Latar Belakang
Hadits mutawatir memberikan faedah “yaqin bi’-qath’i” (positif–positifnya), bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan iqrar (persetujuan)nya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan kesepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah menyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah “dhanny” (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, di samping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hasan, dan dha’if. Jadi makalah ini mencoba membahas sedikit nya lebih lanjut tentang hadits shahih.
Rumusan Masalah
Apa macam-macam dari hadis shahih dan hadis do’if?
Tujuan
Untuu mengetahui macam-macam dari hadis shahih dan hadis do’if.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa berarti “sehat”, sedang menurut istilah ialah hadits
yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapat billat (cacat) yang merusak.
Syarat-syarat
Hadits Shahih
Para ahli hadits seperti Ibnu Ash-Shalah (w.643/1245), An-Nawawi,
(w.676/1277), Ibnu Katsir (w.774), Ibnu Hajar Al-ASqalani (w. 852/1449),
Jalal Ad-Din AS-Suyuthi (w. 911/1505) dan lain-lain telah mengajukan
definisi yang mereka ajukan mewakili apa yang (diduga) telah diterapkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim. Definisinya dapat disimpulkan sebagai berikut:
kesinambungan periwayatan
rawi-rawinya adil
rawi-rawinya sempurna kedhabitannya
isnad dan matan harus bebas dari kejagalan (syadzdz)
isnad dan matan harus bebas dari cacat (‘Illah).
Semua syarat ini akan diuraikan secara kritis berikut ini.
Kesinambungan
periwayatan
Bahwa kesinambungan jalur periwayatan berarti semua perawi dalam jalur
periwayatan dari awal (mukharijj) sampai akhir (sahabat) telah meriwayatkan
hadits dengan cara yang dapat dipercaya enurut konsep tahammul wa ada’ al
hadits. Maksudnya, setiap perawai dalam jalur periwayatan telah meriwayatkan
hadits tertentu langsung dari perawi sebelumnya dan semua perawi adalah
tsiqah, yakni ‘adl (adil) dan dhabith (kuat ingatan).
Rawi-rawinya
adil
Adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi yang yaqwa dan
muru’ah (menjauhkan diri dari sifat atau tingkah laku yang tidak pantas
untuk dilakukan). Yang dimaksud adil disini ialah adil dalam hal
meriwayatkan hadits, yaitu orang Islam yang miskallah (cakap bertindak
hokum) yang selamat dari fasiq, gila dan orang yang tidak pernah dikenal,
tidak termasuk orang yang adil, sedangkan orang perempuan budak, dan anak
yang sudah baligh bias digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kriteria
tersebut.
Rawi-rawinya
sempurna kedhabitannya
Yang dimaksud sempurna kedhabitannya ialah kedhabitan pada tingkat yang
tinggi, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya dan
kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai
ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikannya kepada
orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja
dikehendaki, disebut orang yang dhabithu’sh-shdri.
Dalam hal ini dhabit ada dua macam, yaitu:
-
Dhabit hati. Seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu menghafal setiap hadits yang didengarnya dan sewaktu –waktu dia bisa mengutarakan atau menyampaikannya.
-
Dhabitkitab. Seseorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap hadits yang dia riwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah ditashih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga.
Bebas dari
Syadzudz
Syadzudz disini ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang rawi yang
terpercaya, itu tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi.
Dalam karangan Dr. Phil Komaruddin Ain, MA, hadits syadzudz, menurut Asy-Syafi’i adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, tetapi bertentangan dengan hadits riwayat orang-orang yang dianggap lebih dapat dipercaya darinya. Sebuah hadits diriwayatkan hanya oleh satu perawi yang dipercaya dan tidak didukung oleh perawi-perawi yang lain, tidak dapat dianggap hadits syadzdz. Dengan kata lain, “perawi tunggal” (faid mthlaq) tidak mempengaruhi keterpercayaan hadits sepanjang hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya.
Bebas dari
‘illat
Hadits ma’lul atau cacat adalah hadits yang tampak shahih pada pandangan
pertama, tetapi ketika dipelajari secara seksama dan hati-hati ditemukan
faktor-faktor yang dapat membatalkan keshahihannya. Faktor tersebut misalnya,
seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits dari seseorang guru, padahal
kenyataannya ia tidak pernah bertemu dengannya, atau menyadarkan sebuah
hadits kepada sahabat tertentu, padahal sebenarnya berasal dari shabat
lain.[4] ‘Illat disini ialah cacat yang samar yang mengakibatkan hadits
tersebut tidak dapat diterima.
Hukum-hukum Hadits
Shahih
Adapun hukum-hukum hadits shahih adalah sebagai beirkut:
-
Berakibat kepastian hukum. Hal ini apabila hadits tersebut terdapat pada shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pendapat yang dipilih dan dibenarkan oleh Ibnu Al-Shalah.
-
Imperatif diamalkan. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab syarah Al-Nuhbah, wajib mengamalkan setiap hadits yang shahih, meskipun hadits dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
-
Imperatif untuk menerimanya. Menurut Al-Qasim dalam kitab qawa’idu Al-Thadits, bahwa wajib menerima hadits shahih walaupun hadits shahih itu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun.
-
Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu sampai adanya dalil yang bertentangan. Menurut Syekh Al-Fallani di dalam kitab Liqaadzu Al-Himami, bahwa mengamalkan hadits dhahih tidak usah menunggu mengetahui tidak adanya snasikh (hadits lain yang menganulir), atau tidak adanya ijma’ atau dalil-dalil lain yang bertentangan dengan hadits itu. Akan tetapi, harus segera diamalkan sampai benar-benar diketahui adanya dalil-dalil yang bertentangan dengannya dan kalau toh ada maka harus diadakan penelitian terlebih dahulu.
-
Hadits shahih tidak membahaykan. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Ighaatsatu Al-Lahfan, bahwa hadits shahih walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja, tidak membahayakan, yakni tidak mengurangi kadar keshahihannya
-
Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak. Hadis yang shahih tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Muadz yang berbunyi sebagai berikut:
مَا مِنْ اََدٍ يَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ اِلاَّ حَرَّمَهُ
الله ُ عَلَ النَّارِ فَقَالَ مُعَاذُ: يَارُسُوْلُ اللهِ اَفَلاَ أُخْبِرُبِهِ
فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ صلعم اِذَا يَتَكَّلُوا فَأَخْبَرَ هُمْ مُعَاذُ عِنْدَ
مَوْتِهِ
“Tidak seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali Allah mengharamkanya masuk neraka. Mu’adz bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya hadis ini aku beritahukan kepada orang-orang supaya mereka bergembira?” Nabi saw menjawab,” Hadis tersebut baru di ceritakan kepada orang-orang oleh Mu’adz menjelang wafatnya karena takut berdosa jika tidak mengamalkannya.
Imam Bukhari meriwayatkan secara ta’liq dari sahabat Ali ra:
حَدِ النَّاسَ بِمَا يَغْرِفُونَ اَتَحَبُّوَ اَنْ يُكَذَّبَ الله ُ وَرَسُولُهُ
“Ceritakanlah (hadis) kepada orang-orang sesuai dengan pengetahuannya, apakah kalian senang, Allah dan RasulNya didustakan?”Ibnu Mas’ud juga berkata :
مَااَنْتَ مُحَدِّثٌ
قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تِبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ اِلاَّ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ
(رواه مسلم)
“Engkau tidak boleh menceritakan kepada suatu kaum sesuatu hadis yang tidak terjangkau oleh akal mereka, melainkan hanya akan menimbulkan fitnah di antara mereka,” (HR.Muslim).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, di antara ulama yang tidak suka menceritakan hadis secara sepotong-sepotong dengan maksud-maksud tertentu, di antaranya untuk menghindari kewajiban-kewajiban atau menghilangkan hokum-hukum, tindakannya itu akan menimbulkan kerusakan dunia dan akhirat. Bagaimana mereka sampai bida berbuat demikian, padahal semestinya semakin giat pula ibadahnya. Seperti halnya ketika Nabi saw ditanya, “Mengapa engkau selalu Qiyaamu Al-Lail padahal Allah SWT telah memaafkan engkau? Kontan Nabi saw menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Macam-Macam hadis Shahih
-
Shahih lidzatih secara bahasa artinya “yang sah karena dzatnya”, sedangkan hadis shahih lidzatih yang dimaksud adalah hadis yang memenuhi seluruh persyaratan keshahihan hadis secara lengkap. Contohnya sebagai berikut:
-
Shahih lighairih secara bahasa artinya “benar karena yang lainnya”. Secara istilah dapat dipahami bahwa shahih lighairih di sini lebih mengacu pada hadis shahih yang bisa menjadi shahih karena sesuatu yang lain, atas topangan hadis lain, atau karena di dalamnya terdapat satu syarat yang kurang dipenuhi.
Artinya: “Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami “Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang yang ketiga”.
Hadis diatas apabila disusun dengan tertib akan jadi seperti berikut:
Bukhari, Abdullah bin Yusuf, Malik, Nafi’, Abdullah (Ibnu Umar), Rasulullah Dari perawi yang pertama tersebut menerima hadis dari perawi yang ke-dua, perawi yang ke-dua menerima dari yang ke-tiga dan seterusnya dan sampai kepada Abdullah. Dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi bersabda seperti yang tercantum diatas. Rawi-rawi tersebut dari yang pertama sampai yang kelima, semua bersifat adil, dapat dipercaya, dhabit dan benar-benar bersambung. Dari hadis tersebut tidak ditemukan cacat baik pada sanad maupun pada matan, sehingga dapat di-identifikasikan sebagai hadis shahih lidzatih.
Contoh:
Artinya: “Dari Abu
Hurairah ra., bahwa Rasulullah bersabda: “Sekiranya aku tidak menyusahkan umatku,
tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap shalat”
Apabila suatu hadis diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadis itu dihitung
bukan sebagai satu hadis, tetapi lima hadis. Hadis yang diriwayatkan oleh empat
buah sanad, dihitung sebagai empat buah hadis, jadi hadis tersebut di atas, yang
diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad tersendiri dan Tirmidzi dengan sanad
tersendiri pula, dihitung sebagai dua hadis. Pertama adalah hadis Bukhari, yang
dinilai sebagai hadis lidzatih, dan kedua hadis Tirmidzi. Karena diperkuat oleh
hadis Bukhari, hadis Tirmidzi naik tingkatannya menjadi hadis shahih lighairih.
Pembagian dan
Tingkatan-tingkatan Hadis Shahih
Derajat hadis shahih itu bertingkat-tingkat sebab bertingkat-tingkat sifat adil,
dhabit, dan sifat-sifat lain yang menjadi syarat-syarat keshahihanya. Apabila
rawi-rawi hadis shahih itu mempunyai sifat dhabit, adil, dan sifat-sifat lain
yang menjadi sifat keshahihannya tinggi, maka hadis itu lebih shahih
tingkatannya. Itulah sebabnya ulama Syakh Abdullah bin Ibrahim Al-Alawi
menghimpun tinngkatan-tingkatan hadis shahih didalam nadham kitab nya yang
berjudul Thal’afu Al-Anwar, sebagai berikut:
اَعْلَى الصَّحِيْحِ مَاعَلَيْهِ اِتِّفَاقَا فَمَا رَوَى الجُعْفِيُّ فَرْدًا يُنْتَقَى فَمُسْلِمٌ كَذَا لِكَ فِى الشَّرْطِ عُرِف فَمَالِشَرْطِ غَيْرِذَيْبِ يَكْتَنِفَ
“Setinggi-tinggi hadis shahih ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, lalu yang bersih diriwayatkan oleh Al-Ju’fi (Al-Bukhari) seorang diri, kemudian yang diriwayatkan oleh Muslimdalm syarat yang diketahui adalah sepeerti itu, selanjutnya yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini dengan melingkupi syarat-syarat selain dari syarat-syarat keduanya.
Maksud dari ungkapan dalm nadham itu ialah:
Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu menempati tingkatan hadis shahih yang pertama.
Kemudian hadis shahih yang diriwayatkan oleh Al-Ju’fi (Al-Bukhari) saja menempati tingkatan hadis shahih yang kedua.
Dan hadis shahih yang
diriwayatkan oleh Muslim saja menempati tingkatan hadis shahih yang ketiga.
Lalu hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari
dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al-Bukhari dan Muslim, menempati
tingkatan hadis shahih yang keempat.
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari dan
Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al-Bukhari, menempati tingkatan hadis
shahih yang kelima.
Kekuatan hadis shahih itu, berlebih kurang mengingatberlebih kurangnya sifat kedhabitan dan keadilan rawinya. Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya, ialah hadis yang bersanad ashahhu’asanid.
Kemudian berurut-turut sebagai berikut:
-
Hadis yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang lazim disebut dengan istilah “Muttafaqun ‘alahi”.
-
Hadis yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.
-
Hadis yang dishahihkan oleh Muslim saja.
-
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari danMuslim, tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim.
-
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari.
-
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Muslim.
-
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh ahli hadis yang terkenal selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi tidak mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari dan Muslim dan tidak pula mengikuti syarat-syarat keshahihan salah satu dari Al-Bukhari dan Muslim.
Imam Al-Nawawi menagatakan, bahwa yang di maksud mengikuti syarat-syarat shahih Al-Buhari dan Muslim,karena Al-Buhari dan Muslim sendiri tidak menyebutkan dengan jelas tentang syarat-syarat shahihnya, baik dalam kedua kitab shahihnya maupun dalm kitabnya yang lain, (maka rawi-rawi yang terdapat di dalam kedua kiatab shaih itu menjadi standar).
Hadis shahih yang
diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari dan Muslim) yang
mengikuti syarat-syarat Muslim, menempati tingkatan hadis shahih yang keenam.
Selanjutnya hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari
dan Muslim) yang mengikuti selain dari syarat-syarat keduanya, menempati
tingkatan hadis shahih yang ketujuh
Pengertian Hadits
Dha`if
Kata “Dha`if” menurut bahasa berasal dari kata”dhu`fun” yang berarti lemah lawan
dari kata “qawiy” yang berarti kuat, sedangkan hadits dha`if berarti hadits yang
tidak memenuhi kriteria hadits hasan. hadits dha`if disebut juga hadits
mardud(ditolak). Contoh Hadits Dha`if adalah hadits yang artinya:
“bahwasanya Nabi SAW
wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”
Hadits tersebut dikatakan Dha`if karena diriwayatkan dari Abu Qais Al-Audi,
seorang rawi yang masih dipersoalkan.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskanya. Namun demikian, secara substansial kesemuanya memiliki persamaan arti. Imam Al-Nawawi, misalnya mendefinisikan Hadits Dha`if dengan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Hadits Dha`if didefinisikan sebagai segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Nur Al-Din itr merumuskan Hadits Dha`if dengan hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul ”hadits yang shahih atau hadits yang hasan”.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan, maka hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah satu syarat saja hilang, disebut Hadits Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat? Seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, atau dapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai Hadits Dha`if yang sangat lemah sekali.
Macam-macam Hadits
Dho’if
Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena
gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi
atau matan.
Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu:
Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir
sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan
sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah
SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang
terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi
yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam
sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima
langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
Artinya:Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas),
yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama
memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua
orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad
adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada
hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal
gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak
beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:
Artinya: Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang
diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang
rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits
Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi: Imam
Malik berkata: Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya:Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para
ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal
sanad atau bias juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari berkata:
Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis (yang menyembunyikan cacat hadits). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi:
Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan
berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya.
Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada
abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani,
orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya,
mazhabnya, atau kebangsaannya.
Hadits maudhu’
merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang
yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki
tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
-
Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
-
Adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
-
“Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.
Hadits matruk atau
hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan
oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits
ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau
banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal.
Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya:“Barangsiapa
yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan
matan-matan hadits yang lebih kuat.
Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama
memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab
tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan,
ataupun keduanya.
Contoh :Rasulullah
bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan
Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits
ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki
illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya
bukan bagian dari hadits itu. Contoh:
Rasulullah bersabda: “Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan
bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya
atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi: Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan
para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan
dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan,
ataupun keduanya.
Contoh :“Rasulullah
bersabda: “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang
terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut
ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan
oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai
ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan
merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini
adalah hadits mahfuzh.
Simpulan
Dari uraian ditas dapt diambil kesimpulan bahwasanya hadis shahih menjelaskan
hadis yang sesuai dengan syarat-syarat yang sudah di tentukan, berbagai
hukum-hukum hadis shahih menimbulkan ketertiban dalam menanganinya, adanya
pembagian dan tingkatan-tingkatan hadis shahih dapat membantu mengetahui
kekuatan dan yang kelemahan dalam hadis tersebut.
Sedangkan hadis Dho’if adalah hadits dimana pengamalannya tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama hadits, meskipun ada beberapa ulama yang berbeda pendapat tentang memperbolehkan pengamalannya.
Penutup
Demikianlah makalah yang sangat sederhana ini, penulis berharap semoga
bermanfaat bagi kita. Saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan selanjutnya,
tak lupa di ucapkan terimakasih.
Wallahu a’lam bish shawab.[]
Sumber ; http://trimuerisandes.blogspot.co.id
![Klik Untuk Print Friendly and PDF](https://pf-cdn.printfriendly.com/images/icons/pf-button.gif)
Posting Komentar