Berhubungan Intim Dalam Islam
Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Januari 2020 | 1/30/2020 11:30:00 PM
Kamasutra (sex islam)
Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.
Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”
Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya dan yang paling penting adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.
Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim menurut Islam termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.
Selain itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.
Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”
Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.
Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.
Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.
Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,
“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.
Allah SWT berfirman,
“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Posisi Ijba’
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.
Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.
(Kang Iftah. Sumber : Sutra Ungu, Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam, karya Abu Umar Baasyir)
Sumber Artikel; wordpress.com
Hadis Kepedulian sosial
Written By Rachmat.M.Flimban on 25 Januari 2020 | 1/25/2020 12:41:00 AM
Hadis: Kepedulian sosial
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', "Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang miskin bagaikan orang yang berjihad di jalan Allah." Aku (perawi) mengira beliau bersabda, "Dan bagaikan orang yang salat tanpa kenal lelah dan bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus." Muttafaq 'alaih
Uraian:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengabarkan bahwa orang yang mengurus kepentingan-kepentingan wanita yang suaminya telah meninggal dan orang miskin yang membutuhkan, serta ia memberi mereka nafkah, dalam hal pahala ia seperti orang yang berjihad di jalan Allah, seperti orang yang mengerjakan salat tahajud yang tidak kenal lelah dalam beribadah dan seperti orang yang berpuasa terus-menerus.
Faedah hadis:
- Titik persamaan antara orang yang menanggung janda & orang miskin dengan mujahid dan ahli tahajud bahwa kesinambungan melakukan amal kebajikan itu butuh perjuangan melawan nafsu & setan.
- Seruan untuk membantu orang-orang lemah dan menutup kebutuhan mereka tanpa merendahkan martabatnya.
- Perhatian syariat Islam terhadap keharmonisan kehidupan masyarakat yang mampu dan yang lemah sehingga bangunan Islam menjadi kokoh.
- Ibadah itu mencakup semua amal shalih.
- Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah -Ta'ālā- baik berupa perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin.
Ustadz Thoriq At-Tamimi, LC.MA حفظه الله
Penulis Blok Rachmat.M
Perintah Taat kepada Allah, Rasul dan Pemerintah
Written By Rachmat.M.Flimban on 14 November 2018 | 11/14/2018 08:42:00 PM
Perintah Taat kepada Allah, Rasul dan Pemerintah Oleh webadmin Webadmin |
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
: – Berkata Atha’: “taat kepada Rasul dengan mengikuti sunnahnya.” – Berkata Ibnu Zaid: “(taat kepada Rasul) bila masih hidup.” – Berkata Ibnu Jarir: “yang benar dari perkataan di atas adalah: ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya.” – Berkata Abu Hurairah: “mereka adalah Umara’.” – Berkata Maimun bin Mahran: “para panglima perang di zaman Rasulullah.” – Berkata Atha’: “para fuqaha (ahli fikih) dan ulama.” – Berkata Ikrimah: “Abu Bakar dan Umar.” (At-Thabari 4/150-153) – Berkata Ad-Dhahhak: “mereka adalah para shahabat Rasulullah dan mereka adalah perawi hadits dan para da’i.” (Ad-Durrul Mantsur 2/575) – Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi: “menurut saya, yang benar adalah mereka itu para Umara dan ulama.” (Ahkamul Qur’an 1/452) – Berkata Mujahid: “Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” – Berkata Maimun bin Mahran: “kembali kepada Allah adalah kembali kepada kitab-Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya.” (At-Thabari 4/154) : – Berkata Qatadah: “lebih baik pahala dan akibatnya.” – Berkata Mujahid: “lebih baik balasannya.” (At-Thabari 4/155) Dari As-Suddi, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) di bawah komando Khalid bin Al-Walid. Diantara mereka ada Ammar bin Yasir. Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk beristirahat). Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan tentang kedatangan pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya. Kemudian dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana ia bertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin Yasir) dan bertanya kepadanya: “Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah lari ketika mendengar kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak aku pun lari.” Ammar berkata: “Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat.” Maka laki-laki itu pun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya berkata: “Lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan dia dalam jaminan keamanan dariku.” Berkata Khalid: “Kenapa kamu lindungi dia?” Maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah membolehkan jaminan keamanan dari Ammar tetapi melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya. Maka Allah menurunkan ayat yang artinya: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.” (At-Thabari 4/151) Al-Qurthubi berkata: “Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara, menurut perkataan jumhur, Abu Hurairah, ibnu Abbas, dll.” Ibnu Khuwaidzi Mandad berkata: “Adapun taat kepada sultan maka wajib dalam rangka taat kepada Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepada Allah…” (Al-Jami’ lil Ahkamil Qur`an 5/167, 168) Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum mukminin) untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang mengurusi kepentingan umat, baik itu Umara, pemerintah maupun mufti-mufti karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam rangka taat kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisi-Nya. Akan tetapi dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi’il athi’u (taatilah) dalam perintah taat kepada Ulil Amri. Di samping itu disebutkannya perintah taat kepada mereka itu menyertai taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasul tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga barangsiapa yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah. Adapun syarat taat kepada Ulil Amri adalah jika tidak ada unsur-unsur maksiat kepada Allah. Di samping itu Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan oleh umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni taat kepada Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Ini karena Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah hakim yang menyelesaikan segala permasalahan khilafiyyah (permasalahan yang diperselisihkan) baik itu dari nash yang sharih (jelas), nash umum, syarat, peringatan, maupun pemahaman ayat. Agama ini dibangun di atas pondasi Al-Qur`an dan As-Sunnah sehingga tidak akan istiqamah (komitmen) iman seseorang kecuali dengan berpegangan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itulah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan syarat keimanan. Allah berfirman : إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (An-Nisa: 59) Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang tidak mengembalikan masalah khilafiyyah kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia bukanlah seorang mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada thaghut (sebagaimana yang akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60). Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih baik akibatnya, karena hukum Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum dan merupakan hukum yang membawa maslahah (kebaikan) bagi umat manusia baik itu dalam urusan Dien (agama) maupun urusan dunia. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan 2/89-90) Menyoroti ayat ini, Ibnul Qayyim berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/38: “(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi’il (=taatilah) sebagai i’lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah). Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi’il dan menjadikannya di dalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul.” (lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12) قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31) وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Al-Hasyr: 7) “Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: ‘setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.’ Para shahabat bertanya: ‘wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab: ‘barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah enggan’.” (HR. Bukhari 13/214 dan Ahmad 2/361) Dalam Asy-Syifa’ 2/6, Al-Qadhi Iyadh berkata: “Allah Azza wa Jalla menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya seperti ketaatan kepada-Nya dan menggandengkan ketaatan kepada Ulil Amri dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang taat kepada Rasul-Nya dan mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah juga mewajibkan (kepada kaum mukminin) untuk mengerjakan perintah Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.” (Lihat Hujjiyyatu Ahaditsil Ahad fi Ahkam wal Aqaid karya Muhammad hal. 10) Allah melarang dan memperingatkan kaum mukminin untuk menyelisihi perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengancam oang-orang yang berbuat demikian (menyelisihi perintah Rasul-Nya) dengan firman-Nya: الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63) Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/410: “yakni hendaklah takut orang-orang yang menyalahi syariat Rasul secara dhahir dan bathin takut akan ditimpa fitnah dalam hatinya yang berupa kekufuran, nifaq dan bid’ah atau ditimpa adzab yang pedih di dunia yang berupa pembunuhan, hukum hadd, dipenjara atau yang lainnya.” وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115) Dari Al-Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat sunnah itu, gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Tirmidzi 5/44 (2676): hadits HASAN SHAHIH, dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, disepakati oleh Imam Dzahabi) Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bermuamalah dengan Wulatul Umur adalah manhaj yang adil dan pertengahan, yang tegak di atas asas ittiba’ kepada atsar (sunnah-sunnah). Mereka ittiba’ dan tidak berbuat bid’ah dan tidak mempertentangkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akal fikiran dan hawa nafsu mereka. Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud berkata: “ittiba’lah kalian dan jangan kalian ibtida’ (berbuat bid’ah), karena kalian telah dicukupi (dengan syariah ini) dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” Beliau juga mengatakan: “hati-hatilah kalian dengan perbuatan bid’ah dan menfasih-fasihkan dalam berbicara masalah agama. Berpegang teguhlah kalian dengan atsar (sunnah) orang dahulu (Salafus Shalih).” (Al-Ibanah 1/321, 324) Di dalam kitab yang sama, Abul Aliyah Ar-Rayahi juga berkata: “Pelajarilah oleh kalian akan Islam. Bila kalian telah mempelajarinya maka kalian jangan membencinya. Dan berjalanlah kalian di atas jalan yang lurus, karena jalan yang lurus itu adalah Islam. Janganlah kalian menyeleweng dari jalan yang lurus ke arah kanan dan kiri. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah Nabi, dan hati-hatilah kalian dengan hawa nafsu yang melemparkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah.” (Al-Ibanah 1/338) Oleh sebab itu, barangsiapa yang ingin berbahagia di dunia dan akhirat, hendaklah ia menempuh jalan mereka (Salafus Shalih) dan mengikuti manhaj mereka. Adapun manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bermuamalah dengan Wulatul Umur adalah: wajib mendengar dan taat kepada mereka, baik mereka itu orang yang baik (adil) maupun yang dhalim. Ketaatan kepada mereka dibatasi dalam hal kebaikan. Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Ahlus Sunnah justru menasehati dan tidak membiarkan mereka (Wulatul Umur), bahkan mendoakan kebaikan buat mereka. Ahlus Sunnah tidak memandang adanya kebolehan untuk keluar dari mereka, memerangi mereka dan tidak pula mencabut ketaatan dari mereka, sekalipun mereka itu dhalim dan bertindak sewenang-wenang. Bahkan Salafus Shalih menggolongkan perbuatan yang demikian (keluar dari mereka, memberontak dan memerangi mereka) ke dalam perbuatan bid’ah yang diada-adakan. Imam Ahlus Sunnah (Imam Ahmad) berkata: “Ushul-ushul sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami dan diamalkan oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ittiba’ kepada mereka dan tidak berbuat bid’ah karena setiap bid’ah adalah sesat. Tidak berdialog dan duduk-duduk bersama Ahli Bid’ah dan tidak berdebat tentang masalah agama. Sedangkan Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah digunakan sebagai tafsir bagi Al-Qur`an. Tidak ada qiyas dalam sunnah dan sunnah tidak bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu, tapi dipahami dengan ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu. Dan termasuk sunnah-sunnah lazimah yang bila ditinggalkan salah satu daripadanya, seseorang itu tidak dikatakan Ahlus Sunnah.” Kemudian Imam Ahmad menyebutkan beberapa hal yang antara lain: “mendengar dan taat kepada para imam dan amirul mukminin (pemimpin kaum mukminin), baik yang shalih (adil) maupun yang fajir (dhalim), dan taat kepada khalifah yang disepakati dan diridhai oleh kaum mukminin. Jihad bersama mereka (yang adil maupun yang dhalim) secara terus menerus hingga hari kiamat, mengadakan pembagian harta faik (harta rampasan yang diperoleh tanpa ada perlawanan), juga terus menerus menjalankan hukum-hukum had. Tidak boleh bagi siapapun mencela dan menyelisihi mereka, mengerjakan shalat Jum’at di belakang mereka dua rakaat. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) yang meninggalkan atsar, menyelisihi sunnah dan tidak mendapat keutamaan Jum’at sedikitpun. Barangsiapa yang memberontak pada Imam kaum muslimin yang telah disepakati dan diakui kekhilafahannya, maka sungguh dia telah memecahkan tonggak kaum muslimin dan telah menyalahi atsar-atsar yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dia mati ketika melakukan hal itu, dia mati secara jahiliyyah. Dan tidak halal (diharamkan) bagi siapapun untuk memerangi sulthan dan memberontaknya. Barangsiapa yang berbuat demikian, dia adalah mubtadi’ yang tidak berjalan di atas sunnah dan tidak pula berjalan di atas jalan yang lurus.” (Syarah Ushul I’tiqad 1/160-161) Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy berkata: “Saya bertanya kepada bapakku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus Sunnah dalam Ushuluddin dan apa yang beliau berdua yakini dalam hal ini. Maka beliau berdua berkata: “Kami jumpai para ulama di seluruh penjuru negeri, di Hijaz, Irak, Syam, dan Yaman beri’tiqad. Kemudian beliau berdua menyebutkan beberapa hal antara lain: dan kita menegakkan jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin di sepanjang zaman. Kita tidak memberontak dan tidak pula memerangi mereka karena dikhawatirkan fitnah. Kita mendengar dan taat kepada Wulatul Umur. Demikian pula kita tidak mencabut ketaatan dari mereka. Kita ittiba’ kepada sunnah dan jamaah dan menjauhi persengketaan dan perpecahan. Jihad bersama mereka tetap berjalan sejak diutusnya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak, tidak ada sesuatupun yang membatalkannya dan begitu juga haji.” (Syarah Ushul I’tiqad 1/176-180) Sahl bin Abdullah At-Tustani berkata ketika ditanya: “kapankah seseorang itu mengetahui bahwa dirinya di atas sunnah dan jama’ah? Seseorang itu di atas sunnah dan jamaah bila mengetahui adanya sembilan (9) hal pada dirinya: Berkata Abu Ja’far At-Thahawi: “kita tidak memandang adanya kebolehan untuk memberontak imam-imam dan Wulatul Umur sekalipun mereka itu dhalim dan kita tidak mendoakan kejelekan buat mereka. Kita tidak mencabut tangan ketaatan kepada mereka dan kita pun memandang ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kita juga mendoakan kebaikan buat mereka.” (Syarah Aqidah Thahawiyyah 368) Imam Al-Barbahari berkata: “ketahuilah, bahwa kedhaliman sulthan tidak mengurangi sedikitpun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya (yakni untuk taat kepada sulthan), kedhaliman dia (sulthan) atas dirinya dan ketaatan serta kebaikanmu bersamanya, sempurna insya Allah, yakni ketaatan kau berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersamanya, dan bergabunglah bersamanya dalam setiap amalan ketaatan. Bila kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan buat sulthan maka ketahuilah bahwa dia pelaku bid’ah. Dan bila kamu mendengarkan seseorang mendoakan kebaikan buatnya, maka ketahuilah bahwa dia itu Ahlus Sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah 51) Fudhail bin Iyadh berkata: “Kalaulah aku punya doa yang mustajab (terkabulkan), niscaya aku gunakan buat (kebaikan) sulthan, karena kita diperintah untuk mendoakan kebaikan buat mereka. Kita tidak diperintah untuk mendoakan kejelekan buat mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak sewenang-wenang, karena kedhaliman mereka berakibat fatal bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin. Demikian pula sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin.” (Thabaqat fi Bayanil Mahajjah 1/236) Imam Ismail Ash-Shabuni berkata: “Ashabul Hadits menasehatkan untuk shalat Jum’at, Hari Raya, dan shalat-shalat lainnya di belakang imam kaum muslimin, yang baik maupun yang fajir. Demikian juga jihad bersama mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak semena-mena. Dan mereka mendoakan kebaikan buat imam kaum muslimin: berdoa supaya mereka diberi taufik oleh Allah dan supaya mereka berbuat adil terhadap rakyat. Mereka tidak memberontak kepada Umara sekalipun mereka melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya dan sekalipun mereka (Umara) berbuat dhalim dan bengis. Dan mereka (Ashabul Hadits) memerangi kelompok-kelompok yang memberontak kepada Umara, sampai mau kembali taat kepadanya.” (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 92, 93) Pendapat para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah ini banyak sekali dan bisa dilihat dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah seperti: Kitab As-Sunnah karya Ibnu Bathah, Syarah Ushul I’tiqad karya Al-Lalika’i, Aqidah Salaf Ashabul Hadits karya Ismail As-Shabuni, Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah karya Abul Qasim Al-Asbahani, Syarah Aqidah Thahawiyyah karya Ibnu Abil Izz, dll. Semua kitab itu bisa menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah dalam bermuamalah dengan Umara, sulthan, dan Wulatul Umur. Pendapat-pendapat itu tidak hanya tertulis di kitab-kitab saja, tetapi juga telah dipraktekkan secara langsung oleh para ulama Ahlus Sunnah, diantaranya: Pernah datang kepada beliau sekelompok Ahli Fikih (fuqaha) Baghdad untuk bermusyawarah dengan beliau agar meninggalkan dan tidak ridha dengan pemerintahan Al-Watsiq. Al-Watsiq telah mempopulerkan pendapat “Al-Qur`an itu makhluk.” Dia mendakwahkannya dan memerintahkan anak-anak mereka untuk mempelajarinya. Bahkan ia mengasingkan, menjauhkan dan memenjarakan orang-orang yang menyelisihinya. Mendengar hal itu, Imam Ahmad mengingkari usulan-usulan mereka dan melarang mereka dengan keras. Semua itu menunjukkan ketegasan beliau dalam bersikap. Beliau berkata: Janganlah kalian mencabut ketaatan dan janganlah kalian memecahkan tonggak kaum muslimin. Jangan pula kalian tumpahkan darah-darah kalian dan darah-darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah oleh kalian akibat perkara kalian ini dan janganlah kalian tergesa-gesa (dalam berbuat)…” (Dzikru Mihnah Imam Ahmad bin Hambal hal. 70) Dalam kitab itu pula, Hambal bin Ishaq bin Hambal berkata: “…ketika Al-Watsiq memunculkan perkataan ini (bahwa Al-Qur`an itu makhluk), memukul dan memenjarakan orang yang menyelisihinya, datanglah sekelompok fuqaha dari Baghdad kepada Imam Ahmad. Diantaranya terdapat Bakr bin Abdillah, Ibrahim bin Ali Mathbahi, Fadl bin Ashim dan yang lainnya. Mereka mendatangi Abu Abdillah (Imam Ahmad) dan minta izin untuk menemuinya. Setelah diizinkan mereka pun masuk dan berkata: “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya urusan ini sudah tersebar luas dan nampak sampai pada puncaknya, sedang kita khawatir laki-laki ini akan berbuat lebih dari yang dia lakukan.” Mereka pun kemudian menyebutkan bahwa Ibnu Abi Daud[1] menyuruh para guru untuk mengajari anak-anak bahwa Al-Qur`an adalah begini dan begitu (yakni bahwa Al-Qur`an itu makhluk). Mendengar hal itu, Imam Ahmad berkata: “Lalu apa yang kalian maukan?” Mereka menjawab: “Kami datang kepadamu untuk