Latest Post
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan

Hadits Lemah Tentang Keutamaan Surat Az-Zalzalah

Written By Rachmat.M.Flimban on 30 September 2017 | 9/30/2017 12:14:00 AM

Hadits Lemah Tentang Keutamaan Surat Az-Zalzalah

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc حفظه الله

Disalin dari Majalah as-Sunnah Ed. 05 Th. XXI_1438H/2017M

Dikutip dari e-Book Ibnumajjah.com


TEKS HADITS

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا زُلْزِلَتْ تَعْدِلُ نِصْفَ الْقُرْآنِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Surat az-Zalzalah setara dengan setengah al-Qur'an.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya 2/147 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/566 dari jalan periwayatan Yaman bin al-Mughirah al-Anazi dari 'Atha' bin Abi Rabah rahimahullah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu'.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah menghukumi hadits ini sebagai hadits lemah dengan menyatakan:

هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ يَمَانِ بْنِ الْمُغِيرَةِ

Hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Yaman bin al-Mughirah.

Yaman bin al-Mughirah al-Anazi seorang perawi yang lemah, imam al-Bukhari rahimahullah dan Abu Hatim ar-Razi rahimahullah menyatakan bahwa ia seorang mungkarul hadits. Ungkapan Imam al-Bukhari "Mungkarul Hadits" menunjukkan sangat terlalu kelemahannya. (lihat Silsilah Ahadits ad-Dha'ifah 3/514).

Demikian juga lbnu Hibban rahimahullah menyatakan: Sangat mungkar sekali (Mungkarul hadits Jiddan), Dia meriwayatkan hadits-hadits mungkar yang tidak ada asalnya sehingga berhak ditinggalkan (Tahdzib at-Tahdzib 4/452). An-Nasa'i menyatakan: Tidak tsiqah (Laisa bits-Tsiqah).

Yaman dalam meriwayatkan hadits ini bersendirian, tidak diikuti oleh para murid Atha' yang Lainnya. Dengan demikian bersendiriannya Yaman ini tidak bisa diterima sehingga haditsnya dihukumi hadits mungkar. Oleh karena itu Syaikh al-Albani rahimahullah menghukumi hadits ini dengan hadits mungkar dalam Silsilah adh-Dha'ifah no 1342 (3/514).

Pernyataan mayoritas ulama melemahkan hadits ini dengan sebab Yaman bin al-Mughirah.

Diantara ulama yang melemahkan hadits ini adalah:

  1. Imam at-Tirmidzi rahimahullah,
  2. Ibnu Abdilbarr rahimahullah dalam at-Tamhid,
  3. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 8/687,
  4. Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Talkhish al-Mustadrak,
  5. Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir 1/367,
  6. Asy-Syaukani rahimahullah dalam al-Fathur-Rabani min Fatawa Imam Syaukani 12/5930, dan
  7. Al-Albani rahimahullah dalam Adh-Dha'ifah, no. 1342.

HADITS ANAS

Hadits ini juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu secara marfu' dengan redaksi yang serupa dengan riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ إِذَا زُلْزِلَتْ عُدِلَتْ لَهُ بِنِصْفِ الْقُرْآنِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membaca surat az-Zalzalah disetarakan dengan setengah al-Qur'an.

Hadits ini dikeluarkan oleh at-Tirmizi rahimahullah dalam Sunan-nya 2/146 dan al-Uqaili rahimahullah dalam adh-Dhu'afa' hlm. 89 dari al-Hasan bin Salim bin Shalih al-'Ijli dari Tsabit al-Bunani rahimahullah dari Anas radhiyallahu ‘anhu secara marfu'.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah menyampaikan hadits ini:

هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ هَذَا الشَّيْخِ الْحَسَنِ بْنِ سَلْمٍ

Hadits Gharib. Kami tidak mengenalnya kecuali dari hadits Syaikh ini al-Hasan bin Salm.

Hadits ini lemah karena adanya al-Hasan al-'Ijli seorang yang majhul (tidak dikenal) yang dilemahkan para ulama. Sehingga pernyataan para ulama sepakat melemahkan hadits ini. Diantara mereka adalah:

  1. Al-Uqaili rahimahullah berkata: Al-Hasan ini Majhul dan haditsnya tidak benar (adh-Dhu'afa hlm. 89),
  2. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: Hampir tidak dikenal dan haditsnya mungkar (lihat Mizaan al-I'tidal 1/523),
  3. Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syuabul Iman 2/497,
  4. Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ahadits adh-Dhaifah.

HADITS ABU HURAIRAH

Demikian juga pendukung hadits ini dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَرَأَ إِذَا زُلْزِلَتْ فِي لَيْلَةٍ كَانَتْ لَهُ بِعَدْلِ نِصْفِ الْقُرْآنِ

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membaca surat al-Zalzalah pada satu malam, Bacaannya itu setara dengan setengah al-Qur'an.

Hadits ini di keluarkan oleh Ibnu as-Sunni rahimahullah dalam Amal al-yaum wal Lailah no. 691 dan Abu Umayyah ath-Thurthusi rahimahullah dalam Musnad Abu Hurairah 2/195 dengan sanad yang sangat lemah, karena ada 'Isa bin Maimun al-Madani yang dilemahkan sejumlah ulama.

Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Pada sanadnya ada perawi yang sangat lemah sekali (Nata ij al-Afkar 3/268). Sedangkan Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: Sanadnya lemah sekali, 'Isa bin Maimun tampaknya adalah al-Madani yang dikenal dengan al-Wasithi yang dilemahkan sejumlah ulama sampai Abu Hatim al-Razi rahimahullah dan lainnya menyatakan: Dia seorang yang ditinggal haditsnya (Matrukul Hadits), sedangkan Abu Umaiyah sendiri adalah perawi shaduq seperti dijelaskan Ibnu Hajar rahimahullah dan hadits ini tidak bisa menjadi penguat. (lihat Silsilah Ahadits adh-Dhaifah no. 1342).

KESIMPULAN

Jelaslah, hadits tentang keutamaan surat az-Zalzalah yang setara dengan setengah al-Qur'an adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam menentukan keutamaan tersebut. Demikian juga tidak boleh menisbatkan keutamaan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak boleh berkeyakinan mendapatkan pahala dan balasan setengah al-Qur'an ketika membaca surat az-Zalzalah.

Surat az-Zalzalah adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَـهَا. وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَـهَا. وَقَالَ الْإِنسَانُ مَا لَـهَا. يَوْمَئِذٍ تُـحَدِّثُ أَخْبَارَهَا. بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَـهَا. يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتاً لِّيُرَوْا أَعْمَالَـهُمْ. فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ.

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)', pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. az-Zalzalah/99: 1-8)

Wabillahittaufiq.[]


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu

Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Mei 2017 | 5/14/2017 06:00:00 AM

Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu
Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.

Hadits Pertama

“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).

Al’ Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 127).

Hadits Kedua

“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).

Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, “Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits:

“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur.”

Dan hadits,

“áæ ÃÍÓä ÃÍÏßã Ùäå ÈÍÌÑ äÝÚå”

“Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” (Ighatsatul Lahfaan (1/243)).

Hadits Ketiga

Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu ‘anhu wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:

“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang.”

Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).

Hadits Keempat

Dari Abu Sa’id Al Khudry secara marfu’:

Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo’a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya’ dan sum’ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000 malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha’ifkan Al Allamah Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal. 99).

Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perkataan, ‘Aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu’, diriwayatkan oleh Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo’a kepada Allah adalah Allah kabulkan do’a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada Allah adalah Allah memberikan pahala padanya. Hak ini Dia tetapkan atas diri-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186)

Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya, sehingga persis do’a berikut ini:

“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau.” (QS. Ali Imran: 194)

Dan seperti do’a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut.” (Majmu’ Fatawaa (1/369)).

Al ‘Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya, sesungguhnya hadits ini dha’if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat kedha’ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha’ifkan oleh Al Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu gampang dalam menilai hadits).” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah (1/38) nomor 24).

Hadits Kelima

Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu’:

Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan tetapi Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan hadits ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri tidak diketahui jati dirinya.”)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).

Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).


Hadits Keenam

Dari Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:

“Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan) orang-orang melarat dari kaum Muhajirin.” (Diriwayatkan Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/269 dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya 2/26; Dalam Al Isti’ab 1/38, Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurutku tidaklah benar kalau Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga hadits di atas adalah hadits yang mursal.” Al Hafizh dalam Al Ishobah 1/133 berkata, “Umayyah bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang kuat.” Al Albani dalam At Tawassul hal. 111 mengatakan, “Pokok permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah hadits mursal dha’if.”)

Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).

Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)

Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.


Hadits Ketujuh

Dari Abdullah ibn Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,

“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian.” (Diriwayatkan oleh An Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at 2/404).

Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at 2/404-406).

-bersambung insya Allah-

***

Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi

Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)

Murajaah: Ust. Aris Munandar

Smber Artikel ; Muslim.or.id

Aqidah, Hadits, Hadits Lemah dan Palsu, Syirik


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang

Ini Dalilnya (17): Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang Tawassul Para Sahabat

Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam pembahasan ini,

Novel kembali memakai cara lamanya dalam berdalil…

lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah …

By Sufyan Basweidan, 6 December 2011




Tawassul Para Sahabat Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam pembahasan ini, Novel kembali memakai cara lamanya dalam berdalil… lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah ke permasalahan. Hadits tersebut terkenal dengan istilah “hadietsul a’ma” (haditsnya Si orang buta). Novel mengatakan (hal 122-123): Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:

 اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.

Terjemahannya (versi Novel): “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Novel mengatakan (hal 123): “Saudaraku, dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya sejumlah sahabat menggunakan tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan ‘Utsman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. ‘Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di Masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina ‘Utsman”. Kemudian Novel menukil doa yang dimaksud.[1]

Jawabnya, cerita yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani di atas adalah dha’if [2], berikut ini penjelasan Syaikh Al Albani setelah mentahkhrij hadits tersebut, beliau mengatakan: “Kesimpulannya, kisah ini dhaif dan munkar karena tiga hal: pertama, lemahnya hafalan perawi yang sendirian meriwayatkan cerita ini[3]; Kedua, adanya kontroversi matan hadits dari jalur perawi tersebut[4] dan ketiga, perawi tersebut menyelisihi perawi lainnya yang lebih tsiqah, yang tidak meriwayatkan cerita tersebut. Satu saja dari tiga hal di atas sudah cukup menjadikan hadits ini dha’if, lantas bagaimana jika ketiga-tiganya ada semua??[5]

Sedangkan dalil lain yang disebutkan Novel adalah kisah orang Badui yang datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … dst[6]. Menggelikan memang cara Novel berdalil, dan sekaligus memprihatinkan, sejak kapan mimpi jadi dalil dalam agama? Ini hanya ada dalam kamus orang-orang Sufi, tak ada dalil, mimpi pun jadi!

Dengan demikian, kedua hadits yang disebutkan oleh Novel tidak ada yang sah dijadikan dalil.

Tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas

Kali ini, Novel menggunakan dalil tipe kedua yang pernah saya singgung sebelumnya. Yaitu hadits shahih yang tidak sharih, alias tidak berkaitan dengan topik yang dibahas. Ia mengatakan (hal 125-126):

“Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:

اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka semua.

Di atas disebutkan dengan jelas bahwa Sayidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayidina ‘Umar bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tunanetra di masa pemerintahan Sayidina ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu”.

Saya katakan, justru pendapatmu lah yang tidak benar hai Novel. Karena dalil-dalil yang kau gunakan dha’if semua, bahkan sangat dha’if dan palsu.

Kemudian Novel mengatakan (hal 126): “Lalu apa maksud tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan mencontohkan kepada semua sahabat, bahwa tawassul dengan selain Nabi adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah karena kedekatan beliau radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sayidina ‘Abbas merupakan paman Rasulullah, ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Saya katakan, ini bukti kacaunya pemahaman Novel tentang tawassul. Ia tidak bisa membedakan antara tawassul yang dibolehkan dengan tawassul yang dilarang. Sebelum menjawab syubhat ini, saya harus menjelaskan kriteria tawassul yang dibolehkan dengan yang dilarang secara ringkas sebagai berikut;

Pertama: 1 tawasssul yang dibolehkan

Tawassul ini berupa satu dari tiga hal:

Pertama: Tawassul dengan Asma’ul Husna, yakni kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya. Atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau nama-nama lainnya yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا… [الأعراف/180]

“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).

Kedua: Tawassul dengan amal shaleh kita, bukan dengan amalan orang lain. Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah.[7]

Ketiga: Tawassul dengan minta doa dari orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita. Dalilnya adalah kisah Si tunanetra yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma[8], demikian pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta agar Rasulullah berdoa kepada Allah supaya turun hujan, dst[9]. Demikian pula tawassul Umar dengan ‘Abbas di atas.

Anda mungkin bertanya: ‘mengapa disyaratkan bahwa orang tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang disebutkan oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul Umar dengan Abbas, haditsul a’ma dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir. Kalaulah kehadiran orang tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capai-capai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Demikian pula dengan Si Arab badui.

Kedua: 2 Tawassul yang dilarang

Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang tidak ada dalilnya[10]. Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah haram kecuali jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak ada perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang melarangnya. Inilah aturan baku yang hendak dibalik oleh Novel dalam bukunya.

Contohnya: tawassul dengan jaah (kehormatan) Nabi, dengan berkat Imam Syafi’i, dan sejenisnya. Demikian pula tawassul dengan orang yang sudah mati, atau yang tidak hadir.

Bila masalah ini telah kita fahami, maka ketahuilah bahwa tawassul-nya Sayidina ‘Umar dengan Sayidina ‘Abbas, sama sekali berbeda dengan apa yang difahami oleh Novel. Makna hadits di atas ialah bahwa Umar dan para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta agar beliau mendoakan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta doa darinya.

Cobalah Saudara renungkan, ketika paceklik melanda, kiranya apakah para sahabat duduk di rumah mereka masing-masing kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan Nabi-Mu Muhammad dan segala kehormatannya di sisi-Mu, berilah kami hujan…”, atau mereka mendatangi diri Rasulullah, lalu minta doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan? Kemudian setelah beliau wafat, Umar dan para sahabat tidak lagi minta atau mendatangi kuburan Rasulullah untuk minta doa. Mengapa? Karena mereka semua orang berakal yang paham terhadap makna tawassul. Mereka tahu bahwa Rasulullah yang dahulu merupakan manusia paling manjur doanya saat beliau hidup, kini sudah wafat dan tidak bisa lagi memberi manfaat apa pun kepada mereka. Kalaulah para sahabat memahami makna tawassul seperti yang dipahami oleh Novel, lantas mengapa mereka tidak mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta doa dari beliau? Bukankah beliau jauh lebih afdhal dari pada ‘Abbas?

Novel dan siapa pun yang mengikutinya tidak akan bisa mendatangkan satu dalil pun yang shahih dan sharih (gamblang), yang menjelaskan bahwa cara tawassul yang dipraktikkan Umar dan para sahabatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada Abbas ialah dengan sekedar menyebut nama mereka dalam berdoa. Sebaliknya, demikian banyak dalil-dalil yang menjelaskan bahwa tawassul yang mereka lakukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun Abbas ialah dengan mendatangi keduanya, lalu meminta keduanya untuk berdoa kepada Allah. Di antara dalilnya ialah kisah Arab badui yang telah disinggung di atas.

Apa yang kami jelaskan ini adalah makna tawassul yang terjadi dalam kehidupan orang sehari-hari. Sebab makna tawassul secara bahasa ialah menggunakan wasilah atau perantara untuk mencapai sesuatu[11]. Misalnya ketika seorang pegawai memiliki hajat tertentu dari bosnya, dia akan mencari orang yang dikenal baik oleh bosnya untuk menghadap bos tersebut dan menyampaikan keinginannya. Kemudian perantara ini menyampaikan keinginan si pegawai kepada bosnya, baru setelah itu si Bos mengabulkan hajat si pegawai. Bukan berarti si pegawai menyebut-nyebut nama kenalan baik si bos tadi di hadapan bosnya. Demikian pula yang terjadi ketika Sayidina Umar dan para sahabat ber-tawassul dengan Abbas, maknanya ialah mendatangi ‘Abbas lalu minta doa darinya.

-bersambung insya Allah-


[1] Berhubung pembahasannya cukup panjang, kami tidak menukilkannya di sini tapi kami scan halaman yang dimaksud dalam lampiran, yaitu hal 123-125 pada buku.

[2] Yaitu cerita laki-laki yang mengunjungi Utsman bin Affan, dst. Sedangkan cerita orang buta yang minta didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits shahih.

[3] Yaitu Syabib bin Sa’id Al Makky.

[4] Artinya, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits si orang buta tersebut dari jalur perawi ini, akan tetapi sebagiannya tidak menyebutkan kisah yang disebutkan oleh Ath Thabrani di atas.

[5] Lihat: At Tawassul hal 88, tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.

[6] Silakan saudara baca sendiri dalil yang menggelikan ini dalam Mana Dalilnya 1, hal 88-89.

[7] Lihat redaksi hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.

[8] HR. Tirmidzi no 3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.

[9] HR. Bukhari no 967 & 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu.

[10] Sekali lagi, yang dimaksud dalil di sini adalah dalil yang shahih dan sharih, alias sah dan jelas. Bukan hadits palsu, kisah-kisah, mimpi, dan qiyas yang kacau. Bukan pula hadits shahih yang dipelintar pelintir maknanya kesana kemari, atau diambil sepotong-sepotong.

[11] Lihat: lisaanul ‘Arab, pada kata: wa-sa-la (وسل).


Sumber Artikel: Muslim.or.id, Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

Kategori; Aqidah, Aqidah,mana dalilnya 1?,Syirik,tawassul,ustadz


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Aktual,Apa Yang Mereka Dendam Terhadap Negeri Haramain ?

Written By Rachmat.M.Flimban on 07 Mei 2017 | 5/07/2017 03:32:00 AM

Apa Yang Mereka Dendam Terhadap Negeri Haramain ?
Oleh
Syaikh Muhammad Musa Al-Nasr


Allah Azza wa Jalla telah menjadikan negeri Makkah dan Madinah sebagai tempat yang aman hingga hari kiamat, semenjak Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kekasih-Nya nabi Ibrahim agar mengumumkan kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, mereka datang ke Baitul Haram (Ka’bah) dari segala penjuru negeri ; sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Haj/22 : 27]

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman sembari memberi nikmat kepada penduduk negeri Haramain.

أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَىٰ إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ

“Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan)” [Al-Qashas/28 : 57]

Demikianlah firman-Nya.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ﴿٣﴾الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” [Al-Quraisy/106 : 3-4]

Pelajaran dalan ayat itu diambil dari keumuman lafadh, (dan) bukan dari kekhususan sebab, walaupun sebagian ayat ini turun pada kaum musrikin Makkah, hanya saja ayat ini mencakup kepada penduduk Makkah hingga hari kiamat. Demikianlah Allah berkehendak untuk rumah-Nya agar senantiasa menjadi tempat dengan kedamaian dan keamanan, agar orang yang berhaji, berumrah dan orang yang berkunjung datang ke negeri itu dengan tanpa merasa takut dan gelisan.

Akan tetapi (kaum Khawarij modern) para da’i dan penyeru peledakan tidak ingin suasana seperti itu terjadi, tetapi yang mereka inginkan adalah kegoncangan keamanan negeri Al-Haramain. Mereka melanggar ayat-ayat dan hadits-hadits yang memperingatkan akan larangan mengganggu kaum muslimin, menakut-nakuti dan membunuh mereka ! Maka bagaimanakah jika hal itu (yaitu mengganggu, menakut-nakuti dan membunuh kaum muslimin) terjadi di bumi yang paling suci dan paling mulia di muka bumi ini, yaitu negeri Makkah yang aman dan daerah sekitarnya ?!

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih” [Al-Haj/22 : 25]

Sesungguhnya hanya sekedar berniat melakukan kejahatan di Makkah adalah sebuah kejahatan dan dosa yang besar, maka bagaimanakah dengan mereka yang menumpahkan darah yang haram di negeri Al-Haram ?

Bagaimanakah halnya orang yang meletakkan dan menaruh senjata dan bahan peledak dalam tumpukan mushaf Al-Qur’an, dan menyangka bahwasanya hal ini adalah jihad dan pengorbanan ?

Sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu, yang berusaha membuat kerusakana di negeri Al-Haramain (Saudi Arabia) dan negeri Islam lainnya, pada hakikatnya mereka itu adalah orang-orang yang berkhidmat (pada) musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nashara serta seluruh musuh-musuh Islam, karena musuh-musuh Islam itu bergembira dan menabuh genderang bahkan menari-nari ketika gangguan menimpa negeri Islam, khususnya negeri Islam, yang memelihara dan menjaga Makkah dan Madinah, negara yang menyebarkan aqidah Tauhid di negeri Arab dan selain negeri Arab.

Maka kenapa penyerangan yang keji ini dilakukan dari dalam dan dari luar, atas negeri Al-Haramain ? Karena Saudi Arabia adalah benteng terakhir bagi Islam, dan karena dinegeri itu pula ditegakkan syariat Allah diatas asas Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, dan karena di negeri itu disebarkan tauhid disegenap penjuru bumi. Maka (negeri ini) harus diperangi serta dilemahkan, dan disibukkan dengan fitnah-fitnah !! (negeri itu) harus digoncangkan keamanannya, karena kegoncangan kepercayaan pada negeri itu dan menampakkannya dalam keadaan lemah dari menjaga tempat-tempat yang suci, benar-benar akan mencegah para jama’ah haji dan pengunjung serta orang yang berumrah untuk mendatanginya. Maka lemahlah perekonomiannya, dan tersibukkan negeri Saudi Arabia dari kewajibannya yang suci yaitu melayani dua tempat suci (Makkah dan Madinah) melayani Islam dan kaum muslimin.

Kemudian mereka yang menuduh negeri itu dengan kedzaliman dan kedustaan, (bahwa negeri Saudi Arabia ) membina teroris, diri merekalah yang bergembira dengan perbuatan orang-orang bodoh pembunuh dari kalangan kaum Khawarij masa kini, maka lihatlah bagaimana mereka (orang kafir yang menuduh negeri Saudi Arabia membina teroris dan kaum Khawarij yang meledakkan Al-Haramain) bertemu dalam satu sasaran dan satu tujuan, walaupun tanpa sengaja ?!

Dan Maha benar Allah Azza wa Jalla dimana Dia berfirman.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” [Al-Baqarah/2 : 120]

Musuh-musuh Islam di timur dan barat tidak meridhai kecuali umat ini meninggalkan agamanya sebagaimana terkelupasnya ular dari kulitnya, baik pemerintah ataupun rakyatnya, dan (mereka menginginkan) umat Islam menyerupai negeri barat baik itu akidahnya, peradabannya, kebudayaannya dan akhlaknya.

Dan hal ini (umat Islam meninggalkan agamanya) –dengan izin Allah- tidak akan terjadi selama pada kita terdapat Kitabullah dan Sunnah nabiNya, dan selama pada kita terdapat ulama rabbani yang menyuruh berbuat baik dan melarang dari kemungkaran, berjihad dengan lisan mereka, jari-jemari mereka dan keterangan mereka, mereka benamkan setiap fitnah Khawarij dan ahli bid’ah yang sesat, dan mereka memperingatkan dari persengkokolan musuh-musuh Islam, menasehati para penguasa kaum muslimin dengan cara yang baik dan cara yang paling lurus, dengan kelembutan dan hikmah, agar mereka dapat membantu para penguasa melawan syaitan dan mereka tidak membantu syaitan melawan penguasa kaum muslimin, mereka (para ulama itu) akan mendo’akan penguasa kaum muslimin dengan kebaikan, dan tidak mendoakan penguasa dengan kejelekan dan kebinasaan.

Semoga Allah menjaga negeri Al-Haramain khususnya dan negeri-negeri Islam secara umum dari segala rencana-rencana jahat yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang nampak atau dari kalangan kaum muslimin yang bersembunyi dibelakang Islam –mereka menyangkanya- dan Allah benci dan berlepas diri dari mereka dan amal perbuatan mereka, dan Allah-lah meliputi mereka semuanya tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia dan tiada Rabb selain Dia.

[Disalin ulang dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi No. 08/Th. II/1424H, 21-22. Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl Iskandar Muda 46 Surabaya. Terjemahan dari http ://www.m-alnaser.com]

Sumber: Almanhaj.or.id


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Fadhilah Yaasiin

Written By Rachmat.M.Flimban on 22 April 2017 | 4/22/2017 03:19:00 PM


Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Fadhilah Yaasiin

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

PENDAHULUAN

Setiap Muslim diperintah untuk membaca al-Qur-an, sebagaimana ayat pertama yang turun memerintahkan kita untuk membaca: “اقْرَأْ (bacalah).”

Al-Qur-an yang terdiri dari 30 (tigapuluh) juz mulai surat al-Fatihah sampai surat an-Naas jelas mempunyai keutamaan dan kaum Muslimin berkewajiban mengamalkannya.

Oleh karena itu, sangat dianjurkan agar ummat Islam membaca al-Qur'an, dan kalau sanggup mengkhatam-kannya sepekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali, atau setiap bulan sekali dikhatamkan-nya. Berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم.

اِقْرَأِ الْقُرْآنَ فِيْ كُلّ ِ شَهْرٍ، اِقْرَأْهُ فِيْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، اِقْرَأْهُ فِيْ عَشْرٍ، اِقْرَأْهُ فِيْ سَبْعٍ، وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ

“Bacalah al-Qur-an (khatamkanlah) sebulan sekali, khatamkanlah al-Qur'an setiap dua puluh hari sekali, khatamkanlah setiap sepuluh hari sekali, dan khatamkanlah setiap sepekan sekali, jangan lebih dari itu.” [HR. Al-Bukhari (no. 5053-5054), Muslim (no. 1159) (184)) dan Abu Dawud (no. 1388), dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Lihat Shahih Jami’ush Shaghiir (no. 1158)]

Kebanyakan kaum Muslimin di mana-mana sering membaca surat Yaasiin, seolah-olah anjuran Nabi صلی الله عليه وسلم untuk membaca al-Qur-an dimaksudkan adalah surat Yaasiin, sepertinya al-Qur'an itu isinya hanyalah surat Yaasiin saja, karena sangat sering sekali kita mendengar kaum Muslimin dan Muslimat membaca surat Yaasiin di rumah, di majlis-majlis ta’lim, di masjid-masjid, di sekolah, di pondok-pondok dan bahkan sering pula kita dengar dibacakan untuk orang yang sedang naza' (akan mati) dan dibacakan di pemakaman kaum Muslimin. Dari isi al-Qur'an yang terdiri dari 114 surat hanya surat Yaasiin saja yang banyak dihafal oleh kaum Muslimin.

Kita sangat gembira dengan banyaknya orang yang hafal surat Yaasiin, tetapi kita yakin tentunya ada beberapa faktor yang mendorong kaum Muslimin menghafal surat tersebut. Setelah kita periksa, ternyata memang ada faktor pendorongnya, yaitu beberapa hadits yang menerangkan keutamaan (fadhilah) dan ganjaran bagi orang yang membaca surat Yaasiin, tetapi hadits-hadits yang menerangkan surat Yaasiin adalah LEMAH SEMUANYA.

Saya akan sebutkan dan jelaskan kelemahan hadits-hadits tersebut, supaya kaum Muslimin mengetahui bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa dipakai hujjah, meskipun untuk fadhaa-ilul a’maal.

Selanjutnya saya akan jelaskan pula kelemahan hadits-hadits yang menganjurkan membacakan surat Yaasiin untuk orang yang sedang naza' (akan mati) maupun menganjurkan untuk orang yang sudah mati.

Yang perlu diingat dan diperhatikan dari tulisan ini ialah, bahwa dengan membahas masalah ini bukan berarti saya melarang (mengharamkan) baca surat Yaasiin, akan tetapi saya ingin menjelaskan kesalahan orang-orang yang menyandarkan dalil keutamaannya kepada Nabi صلی الله عليه وسلم, sedang berdusta atas nama Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم adalah diharamkan dan diancam masuk Neraka.

Selain itu pula, kita wajib melihat apakah ada contoh Nabi صلی الله عليه وسلم yang menerangkan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم membaca surat Yaasiin setiap malam Jum’at, setiap mulai atau menutup majlis ta’lim, ketika ada orang mati dan lain-lain?!

Mudah-mudahan dari penjelasan dan keterangan ini bukan mematahkan semangat, tetapi malah sebagai dorongan untuk membaca dan menghafal seluruh isi al-Qur'an dan berupaya untuk mengamalkannya.


HADITS-HADITS FADHILAH YAASIIN YANG LEMAH DAN PALSU

HADITS PERTAMA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ

“Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” [Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).]

Keterangan: HADITS INI ( مَوْضُوْع ) PALSU

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya. Imam Daraquthni berkata: “MUHAMMAD BIN ZAKARIA yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits.”

Periksa: Al-Maudhuu’aat oleh Ibnul Jauzi (I/246-247), Mizaanul I’tidal III/549), Lisaanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 268 no. 944).

HADITS KEDUA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin pada malam hari karena keridhaan Allah, niscaya Allah ampuni dosanya.”

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ ) LEMAH Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitabnya, al-Mu’jamul Ausaath, dan al-Mu’jamush Shaghiir dari Abu Hurairah, tetapi di dalam sanadnya ada AGHLAB BIN TAMIIM. Kata Imam al-Bukhari: “Ia munkarul hadits.” Kata Ibnu Ma’in: “Ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat).” Periksa: Mizaanul I’tidal (I/273-274) dan Lisanul Mizan (I/464-465).

HADITS KETIGA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, maka ia akan diampuni dosanya pada malam itu.”

Keterangan: HADITS INI ( ضَعِيْفٌ ) LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daarimi dari jalan Walid bin Syuja’, ayahku telah menceritakan kepada saya, Ziyad bin Khaitsamah telah menceritakan kepada saya dari Muhammad bin Juhadah dari al-Hasan dari Abu Hurairah رضي الله عنه. [Sunan ad-Darimi (II/457)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi, Abu Nua’im dan al-Khathib dari jalan al-Hasan, dari Abu Hurairah.

Hadits ini MUNQATHI’, karena dalam semua sanad-nya terdapat al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashriy, ia tidak mendengar dari Abu Hurairah. Imam adz-Dzahabi berkata: “Al-Hasan tidak mendengar dari Abu Hurairah, maka semua hadits-hadits yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah termasuk dari jumlah hadits-hadits munqathi’.”

Periksa: Mizaanul I’tidal (I/527), al-Fawaa-idul Majmua’ah (hal. 269 no. 945), tahqiq Syaikh ‘Abdurrahman al-Mu’allimy.

HADITS KEEMPAT

مَنْ دَاوَمَ عَلَى قِرَاءَةِ يَس فِي كُلِّ لَيْلَةٍ ثُمَّ مَاتَ، مَاتَ شَهِيْدًا

“Barangsiapa terus-menerus membaca surat Yaasiin pada setiap malam kemudian ia mati, maka ia mati syahid.”

Keterangan: HADITS INI ( مَوْضُوْعٌ ) PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghir dari Shahabat Anas رضي الله عنه, tetapi di dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa al-Azdiy, ia seorang tukang dusta dan ia dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. Periksa: Tuhfatudz Dzakirin (hal. 340), Mizaanul I’tidal (II/159-160), Lisanul Mizan (III/44-45).

HADITS KELIMA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ صَدْرِ النَّهَارِ قُضِيَتْ حَوَائِجُهُ

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin pada permulaan siang (=di pagi hari), maka terpenuhi semua hajatnya (=keperluannya).”

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ ) LEMAH Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dari jalan al-Walid bin Syuja’, telah menceritakan kepadaku Ziyad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhadah dari ‘ATHA’ BIN ABI RABAH, ia berkata: “Telah sampai ke-padaku bahwasanya Nabi صلی الله عليه وسلم ber-sabda, ...”

Hadits ini mursal, karena ‘Atha’ bin Abi Rabah tidak bertemu dengan Nabi صلی الله عليه وسلم ia lahir kurang lebih tahun 24 Hijriyah dan wafat tahun 114 H.

Periksa: Sunan ad-Darimi (II/457), Misykatul Mashaabih (takhrij no. 2177), Mizaanul I’tidal (III/70) dan Taqribut Tahdzib (II/22).

HADITS KEENAM

مَنْ قَرَأَ يَس مَرَّةً فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ مَرَّتَيْنِ

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin satu kali seolah-olah ia membaca al-Qur'an dua kali.” [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman]

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ ) PALSU Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5789) dan Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 4636) oleh Syaikh al-Albany).

HADITS KETUJUH

مَنْ قَرَأَ يَس مَرَّةً فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ عَشْرَ مَرَّاتٍ

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin satu kali seolah-olah ia membaca al-Qur'an sepuluh kali.” [HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abu Hurairah]

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ ) PALSU Lihat Dha’iif Jami’ush Shaghir (no. 5798) oleh Syaikh al-Albany.

HADITS KEDELAPAN

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يَس، وَمَنْ قَرَأَ يَس كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ عَشْرَمَرَّاتٍ

“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) al-Qur'an itu ialah surat Yaasiin. Barangsiapa yang membacanya, maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca al-Qur'an sepuluh kali.”

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ ) PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2887) dan ad-Darimi (II/456), dari jalan Humaid bin Abdur-rahman, dari al-Hasan bin Shalih dari Harun Abu Muhammad dari Muqatil bin Hayyan (yang benar Muqatil bin Sulaiman) dari Qatadah dari Anas secara marfu’.

Dalam hadits ini terdapat dua rawi yang LEMAH:

[1]. HARUN ABU MUHAMMAD

Majhul (tidak dikenal riwayat hidupnya).

Kata Imam adz-Dzahabi: “Aku menuduhnya majhul.” [Mizaanul I’tidal IV/288]

[2]. MUQATIL BIN HAYYAN?

Kata Ibnu Ma’in: “Dha’if.”

Kata Imam Ahmad bin Hambal: “Aku tidak peduli kepada Muqatil bin Hayyan dan Muqatil bin Sulaiman.” Periksa: Mizaanul I’tidal IV/171-172.

Imam Ibnu Abi Hatim berkata dalam kitabnya, al-‘Ilal (II/55-56): “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini. Jawabnya: ‘Muqatil yang ada dalam sanad hadits ini adalah Muqatil bin Sulaiman, aku mendapati hadits ini di awal kitab yang disusun oleh MUQATIL BIN SULAIMAN. Dan ini adalah hadits BATIL, TIDAK ADA ASALNYA.’”, Periksa: Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah (no. 169, hal. 312-313).

Imam adz-Dzahabi juga membenarkan bahwa Muqatil dalam hadits ini ialah MUQATIL BIN SULAIMAN. Periksa: Mizaanul I’tidal (IV/172).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Apabila sudah jelas bahwa Muqatil yang dimaksud adalah Muqatil bin Sulaiman, sebagaimana yang sudah dinyatakan oleh Imam Abu Hatim dan diakui oleh Imam adz-Dzahabi, maka hadits ini MAUDHU’ (PALSU).” Periksa: Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah (no. 169, hal. 313-314.)

Kata Imam Waqi’: “Muqatil bin Sulaiman adalah tukang dusta (kadzdzab).” Kata Imam an-Nasa-i: “Muqatil bin Sulaiman sering dusta.” Periksa: Mizaanul I’tidal (IV/173).

HADITS KESEMBILAN

مَنْ قَرَأَ يَس حِيْنَ يُصْبِحُ يُسِرَ يَوْمُهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ قَرَأَهَا فِيْ صَدْرِ لَيْلَةٍ أُعْطِيَ يُسْرَ لَيْلَتِهِ

“Barangsiapa baca surat Yaasiin di pagi hari, maka akan dimudahkan urusan hari itu sampai sore. Dan barang siapa membacanya di awal malam (sore hari), maka akan diberi kemudahan urusan malam itu sampai pagi.” Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ ) LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi (II/457) dari jalan Amr bin Zararah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Rasyid Abu Muhammad al-Himani, dari Syahr bin Hau-syab, ia berkata: Ibnu Abbas telah berkata... Dalam sanad hadits ini ada Syahr bin Hausyab, kata Ibnu Hajar: “Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru.” Periksa: Taqriib (I/423 no. 2841), Mizaanul I’tidal (II/283).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Syahr Bin Hausyab lemah dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah, karena banyak salahnya.” Periksa: Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah jilid I halaman 426. Hadits ini juga mauquf (hanya sampai Shahabat saja)

HADITS KESEPULUH

مَنْ قَرَأَ يَس كُلَّ لَيْلَةٍ غٌفِرَ لَهُ

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin setiap malam, niscaya diampuni (dosa)nya.” [HR. Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman]

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ ) LEMAH

Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir hadits no. 5788 dan Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah no. 4636.

HADITS KESEBELAS

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَرَأَ طه ويَس قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ آدَمَ بِأَلْفَيْ عَامٍ فَلَمَّا سَمِعَتِ الْمَلاَئِكَةُ الْقُرْآنَ قَالُوْا: طُوْبَى ِلأُمَّةٍ يَنْزِلُ هَذَا عَلَيْهِمْ وَطُوْبَى ِلأَلْسُنٍ تَتَكَلَّمُ بِهَذَا وَطُوْبَى ِلأَجْوَافٍ تَحْمِلُ هَذَا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala membaca surat Thaaha dan Yaasiin 2000 (dua ribu) tahun sebelum diciptakan-nya Nabi Adam. Tatkala para Malaikat mendengar al-Qur-an (yakni kedua surat itu) seraya berkata: ‘Berbahagialah bagi ummat yang turun al-Qur-an atas mereka, alangkah baiknya lidah-lidah yang berkata dengan ini (membacanya) dan baiklah rongga-rongga yang membawanya (yakni menghafal kedua surat itu).

Keterangan: HADITS INI (مُنْكَرٌ ) MUNKAR

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi (II/456), Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhid (no. 328), Ibnu Hibban dalam kitab adh-Dhu’afa (I/108), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 607), al-Baihaqy dalam al-Asma’ wash Shifat (I/365) dan ath-Thabrany dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 4873), dari jalan Ibrahim bin Muhajir bin Mismar, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh bin Dzakwan dari Maula al-Huraqah.” Kata Ibnu Khuzaimah: “Namanya Abdur Rahman bin Ya’qub bin al-‘Ala’ bin Abdur Rahman dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم...”

Matan hadits ini maudhu’ (palsu). Kata Ibnu Hibban: “Matan hadits ini palsu dan sanadnya sangat lemah, karena ada dua rawi lemah:

[1]. Ibrahim bin Muhajir bin Mismar.

Kata Imam al-Bukhari: “Ia munkarul hadits.”

Kata Imam an-Nasa-i: “Ia perawi lemah.”

Kata Ibnu Hibban: “Ia sangat munkar haditsnya.”

Kata Ibnu Hajar: “Ia perawi lemah.”

Periksa: Mizaanul I’tidal (I/67), Taqribut Tahdzib (I/67 no. 255).

[2]. ‘Umar bin Hafsh bin Dzakwan.

Kata Imam Ahmad: “Kami tinggalkan haditsnya dan kami bakar.”

Kata Imam ‘Ali Ibnul Madani: “Ia seorang rawi yang tidak tsiqah.”

Kata Imam an-Nasa-i: “Ia rawi matruk.” Periksa: Mizaanul I’tidal (III/189). Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1248).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Hadits ini gharib dan munkar, karena Ibrahim bin Muhajir dan Syaikhnya (yaitu, ‘Umar bin Hafsh) diperbincangkan (oleh para ulama hadits).” Lihat Tafsiir Ibni Katsir (III/141).

HADITS KEDUA BELAS

مَنْ سَمِعَ سُوْرَةَ يَس عَدَلَتْ لَهُ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ وَمَنْ قَرَأَهَا عَدَلَتْ لَهُ عِشْرِيْنَ حَجَّةً وَمَنْ كَتَبَهَا وَشَرِبَهَا أَدْخَلَتْ جَوْفَهُ أَلْفَ يَقِيْنٍ وَأَلْفَ نُوْرٍ وَأَلْفَ بَرَكَةٍ وَأَلْفَ رَحْمَةٍ وَأَلْفَ رِزْقٍ وَنَـزَعَتْ مِنْهُ كُلَّ غِلٍّ وَدَاءٍ

“Barangsiapa mendengar bacaan surat Yaasiin, ia akan diberi ganjaran 20 Dinar pada jalan Allah. Dan barang siapa yang membacanya diberi ganjaran kepadanya laksana ganjaran 20 kali melakukan ibadah Haji. dan barang siapa yang menuliskannya kemudian ia meminum airnya maka akan dimasukkan kedalam rongga dadanya seribu keyakinan, seribu cahaya, seribu berkah, seribu rahmat, seribu rizki, dan dicabut (dihilangkan) segala macam kesulitan dan penyakit.”

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ ) PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Khatib dari ‘Ali, lalu ia berkata: “Hadits ini palsu.” Ibnu ‘Adiy berkata: “Dalam sanadnya ada rawi yang tertuduh memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin Harun.” Mizaanul I’tidal (I/162).

Dalam sanad hadits ini terdapat Isma’il bin Yahya al-Baghdadi, Shalih bin Muhammad Jazarah berkata: “Ia (Isma’il) sering memalsukan hadits.” Imam Daraquthni berkata: “Ia seorang tukang dusta dan matruk.” Imam al-Azdiy berkata: “Ia salah seorang tukang dusta, dan tidak halal meriwayatkan daripadanya.” Periksa: Al-Maudhu’at oleh Ibnul Jauzi (I/246-247) dan Mizaanul I’tidal (I/253-254).

HADITS KETIGA BELAS

يَس لِمَا قُرِأَتْ لَهُ

“Surat Yaasiin itu bisa memberi manfaat bagi sesuatu tujuan yang dibacakan untuknya.”

Keterangan: HADITS INI (لاَ أَصْلَ لَهُ ) TIDAK ADA ASALNYA

Periksa: Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh ‘Ali al-Qari’ (no. 414 hal. 215-216), ta’liq: Abdul Fattah Abu Ghuddah.

Kata Imam as-Sakhawi: “Hadits ini tidak ada asalnya.” Periksa: Al-Maqaashidul Hasanah (no. 1342).

HADITS KEEMPAT BELAS

يَس قَلْبُ الْقُرْآنِ لاَيَقْرَأُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللَّهَ وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ وَاقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ

“Surat Yaasiin itu hatinya al-Qur-an, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan keridhaan Allah dan negeri akhirat (Surga-Nya), melainkan akan diampuni dosanya. Oleh karena itu, bacakanlah surat Yaasiin itu untuk orang-orang yang akan mati di an-tara antara kalian.”

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ ) LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (V/26) dan an-Nasa'i dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah (no. 1083) dari jalan Mu’tamir, dari ayahnya, dari seseorang, dari AYAH-NYA, dari Ma’qil bin Yasar, bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, ....”

Dalam hadits ini ada tiga orang yang majhul (tidak di-ketahui namanya dan keadaannya). Jadi, hadits ini lemah dan tidak boleh dipakai. Periksa: Fat-hur Rabbani (VII/63).

HADITS KELIMA BELAS

اِقْرَأُوْا يَس عَلَى مَوْتَاكُمْ

“Bacakan surat Yaasiin kepada orang yang akan mati di antara kalian.”

Keterangan: HADITS INI ( ضَعِيْفٌ ) LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (V/26-27), Abu Dawud (no. 3121), Ibnu Abi Syaibah, an-Nasa-i dalam Amalil Yaum wal Lailah (no. 1082), Ibnu Majah (no. 1448), al-Hakim (I/565), al-Baihaqi (III/383) dan ath-Thayalisi (no. 973), dari jalan Sulaiman at-Taimi, dari ABU UTSMAN (bukan an-Nahdi), dari AYAHNYA dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم: ...”

Hadits ini LEMAH, karena ada tiga sebab yang menjadikan hadits ini lemah:

[1]. ABU ‘UTSMAN seorang rawi majhul.

[2]. AYAHNYA juga majhul.

[3]. Hadits ini mudhtarib (goncang) sanadnya.

Penjelasan Para Imam Ahli Hadits Tentang Hadits Ini:

[1]. Tentang ABU UTSMAN

Kata Imam adz-Dzahabi: “Abu ‘Utsman rawi yang tidak dikenal (majhul).” Ali Ibnul Madini: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Utsman melainkan Sulaiman at-Taimi.” Maksud Ibnul Madini ialah: Bahwa Abu ‘Utsman ini majhul.

Periksa: Mizaanul I’tidaal (IV/550), Tahdziibut Tahdziib (XII/182) dan Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriji Ahaadits Manaris Sabil (III/151, no. 688).

Kata Ibnul Mundzir: “Abu Utsman dan bapaknya bukan orang yang masyhur (tidak dikenal).” Lihat ‘Aunul Ma’bud (VIII/390).

Kata Imam Ibnul Qaththan: “Hadits ini ada ‘illat (penyakit)-nya, serta hadits ini MUDHTHORIB (goncang) dan Abu ‘Utsman majhul.”

Kata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dan ad-Daraquthni: “Hadits dha’if isnadnya dan majhul, dan tidak ada satupun hadits yang shahih dalam bab ini (yakni dalam bab membacakan Yaasiin untuk orang yang akan mati).” Periksa: Talkhisus Habir ma’asy Syahril Muhadzdzab (V/110), Fat-hur Rabbani (VII/63) Irwaa-ul Ghaalil (III/151).

Kata Imam an-Nawawi: “Isnad hadits ini dha’if, di dalamnya ada dua orang yang majhul (Abu ‘Utsman dan bapaknya).”Lihat al-Adzkaar (hal. 122).

[2]. Tentang bapaknya Abu Utsman.

Ia ini rawi yang mubham (seorang rawi yang tidak diketahui namanya). Ia dikatakan majhul oleh para ulama Ahli Hadits, karena selain tidak diketahui namanya juga tidak diketahui tentang biografinya.

[3]. Hadits ini MUDHTARIB.

Hal ini karena di sebagian riwayat disebutkan: Dari Abu Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasar. Sedangkan riwayat lain menyebutkan dari Abu Utsman dari Ma’qil tanpa menyebut dari ayahnya.

Kesimpulan: Hadits ini lemah dan tidak boleh dipakai hujjah.

HADITS KEENAM BELAS

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya (IV/ 105) dari jalan Shafwan. Ia (Shafwan) berkata:

حَدَّثَنِي الْمَشْيَخَةُ أَنَّهُمْ حَضَرُوْا غُضَيْفَ بْنَ الْحَارِثِ الثُّمَالِيَّ حِينَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ فَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس قَالَ فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُونِيُّ فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ مِنْهَا قُبِضَ قَالَ: فَكَانَ الْمَشْيَخَةُ يَقُولُونَ إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا، قَالَ صَفْوَانُ: وَقَرَأَهَا عِيسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ عِنْدَ ابْنِ مَعْبَدٍ

Telah berkata kepadaku beberapa Syaikh bahwasanya mereka hadir ketika Ghadhief bin Harits mengalami naza’ (sakaratil maut), seraya berkata: ‘Siapakah dari antara kamu yang dapat membacakan surat Yaasiin?’ Lalu Sholeh bin Syuraih as-Sakuni membacakannya. Maka, ketika sampai pada ayat ke-40, ia (Ghadhief) wafat. Shafwan berkata: Para Syaikh berkata: ‘Bila dibacakan surat Yaasiin di sisi orang yang mau meninggal, niscaya diringankan bagi si mayyit (keluarnya ruh) dengan sebab bacaan itu.’ Kata Shafwan: ‘Kemudian ‘Isa bin Mu’tamir membacakan surat Yaasiin di sisi Ibnu Ma’bad.” [HR. Ahmad (IV/105)]

Keterangan: RIWAYAT INI (مَقْطُوْعٌ ) MAQTHU’

Yakni riwayat ini hanya sampai kepada tabi’in, tidak sampai kepada Nabi صلی الله عليه وسلم. Sedangkan riwayat maqthu’ tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi ri-wayat ini juga LEMAH, karena beberapa Syaikh yang disebutkan itu MAJHUL, tidak diketahui nama dan kea-daan diri mereka masing-masing. Jadi, riwayat ini LEMAH DAN TIDAK BISA DIPAKAI.Lihat Irwaa-ul Ghalil (III/151-152).

HADITS KETUJUH BELAS

مَا مِنْ مَيِّتٍ فَيُقْرَأُ عِنْدَهُ يَس إِلاَّ هَوَّنَ اللَّهُ عَلَيْهِ

Tidak ada seorang pun yang akan mati, lalu dibacakan surat Yaasiin, di sisinya (yaitu ketika ia sedang naza’) melainkan Allah akan mudahkan (kematian) atasnya.”

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ ) PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ahsbahan (I/188) dari jalan MARWAN BIN SALIM ALJAZAIRI dari Shafwan bin ‘Amr dari Syuraih dari Abu Darda secara marfu’.

Dalam sanad hadits ini ada seorang rawi yang sering memalsukan hadits, yaitu MARWAN BIN SALIM AL-JAZAIRI.

Kata Imam Ahmad dan an-Nasa-i: “Ia tidak bisa dipercaya.” Kata Imam al-Bukhari, Muslim, dan Abu Hatim: “Ia munkarul hadits.” Kata Abu Arubah al-Harrani: “Ia sering memalsukan hadits.” Periksa: Mizaanul I’tidal (IV/90-91). Lihat juga Irwaa'ul Ghalil (III/152).


KHATIMAH

Hadits-hadits tentang fadhilah surat Yaasiin adalah LEMAH dan PALSU, sebagaimana yang sudah saya terangkan di atas. Oleh karena itu hadits-hadits tersebut tidak bisa dipakai hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dari surat-surat yang lain dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi yang membaca surat ini. Tentang masalah mendapat ganjaran bagi orang yang membaca al-Qur'an memang ada, sebagaimana sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ: آلم حَرْفٌ؛ وَلَكِنْ: آلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، ومِيْمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur-an, akan mendapatkan suatu kebaikan. Sedang satu keba-ikan akan dilipatkan sepuluh kali lipat. Aku tidak berkata, Alif laam miim, satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf. [HR. At-Tirmidzi (no. 2910). Lihat pula Shahih at-Tirmidzi (III/9) dan Shahih al-Jaami’ush Shaghir (no. 6469), dari ‘Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه]

Sesudah kita membaca, kita diperintah untuk memahami isi al-Qur'an. Karena Allah memerintahkan untuk mentadabburkan dan mengamalkan isi al-Qur'an.

Allah سبحانه و تعالى berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [An-Nisaa’: 82]

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an atau-kah hati mereka terkunci?” [Muhammad: 24]


Di Nukil dari eBook Ibnumajjah.wordpress.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger