Aqidah
Allah Ta’ala Turun ke Langit Dunia (Bag. 2)
By: Muhammad Saifudin Hakim
Baca pembahasan sebelumnya Allah Ta’ala Turun ke Langit Dunia (Bag. 1)
Penyelewengan Makna “An-Nuzul”
Berkaitan dengan hadits nuzul, sebagian orang mengatakan, “Kami juga beriman terhadap hadits nuzul. Akan tetapi, kami memahami hadits ini tidak sebagaimana pemahaman kalian. Tidak mungkin Allah yang turun, karena zona waktu di setiap tempat berbeda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “turun” dalam hadits ini adalah Allah Ta’ala menurunkan rahmat-Nya.”
Sebagian orang yang lain mengatakan, “Yang turun adalah malaikat Allah, bukan Allah itu sendiri.”
Anggapan atau pendapat semacam ini dapat kita jawab atau kita sanggah dari beberapa sisi:
Pertama, dalam hadits an-nuzul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandarkan perbuatan (turun) kepada Allah Ta’ala, bukan yang lainnya. Jika yang beliau maksudkan adalah turunnya rahmat Allah atau turunnya malaikat Allah, maka tentu akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan kepada sahabatnya, dan penjelasan ini tentu akan diriwayatkan sehingga sampai kepada kita. Oleh karena itu, ketika mereka katakan bahwa yang turun adalah rahmat Allah Ta’ala, maka pada hakikatnya mereka telah menyelewengkan makna hadits tersebut kepada makna yang batil, yaitu makna yang menyelisihi ijma’ ahlus sunnah.
Ke dua, jika turun tersebut kita maknai sebagai turunnya rahmat Allah Ta’ala, maka ini makna yang batil. Karena rahmat Allah Ta’ala turun setiap saat kepada hamba-Nya, tidak hanya turun di waktu tertentu saja (sepertiga malam yang terahir).
Ke tiga, jika yang mereka maksudkan adalah “rahmat Allah yang bersifat khusus”, maka ini pun juga makna yang batil. Karena apa faidahnya jika rahmat yang khusus tersebut hanya turun sampai langit dunia, sehingga tidak sampai ke hamba-Nya yang ada di bumi? Jelaslah bahwa hal ini adalah penyelewengan makna yang batil.
Ke empat, hadits an-nuzul menunjukkan bahwa yang turun tersebut mengatakan,
مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
”Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)
Perkataan ini jelas menunjukkan bahwa yang turun adalah Allah, karena tidak mungkin hal itu diucapkan oleh satu pun kecuali Allah Ta’ala. Tidak mungkin perkataan tersebut diucapkan oleh malaikat Allah. [1]
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyelewengkan makna hadits an-nuzul kepada makna yang batil semacam turunnya malaikat atau rahmat Allah Ta’ala, pada hakikatnya dia telah terjerumus ke dalam penyimpangan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata,
فَمن أنكر النُّزُول أَو تَأَول فَهُوَ مُبْتَدع ضال
“Barangsiapa yang mengingkari an-nuzuul dan menyelewengkan maknanya (kepada makna yang batil), maka dia adalah ahli bid’ah yang sesat.” [2]
Kewajiban Kita dalam Beriman terhadap Hadits tentang An-Nuzul
Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai seorang mukmin yang beriman terhadap hadits-hadits yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta’ala seperti hadits an-nuzul adalah:
Pertama, beriman dengan makna atau sifat yang terdapat dalam dalil-dalil yang shahih sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala.
Ke dua, tidak bertanya bagaimananya serta menggambarkannya (mem-visualisasi-kannya), baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata tentang Allah Ta’ala tanpa dasar ilmu. Sedangkan hakikat Allah Ta’ala tidak dapat dijangkau dengan akal fikiran dan ilmu manusia. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, ’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. Al-A’raf [7]: 33)
Ke tiga, tidak menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)
Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau hadits lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada umatnya bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir. Berita ini termasuk ilmu ghaib yang Allah Ta’ala tunjukkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Dzat yang memberitakan hal itu, yaitu Allah Ta’ala, mengetahui perubahan waktu yang terjadi di muka bumi. Allah Ta’ala mengetahui bahwa sepertiga malam di suatu daerah mungkin menjadi setengah siang di daerah yang lain. [3]
[Selesai]
Sumber Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Fathu Rabbil Bariyyah hal. 54-55, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
[2] Al-Istiqamah, 1/169.
[3] Lihat Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 1/136-137.
Posting Komentar