bermusyawarah tentang apa yang kami inginkan.” Imam Ahmad bertanya lagi: “Apa yang kalian inginkan?” Mereka berkata: “(yang kami inginkan adalah) kami tidak ridha dengan kesultanan dan kepemimpinan dia (Al-Watsiq).” Maka Imam Ahmad mendebat mereka beberapa saat sampai beliau berkata kepada mereka -sedangkan saya (Hambal bin Ishaq bin Hambal) hadir di situ-: “Bagaimana pendapat kalian kalau perkara ini tidak tuntas? Bukankah ini akan menyeret kalian pada hal-hal yang tidak kalian inginkan? Pikirkanlah masak-masak, janganlah kalian cabut tangan ketaatan dan janganlah kalian memecah tonggak. Lihatlah akibat urusan kalian ini dan janganlah tergesa-gesa. Bersabarlah kalian sampai tenang (dipimpin) Imam yang adil.” Maka terjadilah pembicaraan panjang diantara mereka yang tidak aku (Hambal bin Ishaq) hafal, dan Abu Abdillah telah membantah dengan perkataannya tadi. Berkatalah sebagian dari mereka: “sesungguhnya kita khawatir akan anak cucu kami bila hal ini (perkataan bahwa Al-Qur`an itu makhluk) nampak dan yang lain-lainnya tidak diketahui oleh mereka. Dan kami khawatir Islam akan hancur dan punah.” Maka Abu Abdillah berkata: “sekali-kali tidak demikian. Sesungguhnya Allah-lah yang menolong agama-Nya. Agama ini punya Rabb yang akan menolongnya, dan sesungguhnya Islam ini adalah agama yang mulia dan mencegah adanya pertumpahan darah (suka perdamaian).” Akhirnya mereka pun meninggalkan Abu Abdillah, sedang Abu Abdillah tidak memenuhi sedikitpun yang mereka inginkan. Bahkan beliau melarang mereka dan mendebat mereka supaya mereka mau mendengar dan taat kepada pemerintah sampai Allah bukakan jalan keluar dari permasalahan ini. Tetapi mereka tidak mau menerima nasihat Abu Abdillah. Maka tatkala mereka keluar, berkatalah sebagian mereka kepadaku (Hambal bin Ishaq): “Ikutlah dengan kami ke rumah orang (yang mereka sebut) untuk kita ajak berunding tentang perkara yang kita inginkan.” Maka saya beritahukan hal ini kepada ayahku (Ishaq bin Hambal). Ayahku berkata: “Kamu jangan ikut pergi dan carilah alasan untuk tidak ikut mereka. Aku tidak merasa aman kalau nanti mereka akan melibatkan kamu dalam masalah ini, sehingga nama Abu Abdillah akan ikut disebut-sebut.” Maka aku pun mencari alasan untuk tidak ikut dengan mereka. Tatkala mereka pergi, aku dan ayahku mendatangi Abu Abdillah lalu berkatalah Abu Abdillah kepada ayahku: “Wahai Abu Yusuf, aku kira yang membuat mereka begini ini telah meresap pada hati mereka. Kita minta keselamatan kepada Allah. Aku tidak senang ada orang berbuat seperti mereka ini.” Maka aku (Ishaq bin Hambal) bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah yang mereka perbuat ini menurutmu benar?” Imam Ahmad menjawab: “Tidak, tidak benar. Perbuatan seperti ini menyalahi atsar-atsar yang memerintahkan kita untuk bersabar.” Kemudian beliau berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau dia (sulthan) memukulmu, maka sabarlah, dan kalau dia memerangimu, maka sabarlah … dan berkata Ibnu Mas’ud: begini dan begitu. Abu Abdillah kemudian menyebutkan hal-hal yang tidak aku hafal.” Akhirnya Ishaq bin Hambal berkata: “Maka kaum itupun melaksanakan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dari perbuatan mereka yang tidak terpuji ini. Mereka malah lari terbirit-birit dari serangan sulthan dan akhirnya, ada diantara mereka yang tertangkap, dipenjara dan mati di dalamnya.” (Dzikru Mihnati Al-Imam Ahmad bin Hambal 70-72) Kisah ini adalah mau’idzah (nasehat) yang jelas sekali tentang bahayanya menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah demi asas yang agung ini dan bahwa menyelisihi manhaj mereka akan mengakibatkan hal-hal seperti tersebut di atas. Beliau hidup di zaman kesultanan yang bengis dan dhalim. Beliau disiksa dan dianiaya oleh pihak kesultanan karena menyebarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan membantahi firqah-firqah yang sesat seperti sufi, Asy’ari, dan yang lainnya. Bahkan beliau dipenjara berkali-kali disebabkan hal ini sehingga sampai matipun beliau dalam keadaan di penjara. Walaupun demikian, beliau sangat keras memperingatkan umat untuk tidak memberontak dan taat kepada sulthan. Perbuatan ini (memberontak sulthan) menurut beliau akan mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal dibandingkan kedhaliman dan kefasikan sulthan. Beliau menegaskan: “Oleh karena inilah yang masyhur dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu tidak memberontak atau tidak memerangi Umara dengan pedang sekalipun mereka itu dhalim dan bertindak semena-mena. Ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kerusakan yang ada pada peperangan dan pemberontakan lebih fatal daripada kerusakan yang ada pada kedhaliman dan kelaliman sulthan. Dan hampir-hampir tidak diketahui adanya suatu kelompok yang memberontak pemerintah melainkan hanya mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal dibandingkan kerusakan yang ingin dihilangkan (kedhaliman dan kelaliman sulthan).” (Minhajus Sunnah 3/391) “Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam perkara yang dia senangi maupun dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar maupun taat.” (HR. Bukhari 4/329 Muslim 3/1469) “Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada sulthan) dalam kesulitanmu dan kemudahanmu, dalam perkara yang menyenangkanmu dan yang kamu benci, dan tidak kamu sukai.” (HR. Muslim 3/1467) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Makna (ÃõËúÑóÉò) adalah: sekalipun para sulthan ini memonopoli perkaramu, sehingga mereka tidak berlaku adil terhadapmu dan mereka tidak menunaikan hakmu,” seperti yang tersebut dalam Bukhari dan Muslim dari Usaid bin Hudhair bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian akan menemui perkara yang tidak disenangi setelahku, maka hendaklah kalian bersabar sampai kalian berjumpa denganku di telaga haudh nanti.” (HR. Bukhari 3/41 dan Muslim 3/1474) Dan juga dalam riwayat lain dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “‘Sesungguhnya akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian ingkari.’ Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang dari kalangan kami yang menjumpainya?’ Beliau menjawab: “Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah akan hak kalian.” (HR. Bukhari 4/312 dan Muslim 3/1472) “Dengar dan taatlah kalian, karena mereka akan memikul dosa-dosa mereka dan kalian juga akan memikul dosa-dosa kalian (sendiri).” (Muslim 3/1474) Berkata Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi: “Adapun hikmah komitmen dalam mentaati mereka (Umara) sekalipun mereka dhalim adalah karena memberontak dan tidak taat kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang fatal, lebih dari kedhaliman mereka sendiri, bahkan bersabar dalam menghadapi kedhaliman mereka itu bisa menghapuskan dosa-dosa dan bisa melipat gandakan pahala. Ini karena Allah tidak menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amalan kita. Maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar, taubat, dan memperbaiki amal. Allah berfirman : وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30) Maka apabila rakyat ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah mereka itu (rakyat) meninggalkan kedhaliman pula.” (Syarh Aqidah Thahawiyyah 370) “Dengar dan taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya.” Dan dalam riwayat Bukhari: “sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang dan lebat rambut kepalanya.” (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30) “Sebaik-baik pimpinan kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Kalian doakan kesejahteraan bagi mereka dan mereka doakan kesejahteraan buat kalian. Dan sejelek-jelek pimpinan kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian.” Kami, para shahabat, bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, selama mereka masih shalat bersama kalian. Ketahuilah barangsiapa urusannya diurusi oleh Ulil Amri (sulthan) kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah, maka hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh jangan cabut tangan ketaatan padanya.” (HR. Muslim 3/1482) “Barangsiapa yang melihat Amirnya berbuat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar karena tidak ada seorangpun di kalangan manusia yang keluar dari sulthan sejengkal, kemudian dia mati atas perbuatannya ini melainkan dia mati secara jahiliyah.” (Bukhari 4/313 dan Muslim 3/1478) “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik).” (HR. Bukhari 4/355 dan Muslim 3/1469) Beliau pernah ditanya: “Apakah termasuk manhaj salaf mengkritik sulthan di atas mimbar? Bagaimana manhaj salaf dalam mengkritik mereka?” Maka beliau menjawab: “Bukan termasuk manhaj salaf memasyhurkan dan menyebut-nyebut kejelekan sulthan di atas mimbar, karena akan mengakibatkan kekacauan yang fatal dan akan menjurus kepada perbincangan yang tak ada manfaatnya, bahkan bermadharat. Tetapi jalan yang diikuti oleh para Salafus Shalih ialah menyampaikan nasehat empat mata antara mereka (salaf) dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang biasa berhubungan dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang bisa menasehatinya dengan baik. (Dan perlu diketahui) bahwa mengingkari kemungkaran bisa dilakukan tanpa menyebutkan pelakunya. Demikian juga mengingkari zina, khamr, riba dan yang lainnya bisa dilakukan tanpat menyebut pelakunya. Ketika terjadi fitnah di jaman kekhilafahan Utsman, berkata sebagian orang kepada Usamah bin Zaid radhiallahu anhu: “Apakah kamu tidak mengingkari perbuatan Utsman?” Maka Zaid menjawab: “Aku tidak mau mengingkarinya di depan masyarakat, tetapi aku ingkari perbuatannya dengan (melakukan pembicaraan red.) empat mata antara aku dengannya, karena aku tidak mau membukakan pintu kerusakan atas manusia.” Maka ketika mereka membuka pintu kerusakan pada jaman Utsman radhiallahu ‘anhu dan mengingkari perbuatan Utsman secara terang-terangan, memuncaklah fitnah dan terjadilah pembunuhan, peperangan dan kerusakan fatal yang tidak pernah punah bekasnya sampai sekarang. Akhirnya terjadilah fitnah antara Ali dan Muawiyyah, dan terbunuhlah Utsman, Ali dan banyak dari kalangan para shahabat disebabkan pengingkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Kita mohon keselamatan kepada Allah.” (Huququl Ra’i wa Ra’iyyah 27-28) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin menasehati sulthan, maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di depan mata), tapi hendaklah dia ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya. Kalau sulthan itu menerima nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau sulthan itu tidak mau menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403) Beliau pernah ditanya: “Bagaimana manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam.” Maka beliau menjawab: “Manhaj kita dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59) Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia berkata: HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2546) Hadits ini sesuai betul dengan ayat tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits shahih lain yang menganjurkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintahan Islam. Pemerintah Islam harus ditaati dalam perkara taat kepada Allah. Tetapi kalau memerintah kepada maksiat, maka tidak boleh ditaati. Sedangkan dalam masalah selain ini (selain maksiat kepada Allah) mereka harus ditaati.” (Wujub Tha’ati Sulthan 25-26) Wallahu A’lam bi Shawab. Maraji’: Catatan Kaki; [1] Salah satu tokoh Mu’tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, dan dia adalah orang yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara. (Dikutip dari artikel berjudul Makna Taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri, karya al Ustadz Muhammad Afifuddin, sumber Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/1416/1996 rubrik Tafsir, url sumber http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=41) Dinukil dari Narasumber;" salafy.or.id " |
Penjelasan Hadits Larangan Shalat Setelah Shubuh dan Setelah Ashar
Written By Rachmat.M.Flimban on 29 Maret 2018 | 3/29/2018 04:55:00 PM
Penjelasan Hadits Larangan Shalat Setelah Shubuh dan Setelah Ashar
“… sampai matahari meninggi. Dan tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari tenggelam“.
Muslim.or.id
Derajat Hadits Doa Berbuka Puasa “Allahumma laka shumtu…”
Written By Rachmat.M.Flimban on 31 Januari 2018 | 1/31/2018 10:16:00 AM
Doa berbuka puasa yang tersebar di masyarakat اللهم لك صمت و بك أمنت و على رزقك أفطرت برحمتك يا ارحم الراحمين Allahumma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika afthartu birahmatika yaa arhamar rahimin “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dengan rizqi-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mua, wahai Dzat yang Maha Penyayang”. Jika kita cek pada kitab-kitab hadits, maka tidak kita temukan lafal demikian. Namun memang ada beberapa hadits doa berbuka puasa yang mirip dengan lafal di atas. Akan kita bahas beberapa hadits tersebut: Hadits 1 Dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (1413). حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ التَّنُوخِيُّ , إمْلَاءً ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُفْطِرِ بْنِ مُوسَى الْحَافِظُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفِ بْنِ حِبَّانَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبِي هَاشِمُ بْنُ سَعِيدٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا بْنُ رُزَيْنٍ ، عَنْ ثَابِتٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ” إِذَا أَفْطَرَ , يَقُولُ : اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ، فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “ “Abul Qasim At-Tanuji menyampaikan kepadaku secara imla’, ia berkata, Abul Husain Muhammad bin Mufthir bin Musa Al-Hafidz menuturkan kepadaku, Muhammad bin Khalaf bin Hibban menuturkan kepadaku, Waki menuturkan kepadaku, Al-Qasim bin Hasyim bin Sa’id menuturkan kepadaku, ayahku, Hasyim bin Sa’id menuturkan kepadaku, Ibnu Ruzain menuturkan kepadaku, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata, ‘Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika berbuka membaca doa, Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dengan rezeki-Mu aku berbuka, maka terimalah puasaku ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).’” Riwayat ini lemah karena terdapat dua masalah:
Maka riwayat ini munkar dan tidak bisa menjadi syahid (penguat). Terdapat jalan lain, dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2280), حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ الزَّيَّاتُ , ثنا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى , ثنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ , عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ» “Ishaq bin Muhammad bin Al-Fadhl Az-Zayyat menuturkan kepadaku, Yusuf bin Musa menuturkan kepadaku, Abdul Malik bin Harun bin ‘Antharah menuturkan kepadaku, dari ayahnya (Harun bin ‘Antharah), dari kakeknya (‘Antharah), dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika berbuka membaca doa, Allahumma laka shumna wa ‘alaa rizqika aftharna fataqabbal minna, innaka antas samii’ul ‘aliim (Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa, dengan rizqi-Mu kami berbuka, maka terimalah puasa kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).’” Riwayat ini memiliki dua masalah:
Maka riwayat ini juga dhaif jiddan (sangat lemah) karena Abdul Malik bin Harun bin ‘Antharah yang statusnya kadzab pemalsu hadits. Kesimpulannya, doa berbuka dengan lafal Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim statusnya dhaif jiddan atau bahkan munkar. Hadits 2 Dikeluarkan Abu Daud dalam Sunan-nya (2358). حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ» “Musaddad menuturkan kepadaku, Husyaim menuturkan kepadaku, dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, ia menyampaikan, ‘Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika berbuka membaca doa, Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dengan rizqi-Mu aku berbuka).’” Juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (9744), Al-Marwazi dalam Az-Zuhd (1410), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3619), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1741), semua dari jalan Hushain dari Mu’adz bin Zuhrah. Riwayat ini mursal, karena Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in, ia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun terdapat jalan lain yang bersambung. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath (7549), حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْبَجَلِيُّ، نَا دَاوُدُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ، نَا شُعْبَةُ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ» “Muhammad bin Ibrahim menuturkan kepadaku, Isma’il bin Amr Al-Bajali menuturkan kepadaku, Daud bin Az-Zibriqani mengabarkanku, Syu’bah mengabarkanku, dari Tsabit Bunani, dari Anas bin Malik, ia berkata, ‘Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika berbuka membaca doa, Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dengan rizqi-Mu aku berbuka).’” Riwayat ini memiliki dua masalah:
Sehingga riwayat ini juga sangat lemah dan tidak bisa menguatkan riwayat sebelumnya. Kesimpulannya, doa berbuka dengan lafal Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu statusnya dhaif jiddan (sangat lemah). Hadits 3 Dikeluarkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3619). أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَمْشَاذَ، أَخْبَرَنِي يَزِيدُ بْنُ الْهَيْثَمِ، أَنَّ إِبْرَاهِيمَ بْنَ أَبِي اللَّيْثِ حَدَّثَهُمْ، حَدَّثَنَا الْأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ حَصِينِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ مُعَاذٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ، قَالَ: ” الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ، وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ “ “Abu Abdillah bin Al-Hafidz mengabarkanku, Ali bin Hamsyadz menuturkan kepadaku, Yazid bin Al-Haitsaim menuturkan kepadaku, bahwa Ibrahim bin Abi Al-Laits menyampaikan hadits kepada mereka, Al-Asyja’i menuturkan kepadaku, dari Sufyan dari Hushain bin Abdirrahman, dari seorang lelaki, dari Mu’adz ia berkata, ‘Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika berbuka membaca doa Alhamdulillahilladzi a’aani fashumtu warazaqani fa afthartu (Segala puji bagi Allah yang telah menolongku untuk berpuasa dan memberiku rezeki sehingga aku bisa berbuka).’” Riwayat ini munqathi’, karena mursal sebab Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in dan juga terdapat perawi yang mubham, hanya disebutkan “seorang lelaki…”. Sehingga hadist ini lemah. Kesimpulannya, doa berbuka dengan lafal Alhamdulillahilladzi a’aani fashumtu warazaqani fa afthartu statusnya dhaif (lemah). Demikian beberapa lafal doa berbuka puasa yang terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mirip dengan doa berbuka puasa yang masyhur di masyarakat, namun semuanya lemah atau munkar. Adapun doa berbuka yang masyhur di masyarakat, yaitu allahumma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika afthartu birahmatika yaa arhamar rahimin. Doa ini tidak ada asalnya dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Al-Mulla Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyatakan, وَأَمَّا مَا اشْتُهِرَ عَلَى الْأَلْسِنَةِ ” اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ” فَزِيَادَةٌ، (وَبِكَ آمَنْتُ) لَا أَصْلَ لَهَا وَإِنْ كَانَ مَعْنَاهَا صَحِيحًا، وَكَذَا زِيَادَةُ (وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ), “Adapun yang masyhur di lisan masyarakat, (Allahumma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika afthartu) maka tambahan (wabika amantu) tidak ada asalnya walaupun maknanya benar. Demikian juga tambahan (wa’alaika afthartu wa lishaumi ghadin nawaitu)” (Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, 4/1387). Lebih lagi dengan tambahan yaa arhamar rahimin, kami sama sekali tidak menemukannya dari keterangan para ulama di kitab-kitab fiqih, lebih lagi dalam kitab-kitab hadits. Wallahu a’lam. Adapun doa berbuka puasa yang bisa diamalkan adalah hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ» “Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam jika berbuka beliau berdoa, ‘dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaallah (telah hilang rasa haus, telah basah kerongkongan, dan telah diraih pahala insyaallah)’” (H.R. Al-Bazzar dalam Musnad-nya [5395], An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra [3315], Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir [14097], Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya [279], Al-Hakim dalam Mustadrak-nya [1536]). Hadits ini derajatnya hasan, telah kami bahas takhrij-nya dalam artikel Derajat Hadits Doa Berbuka “Dzahabazh Zhama’u…”. Silakan simak artikel tersebut untuk penjelasan lebih lengkap. Wallahu ta’ala a’lam. Penyusun: Yulian Purnama Catatan Kaki; Sumber Artikel ; "Muslim.or.id" |