بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Mengikhlaskan niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla
Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
الأمر الرابع: رحابة الصدر في مسائل الخلاف
4. Berlapang dada dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).
Hati seorang penuntut ilmu harus lapang dalam masalah perbedaan pendapat yang bersumber dari proses ijtihad. Sebab masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama bisa jadi tergolong masalah yang tidak ada lagi tempat untuk berijtihad dalam masalah tersebut. Sebab titik masalahnya sudah jelas (gamblang) sehingga tidak seorangpun memperoleh udzur (alasan) untuk menyelisihinya.
Bisa jadi masalah tersebut adalah masalah yang masih terbuka pintu ijtihad di dalamnya, sehingga seseorang bisa diterima alasannya jika menyelisihi (pendapat yang lain) dalam masalah itu. Bukan berarti ucapanmu akan menjadi bumerang bagi orang yang menyelisihimu, sebab kalau kita menerima (konsep) itu maka tentunya kita akan katakan dengan yang sebaliknya ucapannya (bisa) menjadi bumerang atasmu. Berdasarkan hal tersebut, saya mengingatkan bahwa akal tidak mempunyai tempat dalam masalah ini, sehingga orang-orang tidak mempunyai kelonggaran untuk berselisih paham dalam masalah tersebut.
Adapun orang-orang yang menyelisihi jalan kaum Salaf seperti (dalam) masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini penyelisihan yang dilakukan seseorang yang berbeda dengan yang diyakini oleh Salafus Shalih tidak bisa ditolerir. Tapi pada masalah-masalah lain yang ada tempat bagi akal untuk berperan di dalamnya, maka tidak sepatutnya untuk menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai bahan cemoohan pada orang lain. Dan tidak sepatutnya untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu terjadinya permusuhan dan kebencian.
Para shahabat radhiyallahu ‘anhum, saling berbeda pendapat dalam banyak masalah. Dan siapa yang ingin mengetahui perbedaan pendapat di kalangan mereka hendaklah ia merujuk atsar-atsar yang menuturkan tentang (keadaan) rnereka. Akan dijumpai adanya perbedaan pendapat dalam berbagai masalah. Permasalahan mereka lebih besar dibandingkan dengan masalah-masalah yang diangkat oleh orang-orang pada zaman ini sebagai isu-isu untuk berbeda pendapat, sehingga orang-orang menjadikan perbedaan itu sebagai bentuk pengkotak-kotakan massa. Mereka mengatakan, "Saya seide dengan Fulan, saya satu haluan dengan Fulan." Seolah-olah masalah ini adalah masalah penggolong-golongan (antara satu kelompok dengan kelompok lain). Ini adalah suatu kekeliruan.
Contoh dari hal tersebut, ada seseorang mengatakan, "Jika engkau bangkit dari ruku' janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu, tapi lepaskanlah kedua tanganmu ke arah sisi kedua belah pahamu. Jika engkau tidak mengerjakannya maka engkau adalah mubtadi' (ahli bid'ah)."
Kalimat "mubtadi'" bukan suatu perkara yang remeh. Apabila ada orang yang mengatakan itu padaku maka akan timbul ketidaksukaan dalam dadaku sebab kita adalah manusia biasa.
Kita katakan, dalam permasalahan ini terdapat kelonggaran, seseorang mungkin untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau melepaskan kedua tangannya. Oleh karenanya Imam Ahmad memberikan alternatif untuk memilih apakah ia meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya ataukah melepaskannya. Sebab perkara dalam persoalan ini cukup longgar.
Tapi amalan manakah yang merupakan sunnah dalam masalah ini? Jawabannya: Yang sunnah adalah engkau meletakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu jika engkau bangkit dari ruku', sebagaimana engkau meletakkannya tatkala berdiri. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Sahal bin Sa'ad, beliau berkata,
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ
"Dulu orang-orang menyuruh mereka yang mengerjakan shalat untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya."3
Silahkan engkau perhatikan, apakah beliau kehendaki hal itu (menaruh lengan kanan di atas lengan kiri) ketika sujud, ketika ruku', ataukah ketika duduk? Tidak, namun yang dikehendaki beliau adalah ketika dalam keadaan berdiri, baik berdirinya itu sebelum ruku' atau sesudahnya.
