بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bahasan kali ini akan ditindaklanjuti dengan melihat rupa setan. Di antaranya setan itu adalah makhluk yang memiliki tanduk dan rupa yang buruk.
Rupa Setan
Setan memiliki rupa yang amat jelek. Bahkan dalam khayalan setiap orang pun sudah tertanam. Kepala setan pun digambarkan dalam Al Qur’an seperti mayang dari pohon yang keluar dari dasar neraka. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ (64) طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ (65)
“Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar neraka yang
menyala. mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.” (QS. Ash Shaffaat: 64-65).
Orang Nashrani di masa silam menggambarkan setan sebagai laki-laki yang hitam
kelam yang memiliki jenggot, alis mata yang runcing ke atas, mulut yang
mengeluarkan nyala api, bertanduk, memiliki kuku yang panjang dan berekor.
Setan Memiliki Dua Tanduk
Dalil yang menunjukkan bahwa setan memiliki dua tanduk:
Hadits Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحَرَّوْا بِصَلاَتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوبَهَا فَإِنَّهَا
تَطْلُعُ بِقَرْنَىْ شَيْطَانٍ
“Janganlah kalian melaksanakan shalat saat matahari terbit dan saat tenggelam
karena waktu tersebut adalah waktu munculnya dua tanduk setan” (HR. Muslim no.
828).
Dari Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَدَعُوا الصَّلاَةَ حَتَّى تَبْرُزَ ، وَإِذَا
غَابَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَدَعُوا الصَّلاَةَ حَتَّى تَغِيبَ وَلاَ تَحَيَّنُوا
بِصَلاَتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوبَهَا ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ
قَرْنَىْ شَيْطَانٍ
“Jika matahari mulai terbit, tinggalkanlah shalat sampai terang (matahari
terbit). Jika matahari mulai tenggelam, tinggalkanlah shalat, sampai benar-benar
hilang (tenggelam). Janganlah kalian bersengaja mengerjakan shalat ketika
matahari terbit dan tenggelam karena matahari terbit pada dua tanduk setan.”
(HR. Bukhari no. 3273)
Makna hadits di atas adalah bahwa sekelompok orang musyrik dahulu menyembah
matahari. Mereka sujud pada matahari ketika akan terbit dan tenggelam. Ketika
itu setan berdiri di arah matahari itu berada supaya orang-orang menyembahnya.
Hal ini ditegaskan dalam hadits berikut,
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ
شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ
مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ
“Laksanakanlah shalat shubuh kemudian berhentilah mengerjakan shalat hingga
terbit matahari, hingga pula matahari meninggi karena matahari terbit ketika
munculnya dua tanduk setan dan saat itu orang-orang kafir sujud pada matahari.
Kemudian setelah itu shalatlah karena shalat ketika itu disaksikan.”
Dan hadits itu disebutkan pula,
حَتَّى تُصَلِّىَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ
لَهَا الْكُفَّارُ
“Hingga engkau shalat ‘Ashar kemudian setelah itu berhentilah shalat hingga
matahari tenggelam karena saat itu matahari tenggelam antara dua tanduk setan
dan saat itu orang-orang kafir sujud pada matahari.” (HR. Muslim no. 832).
Hadits larangan shalat di atas dipahami untuk shalat yang tidak memiliki
sebab seperti shalat sunnah mutlak, yaitu asal shalat sunnah saja dua raka’at.
Jika shalat yang memiliki sebab seperti tahiyyatul masjid, shalat gerhana,
shalat setelah wudhu, atau qodho’ shalat yang luput, maka dibolehkan meskipun
pada waktu terlarang untuk shalat. Karena dalam hadits larangan di atas
disebutkan,
وَلاَ تَحَيَّنُوا بِصَلاَتِكُمْ
“Janganlah mengerjakan shalat (yang tidak memiliki sebab) secara sengaja …”
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
‘Alamul Jin wasy Syaithon, Syaikh Prof. Dr. ‘Umar bin Sulaiman bin ‘Abdullah
Al Asyqor, terbitan Darun Nafais, cetakan kelimabelas, tahun 1423 H.
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 14 Jumadal Ula 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin dari Sumber Artikel Muslim.Or.Id
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar