa oleh kesamaran atau keraguan atau mendahului beliau dengan
pendapat-pendapat orang lain dan pemikiran sesat mereka. Sehingga beliau
benar-benar menjadi satu-satunya pengambil keputusan dan tempat menyerahkan diri
dan tunduk, sebagaimana Allah عزّوجلّ telah menjadi satu-satunya Dzat yang
menjadi sembahan dan obyek untuk menundukkan dan menghinakan diri serta kembali
dan bertawakkal.
Keduanya merupakan tauhid, di mana seorang hamba tidak akan selamat dari
adzab Allah kecuali dengan berpegang pada keduanya, yaitu: tauhid Dzat yang
mengutus dan tauhid untuk mengikuti sang utusan (Rasul). Sehingga dengan
demikian itu, seseorang tidak akan bertahkim kepada selain beliau, tidak juga
mencari keridhaan dengan selain hukum beliau. Dan pelaksanaan perintah beliau
dan pembenaran berita yang dibawanya tidak bergantung pada pendapat seorang
syaikh atau imam, madzhab atau kelompok tertentu, di mana jika mereka
mengizinkan maka seseorang baru akan melaksanakan perintah itu dan membenarkan
berita beliau, dan jika tidak, berani pencarian keselamatan itu dilakukan dengan
menolak perintah dan berita yang beliau bawa serta menyerahkannya kepada mereka.
Dan hal itu jelas telah terjadi penyimpangan dari garis yang sebenarnya Dan
penyimpangannya itu dilakukan dengan mengatasnamakan Takwil dan penafsiran.
Andaikan seorang hamba menemui Rabb-nya dengan segala macam dosa -selain
syirik kepada Allah- maka yang demikian itu lebih baik daripada dia menemui-Nya
dengan keadaan seperti di atas.
Suatu hari, saya pernah berbicara kepada seorang pembesar mereka. Kepadanya
saya katakan: "Demi Allah," saya bertanya kepadamu, seandainya Rasulullah صلى
الله عليه وسلم ditakdirkan hidup di tengah-tengah kita, lalu beliau menyampaikan
langsung ucapan dan pembicaraan beliau kepada kita, maka apakah kita harus
mengikutinya tanpa harus membandingkannya dengan pendapat, ucapan, dan paham
selain beliau, ataukah kita tidak perlu mengikutinya sehingga kita membandingkan
apa yang kita dengar dari beliau dengan pandangan dan pendapat orang lain?
Maka pembesar mereka itu menjawab: "Yang harus kita lakukan adalah segera
mengikutinya tanpa harus mempedulikan kepada yang lainnya."
Lebih lanjut, saya tanyakan: "Lalu apa yang menghapuskan kewajiban tersebut
dari kita dan dengan apa ia menghapuskannya?"
Maka dia pun gigit jari seraya tercengang dan merasa kebingungan serta diam
seribu bahasa.
Adab Kepada Rasulullah 2
Demikian itulah adab kaum khas dalam berinteraksi dengan Rasulullah صلى الله
عليه وسلم, tidak menentang perintahnya, tidak juga mengangkat suara, tidak
mengganggu anggota badan untuk bershalawat kepada beliau, serta tidak menjauhkan
ucapan beliau dari keyakinan. Dan hendaklah, beliau menjadi sumber untuk
mengenal Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya. Dalam upaya mengenal Allah ini
keyakinan kepada beliau harus diutamakan daripada akal yang bimbang dan bertolak
belakang. Dan dalam hal hukum, keyakinan kepada beliau pun harus menjadi
sandaran bagi tradisi dan pendapat orang lain. Sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah
kita baca dalam rangka bertabarruk dan bukan untuk memahami pokok-pokok dan
cabang-cabang agama. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka kami akan
lawan dan kami akan berusaha untuk menghentikannya dan mencabut akar-akarnya.
Di antara adab yang lain dalam berhubungan dengan Rasulullah صلى الله عليه
وسلم adalah tidak mendahului beliau dengan memberikan suatu perintah, larangan,
izin atau tindakan sehingga beliau yang menyuruh, melarang, atau memberikan
izin, sebagaimana yang difirmankan Allah عزّوجلّ:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ...
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya... " (QS.Al-Hujuraat/49: 1)
Hal tersebut akan terus berlangsung sampai hari kiamat kelak dan tidak akan
pernah dihapuskan. Dengan demikian, mendahului Sunnah beliau sepeninggal beliau
adalah sama dengan yang dilakukan pada masa hidup beliau. Dan hal itu jelas
tidak ada perbedaan bagi orang yang berakal sehat.
Adab sopan santun lainnya dalam berinteraksi dengan Rasulullah صلى الله عليه
وسلم adalah tidak mengangkat suara di atas suara beliau, karena hal itu yang
menjadi sebab tidak berartinya suatu amal perbuatan. Lalu apalagi dengan
pengangkatan pendapat dan pemikiran di atas Sunnah dan apa yang beliau bawa?
Apakah Anda berpendapat bahwa hal itu akan menjadi sebab diterimanya amal
perbuatan, sementara pengangkatan suara di atas suara beliau saja menjadi
penyebab terhapusnya amal?
Adab Kepada Rasulullah 3
Adab sopan santun dalam berinteraksi dengan beliau adalah tidak memanggil beliau
dengan panggilan orang lain.
Hal yang juga termasuk adab sopan santun dengan beliau adalah jika sedang
berada dalam suatu urusan jama'ah, misalnya khutbah, jihad, atau perang, maka
tidak ada yang boleh berangkat memenuhi kepentingannya sendiri sehingga dia
meminta izin kepada beliau, sebagaimana yang difirmankan Allah عزّوجلّ:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا
كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ...
"Sesungguhnya yang sebenar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
apabila mereka berada benama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan
pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya..."
(QS. An-Nuur/24: 62).
Jika dalam hal yang berkenaan dengan suatu kepentingan tertentu yang sangat
mendesak seperti itu, mereka tidak diberikan keleluasaan kecuali atas izin
beliau, maka bagaimana jika menyangkut kepentingan agama, baik yang pokok maupun
yang cabang, yang yang kecil maupun yang besar Apakah akan diperbolehkan
menunaikannya tanpa seizin beliau?
... فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"... Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui." (QS. An-Nahl/16: 43)
Selain itu, adab lainnya dalam berinteraksi dengan beliau صلى الله عليه وسلم
adalah tidak meragukan ucapan beliau, tidak juga menentang nashnya dengan qiyas,
tetapi qiyas yang seharusnya gugur karenanya. Tidak juga menyimpangkan ucapan
beliau dari hakikatnya hanya karena imajinasi yang oleh pengikutnya disebut
sebagai logika. Benar hal itu merupakan suatu yang majhul dan jauh dari
kebenaran. Dan penerimaan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah صلى الله عليه
وسلم tidak bergantung pada persetujuan seseorang, karena hal itu justru
merupakan salah satu bentuk tidak sopan dalam bermu'amalah dengan beliau صلى
الله عليه وسلم, dan bahkan hal itu dianggap sebagai bentuk sikap kurang ajar.
Adab Kepada Sesama Makhluk
Adapun adab dalam hubungan dengan sesama makhluk adalah sebagai berikut:
Yaitu dengan mempergauli mereka walaupun berbeda-beda tingkatnya sesuai
dengan apa yang pantas bagi mereka. Jadi, setiap tingkatan mempunyai adab sopan
santun tersendiri. Dan dalam masing-masing tingkatan terdapat adab khusus, di
mana dalam hubungan dengan kedua orang tua terdapat adab sopan santun
tersendiri, dan dalam berhubungan dengan ayah terdapat adab yang lebih khusus,
demikian juga dengan ulama yang memiliki adab tersendiri pula. Juga dengan para
penguasa terdapat adab sopan santun yang sesuai dengan keadaannya. Selain itu,
dalam berhubungan dengan teman dan sahabat juga terdapat adab yang sesuai dengan
kondisi mereka. Demikian juga dengan orang-orang yang tidak dikenal dan para
tamu, mempunyai tata krama tersendiri yang jelas berbeda dengan tata krama
dengan anggota keluarga.
Setiap keadaan itu mempunyai adab tersendiri. Makan, minum, menaiki
kendaraan, masuk dan keluar rumah, bepergian, tidur, buang air kecil, berbicara,
diam, dan mendengar, semuanya mempunyai adab masing-masing.
Jadi, adab itu merupakan agama secara keseluruhan, di mana menutup aurat,
berwudhu’, mandi janabat, membersihkan diri, termasuk salah satu bentuk adab,
bahkan berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci itu juga merupakan adab. Oleh
karena itu, mereka menganjurkan agar dalam shalatnya seseorang berhias dan
berpenampilan menarik, untuk menghadap kepada Rabb-nya.
Adab sopan santun seseorang itu menunjukkan kebahagiaan dan keberuntungannya.
Sebaliknya, minimnya adab sopan santun seseorang menunjukkan kesengsaraan dan
kerugiannya. Dengan demikian, tidak ada yang bisa memberi kebaikan dunia dan
akhirat seperti adab sopan santun ini, dan pula hal yang bisa menyebabkan
diharamkannya kebaikan dunia dan akhirat seperti minimnya adab sopan santun.[]
Posting Komentar