Aqidah
Ketika Mereka Menolak Sifat ‘Uluw dan Istiwa’ (Bag. 5)
Muhammad Saifudin Hakim
Baca pembahasan sebelumnya Ketika Mereka Menolak Sifat ‘Uluw dan Istiwa’ (Bag. 4)
Allah Ta’ala Bersama Makhluk-Nya
Di antara maksud mereka menyelewengkan ayat-ayat tentang istiwa’ adalah untuk mendukung pemahaman mereka bahwa Allah Ta’ala itu bersatu bersama para makhluk-Nya. Dan mereka pun berdalil dengan Al-Qur’an untuk mendukung pemahaman mereka ini.
Di antara dalil yang mereka gunakan antara lain firman Allah Ta’ala
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Allah berfirman, ’Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.’” (QS. Thaha [20]: 46)
Dan juga firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl [16]: 128)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan ma’iyyah (kebersamaan) Allah Ta’ala dengan para makhluk-Nya. Dengan ayat-ayat inilah mereka berdalil bahwa Allah Ta’ala itu tidak berada di atas ‘arsy, akan tetapi menyatu bersama-sama dengan makhluk-Nya. Demikianlah salah satu ciri orang yang menyimpang, yaitu mengambil sebagian ayat Al-Qur’an yang mendukung pemahaman mereka, dan meninggalkan sebagian ayat yang lain. Mereka mengambil ayat-ayat yang menunjukkan kebersamaan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya dan meninggalkan atau menyelewengkan ayat-ayat yang menunjukkan ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya. Karena menurut mereka, mustahil kalau antara keduanya terjadi secara bersamaan.
Maka pemahaman mereka itu dapat dijawab dari beberapa sisi berikut ini.
Pertama, dalil-dalil yang ada menggabungkan antara ma’iyyah dan al-‘uluw, sehingga tidak mungkin kalau penggabungan di antara keduanya mustahil terjadi. Karena dalil-dalil Al Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin menunjukkan atas sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa antara ma’iyyah dan al-‘uluw tidak mungkin terjadi, maka hendaknya dia meneliti kembali, sambil meminta hidayah dan taufiq dari Allah Ta’ala.
Tidak diragukan lagi kalau terdapat dalil-dalil yang menetapkan sifat al-‘uluw (ketinggian Dzat Allah di atas makhluk-Nya) dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bersama mereka.
Allah Ta’ala sendiri telah menggabungkan antara keduanya dalam firman-Nya,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia tinggi (istiwa’) di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid [57]: 4)
Ke dua, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara al-‘uluw dan ma’iyyah. Karena kebersamaan (ma’iyyah) tidak selalu mengharuskan adanya pertemuan atau percampuran dalam satu tempat. Bisa jadi sesuatu itu tinggi secara dzatnya, namun bersama dengan yang lainnya. Sebagaimana perkataan orang Arab, ”Maa zalnaa nasiiru wal qomaru ma’anaa” [Selama kita berjalan, bulan bersama kami].
Padahal, kita mengetahui bahwa bulan berada di atas sana. Orang-orang yang mendengarnya tentu akan memahami maksud ma’iyyah di kalimat ini. Dan tidak mungkin kalau konsekuensi perkataan tersebut adalah bulan itu berada di bumi dan berjalan bersama orang-orang yang ada di bumi. Kalau penggabungan antara ma’iyyah dan al-’uluw di kalangan makhluk bisa terjadi, maka lebih-lebih lagi dengan Allah Ta’ala.
Ke tiga, taruhlah bahwa makna ma’iyyah dan al-‘uluw pada makhluk adalah saling bertentangan dan tidak mungkin terjadi bersamaan, maka hal itu tidaklah mengharuskan bahwa pada Dzat Allah juga berlaku demikian. Karena tidak ada yang serupa dengan Allah Ta’ala dalam seluruh sifat-Nya. Sehingga kita tidak boleh menyamakan antara ma’iyyah makhluk dengan ma’iyyah Allah Ta’ala.
Ke empat, para ulama telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebersamaan Allah Ta’ala dengan para makhluk-Nya adalah Allah Ta’ala itu meliputi para makluk-Nya dengan ilmu dan kekuasaan-Nya. Allah Ta’ala melihat perbuatan-perbuatan makhluk-Nya di mana dan kapan saja mereka berada, baik di darat atau di laut, ketika siang ataupun malam. Tujuan para ulama dengan penjelasan tersebut adalah untuk membantah keyakinan sekte Jahmiyyah dan sekte-sekte lainnya yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala itu menyatu dengan makhluk-Nya dan Dzat-Nya berada di setiap tempat dengan berdalil (lebih tepatnya: berdalih) dengan dalil-dalil yang menunjukkan ma’iyyah Allah dengan makhluk-Nya. [1]
Kesimpulan
Secara umum, penyelewengan yang terjadi pada kaum muslimin dalam masalah tauhid asma’ wa shifat (termasuk sifat ‘uluw dan istiwa’) adalah dengan menolak untuk menetapkan sebagian atau seluruh sifat-sifat Allah Ta’ala, karena menurut mereka menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala itu berarti menyamakan antara Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya. Sebagaimana perkataan mereka, kalau kita meyakini sifat istiwa’ bagi Allah Ta’ala, itu sebagaimana manusia duduk di kursi atau sebagaimana raja duduk di atas singgasana. Padahal aqidah ahlus sunnah menetapkan sifat istiwa’ sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak sama dengan satu pun makhluk-Nya.
Sedangkan di sisi lain, ada pula yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala, yaitu menyamakan sifat-sifat Allah Ta’ala tersebut dengan makhluk-Nya. Ada lagi yang menyelewengkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada makna yang batil, misalnya dengan memaknai istiwa’ dengan istaula (menguasai).
Oleh karena itu, pembahasan tentang nama dan sifat Allah Ta’ala dikenal sebagai pembahasan penting karena merupakan tempat terjadinya perbedaan dan perselisihan yang sengit antara para ulama ahlus sunnah di satu sisi dan pengikut filsafat, pemuja akal, musyabbihah, dan mu’aththilah di sisi lainnya.
Sehingga merupakan kewajiban bagi kita untuk mempelajari tauhid asma’ wa shifat dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman yang dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Mengembalikan kepada Allah Ta’ala adalah dengan mengembalikan kepada Kitab-Nya. Sedangkan mengembalikan kepada Rasul -setelah wafatnya beliau- adalah dengan mengembalikan kepada sunnahnya. Dan setelah mempelajarinya, maka kewajiban kita berikutnya adalah mendakwahkannya ke masyarakat sebagai bentuk pembelaan terhadap aqidah yang shahih ini.
[Selesai]
Catatan kaki:
[1] Lihat Fathu Robbil Bariyyah, hal. 48-49 dan 52-53; Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 181- 185.
Narasumber Muslim.or.id
Posting Komentar