Adab dan Etika Barometer Akhlak Mulia
BAROMETER
AKHLAK MULIA
Ustadz Muhammad Zaen, MA حفظه الله
PENDAHULUAN
Begitu banyak orang keliru menggunakan standar dalam menilai baik-buruknya orang lain. Keramahan, ringan tangan dalam membantu orang lain dan suka nraktir termasuk sebagian standar umum yang sering dikategorikan pertanda kebaikan budi seseorang.
Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli karena masih menyisakan titik kelemahan. Sebab sangat mungkin, seseorang itu menerapkan dua akhlak (perilaku) yang berbeda pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak demikian di tempat yang lain, tergantung kepentingannya.
Lantas, bagaimanakah cara Islam menentukan kemuliaan akhlak dan pribadi seseorang? Apakah barometer bakunya? Tulisan sederhana ini berusaha sedikit mengupas dan mengungkap permasalahan tersebut.
ISLAM, AGAMA AKHLAK
Di antara tujuan utama Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم diutus, selain untuk menegakkan tauhid di muka bumi, adalah menyempurnakan akhlak umat manusia. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
بُعثْتُ لِأُتَـمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ
Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. al-Hakim dan dishahihkan oleh al-Albani)
Betapa besar perhatian Islam terhadap pembentukan akhlak yang luhur pada umatnya, karenanya tidak hanya menjelaskan hal ini secara global, namun Islam juga menerangkannya secara detail. Islam telah memaparkan bagaimana akhlak seorang Muslim kepada Rabbnya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun. Alangkah indahnya petunjuk Islam!
Di antara persoalan yang tidak lepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan bahasa lain, aspek apakah yang bisa dijadikan 'jaminan' seseorang benar-benar berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya?
BAROMETER AKHLAK MULIA
Panutan kita, Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah menyodorkan jawaban permasalahan di atas dalam sabda beliau صلى الله عليه وسلم berikut:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
Setidaknya, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut:1
-
Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara (berpura-pura) denganb menampilkan akhlak mulia di tempat kerjanya yang hanya berlangsung beberapa jam saja belum tentu ia sanggup bertahan untuk terus melakukannya di rumahnya sendiri. Karena berpura-pura baik di rumah lebih sulit dipertahankan lantaran keberadaannya di tengah keluarga lebih lama ketimbang di kantor atau saat berkenalan dengan seseorang. Sehingga saat dia dirumah, tampaklah karakternya yang asli.
-
Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat, karena menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya sedikit-banyak berimbas pula pada sikapnya di dua dunia yang berbeda itu.
Ketika berada di kantor atau saat bertemu kenalan, seorang lelaki bisa menutupi sifat aslinya yang buruk dengan muka yang manis, tutur kata yang lembut dan suara yang halus. Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan 'peran' palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.
Kebalikannya, seseorang yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan mempraktekkannyadi manapun ia berada.
Ketika di kantor, ia mesti menjaga 'rapor'nya di mata atasan. Untuk itu, ia berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk merealisasikannya, ia harus memoles akhlak buruknya untuk sementara waktu. Hal itu tidaklah masalah. Yang penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut terdongkrak.
Adapun di rumah, di saat posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.
Demikian itulah kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu bagaimanakah halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus berusaha menerapkannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Allah, Dzat Yang Maha melihat dan Maha mengetahui.
2. Rasulullah Teladan Dalam Akhlak
-
Turut membantu urusan dapur
-
Berpenampilan menarik di hadapan istri dan keluarga.
-
Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمُّ الْـمُؤْمِنِيْنَ أي شَيءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ؟ قَالَت: مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثُوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
Urwah bertanya kepada Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم tatkala bersamamu (di rumah)?" 'Aisyah menjawab, "Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember". (HR. Ibnu Hibban)
Subhanallah! Di tengah kesibukan beliau yang luar biasa padat; berdakwah, mengajarkan ilmu, menjaga stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi ekonomi umat dan lain-lain, beliau صلى الله عليه وسلم masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah oleh sebagian suami di masa sekarang ini! Andaikan saja para suami itu mau terjun menangani urusan rumah tangga termasuk urusan dapur, insya Allah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengingatkan:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
PENUTUP
1. Disarikan dari Kitab al-Mau’izah al-Hasanah fi Akhlaq al-Hasanah, Karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani (hlm. 77-79)
Sumber: Majalah As-Sunnah Ed. 04-05_Th. XIV
Dikutib dari; eBook ibnumajjah.com
author; Rachmat. Flimban

Posting Komentar