بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Memberontak Dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Mungkar?
Sebagian saudara kita berdalil atas tindakan pemberontakan kepada penguasa
dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah amar ma'ruf nahi munkar.
Benarkah hadis-hadis tersebut bisa dijadikan dalil memberontak penguasa yang
zalim? Simak pemaparannya berikut...
dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah amar ma'ruf nahi munkar.
Benarkah hadis-hadis tersebut bisa dijadikan dalil memberontak penguasa yang
zalim? Simak pemaparannya berikut...
By Ahmad Anshori 23 January 2017
Sebagian saudara kita berdalil atas tindakan pemberontakan kepada penguasa
dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar.
Diantara dalil yang mereka jadikan pegangan adalah hadis berikut,
dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar.
Diantara dalil yang mereka jadikan pegangan adalah hadis berikut,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu juga
maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman”(HR Muslim).
maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman”(HR Muslim).
Benarkah hadis ini bisa dijadikan dalil memberontak penguasa yang zalim? Simak pemaparannya berikut :
Bila kita perhatikan hadis ini dan hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar lainnya yang dijadikan dalil atas tindakan memberontak, maka kita dapati bahwa
dalil yang menjadi pegangan adalah dalil-dalil yang sifatnya umum. Sementara hadis terkait larangan memberontak (khuruj) terhadap penguasa dzolim bersifat
khusus. Kaidah ushul fikihnya, dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
dalil yang menjadi pegangan adalah dalil-dalil yang sifatnya umum. Sementara hadis terkait larangan memberontak (khuruj) terhadap penguasa dzolim bersifat
khusus. Kaidah ushul fikihnya, dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
Seperti diterangkan oleh Imam Syaukani –rahimahullah– dalam Nailul Author,
وقد استدل القائلون بوجوب الخروج على الظلمة ومنابذتهم بالسيف ومكافحتهم بالقتال بعمومات بالكتاب والسنة في وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر .ولا شك ولا ريب أن الأحاديث التي ذكرها المصنف في هذا الباب وذكرناها أخص من تلك العمومات مطلقا ، وهي متواترة المعنى كما يعرف ذلك من له أنسة بعلم السنة
“Orang-orang yang mengatakan wajib memberontak, memerangi dengan pedang dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang dzolim, mereka berdalil dengan keumuman dalil Al Quran dan Hadis yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Tidak diragukan lagi bahwa hadis-hadis yang disebutkan oleh penulis di bab ini (pent. Hadis-hadis tentang kewajiban taat pada penguasa dzolim) lebih khusus daripada dalil umum tersebut (pent. Hadis tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar). Dan makna hadis-hadis tersebut mutawatir, sebagaimana diketahui oleh mereka yang memiliki bagian dalam ilmu hadis” (Nailul Author, 7/208).
Ini menunjukkan bahwa cara amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, berbeda dengan umumnya masyarakat. Tidak boleh dilakukan dengan tangan yang kemudian diaplikasikan menjadi revolusi atau memberontak pemerintah dzalim. Kemudian juga menasehati penguasa dilakukan di hadapan mereka (bisa melalui orang-orang terdekat beliau atau yang memiliki link ke presiden). Bukan dengan membicarakan aibnya di belakang atau di depan khalayak. Dan mengingkari kemungkaran mereka dengan cara yang santun, untuk menjaga wibawa mereka. Karena apabila wibawa seorang pemimpin jatuh, makan akan jatuh pula wibawa suatu bangsa, dan dapat memicu terjadinya pemberontakan kepada pemerintah muslim yang hukumnya haram dalam Islam. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum wasilah mengikuti hukum tujuan. Oleh karenanya, salah seorang ulama berkata,
اثنان إذا سقط هيبتهما سقط الخير كله، العلماء و السلطان
“Ada dua jenis manusia yang apabila wibawa mereka jatuh maka akan jatuh seluruh kebaikan, mereka adalah ulama dan penguasa”.
Dalil yang membenarkan pernyataan bahwa cara menasehati penguasa tidak sama dengan umumnya masyarakat adalah, hadis Abu Ruqoyyah Tamim Ad-Dāri radhiyallahu’anhu,
الدِّينُ النَّصيحةُ، الدِّينُ النَّصيحةُ، الدِّينُ النَّصيحةُ»، قُلنا: لمَن يا رسول الله؟ قال: للهِ ولكتابِهِ ولرسولِهِ، ولأئمَّةِ المسلمينَ وعامَّتِهم
“Agama itu adalah nasihat. Agama itu adalah nasihat. Agama itu adalah nasihat.” Kata Tamim, “Kami bertanya, ‘Nasihat untuk siapa wahai Rasulullah’? Beliau ﷺ menjawab, ‘Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum’” (HR. Muslim).
Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin menerangkan, “Rasulullah ﷺ membedakan antara penguasa dengan umumnya kaum muslimin, beliau bersabda ,”untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum.” menunjukkan bahwa nasehat untuk para pemimpin tidak seperti nasehat kepada umumnya masyarakat. Karena ketika menasehati pemimpin, seorang harus memperhatikan kedudukannya, sehingga nasehat benar-benar sesuai dengan posisinya sebagai pemimpin. Ini termasuk memposisikan seorang sesuai dengan posisinya, ini termasuk sikap hikmah” (Fathu Dzi al Jalāl wal Ikrām bi Syarahi Bulūgh al Marõm, 15/411).
Rasulullah ﷺ telah mengajarkan kepada kita tentang cara mengingkari kemungkaran penguasa. Beliau sampaikan pada sabda beliau berikut,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang ingin menasehati para penguasa dengan suatu urusan maka jangan dengan terang-terangan. Akan tetapi pegang tangannya, berduaanlah. Apabila nasehatnya diterima maka itulah yang diharapkan, bila tidak diterima maka anda telah menyampaikan haknya” (HR Ahmad : 15369, dishahihkan oleh Al Albani di kitab Fi Dzilalil Jannah : 1096).
Dan sungguh sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah ﷺ.
Kalaupun hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar tersebut bisa dijadikan dalil (meski sejatinya tidak bisa!), kita katakan bahwa mengingkari kemungkaran dengan tangan, apabila menimbulkan mafsadah yang lebih besar, maka menjadi terlarang. Sebagaimana kaidah yang berlaku dalam mengingkari kemungkaran,
أن لا يترتب إنكار المنكر على المفسدة الأعظم
“Mengingkari kemungkaran tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar“.
Oleh karenanya Nabi ﷺ melarang kita mengingkari kedzoliman penguasa dengan tangan, karena dapat menimbulkan kerusakan/mafsadah yang lebih besar. Anda bisa saksikan kekacauan yang terjadi di Suriah, ternyata berawal dari revolusi. Juga yang terjadi di Tunisia dan Libia, juga berawal dari revolusi.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menerangkan,
إذا كان إنكار المنكر يستلزم ما هو أنكر منه ، وأبغض إلى الله ورسوله فإنه لا يسوغ إنكاره ، وإن كان الله يبغضه ، ويمقت أهله . وهذا كالإنكار على الملوك والولاة بالخروج عليهم ، فإنه أساس كل شر ، وفتنة إلى آخر الدهر ، وقد استأذن الصحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم في قتال الأمراء الذين يؤخرون الصلاة عن وقتها ، وقالوا : أفلا نقاتلهم ؟ فقال : (لا ما أقاموا الصلاة)، ومن تأمل ما جرى على الإسلام في الفتن الكبار والصغار رآها من إضاعة هذا الأصل ، وعدم الصبر على منكر ، فطلب إزالته، فتولد منه ما هو أكبر ، فقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يرى بمكة أكبر المنكرات ولا يستطيع تغييرها, بل لما فتح الله مكة وصارت دار إسلام عزم على تغيير البيت ورده على قواعد إبراهيم ، ومنعه من ذلك – مع قدرته عليه – خشية وقوع ما هو أعظم منه
“Apabila mengingkari kemungkaran menyebabkan kemungkaran yang lebih besar serta kemungkaran yang lebih dibenci oleh Allah dan RasulNya, maka tidak boleh dilakukan. Meskipun sebenarnya Allah membenci dan memurkai pelaku kemungkaran tersebut. Diantaranya seperti mengingkari kemungkaran para raja dan penguasa, dengan melakukan pemberontakan kepada mereka. Karena sesungguhnya perbuatan seperti itu sumber mala petaka dan musibah sepanjang zaman.
Salah seorang sahabat telah memohon izin kepada Rasulullah ﷺ untuk memerangi para penguasa yang mengakhirkan sholat dari waktunya, mereka berkata, “Tidakkah mereka kita perangi saja wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Tidak, selagi mereka masih melaksanakan shalat.”
Siapa yang merenungi petaka yang terjadi pada umat Islam, baik petaka besar maupun kecil, maka itu terjadi disebabkan mengabaikan prinsip ini, serta tidak bersabar terhadap kemungkaran penguasa. Sehingga ia menuntut untuk melengserkannya, yang menyebabkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Nabi ﷺ telah menyaksikan di kota Makkah kemungkaran yang paling besar (kemusyrikan), namun beliau tidak mampu mengubahnya. Barulah ketika Allah membukakan kota Makkah dan menjadi negeri Islam, beliau bertekad merenovasi Ka’bah, untuk dikembalikan seperti pondasi Ibrahim. Namun beliau urung melakukannya -padahal beliau mampu- karena khawatir terjatuh pada mafsadah yang lebih besar…” (I’laam Al-Muwaqq’iin 4/338-339).
Mari kita perhatikan seksama pesan-pesan Rasulullah ﷺ berikut. Nasehat yang sangat cocok di zaman fitnah ini, seakan beliau berada di tengah-tengah kita.
Pertama, sabda Rasulullah ﷺ,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang membenci kalian dan an membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka“.
Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ apakah boleh pemimpin semacam itu kita perangi dengan pedang (memberontak). “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?”
Nabi ﷺ menjawab,
َِ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“TIDAK…! Selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yg tak baik maka bencilah tindakannya dan janganlah kalian melepaskan ketaatan kepada mereka” (HR. Muslim No.3447).
Kemudian dalam hadis dari sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang merek tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti sunahku.”
“Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Tanya sahabat Hudzaifah.
Rasulullah menjawab,
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Hendaknya kamu mendengar dan taat kepada penguasa tersebut, walaupun punggungmu dicambuk (menyengsarakan rakyat) dan hartamu dirampas olehnya (seperti korupsi), dengarlah perintahnya dan taatilah” (Hadis shahih, diriwayatkan Imam Muslim no.1476, 1847. Sebagian ulama (diantara Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah menerangkan bahwa kalimat “walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya” adalah dho’if).
Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami,
َ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا
“Kalian akan menyaksikan sikap-sikap egois (red. kezaliman penguasa seperti korupsi dan lain-lain) sepeninggalku, dan beberapa perkara yang kalian ingkari” .
Para sahabat bertanya, “Lantas bagaimana anda menyuruh kami ya Rasulullah?”
Nabi menjawab,
أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Tunaikanlah hak mereka dan mintalah kepada Allah hakmu!” (HR. Bukhori).
Ketiga, diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia bersabar atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (persatuan kaum muslimin) satu jengkal lalu ia meninggal dunia, ia meninggal dunia seperti mati jahiliyah” (HR Bukhari : 7054, Muslim : 1849).
Wallahua’lam bis showab.
Referensi :
I’lām Al-Muwaqq’iin ‘an Rabbi Al-‘Ālamin. Ibnul Qoyyim. Dar Ibnul Jauzi: Damam, KSA. Cet. Pertama, th 1423 H.
Nailul Authõr. Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Darul hadist : Kairo, Mesir.
Fathu Dzi al Jalāl wal Ikrām bi Syarahi Bulūgh al Marõm. Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin. Madār Al-Wathon Li An-Nasyr : Riyadh, KSA. Cet. Pertama, th 1435 H / 2014 M.
Muhadoroh Syaikh Abdulmalik Romadhoni -hafidzohullah- : https://youtu.be/NBPRvYBRhRk
Kota Nabi ﷺ, Islamic University of Madinah, 22 Rabi’usstani 1438 H.
Penulis : Artikel Muslim.or.id "Ahmad Anshori"