Jadi kita wajib untuk tidak menjadikan perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama sebagai pemicu perpecahan dan persengketaan di antara umat Islam. Sebab kita semua mendambakan kebenaran dan kita semua menjalankan apa yang dipahami dari proses ijtihad mereka. Selama masih sebatas itu, maka kita tidak diperkenankan untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu permusuhan dan perpecahan di antara ulama. Sebab perbedaan pendapat itu senantiasa muncul di kalangan ulama, bahkan pada zaman Nabi sekali pun. Kalau begitu, penuntut ilmu berkewajiban untuk bersatu padu dan mereka tidak menjadikan perbedaan pendapat semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling membenci satu sama lain.
Sebaliknya, yang wajib jika engkau berbeda pendapat dengan rekanmu berdasar kandungan dalil yang engkau pegang dan dia berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia pegang, hal itu justru akan menjadikan kalian berada di atas jalan yang sama dan kecintaan di antara kalian berdua pun akan semakin bertambah.
Oleh karena itu kami merasa bersuka cita dan menyambut gembira terhadap generasi muda kita yang memiliki kecenderungan besar untuk mengadakan studi banding terhadap berbagai macam masalah dengan menyodorkan dalil-dalil dan adanya kecenderungan besar untuk membangun ilmu mereka di atas Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami memandang bahwa fenomena tersebut merupakan pertanda baik dan kabar gembira pun akan ia rasakan dengan dibukanya pintu-pintu ilmu dari jalur-jalur yang benar. Dan kita tidak menghendaki mereka menjadikan fenomena tersebut sebagai pemicu proses pengkotakan massa dan penanaman kebencian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka." (Al-An'am: 159)
Kami tidak menyepakati perbuatan orang-orang yang menjadikan diri mereka menjadi bergolong-golong dan masing-masing fanatik pada golongannya. Sebab golongan Allah hanyalah satu. Kami pun memandang bahwa perbedaan paham lain dan tidak pula mendorong mereka untuk menjatuhkan kehormatan saudaranya.
Para penuntut ilmu wajib menjadi orang-orang yang bersaudara kendati mereka berselisih paham dalam sebagian perkara furu' (cabang) dan hendaknya satu sama lain mengajak dengan cara yang tenang dan bertukar pikiran (diskusi) dengan tujuan mencari wajah Allah dan tercapainya target ilmu.
Dengan sikap lembut akan terjalin persatuan. Fenomena kerusakan dan sifat arogan pada sebagian orang akan hilang. Terkadang hal tersebut sampai menyeret mereka pada pertengkaran dan permusuhan. Dan itu tidak diragukan lagi akan membuat musuh-musuh kaum muslimin bersorak gembira. Dan perselisihan yang terjadi di antara umat Islam tergolong aspek yang paling merugikan umat Islam sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46)
Para shahabat radhiyallahu ‘anhum saling berbeda pendapat pada masalah-masalah semacam ini. Tapi mereka tetap berada di atas satu hati, di atas cinta kasih dan tetap bersatu. Bahkan saya akan katakan secara terus terang, apabila seseorang berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang, sebenarnya orang tersebut adalah mencocokimu. Sebab masing-masing dari kalian berdua adalah pencari kebenaran. (Alasan) berikutnya, tujuan kalian pun sama yaitu tercapainya target kebenaran yang berasal dari dalil.
Jika demikian halnya, maka orang tersebut tidak berbeda pendapat denganmu, selama engkau mengakui bahwa dia berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang. Lalu dimana (letak) perbedaan pendapatnya? Dengan cara ini umat akan tetap bersatu padu, meskipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah lantaran adanya dalil yang dipegang oleh masing-masing dari mereka.
Adapun orang yang keras kepala dan membantah setelah tampak kebenaran, maka tidak disangsikan lagi bahwa orang tersebut harus disikapi dengan cara yang setimpal dengan perbuatannya setelah (tampak) pembangkangan dan penyimpangannya. Setiap keadaan memiliki peringatan yang disesuaikan dengan kondisinya.
Footnote:
3 HR. Al-Bukhari dalam Kitab Shifatush Shalat Bab: Wadha 'al Yimna 'alal Yusra (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) dan lafadznya dari Sahal bin Sa'ad berkata: "Manusia disuruh untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri dalam shalatnya."
في آداب طالب العلم
لفضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين رحمه الله تعالى
Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Dinukil dari kitab Kitabul Ilmi Edisi Indonesia Tuntunan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu Syar’i Bab Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i Penerjemah Abu Abdillah
Salim bin Subaid Penerbit Pustaka Sumayyah Ebook compiled by Akhukum fillah Abu Harun As Salafy reCompiled Ibnu Majjah abu Salsabiila,
dengan memberi baris pada beberapa teks Hadits
Menukil dari eBook; Ibnumajjah.com
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar